Pada saat-saat perundingan Konferensi Medja Bundar (KMB) bulan Desember 1949 terjadi perdebatan yang alot di pihak Belanda. Ratu Belanda dan staf royalis tidak menginginkan Sukarno sebagai orang penting dalam perjanjian. Sementara pihak Indonesia menginginkan Sukarno sebagai pihak yang menyelesaikan semua konflik. Walaupun memang pada awalnya Sukarno sendiri sepakat dan menjauhi perundingan-perundingan dengan Belanda karena pihak Belanda menyatakan Sukarno adalah harga mati permusuhan karena dinilai terlibat dalam pemerintahan pendudukan militer Jepang dan menggelorakan semangat permusuhan anti Belanda dan kaum kulit putih tapi pada kenyataannya rakyat Indonesia hanya mau menerima Sukarno sebagai satu-satunya figur yang bertanggung jawab terhadap nasib bangsanya.
Inilah yang membuat pusing Hatta. Sementara perjanjian harus dilakukan di dua tempat pertama di Den Haag dan kedua harus di Djakarta. Ini untuk menghindari adanya persepsi perjanjian hanya dilakukan kepada Keradjaan Belanda dan tidak melibatkan eks Hindia Belanda yang diwakili oleh Menteri Seberang Lautan dan Letnan Gubernur Djenderal. Ternyata hanya ada satu figur yang bisa diterima bangsa Indonesia diluar Sukarno dan Hatta, yaitu : Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara pihak Belanda juga hanya percaya pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai orang yang menepati janji hasil-hasil perundingan KMB dan penyelesaian perang. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dijadikan sumber dari segala sumber garansi personal atas Pengakuan Kedaulatan Republik Indoneesia sekaligus tokoh utama dalam penghentian perang.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Sri Sultan dihadapan Menteri Seberang Lautan, AJ Lovink dan Pemimpin pemerintahan pendudukan Belanda di Indonesia, Dr. Beel menandatangani surat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia sekaligus penghentian perang. Tanda tangan ini juga menandai Indonesia masuk ke dalam jaman baru yang damai dan lepas dari pendudukan pasukan asing.
Perjanjian ini juga merupakan hari pertama penurunan Belanda di Istana Gambir dan menaikkan Bendera Indonesia di depan Istana. Sri Sultan sendiri yang menerima kunci Istana Gambir sekaligus menandai kekuasaan penuh Republik Indonesia terhadap lambang-lambang negara di seluruh wilayah Indonesia.
Inilah yang membuat pusing Hatta. Sementara perjanjian harus dilakukan di dua tempat pertama di Den Haag dan kedua harus di Djakarta. Ini untuk menghindari adanya persepsi perjanjian hanya dilakukan kepada Keradjaan Belanda dan tidak melibatkan eks Hindia Belanda yang diwakili oleh Menteri Seberang Lautan dan Letnan Gubernur Djenderal. Ternyata hanya ada satu figur yang bisa diterima bangsa Indonesia diluar Sukarno dan Hatta, yaitu : Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara pihak Belanda juga hanya percaya pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai orang yang menepati janji hasil-hasil perundingan KMB dan penyelesaian perang. Sri Sultan Hamengkubuwono IX dijadikan sumber dari segala sumber garansi personal atas Pengakuan Kedaulatan Republik Indoneesia sekaligus tokoh utama dalam penghentian perang.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Sri Sultan dihadapan Menteri Seberang Lautan, AJ Lovink dan Pemimpin pemerintahan pendudukan Belanda di Indonesia, Dr. Beel menandatangani surat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia sekaligus penghentian perang. Tanda tangan ini juga menandai Indonesia masuk ke dalam jaman baru yang damai dan lepas dari pendudukan pasukan asing.
Perjanjian ini juga merupakan hari pertama penurunan Belanda di Istana Gambir dan menaikkan Bendera Indonesia di depan Istana. Sri Sultan sendiri yang menerima kunci Istana Gambir sekaligus menandai kekuasaan penuh Republik Indonesia terhadap lambang-lambang negara di seluruh wilayah Indonesia.
No comments:
Post a Comment