Sukarno di mata Sihanouk
Dalam sebuah buku kecil bernama Sihanouk Reminisce, Pangeran Norodom Sihanouk mengungkap persahabatannya dengan 13 kepala negara dari seluruh penjuru dunia. Dengan blak-blakan ia mengenang pertemuan, persahabatan, dan kadang menyentil sahabat-sahabatnya itu. Berikut ini sosok Sukarno, Mao Zedong, dan Ceausescu di mata Sihanouk. Kemudian dikunci dengan wajah Sihanouk sendiri yang 45 tahun menjadi negarawan, tulisan Bernard Krisber.
SAYA berjumpa Sukarno pertama kali dalam pertemuan bersejarah Konperensi Asia-Afrika di Bandung, April 1955. Waktu itu saya kurang fasih berbahasa Inggris. Sebab, saya memilih belajar bahasa Latin dan Yunani daripada bahasa-bahasa modern, di sekolah menengah Prancis di Saigon. Saya bercita-cita menjadi guru besar kebudayaan Prancis, Latin, dan Yunani. Untunglah, Sukarno ahli bahasa yang jempolan. Bukan hanya bahasa Belanda dan tentu saja Indonesia -- termasuk bahasa Bali, tapi Sukarno juga fasih berbahasa Prancis dan Pali, bahasa suci India kuno yang tetap digunakan oleh biarawan Budha, termasuk di antara sesama biarawan Khmer kami. Inggrisnya juga bagus.
Karena itu, kami dengan cepat bisa berkomunikasi, sejak pertemuan pertama itu, tanpa perlu penerjemah bahasa Prancis. Sukarno lebih suka mengeja namanya dengan "Su" daripada "Soe" (ini panggilan dari orang-orang Belanda). Jadi, bisa diucapkan "Su" juga dalam bahasa Prancis. Meski begitu, ia tetap memakai "Soekarno", dengan selalu mengingatkan cara menyebut namanya. Kalau kamu kenal Sukarno, tidak bisa tidak kamu akan menyukai dia. Begitu juga 140 juta rakyat Indonesia, yang sampai kejatuhannya, memuja dia sebagai seorang bapak. Dia seorang pembicara berbakat. Kalau itu dilakukan dalam bahasa tanah airnya, ia mampu menyalakan semangat massa. Dan dengan bahasa Inggris siapa pun pendengarnya akan terpikat dan terpesona. Kata-katanya bermagnet dan kerap dibumbui kutipan kalimat tokoh-tokoh dalam sejarah. Sukarno mengucapkan langsung dalam bahasa aslinya, umpamanya "l'exploitation de l'homme par l'homme". Saya sendiri, benar-benar, mendengar dengan tekun setiap kata-katanya.
Sukarno seorang yang tahu estetika dan dendi. Ia suka mengenakan pakaian seragam Komando Tertinggi Angkatan Bersenjata. Untuk menghindari ejekan kalau memasang semua bintang penghargaan, ia menyederhanakan dekorasi dadanya dalam satu papan. Dan menyempurnakan penampilannya, ia menyembunyikan rambutnya yang tipis di balik pici walau ia harus menderita kepanasan karena itu. Sukarno menggandrungi Kamboja dan mengunjungi kami lima kali dalam enam tahun antara 1959 dan 1965 -- kunjungan terbanyak dibanding pemimpin bangsa lainnya. Sebaliknya, saya dan istri saya, Monique, membalas tiap kunjungannya, dan yang pertama konperensi AA itu. Sukarno benar-benar seorang pahlawan dalam perjuangan anti penjajahan, tapi begitu ia menjadi pemimpin negara ia mulai memimpin dengan gaya "Pasha" -- atau lebih cocok dianalogikan dengan seorang raja Jawa kuno di masa jaya. Tidak ada yang lebih gembira dengan gaya hidupnya selain rakyatnya, yang mengagumi dia, dan saya sendiri tidak kaget dengan sikapnya yang seperti raja. Yah, meskipun saya senang berada di antara rakyat Khmer, saya juga tak mengelakkan bahwa saya punya darah raja. Yang paling disukai Sukarno adalah Phnom Penh, Angkor, dan Sihanoukville.
Saya sering mendengar ia menanyakan kepada anggota partainya, mengapa mereka tidak membuat Jakarta sebersih dan seindah Phnom Penh. Tentu saja, ibu kota kami lebih kecil, lebih mudah diatur. Untuk mengawalnya ke mana-mana kami memilihkan guru-guru sekolah yang paling menarik dari semua daerah. Tetapi reputasinya, sebagai playhoy, kurang nampak, paling tidak selama kunjungannya ke Kamboja. Yang tampak, Don Juan ini sebagai gentleman sejati yang tidak pernah mencoba menaklukkan terang-terangan salah satu di antara gadis-gadis kami -- secantik apa pun. Monique diam-diam terpesona pada Sukarno, seperti halnya terhadap Nikita Khruschchev. Itu ternyata menyalakan api dalam hati Sukarno yang gampang terbakar. Ini secara tidak langsung menyebabkan kami akrab. Ternyata, ia juga sering mengatakan bahwa satu-satunya wanita yang pantas dikaguminya adalah istri saya Monique. Tapi kesetiaannya pada persahabatan adalah pencegah setiap godaan dalam soal ini. Tak urung juga reputasinya dalam soal perempuan membuat orang bertanya, "Kenapa Sukarno sering betul ke Kamboja?" Saya percaya jawaban yang sederhana: Sukarno adalah orang yang menghargai persahabatan murni. Ia boleh jadi punya teman-teman pasangan orang ternama seperti suami istri Nasser, Tito, Ho Chi Minh, Zhou Enlai, Mao Zedong, dan Raja-Ratu amat cantik Sirikit. Tapi dalam diri saya dan Monique, ia menemukan lebih dari sekadar teman biasa. Ia menemukan seorang abang dan adik. Di Istana Kerajaan di Phnom Penh, ia dikelilingi oleh banyak wanita Indonesia, baik anggota rombongannya maupun staf kedutaan. Mereka bersama wanita Kamboja pilihan menyiapkan hidangan Indonesia kesukaannya. Bersama kami, ia merasa seperti di rumah. Ia bebas mencopot jaketnya, membiarkan kancing bajunya terbuka, telanjang kaki, mendinginkan tubuh dengan kipas angin -- ia benci AC, dan menikmati pijatan wanita Kamboja dan Indonesia yang hormat dan perhatian padanya. Kawan-kawan Arab, Eropa, atau komunis Cinanya tidak bisa menandingi ini. Meskipun saya kawannya, saya harus mengakui bahwa ia punya kesalahan.
Saya yakin ia, kalau masih hidup, akan menyadarinya kini. Yaitu, khususnya, ketidakmampuannya membangun bangsa dan ekonominya setelah memainkan peran penting dalam mempertahankan kemerdekaan. Pengganti Sukarno, Presiden Soeharto, dapat mencapai pembangunan fisik dengan lebih jauh. Uniknya, Presiden Soeharto menyadari bahwa rakyatnya memiliki cinta yang dalam terhadap tokoh karismatik Sukarno. Soeharto, baru-baru ini, memberikan penghargaan pada Sukarno atas perannya dalam sejarah bangsa. Tumbangnya Sukarno pada 1966 tidak mengurangi kesetiaan di kalangan rakyat pada si Bung, sebagaimana juga kecintaan mereka -- seperti yang saya rasakan. Dengan menganggap saya teman dekat dan benar-benar saudara, ia mengungkapkan rahasia perkawinannya yang ruwet. Tahun 1955, saya mendapat kehormatan untuk bertemu istri pertamanya, Nyonya Fatmawati, tokoh penting dalam perjuangan memerdekakan bangsa. Wanita yang dicintai dan dihormati oleh banyak orang Indonesia. Ia wanita cantik, terhormat, dan bermartabat. Sayangnya, pertemuan singkat pertama ini hanya satu-satunya perjumpaan kami. Sukarno punya empat istri. Hartini, istri keduanya yang cantik dan menyenangkan. Dewi, istri Jepangnya yang pintar, yang dipetik pengusaha Jepang dari Copacabana Tokyo untuk Sukarno. Dan Haryati, yang daya tariknya tak saya lupakan.
Pada 1967, Sukarno mengalami saat sulit. Ia menjalani tahanan rumah setelah digulingkan tentaranya. Dewi meninggalkannya, kembali ke Jepang. Dalam keadaan itu, setidaknya, menurut laporan pers, Sukarno tetap mempertahankan reputasi asmaranya. Ia kawin dengan anak sekolah yang cantik, umurnya baru 16, hanya beberapa saat sebelum mengembuskan napas terakhir.
