Thursday 24 September 2009

Simbol Sebagai Panglima

Simbol Sebagai Panglima
Oleh : ANTON
Pekerja-pekerja asing di Indonesia boleh jadi akan heran melihat di Indonesia
begitu banyak hari libur untuk merayakan sesuatu dan juga hampir setiap hari
dalam satu tahun ada sebuah hari khusus untuk memperingati sesuatu seperti hari
pers, hari musik, hari abri, hari kebangkitan nasional, hari radio, hari
keuangan dan seribu lain-lain.


Kenapa bangsa ini gemar sekali upacara dan memperingati ini itu. Jawabannya mungkin adalah bangsa ini sangat menggemari simbol bahkan disini simbol adalah kultur itu sendiri. Saya ingat beberapa tahun lalu sebuah departemen menyimbolkan kerja seperti semut hitam yang rajin, departemen itu menggembar-gemborkan kultur semut tapi produktivitas juga ndak naik-naik. Disini simbol lebih penting dari makna hakiki, disini simbol lebih memiliki makna ketimbang isi yang bermakna. Juga masihkah ingat kata-kata seperti : BMW, Berseri, Berhiber, Beriman, dll setiap kita mengunjungi
kota-kota di Indonesia? Itulah akronim dari sebuah kota yang secara pandir
dijadikan tujuan atau visi kota tersebut.

Produksi simbol sebenarnya lahir dari masyarakat yang kuat kultur feodal-nya, masyarakat yang gila gelar dan masyarakat yang gila baju kebesarannya dari sinilah simbol mendapat arti pentingnya juga harga yang musti dibayar. Terus terang saja sejarah Indonesia adalah sejarah daripada simbol-simbol. Dan disini kita melihat kultur wayang yang sedang bermain. Dahulu setelah Sukarno memapankan
kekuasaannya di tahun 1959 ketika kekuatan Masjumi dan PSI masuk kotak dan
orang-orang dengan figur intelektual-realistis diburu-buru oleh rezim Sukarno
yang mendapat tempat adalah orang-orang yang memahami karakter budaya simbol
untuk mendukung ide Sukarno. Orang-orang macam Roeslan Abdulgani, Soebandrio,
Sayuti Melik dll laku keras karena mampu menangkap ide Sukarno yang penuh
dengan kiasan-kiasan simbolik dalam melontarkan pikirannya. Dari otak Sukarno
lahirlah revolusi yang mengguncang jagad dengan kata-kata separuh puitis
separuh hiperbolis tapi agak punya daya hidup, kata-kata seperti “Nasakom”,
“Genta Suara Revolusi alias Gesuri”, “Djarek” alias Djalannja Revolusi Kita,
Takari atau Tahun Berdikari (berdikari artinya berdiri diatas kaki sendiri),
“Pantja Azimat Revolusi”, Tahun Vivere Pericoloso (bahasa italia neh artinya
‘tahun menyerempet bahaya), Djasmerah (sebuah pidato sindiran Sukarno kepada
calon junta militer pimpinan Suharto yang akan mengkudeta dirinya, Djasmerah
artinya “Djangan Sekali-kali Melupakan Sedjarah, 30 tahun kemudian PDIP
menggunaka simbol Jasmerah sebagai seragam partai) lalu ada juga Nawaksara.
 
Sukarno adalah menusia yang paham dengan kultur Jawa, dialah penerus murni karakter bangsawan Mataram-Majapahit. Ia lahir dari rahim seorang ibu keturunan Raja Bali yang dianggap penerus murni budaya Jawa-Hindu. Ayahnya seorang intelektual lokal, juga masih keturunan bangsawan rendah dari Kediri, penganut Islam-Jawa dan sangat menyukai hal-hal kebatinan, spiritualitas Raden Sukemi –ayah Sukarno- adalah pengagum pemikiran theosofi Annie Bessant dari landasan pikiran ayah Sukarno ini gagasan Sukarno melihat dunia terbentuk. Sepanjang pendidikan formal Sukarno ia mengalami pembaratan pola pikir, namun Sukarno juga dibesarkan oleh politikus yang
berbasiskan massa seperti Tjokroaminoto yang oleh intel Belanda digelari Raja
Jawa tanpa mahkota. Disinilah manusia Sukarno terbentuk ia menjadi manusia
paling ‘complicated’ dalam sejarah tokoh-tokoh di Indonesia, memahami Sukarno
adalah memahami Indonesia itu sendiri, sebuah keanekaragaman. Dan dari
keanekaragaman ia berobsesi untuk menjadikan keragaman itu menjadi satu warna
dan disitulah ia menemui kegagalannya. Tapi satu hal dimana Sukarno mampu berhasil menjadi manusia paling dikenang di Republik ini adalah karena dia menggunakan simbol sebagai jalan

politiknya dan simbol terbesar peninggalan Sukarno adalah ruh Indonesia itu
sendiri : Pancasila.
 
