Friday 28 October 2011

Gentleman-nya Bung Hatta



Banyak orang mengira termasuk hampir semua sejarawan bahwa mundurnya Hatta di tahun 1956 adalah ketidakcocokannya dengan Bung Karno. Tapi sebenarnya tidak, Hatta tidak pernah memusuhi secara serius Sukarno, Hatta sama sekali tidak ada masalah pada tahun 1956 dengan Sukarno atau keputusan-keputusan politik besar. Pembubaran Konstituante justru dilakukan setelah Hatta mundur, pemberontakan-pemberontakan di daerah tidak ada hubungannya dengan Bung Hatta, bahkan setelah tahun 1956 beberapa pemberontakan daerah awalnya adalah mosi tidak percaya kepada Djakarta karena dikira Djakarta menyingkirkan Hatta, padahal tidak.


Dalam beberapa titik penting sejarah di masa lalu, Sukarno amat pasif dalam melakukan keputusan-keputusan politik, Sukarno. Hampir semua keputusan ditangani Hatta. Keputusan yang terkenal adalah Maklumat X 1945 soal liberalisasi pembentukan partai-partai politik. Dalam soal itu Sukarno kerap mengeluh ia dilangkahi Hatta. Dalam revolusi Sukarno ingin adanya Partai tunggal, tapi setelah fait accompli Hatta, partai menjadi terlalu banyak dan kerap menimbulkan friksi politik besar, puncaknya adalah perang Solo yang berakhir pada geger Madiun 1948.


Akhir Tahun 1948, Belanda menerjunkan puluhan ribu tentara mereka serentak ke kota-kota penting di Indonesia. Di muka dunia Internasional aksi itu dikatakan "Aksi Polisionil" karena Belanda masih menganggap Indonesia adalah wilayah dalam negeri Belanda. Sementara pihak Indonesia menyatakan itu adalah "Agresi Militer yang kedua" setelah sebelumnya terjadi tahun 1947, Indonesia menuduh inilah yang disebut ekspansi militer sebuah Negara kepada Negara lain seperti hal-nya Hitler menginvasi Polandia. Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim dan pemimpin-pemimpin lain di Yogya ditangkapi. Militer Republikein lari ke gunung-gunung mereka menolak untuk ditangkap, pihak Militer praksis dipegang Jenderal Sudirman yang sudah rusak paru-parunya untuk menembus lebat hutan di Jawa Tengah dan Timur melakukan konsolidasi pasukan.

Saat itu Tan Malaka sudah berhitung, “Kekuatan Belanda tinggal sedikit lagi, saya tahu benar watak orang Belanda. Dia tidak akan melakukan kekuatan besar-besaran bila tidak putus asa. Saya perkirakan perang paling lama akan berlangsung selama 2 tahun lagi, sementara Amerika Serikat dan Sovjet Uni masih pusing soal Eropa setelah selesainya Hitler dibunuh”


Belanda berlagak gagah dimana-mana, tank-tank Sherman berkeliling ke segenap penjuru kota dan membangun pencitraan bahwa Hindia Belanda dalam waktu dekat akan berdiri kembali. Ternyata terbukti dengan serangan militer yang sporadis dari militer Indonesia pasukan Belanda keteter dimana-mana. Serangan Umum di Yogya dan Serangan umum di Solo membuat Belanda keliatan kelemahannya. Tapi tidak bagi kelompok pro perundingan.


Di tahun 1945 ada perbedaan antara Pemuda-Pemuda Djakarta dengan Djawa Tengah dan Djawa Timur. Pemuda-pemuda Djawa Tengah dan Timur memutuskan tidak mau berunding dengan pihak Djepang soal merebut gudang senjata, mereka langsung perang dan rakyat mengepung gudang. Senjata-senjata banyak didapatkan, bahkan di Surabaya kelengkapan militernya akibat merebut gudang senjata mampu secara jantan menghadapi Inggris, dan sejarah mencatat : ‘Hanya di Surabaya-lah Inggris kalah perang’. Di Djawa Tengah juga begitu, tidak ada perundingan gudang-gudang senjata harus direbut. Perebutan senjata ini nyaris tak menimbulkan korban, bahkan Kapten Suharto (kelak jadi Letkol Suharto) berhasil merebut gudang senjata di Kotabaru dan pasukannya memiliki alat kelengkapan militer paling kuat. Di Djakarta lain lagi ceritanya, keputusan saat itu adalah perundingan untuk merebut gudang senjata, akibatnya fatal. Puluhan tokoh pemuda mati dalam perang saat perundingan berlangsung bertele-tele, Daan Mogot dan tragedi dua anak Margono Djojohadikusumo : Subianto dan Sujono di Serpong Januari 1946. Akibat perundingan inilah pemuda-pemuda Djakarta terlalu lemah dibandingkan rekannya yang di Djawa Tengah dan Djawa Timur.


Begitu juga dengan pemikiran memperpendek perang revolusi 1945. Tan Malaka berpikir apabila perang diperpendek dengan perundingan maka yang terjadi adalah ‘Revolusi melahirkan bangsa yang lembek’. Tan Malaka ingin dilakukan perang total karena dengan hanya perang total-lah “Semua royan-royan revolusi bisa melahirkan rasa persatuan yang amat kuat diantara rakyat Indonesia, rakyat akan paham tujuan besar bangsa Indonesia liwat kesakitan-kesakitan perang revolusi”


Tapi kabar di Yogya begitu menyakitkan hati Tan Malaka. Para pemimpin tidak mau tempur mati-matian di hutan-hutan, tidak membangun perlawanan revolusinya. Di tahun 1948 terlihat sekali para pemimpin yang lahir dari dunia pergerakan Intelektual tidak terlatih untuk melakukan perang di hutan-hutan seperti yang dilakukan bekas anak buah Tan Malaka, Ho Chi Minh dari Vietnam. Tan Malaka sudah memperkirakan “Kalau pemimpin ditangkap tak lain tak bukan, ujung-ujungnya adalah Perundingan”.


Generaal Sudirman, adalah pengikut Tan Malaka yang paling setia. Ia orang yang paling mendukung program-program Tan Malaka. Saat pertempuran di Solo terjadi, Sudirman menunggu apa kata Tan Malaka. Saat rapat Persatuan Perjuangan, Sudirman-lah yang membuka pidato rapat, lalu ketika Tan Malaka meneriakkan “Merdeka 100%” maka Sudirman berdiri dan bertepuk tangan seraya bersumpah akan memerdekakan Indonesia, total…setotal-totalnya.


Sukarno sendiri saat itu sudah terjebak pada sistem pemerintahannya yang ia bentuk. Bila ia ke hutan, maka ia akan berhitung ‘siapa yang pegang komando’ bisa saja nanti kelompok Tan Malaka yang bisa drive dirinya. Sukarno selama perang revolusi menyerahkan keputusan ke Hatta, dan Hatta selamanya satu napas dengan Sjahrir lalu terjadilah keputusan yang paling amat dibenci Tan Malaka “Berunding dengan Belanda”

Perundingan KMB di Den Haag akhir tahun 1949, merupakan penghinaan bagi kelompok Tan Malaka. Di Koran-koran terjadi eforia KMB, rakyat seakan-akan gembira menerima keputusan perundingan, dikiranya KMB adalah kemenangan Republik, dikiranya KMB adalah berhasilnya perang. KMB justru adalah ‘Pertanda Indonesia Kalah Perang’ karena dimanapun dalam hukum perang Internasional ‘pihak yang kalah perang harus membayar ganti rugi akibat peperangan’ seperti Jerman yang kalah perang pada Perang Dunia Pertama, membayar dengan ‘Klausa Perjanjian Versailles’ dan Jepang yang kalah perang dengan Amerika Serikat harus menerima pendudukan pasukan Amerika Serikat di Jepang juga Jepang dilarang memiliki pasukan militernya sendiri. Indonesia harus membayar 4.6 Milyar Gulden ganti rugi perang. ‘Jadi logikanya Indonesia harus membayar bangsa asing yang membunuhi bangsanya sendiri’. Akibat perjanjian inilah yang amat lama tidak menjadi bahan perdebatan di muka-muka publik karena para tokoh kharismatis terlibat dalam perundingan ini. Ukuran dana 4,6 milyar gulden itu amat besar dengan nominal pada jaman itu, sebagai perbandingan : di tahun 1950 Amerika Serikat pernah menawari pembangunan jalan besar (Highway Standard) di sepanjang pulau Sumatera dengan konsesi masuknya mobil Ford ke Indonesia sebagai satu-satunya mobil yang bisa masuk ke Indonesia selama 10 tahun. Nilai jalan itu adalah 6 juta dollar, tapi usulan itu ditolak karena akan memberlakukan sistem monopoli. Jadi seandainya 4,6 milyar gulden itu tidak dikembalikan maka 200 kali highway standard bisa dibangun diseluruh wilayah Indonesia.