Sukarno dan saya punya selera yang sama dalam hal musik, nyanyian, dongeng, dan kerajinan. Bersama Hartini, ia mengawal saya dan Monique ke berbagai kawasan Nusantara. Kami melakukan perjalanan bersama dengan pesawat udara, kapal, dan mobil ke Bogor, Yogyakarta, Surabaya, dan pulau-pulau menarik dari Sumatera ke Bali. Saya ingat suatu ketika di pesawat, angin kencang bertiup diiringi kilat dan geledek. Hartini mabuk udara. Saya mendekati dan menyarankan untuk memanggil dokter pribadi yang ikut bersama kami. Tapi, Hartini menjawab -- dengan suara yang cukup keras untuk didengar Sukarno -- bahwa perhatian saya sudah cukup mengobatinya. Hartini jelas tidak naksir saya, tapi ia sedang menyindir suaminya yang begitu sibuk memperhatikan Monique. Sukarno punya banyak pengetahuan tentang seni Khmer, peradaban Angkor, dan tarian klasik Kamboja. Putri saya, Bopha Dewi, menyajikan tarian klasik yang indah itu untuknya, di Kamboja dan Indonesia. Ia juga bisa tarian klasik Indonesia. Betapa kagetnya saya suatu kali ketika Sukarno menyatakan tertarik pada putri saya itu dan bermaksud melamarnya. Sayangnya, Bopha, yang suka bergonta-ganti suami itu, masih mencintai suami ketiganya. Saya katakan pada Sukarno agar bersabar. Barangkali Bopha bisa menjadi istri kelima atau keenamnya -- Hartini tidak keberatan.
Saya katakan pada Sukarno, Bopha suka berganti suami semudah mengganti ban mobil. Mendengar ini, Sukarno dan Hartini tersipu. Hanya pria yang sangat terlatih bisa meredam persaingan dan kecemburuan di antara istri-istrinya. Suatu ketika, Ratna Sari Dewi meminta kami mengundangnya bersama Bung Karno, untuk makan malam. Karena tahu kami menghargai Hartini, Bung Karno mengatur makan malam tak resmi di salah satu ruang Istana Merdeka. Monique merasa tidak enak soal ini dan khawatir apa jadinya kalau Hartini tahu. Acara baru berjalan setengah, Dewi dengan secercah senyum dan wajah lesu mohon diri. Badannya sakit, katanya. Ia lalu rebahan di sofa di ruang duduk. Bung Karno kebingungan, seperti Robert Taylor menghadapi Greta Garbo dalam film Wanita dengan Bunga Camelia. Adegan melodramatis ini hanya berlangsung sesaat. Sebab, beberapa menit kemudian, Dewi sudah merasa sembuh dan bergabung lagi untuk menghabiskan pencuci mulut. Sebelum meninggalkan kami, ia memeluk Bung Karno. Beberapa hari kemudian Hartini mendengar pengkhianatan kami -- entah siapa yang membisikinya. Saya kena getahnya, ketika berlangsung peringatan ke-10 Konperensi AA, di Istana Bogor, nyonya rumah Hartini melemparkan senyum masam pada saya. Dan kemudian, setelah meninggalkan tempat perjamuan, ia mendekati Zhou Enlai, bukan saya. Tampaknya, kesamaan nasib yang mendekatkan saya dan Sukarno.
Tahun '50-'60-an, kebijaksanaan luar negeri Sukarno dan saya hampir sama kelihatannya. Kami berdua sama-sama anti-penjajahan, anti-imperialis, dan mendukung gerilyawan Vietkong dan Vietnam Utara dalam perjuangannya "memerdekakan" Vietnam Selatan dan mempersatukan keduanya. Tapi, ada sedikit perbedaan. Pasalnya, anti-imperialisnya Sukarno lebih banyak dalam kata-kata daripada "sesungguhnya". Sedikit banyak Indonesia yang luas itu "memberi hati" pada Amerika. Sementara itu, Kambojaku yang sempit diapit antara dua negara yang kuat dan mengancam, Muangthai, dan Vietnam Selatan. Keduanya bukan hanya sekutu AS, tapi juga bersekongkol dengan gerilyawan Khmer Serei, yang dilatih dan dilindunginya. Baik Sukarno maupun saya menghadapi persoalan dalam negeri yang sama. Kami sama-sama menyeimbangkan persaingan antara militer sayap kanan dan komunis revolusioner. Masing-masing dari kami mencoba menampung kedua faksi ini dalam pemerintahan, dan berharap mereka bisa belajar kompromi dan rukun. Sukarno memperlihatkan kebajikan yang tak semestinya dan bahkan menyetujui bangunnya Partai Komunis Indonesia. Tak ragu lagi ini usaha mengimbangi pengaruh militer yang makin kuat. Di Kamboja, meskipun pemerintah memanfaatkan komunis intelektual, saya tetap keras terhadap oposisi dari kalangan pengikut Mao, anti-kerajaan dan gerakan revolusioner ekstremis Khmer Merah.