Lain Sukarno lain pula dengan nasib DN Aidit

dengan PKI hasil revitalisasi kongres CCPKI 1954 yang mampu membawa PKI menjadi
kekuatan paling besar setelah Sukarno dan tentara. Setelah hancur akibat
peristiwa 1948 PKI dibawah anak-anak muda umur 30-an tahun mengubah haluan
politik dengan ikut mendukung kebijakan Sukarno, (Sukarno adalah orang yang
dianggap telah menghancurkan PKI edisi Musso). Sukarno yang dilihat orang PKI sebagai
bagian dari elite borjuis digunakan sebagai tunggangan politiknya untuk
berhadapan dengan kekuatan politik lain. Dan ini ternyata berhasil.
 
Tapi keberhasilan politik komunis di era
Sukarno (1959-1965) hanyalah sebatas simbol. Dalam pengantar buku Das Kapital
karangan Karl Marx, Oey Hay Djoen penterjemah buku itu dalam bahasa Indonesia,
menganggap karya Marx seperti : Das Kapital, tidak pernah sama sekali dibaca
oleh kader-kader komunis, bahkan pandangan DN Aidit dalam memahami revolusi
Indonesia kelak kemudian hari dikritik oleh kalangan komunis dunia sebagai
contoh paling besar kegagalan komunis. DN Aidit lebih asyik mengobarkan perang
simbol-simbol daripada perjuangan dalam perspektif kaum komunis, ini karena DN
Aidit terpengaruh oleh Sukarno, di masa jayanya PKI mengobarkan perang sosial
yang berbasis rebutan tanah, disini malah DN Aidit terjebak selain pada
penyimpangan pandangan komunis yaitu menciptakan manusia tanpa hak milik
–karena revolusi agraria dalam pandangan PKI ala Aidit adalah memberikan tanah
kepada petani kecil/buruh tani yang justru menciptakan borjuis-borjuis kecil
tapi juga mengguncang alam pikir elite Jawa, disinilah letak kemarahan elite
Jawa terhadap PKI-nya Aidit dan disitulah letak kejatuhannya.
 
Pada jaman Sukarno (1959-1965) muncul
konflik perlawanan antara rakyat vs elite, ini berbeda dengan jaman demokrasi
parlementer dimana konflik hanya terjadi pada elite vs elite. PKI disini
menempatkan diri sebagai wakil rakyat sesungguhnya, suara dari wong cilik,
sementara elite-elite birokrasi anak waris dari bangsawan-bangsawan Jawa
menempatkan diri sebagai lawan dari PKI dan anehnya kedua-duanya bersembunyi di
balik kewibawaan Sukarno untuk saling menyerang. Di titik ini juga terjadi
perang budaya, saat itu PKI lebih mendukung seni ketoprak yang merupakan
refleksi tontonan kelas bawah dengan aura seronoknya seperti : perjudian di
tengah tontonan ketoprak dan kegiatan yang mendorong gairah seksual. Sementara
kultur bangsawan atau bisalah dikatakan elite Jawa yang kerap berafiliasi dengan
PNI sayap kanan lebih menghargai seni wayang dimana nilai-nilai luhur tontonan
lebih mencerahkan ketimbang ketoprak yang membawa dimensi gairah rendah itu.
 
Para elite ini kemudian membentuk
jaringannya masing-masing, di birokrasi tumbuhlah kader-kader ‘PNI-bangsawan’
yang kelak bertransformasi menjadi mesin birokrasi ‘Golkar’ di jaman Orde Baru.
Dikalangan militer para elite penentang PKI terbagi dua, yang pertama elite
militer terdidik, intelektual militer yang berwawasan barat dan dekat dengan
Inggris-Amerika Serikat juga sedikit banyak terpengaruh dengan gagasan-gagasan
Sjahrir dengan PSI-nya. Yang kedua,
elite militer yang kolot sekali Jawa-nya namun sangat anti PKI mereka
menganggap PKI ini sebagai sebagai unsur disharmoni dalam budaya kekuasaan Jawa.
Kelompok pertama anti Sukarno, kelompok kedua justru sangat Sukarnois dan
Nasionalis, mereka hidup dalam kebudayaan Jawa yang kental dan kadang-kadang
menjadi tuan-tuan bisnis yang menghidupkan mesin-mesin militer lokal.
 
Kelompok pertama ini diisi oleh AH Nasution,
Suwarto dan beberapa perwira Siliwangi di lingkaran Nasution. Sementara pada
kelompok kedua ada pada jaringan Diponegoro dimana salah satunya dedengkotnya
adalah : Suharto. Kemudian setelah peristiwa memalukan yang dialami Suharto
terbongkar dan kemudian Suharto disuruh belajar ke Seskoad Cimahi Bandung
disinilah kedua spektrum kelompok anti PKI bertemu.
 
