Tanpa Pancasila negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat asas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah dia dikebiri oleh angkatan bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam, disalahgunakan oleh keduanya.
Demikian komentar Gus Dur tentang Pancasila seperti dikutip M. Sastrapratedja, SJ mengawali diskusi pagi yang bertajuk Abdurrahman Wahid Memorial Lecture I. Diskusi yang berlangsung di Aula Sidang PGI di bilangan Salemba pada Selasa pagi (02/02) itu bertema Pemikiran Gus Dur tentang Konsep Negara.
"Roh pemikiran Gus Dur adalah Islam dan Pancasila," terang Direktur Program Pascasarjana STF Driyarkara itu. Dengan memakai bingkai Pancasila, kata Rm Sastrapratedja, pemikiran Gus Dur dapat dibingkai menjadi lima bagian; ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada sila pertama ini Gus Dur, kata Romo Sastrapratedja, dapat ditemukan pada pembacaan Gus Dur terkait hubungan agama dan negara. "Gus Dur sejauh saya baca, menekankan dimensi etis dari agama, bukan dimensi ideologis dan institusional. Agama adalah sesuatu kekuatan moral, bertujuan menjadikan manusia dan masyarakat baik dan lebih baik, bukan untuk membangun kekuasaan," jelasnya. Dalam hal ini, yang diperjuangkan adalah penegakan etika Islam, bukan ideologi Islam untuk negara. Islam, pada aras ini, diposisikan sebagai etika sosial dan bukan sebagai kekuatan politik. Karena itulah, bagi Gus Dur, ideology negara hanya satu, yaitu Pancasila.
Dengan pendapat-pendapat itu, maka Rm Sastrapratedja menyimpulkan bahwa pemikiran Gus Dur soal hubungan agama dan negara dapat diringkas dalam tigal hal. Pertama, dengan mendasarkan ideology negara tidak pada agama, maka terbukalah prluralisme. Karena negara berada di atas semua agama, dalam arti melindungi semua agama dan menjamin kebebasan beragama. Kedua, dengan tidak menekankan aspek ideologis dan institusional, agama tidak berhadapan dengan negara sebagai kekuasaan sehingga agama dan negara tidka perlu diperlawankan. Ketiga, negara dan agama memiliki otonominya masing-masing dan tidak dibenarkan saling mendominasi atau saling memperalat.
Dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab, Gus Dur mengemukakan nilai-nilai universal Islam, yang tercermin dalam lima jaminan dasar yang diberikan agama samawi. Yakni, jaminan dasar akan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum. Implikasi dari jaminan ini adalah adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali sesuai dengan hak masing-masing. Jaminan lainnya adalah jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama-jaminan ini menjadi landasan hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling menghormati.
Jaminan keiga adalah jaminan dasar akan keselamatan keluarga dan keturunan. Pada aras ini, kesucian keluarga harus dilindungi. Keluarga juga tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dan keluarga memiliki "kebebasan untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri dan untuk menguji garis batas kebenaran sebuah keyakinan". Jaminan keempat adalah jaminan dasar akan keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum-jaminan ini merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Jaminan terakhir adalah jaminan dasar atas keselamatan hak milik dan profesi. Jaminan ini merupakan jaminan kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayangi.
Dalam tataran praktis, Gus Dur mewujudkan kemanusiaan ini dlaam tindakan nyata. "(Pendapat ini) nyata dalam pandangan dan perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, pluralisme, dan (sikap) anti kekerasan," terangnya. Dalam sikap ini, kata sang romo, Gus Dur menekankan dimensi etis dan religius.
Sila persatuan Indonesia mengandung makna nasionalisme, tetapi nasionalisme politik, bukan nasionalisme etnik. Terkait nasionalisme ini, Gus Dur dianggap sangat peduli akan kesatuan sebagai bangsa dan menentang setiap gerakan yang menjurus pada sektarianisme dan primordialisme. "Pada tahun 1991, didirikan Forum Demokrasi dan ketuanya adalah Gus Dur. Salah satu kepedulian Forum Demokrasi ini adalah gejala meningkatnya sektarianisme," tambahnya. Dan sila ini juga dibuktikan dengan sikap Gus Dur yang anti diksriminasi terutama terhadap minoritas, anti-primordialisme, dan anti-sektarianisme.
Sila berikutnya dapat dimaknai sebagai demokrasi yang merupakan system politik dan prosedur pelaksanaan system itu sekaligus budaya politik. Gus Dur, yang sering dianggap sebagai bapak demokrasi, berpendapat bahwa demokrasi menyamakan kedudukan semua warga negara di muka-muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin, dan bahasa ibu. Agama, seperti dikutip Romo, memiliki tempat dalam demokrasi asalkan memiliki watak membebaskan. "Agama akan mencapai tata baru yang membebaskan, apabila agama telah sampai pada pencapaian sejumlah nilai dasar universal berupa pelayanan agama kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu secara konkret misalnya dengan penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum, dan kebebasan menyatakan pendapat," rincinya.
Demokrasi, kata Gus Dur, hanya akan berkembang jika memiliki dasar budaya, di mana keberagaman pandangan dan pendapat sebagai sesuatu yang wajar dan diterima. Lalu, demokrasi berkembanga dengan memperkuat masyarakat sipil. Bagaimana dengan pemerintah yang demokratis? Pemerintahan yang demokratis, kata Gus Dur, ciri pokoknya adalah penggunaan cara-cara yang menentang kekerasan.
"Dengan demikian, demokrasi merupakan alternative terhadap fundamentalisme dan membuka pluralitas," Rm. Sastrapratedja menyimpulkan. Demokrasi kemudian tidak menghapus kekuasaan tetapi mengubah kekuasaan menjadi kewenangan yang akuntabel dan dibatasi oleh hukum.
Tentang keadilan, Gus Dur memaknainya dengan empat hal. Pertama, sesuatu yang benar, sikap tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang, dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Kedua, keadilan terkait dengan "kewajiban agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkret dengan sesama warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya". Ketiga, keadilan tidak hanya mencakup lingkup mikro, perorangan, melainkan juga lingkup makro, yaitu kehidupan masyarakat. Keempat, keadilan terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat-keadilan bersifat structural sehingga menuntut transformasi struktural. "Gus Dur menjelaskan makna keadilan (dari) dalam al-Quran," terangnya.
Dengan semua paparan tersebut, Romo Sastrapratedja menyatakan bahwa pemikiran Gus Dur adalah bercorak humanisme, humanisme Islam. Humanisme Islam, menyitir Goodman (2003) merupakan sebuah tema, sebuah kemungkinan, sebuah rangkaian nilai dan makna yang otentik yang ditemukan dalam kekayaan-yang sering ditolak di masa lalu-sebuah agama dan jalan filosofis di mana individu dan komunitas dapat membangunnya di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Namun Romo meyakinkan bahwa dirinya ahli pemikiran beliau, meskipun mengenal pribadi beliau. "Saya dulu menjadi wakil Bakti Sarana di mana Gus Dur menjadi ketuanya," tuturnya tentang perkenalan dirinya dengan Gus Dur. Bakti Sarana adalah lembaga yang didirikan kala itu untuk membangun dialog budaya antar-negara. "Proyeknya" antara lain menerjemahkan buku-buku berbahasa Jepang untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia supaya kebudayaan Jepang lebih dikenal di sini.
Abdurrahman Wahid Memorial Lecture(AWML) I ini akan terus bersambung. AWML II rencananya akan digelar pada awal Maret di kantor KWI dengan menghadirkan Mahfud MD dan Marsilam Simanjutak sebagai nara sumbernya (NN).
No comments:
Post a Comment