Setelah terjadi perundingan, Sudirman menolak turun gunung. “Kalau saya turun gunung berarti saya gembira akan kekalahan pasukan TNI”. Generaal Sudirman menolak turun gunung karena ia tahu, perundingan berarti kalah perang. Selama ini banyak di buku sejarah, seakan-akan Sudirman menolak turun gunung karena marah pada Sukarno, padahal bukan. Orang-orang di masa lalu tidak dangkal hatinya, mereka tidak peduli dengan konflik personal. Generaal Sudirman menolak turun gunung karena alasan prinsipil, ia tidak mau kalah perang. “Tapi pada akhirnya” persatuan diatas segala-galanya, pertaruhannya kalau Sudirman menolak turun gunung makan yang akan terjadi adalah perang saudara. Setiap orang tahu pada saat itu, Sukarno yang selalu jadi kartu pegangan orang Indonesia, rakyat akan terjebak pada perang saudara yang tidak mereka mengerti. Sudirman mengalah demi persatuan. Sudirman turun gunung, tapi Tan Malaka ditembak mati di Jawa Timur. Inilah tragedi revolusi.


Beberapa kelompok pasukan Tan Malaka menolak turun gunung, yang paling terkenal adalah Chaerul Saleh. Chaerul ini yang pegang pasukan Bambu Runtjing. Ia terus melawan tentara resmi dan menolak perundingan, pasukan Chaerul Saleh menyerang pos-pos militer TNI di Sukabumi dan wilayah lain di Djawa Barat sebagai aksi bentuk penolakannya terhadap KMB. Bahkan sampai pada tahun 1952 pasukan Chaerul Saleh terus bertempur dengan pihak militer. Inilah yang membuat Nasution marah.


Kebenaran kelompok Tan Malaka akhirnya terbukti pada tahun 1950-an ke atas. Di Vietnam, mereka menolak kalah dari Perancis dan melakukan perang total, di tahun 1952 Perancis angkat kaki dari Vietnam dengan menyisakan ratusan ribu serdadu berkalang tanah di Vietnam. Lalu Amerika Serikat datang dan merebut Vietnam dua puluh tiga tahun kemudian 1975, Amerika Serikat hengkang dari Vietnam dengan rasa malu, tentaranya berlarian ke helikopter seperti tentara pengecut menyelamatkan diri saat pasukan Ho Chi Minh masuk ke kota Saigon. Begitu juga dengan pasukan Mao yang berhasil menghantam kelompok Kuo Min Tang sampai ke Taiwan padahal pasukan Kuo Min Tang didukung Amerika Serikat. Dan saat ini di tahun 2011 kita menyaksikan seluruh Negara Eropa Barat mengemis pada RRC karena krisis ekonomi yang mereka alami.


Inilah yang dimaui Tan Malaka, fase pertama dalam pembentukan Negara atau bangsa yang terjajah adalah perang total. Dalam perang total akan terjadi situasi baru, pemahaman-pemahaman baru, alam sadar baru, dan yang terpenting arah sejarah menjadi lebih jelas tidak lembek.


Terbukti benar di tahun 1950-an perang Korea meletus. Harga-harga komoditi naik : timah, minyak bumi, kopra, karet dll naik. Kejadian ini mirip dengan boom minyak tahun 1973 yang kemudian dijadikan landasan rejeki Suharto di masa Orde Baru untuk membiayai kekuasaannya. Kenaikan luar biasa harga-harga akibat perang Korea 1950-an ini tidak bisa dinikmati rakyat Indonesia karena Indonesia harus bayar hutang perang kepada pihak Belanda. Yang kaya tetaplah perusahaan-perusahaan besar milik Belanda macam Lindeteves atau Borsumij Wehry. Kejadian ini membuat marah anggota Parlemen Komisi A, mereka memanggil Menteri Perekonomian saat itu Prof.Sumitro Djojohadikusumo. Sumitro menjawab “Kita sudah terikat perjanjian dengan Belanda”. Kelompok sisa-sisa Tan Malaka yang saat itu bergabung dalam Partai Murba marah besar ‘Wah, kalau begini caranya kita harus buat mosi tidak percaya terhadap KMB”.


Perjuangan menyusun Mosi tidak percaya ini bukan soal mudah. Kelompok Partai Murba yang dipimpin Maruto Nitimihardjo harus berkelahi kesana kemari untuk meyakinkan mosi tidak percayanya. Untuk memulai mosi ini Maruto mendatangi Hatta lalu Maruto bicara “Masih kurang saja Belanda mengambil dari kita”. Seraya berkata pasrah Hatta berkata “Karena saya yang menandatangani perjanjian KMB itu, saya persilahkan saudara Maruto untuk melanjutkan apa maunya, saya siap menerima segala konsekuensinya”.