Setelah keberhasilan kampanye politik Irian
Barat oleh Sukarno, sang Presiden semakin menggerakkan bandul politiknya ke
kiri. Apalagi saat itu Amerika Serikat benar-benar memusuhinya, sementara Uni
Sovyet dan Cina membuka tangan lebar-lebar terhadap garis politik Sukarno.
Disinilah tuduhan bahwa ‘Jakarta menjelang Merah’ oleh Washington dan London
hampir menjadi kenyataan, selain jumlah pengikut PKI luar biasa besar sementara
garis politik Sukarno sendiri adalah sosialisme yang anti kapitalisme.
 
Secara harafiah itulah yang dibaca dalam
kontelasi politik di Indonesia era Sukarno, namun jarang dijabarkan bahwa pada
titik inilah perang simbol sedang berlangsung, manusia Indonesia dihadapkan
pada sebuah kenyataan politik pada waktu itu dengan mengerasnya simbol-simbol
yang kemudian malah diartikan sebagai ‘realitas kehidupan’ yang kemudian
meledak menjadi tragedi kemanusiaan paling besar dalam sejarah Indonesia
modern.
 
DN Aidit bahkan menyebutkan dalam salah satu
pidatonya ‘Jika pemuda PKI tak mampu membubarkan HMI lebih baik menggunakan
sarung” sementara kelompok Agama (terutama Islam dan Katolik) menyerang
kelompok komunis dengan menuduh bahwa PKI adalah kelompok manusia tak bertuhan
yang harus diganyang. PKI disini diartikan sebagai simbol kekuatan alam bawah
tanah dimana mengandung kekuatan jahat. Dan kelompok agama ingin menghancurkan
dimensi jahat dalam Republik Indonesia itu. Sementara Sukarno semakin asyik
dengan simbol-simbolnya sendiri. Tahun-tahun genting 1964-1965 Republik
Indonesia hanya berjalan ditempat.
 
