Sunday 16 October 2011

Sebuah Bangsa Yang Luntur Dalam Ingatan


Negara adalah sebuah imajinasi, begitu kata Ben Anderson ketika menyebutkan sebuah negara bisa terbentuk, sebuah peradaban bersama, sebuah bangunan bersama dan sebuah masyarakat bersama yang diikat oleh mimpi dan kesejarahan yang sama.

Negara dan Pembebasannya adalah sebuah usaha terus menerus terhadap pembelian cita-cita. Mimpi negara ini dibangun lewat estafet pemikiran, lewat pertarungan di kursi-kursi debat bahkan bunuh-bunuhan. Seluruh pendiri bangsa ini bermimpi bagaimana sebuah negara masa depan terbentuk, bila Tan Malaka menyebutkan akan ada sebuah negara bernama Aslia, yang terdiri dari Asia dan Australia untuk menyebutkan ruang lingkup Nusantara, Bung Karno menginginkan seluruh wilayah Asia Tenggara bersatu mengulangi masa kejayaan Majapahit, ataupun Hatta cukup berkata "Seluruh wilayah Hindia Belanda adalah wilayah Indonesia" dalam Komite Persiapan Kemerdekaan di masa Jepang, maka negara sebagai wilayah sebenarnya sudah matang, lalu ketika bicara tentang wilayah kita juga berbicara negara sebagai MODAL. Hasil kerja Sukarno dan kawan-kawan sejak tahun 1920-an menghasilkan sebuah negara dengan modal raksasa yang berdaulat terbesar nomor lima dunia. Dan merupakan negara terkaya di wilayah selatan dari ukuran-ukuran hasil bumi dan kesuburan tanahnya serta luas wilayah pantai dan lautnya.

Amerika tidak mengenal Indonesia sebelum Kahin tiba pada revolusi 1945. AS hanya memandang Indonesia sebagai sebuah wilayah budak bagi orang-orang Nederlands, sebuah wilayah yang tak jelas. Setelah Kahin tiba dan meriset seluruh pergerakan nasional, pemetaaan intelektual dan gerakan-gerakan modern di Indonesia barulah AS, menoleh bahwa negara ini memiliki kekuatan sebagai kantong anti komunis di wilayah selatan. Awalnya AS mendukung Belanda untuk kembali setelah riset Kahin dan informasi Letkol Van Der Post maka AS berbalik mendukung proyek NKRI Sukarno-Hatta lewat ancaman menghentikan untuk membuka dompet Marshall untuk Belanda.

Tapi sejarah Indonesia soal perebutan modal. Sukarno berhasil membangun imajinasi bagi rakyat bangsa baru, bahwa tujuan terbesar manusia Indonesia adalah berbakti pada bangsanya, bekerja untuk bangsanya. Itulah alam skenario yang dibangun Sukarno, manusia Indonesia tidak berpikiran soal uang dan kekayaan tapi tema besar di jaman Sukarno adalah kejayaan bangsa, Indonesia bagi mereka adalah satu-satunya kebanggaan yang akan membawa mereka kepada masa kemakmuran dan penuh dengan kehormatan. Lalu datanglah sebuah tragedi, impian besar tentang negara besar dan kuat, negara yang tidak bergantung dan tidak mengemis-ngemis pada negara lain, hancur oleh politik baru yang dipegang setelah masa Sukarno. Kelompok Militer dibawah Suharto dan klik lingkaran dalamnya membangun Indonesia yang sama sekali baru diatas reruntuhan puing imajinasi Sukarno, Indonesia dengan gagasan nasionalisme dipersempit menjadi sebuah Indonesia tanpa visi tapi kenyang dan nyaman. Mimpi-mimpi besar dihancurkan lalu lahirlah beberapa generasi dangkal yang tidak memahami bagaimana sebuah ke Indonesiaan terbentuk dan kuat.

Setelah Suharto lewat, kondisi semakin parah. Pembentukan Indonesia sebagai Nation, sebagai Negara yang mampu menjadi raksasa bagi peradaban dunia, semakin tidak jelas oleh generasi baru, bahkan bagi mereka tidak jelas apa itu “INDONESIA” yang jelas adalah keluarga. Jadi wajarlah orang tua di hari-hari ini lebih mengkhawatirkan anaknya berdemo demi bangsa karena cemas dengan masa depan anaknya ketimbang orangtua yang mengajak anaknya untuk berkorban buat bangsa.

Penderitaan dan kekerasan bukan hanya dialami orang Aceh atau Papua, tapi orang Jawa jauh lebih menderita, atas nama pergulatan politik 1965 jutaan orang di Jawa dan di Bali harus mati, mayatnya tergeletak di pinggir jalan atau kali. Tapi haruskah Jawa atau Bali juga harus berpisah dengan Indonesia, haruskah mimpi itu jadi hancur, ada mimpi bersama untuk besar sebagai bangsa.

Sebuah bangsa tidak lagi menjadi wacana besar di hari-hari ini, sebuah bangsa besar gagal hidup sebagai tujuan, mimpi-mimpi besar untuk membangun masyarakat yang baru di selatan bumi menjadi redup runtuh oleh iming-iming kekayaan pribadi dan perburuan rente modal asing. Jadi ketika wacana melepaskan Papua dengan alasan kemanusiaan menjadi sambutan hangat bagi mereka yang tidak sadar tentang apa itu konteks bangsa, apa yang terjadi pada pergulatan-pergulatan pembentukan bangsa dan mereka dengan enteng berkata, kaum intelektual-intelektual yang senang hidup mewah itu dan mendapatkan keuntungan atas kapitalisme modal asing, “demi kemanusiaan biarkan Papua dilepas” Lalu dimanakah impian Sukarno kita tempatkan, impian Hatta kita simpan?

Rupanya di hari-hari ini “BANGSA” adalah suatu yang asing bagi kita.

ANTON, 2011.

No comments: