Hubungan Kekuasaan antara Jawa dan Indonesia.
Hari-hari ini kita menyaksikan silap lidah SBY terhadap Yogyakarta yang kemudian malah diperkuat oleh sikap leda lede (plin plan) SBY terhadap klarifikasi pernyataan 26 November 2010. Reaksi SBY ditanggapi sangat keras dan mengundang pertanyaan "Ada apakah sebenarnya hubungan filosofis kekuasaan antara Jawa dan Indonesia?"
Sejarah kekuasaan kita menunjukkan bahwa pemenang politik di Indonesia adalah mereka yang memahami bagaimana kekuasaan Jawa bekerja. Sukarno dan Suharto adalah contoh paling baik orang yang memahami cara pikir orang Jawa dan memanfaatkannya untuk membangun kekuasaan. Pada saat hampir semua intelektual Indonesia mengagumi teori-teori asing dari mulai Karl Marx, Fabian, Keynes sampai teori Mao maka Sukarno dan Suharto justru memenangi sejarah dengan menguasai teori Jawa.
Begitu juga dengan generasi muda saat ini mereka begitu kagum dengan Neoliberalisme Amerika Serikat, kagum dengan Sosialisme Hugo Chavez, Islamnya Ahmadinejad atau kagum dengan pembangunan raksasa Cina. Tapi mereka sedikitpun tidak ingin mempelajari secara detil struktur Jawa dalam mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang Indonesia maka mereka tidak paham bagaimana bekerjanya sejarah di negeri ini. Dan yang lebih luar biasa lagi Susilo Bambang Yudhoyono orang nomor satu di negeri ini yang lahir dari wilayah kultur Mataraman malah menyabet dengan lidahnya perasaan orang Jawa sampai-sampai saat ini ia mengalami delegitimasi politik setidaknya di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berbasis budaya Mataraman.
Yang paling kita ingat tentang kekuasaan Jawa bagi masyarakat publik sesungguhnya justru dari film rekayasa Orde Baru. G 30 S/PKI saat DN Aidit yang diperankan Sju'bah Asa mengucapkan "Jawa adalah kunci". Disinilah kesadaran awal tentang kekuasaan terbentuk, atau ketika Hatta berucap pada Deliar Noer pada tahun 1959 "Sedikit lagi kekuasaan Sukarno akan jatuh" tapi Deliar Noer menjawab dalam hati "Hatta tidak mengerti bagaimana kekuasaan Jawa" ternyata Deliar benar Sukarno malah terus berkuasa dengan demokrasi terpimpinnya dan justru dijatuhkan bukan oleh orang yang berpendidikan barat, oleh orang yang poliglot dan mampu memahami teori-teori penting barat tapi dari orang yang berpikiran sederhana, bermimpi dan berpikir dalam bahasa Jawa dan orang yang sama sekali tidak pernah membaca buku dialah Suharto.
Bagaimana sejarah bisa menjelaskan hal ini? Kekuasaan Jawa dibentuk oleh dua hal : yang rasional dan irasional. Rasionalitasnya terletak pada komitmen atau perjanjian suksesi sementara irasionalitasnya terletak pada sakralitas. Sukarno menggunakan komitmen yaitu : Kontrak 17 Agustus dan dia menjadi kekuasaan sedemikian sakral lengkap dengan pencitraan yang luar biasa berhasil dari cara berpakaian sampai berpidato bak dalang nomor satu. Sementara Suharto melakukan kontrak komitmennya diletakkan pada Triumvirat 1966 dan sakralitasnya diletakkan bagaimana cara dia menjalankan kekuasaan dengan idiom-idiom Jawa yang justru sangat efektif dalam menjalankan apa kemauannya. Lalu konfigurasi Jawa yang digunakan Sukarno dan Suharto tidak dipelajari oleh Presiden-Presiden setelah Suharto. Seperti Habibie yang terlalu one man show, kebanyakan bicara dan tidak menjadikan kekuasaannya sakral, Gus Dur yang gagal memisahkan formalitas dan informal, terlalu banyak bercanda dan tidak menjadikan kekuasaan berjarak dengan masyarakat banyak yang menjadikan struktur kekuasaan bersifat acak, lalu Megawati yang tidak menjadikan dirinya berkesan di orang banyak sebagai "Orang Bijak" ia mematutkan wajahnya seperti pemimpin mutung dan yang terparah adalah Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak memanfaatkan posisi Sri Sultan dan ini merupakan anomali paling parah sepanjang sejarah kekuasaan di Indonesia, karena Sukarno di tahun 1945 bisa mendapatkan legitimasi politiknya di Jawa karena Sultan sementara Suharto bisa berani lawan Bung Karno karena Sultan masuk formasi Triumvirat. SBY malah mendelegitimasikan kemenangannya di Jawa berhadapan dengan kekuasaan Jawa sesungguhnya.
Kekuasaan itu tidak harus dilihat semata-mata sebagai bentuk imajinasi seperti yang dikatakan Ben Anderson. Kekuasaan itu diletakkan pada kekuatan batin, kenyamanan terhadap kedudukan pemimpinnya dan nilai-nilai abstraksi yang tidak bisa digambarkan dari sudut rasionalitas. Indonesia dilandasi oleh sikap batin orang Jawa, inilah kenapa orang Jawa mengalah tidak mau menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa Nasional, orang Jawa jarang terlihat berkonflik dengan suku manapun di Indonesia dan Orang Jawa cenderung disukai bila merantau dan berdiam di satu tempat. Karena pada dasarnya orang Jawa itu menyukai keseimbangan, ia ibarat air dan selalu mengikuti arus tapi ada satu nilai-nilai Jawa yang paling fundamental dan tidak boleh dirusak : Harmoni.
Orang Jawa melihat harmoni adalah kekuasaan tertinggi dalam dunia pikirannya dan caranya bertindak. Harmoni ini juga yang melandasi berdirinya negara Indonesia. Dan ucapan SBY pada 26 November 2010 merupakan serangan serius terhadap landasan harmoni. Sebuah landasan paling dasar berdirinya Indonesia.
ANTON
2 comments:
Karena itulah dari zaman kolonial s/d sekarang INA tdk maju2.Budaya Jawa bergaung tapi tdk membumi di Nusantara.Majapahit mengelegar dlm narasi tp tdk berjejak dlm kenyataan ( hanya seputaran Jateng & Jatim ).Bandingkan pengaruh Pagarruyung, tidak meledak2 tapi pengaruhnya luas s/d negeri9, Brunai, pilipina, sulawesih.Begitu juga bahasa Jawa.Makanya jika rakyat RI masih banyak berfilosofi Jawa, RI tak akan pernah maju.
kalau masih berbicara ke suku an,, kapan kita memahami pancasila dan memajukan indonesia,,
Post a Comment