Perseteruan simbol-simbol itu membenihkan
ibu pertiwi sehingga ibu pertiwi hamil tua. Dan kelahirannya ditolong oleh
Letnan Kolonel Untung Bin Sjamsuri dari resimen Tjakrabirawa. Setelah gerakan
gila Untung sejarah negeri ini berputar cepat. Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965
kekuatan PKI langsung dinyatakan kalah, tinggal kekuatan Sukarno dengan
kekuatan tentara yang mengedepankan alasan menuntut balas kematian A Yani cs. Dan kemudian sejarah mencatat bahwa
Sukarno tergusur digantikan perwira tinggi TNI bernama Letjen (TNI) Suharto
yang sama sekali tidak pernah dibicarakan berpotensi menjadi pelanjut
kepemimpinan Sukarno.
Di luar himpunan simbol-simbol Sukarno, PKI
dan Agama sebenarnya ada kekuatan lain yang menafikan simbol-simbol dan mereka
bekerja secara objektif dan efisien. Kelompok ini sesungguhnya dilahirkan oleh
Hatta kemudian berlanjut pada Ir. Djuanda Kartawidjaja. Kelompok inilah yang
kemudian digunakan Suharto menjalankan fungsi-fungsi administrasi ‘Negara Orde
Baru’ sementara Suharto sendiri melanjutkan kerja simbol-simbol yang pernah
dilakukan oleh Sukarno.
Guru terbesar Suharto sesungguhnya bukan
Kyai Darjatmo tapi Sukarno. Sukarno-lah yang menjadi bintang pedoman Suharto
dalam mengelola kekuasaan. Suharto mampu menyelesaikan kerja politik Sukarno
secara sempurna seperti halnya ia mampu menyelesaikan monumen-monumen
peninggalan Sukarno. Hanya saja ‘Sukarnoisme Kekuasaan’ yang dilakukan Suharto
ditopang oleh bantuan asing. Jadilah ‘Suharto adalah Sukarno plus IMF’.
Di tangan Suharto Indonesia menjadi negeri
simbol tanpa isi. Dibangunnya demokrasi dengan pemilu rutin 5 tahun sekali,
tapi ini pemilu yang ‘seakan-akan’ demokrasi yang ‘seakan-akan’ dan kebebasan
yang ‘seakan-akan’. Seperti halnya PKI yang dulu hanya tahu perjuangan simbol
ketimbang perjuangan hakiki, Suharto juga demikian, ia ‘seakan-akan’
memodernisasi Indonesia, menurunkan harga-harga dan membangun stabilitas tapi
semuanya ditopang dengan hutang luar negeri dan kekerasan yang keji.
Berakhirnya kejayaan Suharto disebabkan selain umurnya yang sedemikian tua dan
mulai pudarnya simbol-simbol pembangunan Orde Baru karena tidak lagi mampu
menutupi kebohongan. Simbol-simbol Orde Baru terpenting adalah : pertumbuhan
ekonomi, stabilitas politik dan mapannya birokrasi-militer. Ini terjewantah
dalam kekuatan-kekuatan yang berpusar pada rezim moneter dan keuangan, ABRI dan
Golkar-Birokrasi hancur berantakan. Suharto yang pada awalnya ingin membawa
Indonesia menjadi negara Indonesia yang sejajar dengan barat gagal total,
‘Jalan Singapura’ atau ‘Jalan Korea’ gagal diikutinya, sistem Suharto malah
menjadikan model Suhartorian yang kemudian banyak diikuti oleh negara-negara
otoriter seperti : Chili (dibawah Pinochet) dan Myanmar. Kapitalisme
Suhartorian adalah ‘Kapitalisme Semu’ yang dibangun oleh kroni, penipuan dan
menjual asset-asset negara. Kaum industriawan atau pengusaha konglomerasi
berhasil dihidupkan hanya untuk kepentingan kekuasaan bukan kepentingan murni
bisnis, dan usaha yang mengabaikan prinsip-prinsip kapitalisme : fair,
kompetitif, dan memiliki hukum pasar yang jelas tidak ada dalam sistem ekonomi
Orde Baru. Yang ada adalah perselingkuhan antara kekuasaan pejabat dan modal
konglomerat sehingga hasilnya adalah kehancuran Indonesia.
Kini setelah Suharto turun dari panggung
sejarah, semangat lebih menghormati simbol masih banyak digunakan baik dari
penguasa sampai dengan rakyat kecil. Saat ini kita saksikan agama diartikan
hanya sebagai identitas, hanya sebagai
ritual-ritual simbolik, mengenakan baju koko/takwa dan berkopiah putih atau
sorban lebih beriman ketimbang mengenakan kaos atau baju hem. Agama hanya
dibuat sebatas kebutuhan simbol saja bukan usaha pengenalan Tuhan yang
mencintai kemanusiaan dan menghargai hubungan antar manusia.
Kalangan menengah dan atas Indonesia yang dulu gila gelar kebangsawanan kini
mendapat saluran gairahnya mencapai gelar simbolik dalam strata keilmuan, gelar
sarjana dikejar dan dibayar sampai strata yang berkelanjutan tanpa mau peduli
tentang hakikat keilmuan dan mencari pengetahuan. Yang penting gelar didapat
dan mendapatkan kedudukan yang tinggi dimata masyarakat. Tak heran sarjana S3
jurusan Ekonomi misalnya di Indonesia sekalipun masih bingung bila ditanya
‘kaidah-kaidah integrasi tak tentu dalam matematika dasar ekonomi’ misalnya,
atau lebih parah tak tahu apa itu ‘equilibrium parsial’. Karena yang terpenting
bukan ilmunya, bukan wawasannya tapi gelarnya. Kini kita menyaksikan di
surat-surat kabar seakan-akan calon-calon bupati atau kepala daerah berebutan
untuk mengejar gelar sampai S3, seakan-akan pencapaian kemampuan dalam
manajemen pemerintahan hanya dilihat sampai gelar doktoral mungkin mereka
mengikuti cara SBY dimana sang Presiden itu mencapai gelar doktoral di
detik-detik menjelang penentuan pemilihan Presiden dan itu bagi saya pribadi
hanya permainan simbolik seakan-akan SBY juga bagian dari intelektual
Indonesia. Dan yang jelas ini adalah gejala feodalisasi dalam Ilmu Pengetahuan
atau lebih rendahnya industrialisasi ilmu pengetahuan yang mengarah pada
degradasi proses pencapaian ilmu secara benar.
Bahkan jujur saja hanya di Indonesia dan
Malaysia orang mendapatkan gelar ‘Haji’ setelah berziarah ke Mekkah dan ini
justru setengah menciptakan ‘sistem kependetaan’ dalam Islam, dimana
sesungguhnya Islam adalah agama paling egaliter dan tak mengenal sistem
kependetaan, fungsi hubungan manusia dengan Tuhan diletakkan dalam fungsi
langsung. Tapi karena pengaruh simbol-simbol yang kemudian menjadi tatanan
sosial maka sistem kependetaan menjadi ‘seakan-akan’ ada dalam Islam. Demi
simbol maka kelas-kelas dalam agama menjadi ada, demi simbol kekuasaan menjadi
alat paling efektif untuk menindas, demi simbol ilmu pengetahuan hanya dijadikan
barang dagangan murahan!
 
ANTON


9 Oktober 2006 

No comments: