Saja berdiri dihadapan saudara-saudara, dan berbitjara kepada saudara-saudara diseluruh tanah-air, bahkan djuga kepada saudara-saudara bangsa Indonesia jang berada diluar tanah-air, untuk bersama-sama dengan saudara-saudara memperingati, merajakan, mengagungkan, mengtjamkan Proklamasi kita jang keramat itu.
Dengan tegas saja katakan "mengtjamkan". Sebab, hari ulang-tahun ke-empatbelas daripada Proklamasi kita itu harus benar-benar membuka halaman baru dalam sedjarah Revolusi kita, halaman baru dalam sedjarah Perdjoangan Nasional kita.
1959 menduduki tempat jang istimewa dalam sedjarah Revolusi kita itu. Tempat jang unik! Ada tahun jang saya namakan "tahun ketentuan", - a year of decision. Ada tahun jang saja sebut "tahun tantangan", - a year of challenge. Istimewa tahun jang lalu saja namakan "tahun tantangan. Tetapi buat tahun 1959 saja akan beri sebutan lain. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita, - sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun- , kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, - Undang-Undang-Dasar Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada djiwa Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun "Rediscovery of our Revolution".
Oleh karena itulah maka tahun 1959 menduduki tempat jang istimewa dalam sedjarah Perdjoangan Nasional kita, satu tempat jang unik!
Seringkali telah saja djelaskan tentang tingkatan-tingkatan Revolusi kita ini.
1945 - 1950. Tingkatan physical Revolution. Dalam tingkatan ini kita merebut dan mempertahankan apa jang kita rebut itu, jaitu kekuasaan, dari tangannja fihak imperialis, kedalam tangan kita sendiri. Kita merebut dan mempertahankan kekuasaan itu dengan segenap tenaga rochaniah dan djasmaniah jang ada pada kita, - dengan apinja kitapunja djiwa dan dengan apinja kitapunya bedil dan meriam. Angkasa Indonesia pada waktu itu adalah laksana angkasa kobong, bumi Indonesia laksana bumi tersiram api. Oleh karena itu maka pada periode 1945 - 1950 adalah periode Revolusi phisik. Periode ini, periode merebut dan mempertahankan kekuasaan, adalah periode Revolusi politik.
1950 - 1955. Tingkatan ini saja namakan tingkatan "survival". Survival artinja tetap hidup, tidak mati. Lima tahun physical revolution tidak membuat kita rebah, lima tahun bertempur, menderita, berkorban-badaniah, lapar, kedjar-kedjaran dengan maut, tidak membuat kita binasa. Badan penuh dengan luka-luka, tetapi kita tetap berdiri. Dan antara 1950 - 1955 kita sembuhkanlah luka-luka itu, kita sulami mana jang bolong, kita tutup mana jang djebol. Dan dalam tahun 1955 kita dapat berkata, bahwa tertebuslah segala penderitaan jang kita alami dalam periode Revolusi phisik.
1956. Mulai dengan tahun ini kita ingin memasuki satu periode baru. Kita ingin memasuki periodenja Revolusi sosial-ekonomis, untuk mentjapai tudjuan terachir daripada Revolusi kita, jaitu satu masjarakat adil dan makmur, "tata-tentrem-kerta-rahard
Tidakkah demikian saudara-saudara? Kita berevolusi, kita berdjoang, kita berkorban, kita berdansa dengan maut, toh bukan hanja untuk menaikkan bendera Sang Merah Putih, bukan hanja untuk melepaskan Sang Garuda Indonesia terbang diangkasa? "Kita bergerak", demikian saja tuliskan dalam risalah "Mentjapai Indonesia Merdeka" hampir tigapuluh tahun jang lalu - : "Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena kita ingin hidup lebih lajak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena "ideaal" sadja, kita bergerak karena ingin tjukup makanan, ingin tjukup pakaian, ingin tjukup tanah, ingin tjukup perumahan, ingin tjukup pendidikan, ingin tjukup minimum seni dan cultuur, - pendek kata kita bergerak kerena ingin perbaikan nasib didalam segala bagian-bagiannja dan tjabang-tjabangnja. Perbaikan nasib ini hanjalah bisa datang seratus procent, bilamana masjarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab stelsel inilah jang sebagai kemladean tumbuh diatas tubuh kita, hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnja masjarakat kita. - Oleh karena itu, maka pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan jang ketjil-ketjilan. - Pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan jang ingin merobah samasekali sifatnya masjarakat"....
Pendek-kata, dari dulu-mula tudjuan kita ialah satu masjarakat jang adil dan makmur.
