Banyak orang mengira termasuk hampir semua sejarawan bahwa mundurnya Hatta di tahun 1956 adalah ketidakcocokannya dengan Bung Karno. Tapi sebenarnya tidak, Hatta tidak pernah memusuhi secara serius Sukarno, Hatta sama sekali tidak ada masalah pada tahun 1956 dengan Sukarno atau keputusan-keputusan politik besar. Pembubaran Konstituante justru dilakukan setelah Hatta mundur, pemberontakan-pemberontakan di daerah tidak ada hubungannya dengan Bung Hatta, bahkan setelah tahun 1956 beberapa pemberontakan daerah awalnya adalah mosi tidak percaya kepada Djakarta karena dikira Djakarta menyingkirkan Hatta, padahal tidak.
Dalam beberapa titik penting sejarah di masa lalu, Sukarno amat pasif dalam melakukan keputusan-keputusan politik, Sukarno. Hampir semua keputusan ditangani Hatta. Keputusan yang terkenal adalah Maklumat X 1945 soal liberalisasi pembentukan partai-partai politik. Dalam soal itu Sukarno kerap mengeluh ia dilangkahi Hatta. Dalam revolusi Sukarno ingin adanya Partai tunggal, tapi setelah fait accompli Hatta, partai menjadi terlalu banyak dan kerap menimbulkan friksi politik besar, puncaknya adalah perang Solo yang berakhir pada geger Madiun 1948.
Akhir Tahun 1948, Belanda menerjunkan puluhan ribu tentara mereka serentak ke kota-kota penting di
Saat itu Tan Malaka sudah berhitung, “Kekuatan Belanda tinggal sedikit lagi, saya tahu benar watak orang Belanda. Dia tidak akan melakukan kekuatan besar-besaran bila tidak putus asa. Saya perkirakan perang paling lama akan berlangsung selama 2 tahun lagi, sementara Amerika Serikat dan Sovjet Uni masih pusing soal Eropa setelah selesainya Hitler dibunuh”
Belanda berlagak gagah dimana-mana, tank-tank
Di tahun 1945 ada perbedaan antara Pemuda-Pemuda Djakarta dengan Djawa Tengah dan Djawa Timur. Pemuda-pemuda Djawa Tengah dan Timur memutuskan tidak mau berunding dengan pihak Djepang soal merebut gudang senjata, mereka langsung perang dan rakyat mengepung gudang. Senjata-senjata banyak didapatkan, bahkan di
Begitu juga dengan pemikiran memperpendek perang revolusi 1945. Tan Malaka berpikir apabila perang diperpendek dengan perundingan maka yang terjadi adalah ‘Revolusi melahirkan bangsa yang lembek’. Tan Malaka ingin dilakukan perang total karena dengan hanya perang total-lah “Semua royan-royan revolusi bisa melahirkan rasa persatuan yang amat kuat diantara rakyat
Tapi kabar di Yogya begitu menyakitkan hati Tan Malaka.
Generaal Sudirman, adalah pengikut Tan Malaka yang paling setia. Ia orang yang paling mendukung program-program Tan Malaka. Saat pertempuran di Solo terjadi, Sudirman menunggu apa kata Tan Malaka. Saat rapat Persatuan Perjuangan, Sudirman-lah yang membuka pidato rapat, lalu ketika Tan Malaka meneriakkan “Merdeka 100%” maka Sudirman berdiri dan bertepuk tangan seraya bersumpah akan memerdekakan Indonesia, total…setotal-totalnya.
Sukarno sendiri saat itu sudah terjebak pada sistem pemerintahannya yang ia bentuk. Bila ia ke hutan, maka ia akan berhitung ‘siapa yang pegang komando’ bisa saja nanti kelompok Tan Malaka yang bisa drive dirinya. Sukarno selama perang revolusi menyerahkan keputusan ke Hatta, dan Hatta selamanya satu napas dengan Sjahrir lalu terjadilah keputusan yang paling amat dibenci Tan Malaka “Berunding dengan Belanda”
Perundingan KMB di Den Haag akhir tahun 1949, merupakan penghinaan bagi kelompok Tan Malaka. Di Koran-koran terjadi eforia KMB, rakyat seakan-akan gembira menerima keputusan perundingan, dikiranya KMB adalah kemenangan Republik, dikiranya KMB adalah berhasilnya perang. KMB justru adalah ‘Pertanda Indonesia Kalah Perang’ karena dimanapun dalam hukum perang Internasional ‘pihak yang kalah perang harus membayar ganti rugi akibat peperangan’ seperti Jerman yang kalah perang pada Perang Dunia Pertama, membayar dengan ‘Klausa Perjanjian Versailles’ dan Jepang yang kalah perang dengan Amerika Serikat harus menerima pendudukan pasukan Amerika Serikat di Jepang juga Jepang dilarang memiliki pasukan militernya sendiri.
Setelah terjadi perundingan, Sudirman menolak turun gunung. “Kalau saya turun gunung berarti saya gembira akan kekalahan pasukan TNI”. Generaal Sudirman menolak turun gunung karena ia tahu, perundingan berarti kalah perang. Selama ini banyak di buku sejarah, seakan-akan Sudirman menolak turun gunung karena marah pada Sukarno, padahal bukan. Orang-orang di masa lalu tidak dangkal hatinya, mereka tidak peduli dengan konflik personal. Generaal Sudirman menolak turun gunung karena alasan prinsipil, ia tidak mau kalah perang. “Tapi pada akhirnya” persatuan diatas segala-galanya, pertaruhannya kalau Sudirman menolak turun gunung makan yang akan terjadi adalah perang saudara. Setiap orang tahu pada saat itu, Sukarno yang selalu jadi kartu pegangan orang
Beberapa kelompok pasukan Tan Malaka menolak turun gunung, yang paling terkenal adalah Chaerul Saleh. Chaerul ini yang pegang pasukan Bambu Runtjing. Ia terus melawan tentara resmi dan menolak perundingan, pasukan Chaerul Saleh menyerang pos-pos militer TNI di Sukabumi dan wilayah lain di Djawa Barat sebagai aksi bentuk penolakannya terhadap KMB. Bahkan sampai pada tahun 1952 pasukan Chaerul Saleh terus bertempur dengan pihak militer. Inilah yang membuat Nasution marah.
Kebenaran kelompok Tan Malaka akhirnya terbukti pada tahun 1950-an ke atas. Di Vietnam, mereka menolak kalah dari Perancis dan melakukan perang total, di tahun 1952 Perancis angkat kaki dari Vietnam dengan menyisakan ratusan ribu serdadu berkalang tanah di Vietnam. Lalu Amerika Serikat datang dan merebut Vietnam dua puluh tiga tahun kemudian 1975, Amerika Serikat hengkang dari Vietnam dengan rasa malu, tentaranya berlarian ke helikopter seperti tentara pengecut menyelamatkan diri saat pasukan Ho Chi Minh masuk ke kota Saigon. Begitu juga dengan pasukan Mao yang berhasil menghantam kelompok Kuo Min Tang sampai ke
Inilah yang dimaui Tan Malaka, fase pertama dalam pembentukan Negara atau bangsa yang terjajah adalah perang total. Dalam perang total akan terjadi situasi baru, pemahaman-pemahaman baru, alam sadar baru, dan yang terpenting arah sejarah menjadi lebih jelas tidak lembek.
Terbukti benar di tahun 1950-an perang
Perjuangan menyusun Mosi tidak percaya ini bukan soal mudah. Kelompok Partai Murba yang dipimpin Maruto Nitimihardjo harus berkelahi kesana kemari untuk meyakinkan mosi tidak percayanya. Untuk memulai mosi ini Maruto mendatangi Hatta lalu Maruto bicara “Masih kurang saja Belanda mengambil dari kita”. Seraya berkata pasrah Hatta berkata “Karena saya yang menandatangani perjanjian KMB itu, saya persilahkan saudara Maruto untuk melanjutkan apa maunya, saya siap menerima segala konsekuensinya”.
Hampir
Melihat perkembangan mosi itu Hatta secara gentlemen berkata “Saya akan mundur” Saat itu Maruto mendatangi Hatta di kantornya di Merdeka Selatan. Hatta lama memandangi wajah Maruto, dan ia mengeluarkan air mata lalu memeluk Maruto. Setelah pertemuan itu datanglah
Mundurnya Hatta membuat pihak banyak kalang kabut. Achmad Subardjo yang saat itu jadi Duta Besar di Swiss berkata kepada beberapa orang “Sesungguhnya dulu di tahun 1945 terjadi apa namanya Gentleman Agreement Four, mirip Amerika Serikat pada awal Revolusinya di tahun 1776. Seperti perjanjian antara
Sukarno berdiam diri saja, ia sudah tahu arah sejarah akhirnya kelompok Tan Malaka yang menang dan benar melihat keadaan. Kemerdekaan 100% adalah tujuan terbesar bangsa ini, lalu dengan inspirasi dari Tan Malaka, Sukarno menjalankan program-program politiknya tapi siapakah yang bisa menggantikan Hatta? Kelompok PSI mengajukan Subandrio, yang pada akhirnya Bandrio malah merapat ke PKI. Sementara Murba harus menarik Maruto Nitimihardjo dan Sukarni sebagai lobbying ke Pemerintah, karena Maruto dianggap Sukarno selalu melawan, sementara Sukarni setiap ketemu Sukarno selalu berantem. Akhirnya Murba memanggil Chaerul Saleh yang di Jerman Barat untuk mendampingi Sukarno.
Dan pada akhirnya sejarah memberi tahu pada kita, ketika Sukarno dikalahkan saat menjalankan agenda Tan Malaka dengan bahasa-bahasa Sukarno yang ia namakan Trisakti, Berdikari, Pantja Azimat Revolusi, Gesuri, Vivere Pericoloso lalu Gestapu 65 terjadi, Sukarno diinternir di Wisma Yaso, Subandrio diseret ke penjara, Chaerul Saleh kabarnya mati di WC Tahanan Militer dan membuat Sukarni di depan jenasah Chaerul Saleh ngamuk-ngamuk kepada Adam Malik karena tak bisa memberikan pertolongan sama sekali kepada Cherul Saleh.
Lalu kita menyaksikan Indonesia seperti sekarang ini, tidak seperti Bung Hatta yang mengakui bila kebijakannya kalah dan tidak diakui, ia harus gentleman, coba sekarang Sri Mulyani menandantangani keputusan talangan Bank malah dilarikan ke luar negeri, ada juga Budiono yang malah dijadikan Wakil Presiden RI, Kebijakan Negara dijalankan tanpa rasa bersalah.
Negara kaya raya yang terus menerus dibodohi oleh Imperialisme asing. Negara dijual untuk kekayaan para pejabat. Kepada sejarah kita harus banyak belajar untuk masa depan