Hampir lima tahun Maruto melakukan pendekatan-pendekatan politik ke semua pihak untuk menolak hasil KMB dan menyatakan mosi tidak percaya. Akhirnya mayoritas anggota Parlemen menyetujui untuk melakukan mosi tidak percaya, apalagi setelah Pemilu 1955 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mendukung apa mau Partai Murba. “Mosi tidak percaya pada KMB”.


Melihat perkembangan mosi itu Hatta secara gentlemen berkata “Saya akan mundur” Saat itu Maruto mendatangi Hatta di kantornya di Merdeka Selatan. Hatta lama memandangi wajah Maruto, dan ia mengeluarkan air mata lalu memeluk Maruto. Setelah pertemuan itu datanglah surat dari Hatta : “Surat Pengunduran Diri”.


Surat pengunduran itu menjadi heboh dimana-mana, bahkan Sukarni Ketua Umum Murba, Partai yang jadi pelopor mosi tidak percaya itu berkata singkat sambil mau nangis : “Wah, Bung Hatta terlalu gentleman”.

Mundurnya Hatta membuat pihak banyak kalang kabut. Achmad Subardjo yang saat itu jadi Duta Besar di Swiss berkata kepada beberapa orang “Sesungguhnya dulu di tahun 1945 terjadi apa namanya Gentleman Agreement Four, mirip Amerika Serikat pada awal Revolusinya di tahun 1776. Seperti perjanjian antara Washington, Jefferson, Madison dan Franklin untuk bergantian menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, walaupun Franklin tidak menjabat tapi tiga orang menjabat bergiliran. Itulah yang terjadi, nah empat orang yang akan bergiliran jadi Presiden saat itu adalah : Sukarno, Iwa Kusumasumantri, Achmad Soebardjo dan Hatta sendiri. Tapi itu tidak terlaksana toh, malah keluar Testamen Tan Malaka”…..


Sukarno berdiam diri saja, ia sudah tahu arah sejarah akhirnya kelompok Tan Malaka yang menang dan benar melihat keadaan. Kemerdekaan 100% adalah tujuan terbesar bangsa ini, lalu dengan inspirasi dari Tan Malaka, Sukarno menjalankan program-program politiknya tapi siapakah yang bisa menggantikan Hatta? Kelompok PSI mengajukan Subandrio, yang pada akhirnya Bandrio malah merapat ke PKI. Sementara Murba harus menarik Maruto Nitimihardjo dan Sukarni sebagai lobbying ke Pemerintah, karena Maruto dianggap Sukarno selalu melawan, sementara Sukarni setiap ketemu Sukarno selalu berantem. Akhirnya Murba memanggil Chaerul Saleh yang di Jerman Barat untuk mendampingi Sukarno.


Dan pada akhirnya sejarah memberi tahu pada kita, ketika Sukarno dikalahkan saat menjalankan agenda Tan Malaka dengan bahasa-bahasa Sukarno yang ia namakan Trisakti, Berdikari, Pantja Azimat Revolusi, Gesuri, Vivere Pericoloso lalu Gestapu 65 terjadi, Sukarno diinternir di Wisma Yaso, Subandrio diseret ke penjara, Chaerul Saleh kabarnya mati di WC Tahanan Militer dan membuat Sukarni di depan jenasah Chaerul Saleh ngamuk-ngamuk kepada Adam Malik karena tak bisa memberikan pertolongan sama sekali kepada Cherul Saleh.


Lalu kita menyaksikan Indonesia seperti sekarang ini, tidak seperti Bung Hatta yang mengakui bila kebijakannya kalah dan tidak diakui, ia harus gentleman, coba sekarang Sri Mulyani menandantangani keputusan talangan Bank malah dilarikan ke luar negeri, ada juga Budiono yang malah dijadikan Wakil Presiden RI, Kebijakan Negara dijalankan tanpa rasa bersalah.


Negara kaya raya yang terus menerus dibodohi oleh Imperialisme asing. Negara dijual untuk kekayaan para pejabat. Kepada sejarah kita harus banyak belajar untuk masa depan Indonesia…………

1 comment:

Anonymous said...

thanks man... sebagian kepingan sejarah yang saya tahu tentang sejarah sebelumnya tersambung di artikel ini.. baik buruknya MEREKA (BELIAU" PARA PEMIMPIN) tetaplah idola bagi yang mengerti ke idealisannya masing" sang pahlawan..