Masjarakat jang demikian itu tidak djatuh begitu-sadja dari langit, laksana embun diwaktu malam. Masjarakat jang demikian itu harus kita perdjoangkan, masjarakat jang demikian itu harus kita bangun. Sedjak tahun 1956 kita ingin memasuki alam pembangunan. Alam pembangunan Semesta. Dan saudara-saudara telah sering mendengar dari mulut saja, bahwa untuk pembangunan Semesta itu kita harus mengadakan perbekalan-perbekalan dan peralatan-peralatan lebih dahulu, - dalam bahasa asingnya: mengadakan "invesment-invesment" lebih dahulu. Sedjak tahun 1956 mulailah periode invesment. Dan sesudah periode invesment itu selesai, mulailah periode pembangunan besar-besaran. Dan sesudah pembangunan besar-besaran itu, mengalamilah kita Inja-Allah subhanahu wa ta ála alamnja masjarakat adil dan makmur, alamnja masjarakat "murah sandang murah pangan", "subur kang sarwa tinadur, murah kang sarwa tinuku".
Saudara-Saudara! Djika kita menengok kebelakang, maka tampaklah dengan djelas, bahwa dalam tingkatan Revolusi Phisik, segala perbuatan kita dan segala tekad kita mempunjai dasar dan tudjuan jang tegas-djelas buat kita semua: melenjapkan kekuasaan Belanda dari bumi Indonesia, mengenjahkan bendera tiga warna dari bumi Indonesia. Pada satu detik, djam sepuluh pagi, tanggal 17 Agustus, tahun 1945, Proklamasi diutjapkan, - tetapi lima tahun lamanja Djiwa Proklamasi itu tetap berkobar-kobar, tetap berapi-api, tetap murni mendjiwai segenap fikiran dan rasa kita, tetap murni menghikmati segenap tindak-tanduk kita, tetap murni mewahjui segenap keichlasan dan kerelaan kita untuk menderita dan berkorban. Undang-Undang-Dasar 1945, - Undang-Undang-Dasar Proklamasi - , benar-benar ternjata Undang-Undang-Dasar Perdjoangan, benar-benar ternjata satu pelopor daripada alat-Perdjoangan! Dengan Djiwa Proklamasi dan dengan Undang-Undang-Dasar Proklamasi itu, perdjoangan berdjalan pesat, malah perdjoangan berdjalan laksana lawine jang makin lama makin gemuruh dan tá tertahan, menjapu bersih segala penghalang!
Padahal lihat! alat-alat jang berupa perbendaan (materiil) pada waktu itu serba kurang, serba sederhana, serba dibawah minimum! Keuangan tambal-sulam, Angkatan Perang tjompang-tjamping, kekuasaan politik djatuh-bangun, daerah de facto Republik Indonesia kadang-kadang hanja seperti selebar pajung. Tetapi Djiwa Proklamasi dan Undang-Undang-Dasar Proklamasi mengikat dan membakar semangat seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke! Itulah sebabnja kita pada waktu itu achirnja menang. Itulah sebabnja kita pada waktu itu achirnja berhasil pengakuan kedaulatan, - bukan souvereiniteits-overdracht
Demikianlah gilang-gemilangnja periode Revolusi phisik.
Dalam periode jang kemudian, jaitu dalam periode survival, sedjak tahun 1950, maka modal perdjoangan dalam arti perbendaan (materiil) agak lebih besar daripada sebelumnja. Keuangan kita lebih longgar, Angkatan Perang kita tidak tjompang-tjamping lagi; kekuasaan politik kita diakui oleh sebagian besar dunia Internasional; kekuasaan de facto kita melebar sampai daerah dimuka pintu gerbang Irian Barat. Tetapi dalam arti modal-mental, maka modal-perdjoangan kita itu mengalami satu kemunduran. Apa sebab?
Pertama oleh karena djiwa, sesudah berachirnja sesuatu perdjoangan phisik, selalu mengalami satu kekendoran; kedua oleh karena pengakuan kedaulatan itu kita beli dengan berbagai matjam kompromis.
Kompromis, tidak hanja dalam arti penebusan dengan kekajaan materiil, tetapi lebih djahat daripada itu: kompromis dalam arti mengorbankan Djiwa Revolusi, dengan segala akibat daripada itu:
Dengan Belanda, melalui K.M.B., kita mesti mentjairkan Djiwa-revolusi kita; di Indonesia sendiri, kita harus berkompromis dengan golongan-golongan jang non-revolusioner: golongan-golongan blandis, golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif, golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan tjetjunguk-tjetjunguk. Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan djiwa revolusi ini, meninggalkan Undang-Undang-Dasar 1945 sebagai alat perdjoangan.
Saja tidak mentjela K.M.B., sebagai taktik perdjoangan. Saja sendiri dulu mengguratkan apa jang saja "tracée baru" untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Tetapi saja tidak menjetudjui orang jang tidak menjadari adanja bahaja-bahaja penghalang Revolusi jang timbul sebagai akibat daripada kompromis K.M.B. itu. Apalagi orang jang tidak menjadari bahwa K.M.B. adalah satu kompromis! Orang-orang jang demikian itu adalah orang-orang jang pernah saja namakan orang-orang possibilis, orang-orang jang pada hakekatnya tidak dinamis-revolusioner, bahkan maungkin kontra-revolusioner. Orang-orang jang demikian itu sedikitnja adalah orang-orang jang beku, orang-orang jang tidak mengerti maknanja "taktik", orang-orang jang mentjampur-bawurkan taktik dan tudjuan, orang-orang jang djiwanja "mandek".
Orang-orang jang demikian itulah, disamping sebab-sebab lain, meratjuni djiwa bangsa Indonesia sedjak tahun 1950 dengan ratjunnja reformisme. Merekalah jang mendjadi salah satu sebab kemunduran modal mental daripada Revolusi kita sedjak 1950, meskipun dilapangan peralatan materiil kita mengalami sedikit kemadjuan. Kalau tergantung daripada mereka, kita sekarang masih hidup dalam alam K.M.B.! Masih hidup dalam alam Uni Indonesia-Belanda! masih hidup dalam alam suprimasi modal belanda!
Mereka berkata, bahwa kita harus selalu tunduk kepada perdjandjian internasional, sampai lebur-kiamat kita tidak boleh menjimpang daripadanja! Mereka berkata, bahwa kita tidak boleh merobah negara federal ála van Mook, tidak boleh menghapuskan Uni, oleh karena kita telah menandatangani perdjandjian K.M.B. "Setia kepada aksara, setia kepada aksara!, demikianlah wijsheid jang mereka keramatkan. Njatalah mereka sama sekali tdak mengerti apa jang dinamakan Revolusi. Njatalah mereka tidak mengerti bahwa Revolusi djustru mengingkari aksara! Dan, njatalah mereka tidak mengerti , - oleh karena mereka memang tidak ahli revolusi -, bahwa modal pokok bagi tiap-tiap revolusi nasional menentang imperialisme-kolonialisme ialah Kosentrasi Kekuatan Nasional, dan bukan perpetjahan kekuatan nasional. Meskipun kita menjetudjui pemberian autonomi-daerah seluas-luasnja sesuai dengan motto kita Bhineka Tunggal Ika, maka federasi á la van Mook harus kita tidak setiai, harus kita kikis-habis selekas-lekasnja, oleh karena federalisme á la van Mook itu adalah pada hakekatnja alat pemetjah-belah kekuatan nasional. Djahatnja politik pemetjah-belahan ini ternjata sekali sedjak tahun 1950 itu, dan mentjapai klimaksnja dalam pemberontakan P.R.R.I.-Permesta dua tahun jang lalu, dan oleh karenanja harus kita gempur-hantjur habis-habisan, sampai hilang lenjap P.R.R.I.-Permesta itu sama sekali!
Ja, sekali lagi: Persetudjuan internasional tidak berarti satu barang jang langgeng dan abadi. Ia harus memberi kemungkinan untuk setiap waktu menghadapi revisi. Apalagi, djika persetudjuan itu mengandung unsur-unsur jang bertentangan dengan keadilan manusia, - dilapangan politikkah, dilapangan ekonomikah, dilapangan militerkah -, maka wadjib persetudjuan tersebut direvisi pada waktu perimbangan kekuatan berobah. Misalnja pendjadjahan terhadap bangsa lain, meski tadinja ia disetudjui dalam sesuatu perdjandjian internasional sekalipun, ta' dapat diterima sebagai suatu hukum jang mutlak dan abadi, jang harus dibenarkan terus menerus sampai keachir zaman.Tidak!, ia harus ditjela setadjam-tadjamnja, ditentang mati-matian, ditiadakan selekas mungkin. Tidak boleh kita membiarkan langgeng dan abadi sesuatu hukum jang berdasarkan penguasaan silemah oleh sikuat.
Saudara-saudara, saja masih dalam membitjarakan periode survival. Selama kita masih dalam periode survival ini, maka segala kompromis dan reformisme jang saja sebutkan tadi tidak begitu disedari akan akibatnja. Ja, mungkin terasa kadang-kadang, bahwa djalannja pertumbuhan agak serat, tetapi keseratan ini makin lama makin diartikan sebagai satu kekurangan atau tjatjat jang memang melekat pada bangsa Indonesia sendiri, satu kekurangan atau tjatjat jang memang "inhaerent" kepada bangsa Indonesia sendiri, - bukan sebagai akibat daripda sesuatu kompromis, atau akibat sesuatu reformisme, atau akibat sesuatu possibilisme, pendek kata bukan sebagai akibat pengorbanan djiwa Revolusi. Segala kematjetan dan keseratan di "verklaar" dengan kata "memang kita ini belum tjukup matang, memang kita ini masih sedikit Inlander", Sinisme lantas timbul! Kepertjajaan kepada kemampuan bangsa sendiri gojang. Djiwa Inlander jang memandang rendah kepada bangsa sendiri dan memandang agung kepada bangsa asing muntjul disana-sini terutama sekali dikalangan kaum intelektuil. Padahal semuanja sebenarnja adalah abibat daripada kompromis!
Masuk kita kedalam periode invesment. Didalam periode inilah, - periode voorbeidingnja revolusi sosial-ekonomi - , makin tampaklah akibat-akibat djelek daripada kompromis 1949 itu. Terasalah oleh seluruh masjarakat - ketjuali masjarakatnja orang-orang pemakan nangka tanpa terkena getahnja nangka, masjarakatnja orang-orang jang "arrivés" , masjarakatnja sipemimpin mobil sedan dan sipemimpin penggaruk lisensi -, terasalah oleh seluruh rakjat bahwa djiwa, dasar, dan tudjuan Revolusi jang kita mulai dalam tahun 1945 itu kini dihinggapi oleh penjakit -penjakit dan dualisme-dualisme jang berbahaja sekali.
Dimana djiwa Revolusi itu sekarang? Djiwa Revolusi sudah mendjadi hampir padam, sudah mendjadi dingin ta'ada apinja. Dimana Dasar Revolusi itu sekarang? Dasar Revolusi itu sekarang tidak karuan mana letaknja, oleh karena masing-masing partai menaruhkan dasarnja sendiri, sehingga dasar Pantja Sila pun sudah ada jang meninggalkannja. Diaman tdjuan revolusi itu sekarang? Tudjuan Revolusi, - jaitu masyarakat jang adil dan makmur -, kini oleh orang-orang jang bukan putra-revolusi diganti dengan politik liberal dan ekonomi liberal. Diganti dengan politik liberal, dimana suara rakjat banyak dieksploitir, ditjatut, dikorup oleh berbagai golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan menggaruk kekajaan hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakjat.
Segala penjakit dan dualisme itu tampak menondjol terang djelas dalam periode invesment itu! Terutama sekali penjakit dan dualisme empat rupa jang sudah saja sinjalir beberapa kali: dualisme antara pemerintah dan pimpinan Revolusi; dualisme dalam outlook kemasjarakatan: masjarakat adil dan makmurkah, atau masjarakat kapitaliskah? dualisme "Revolusi sudah selesaikah" atau "Revolusi belum selesaikah"? dualisme dalam demokrasi, - demokrasi untuk rakjatkah, atau Rakjat untuk demokrasikah?
Dan sebagai saja katakan, segala kegagalan-kegagalan, segala keseratan-keseratan, segala kematjetan-kematjetan dalam usaha-usaha kita jang kita alami dalam periode survival dan invesment itu, tidak semata-mata desebabkan oleh kekurangan-kekurangan atau ketololan-ketololan jang inhaerent melekat kepada bangsa Indonesia sendiri, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang bangsa jang tolol, atau bangsa jang bodoh, atau bangsa jang tidak mampu apa-apa, - tidak! - , segala kegagalan, keseratan, kematjetan itu pada pokoknja adalah disebabkan oleh karena kita, sengadja atau tidak sengadja, sedar atau tidak sedar, telah menjeléwéng dari Djiwa, dari Dasar, dan dari Tudjuan Revolusi!
Kita telah mendjalankan kompromis, dan kompromis itu telah menggerogoti kitapunja Djiwa sendiri!
Insjafilah hal ini, sebab, itulah langkah pertama untuk menjehatkan perdjoangan kita ini.
Dan kalau kita sudah insjaf, marilah kita, sebagai sudah saja andjurkan, memikirkan mentjari djalan-keluar, memikirkan mentjari way-out, - think and re-think, make and re-make, , shape and re-shape. Buanglah apa jang salah, bentuklah apa jang harus dibentuk! Beranilah membongkar segala alat-alat jang tá tepat, - alat-alat maretiil dan alat-alat mental -. beranilah membangun alat-alat jang baru untuk meneruskan perdjoangan diatas rel Revolusi. Beranilah mengadakan "retooling for the future". Pendek kata, beranilah meninggalkan alam perdjoangan setjara sekarang, dan beranilah kembali samasekali kepada Djiwa Revolusi 1945
No comments:
Post a Comment