Di antara mereka berdiri tokoh-tokoh Ieng Sary, Saloth Sar (nama lama Pol Pot), Son Sann, dan Nuon Chea, grup yang dikenal sebagai "Kelompok Empat" Demokratik Kamboja. Agaknya, Sukarno menyokong Vietkong dan perjuangan Vietnam untuk menyenangkan pihak oposisi yang anti-imperialisme. Hingga yang tampak cuma kulit dan teori daripada yang sebenarnya. Ini kelihatan, misalnya, dalam kunjungan Sukarno ke Hanoi. Sering Sukarno bertemu dengan Ho Chi Minh. Di sana ia dimanjakan dengan serombongan artis cantik. "Delegasi artis-artis dari Vietnam Utara" datang ke Indonesia, termasuk cewek cantik Tonkin. Sukarno menerima delegasi dengan mencium kedua pipinya! Dukungan kuat saya, sebaliknya, bukan basa-basi. Saya memberikan tempat berlindung di perbatasan Kamboja-Vietnam Selatan. Saya memerintahkan tentara saya mengangkut senjata-senjata dari Cina dan Soviet di Sihanoukville ke markas Vietkong. Tapi kedua cara pendekatan anti-imperialis kami, akhirnya, gagal mencegah tindakan brutal tentara.
Sukarno lebih dahulu jatuh dan kemudian pemerintahan saya. Namun, saya tidak senaif Sukarno memandang komunis dapat dibujuk untuk mencapai tujuan mereka secara demokratis. Ia percaya dapat menciptakan masyarakat tempat komunis bisa dipercaya untuk memainkan sebuah peran demokratis. Akibatnya, ia terlalu simpatik dan akomodatif terhadap PKI, yang sebetulnya berbahaya dan pengaruhnya makin luas. ABRI, yang kuat dan konservatif secara politis, mulai protes dan protes makin keras. Bagaimanapun pikiran Sukarno dan saya, akhirnya, kami sama-sama gagal. Suatu hari, Sukarno mengundang saya dan Monique ke kapalnya untuk memancing di pelabuhan Jakarta. Tamu yang lain, istri keempatnya Haryati, seorang jenderal antikomunis penting dan istrinya yang pro-Barat, juga pengikut Mao, Aidit. Sukarno pikir, saya bisa "mempertemukan" jenderal kanan yang berpengaruh ini dengan Aidit. Kendati saya raja berpendidikan Prancis, saya juga teman akrab Mao Zedong dan Zhou Enlai. Lebih jauh, saya punya menteri-menteri komunis di pemerintahan saya. Meski usaha itu patut dipuji, Sukarno gagal mengakurkan tentara yang reaksioner dan "peliharaannya" -- PKI yang berkiblat ke Cina. Tragisnya, salah perhitungan ini menyebabkan "Presiden Seumur Hidup" ini terjungkal dari singgasananya. Saya sendiri gagal menyatukan kedua sayap ini. Untuk Monique sendiri pertemuan ini membuatnya gelisah. Di situ ada Haryati. Akan jadi urusan lagi kalau bertemu Hartini -- yang menurut saya mata-mata pribadinya lebih canggih daripada CIA-nya Nixon atau Kissinger.
Tidak setiap pemimpin asing mencintai Sukarno seperti saya. Teman dekat saya Charles de Gaulle, umpamanya, menganggap Sukarno seorang playboy. Sikap De Gaulle berbeda-beda dalam soal ini. Ia menutup akses ke Prancis untuk Sukarno, tapi membukanya untuk playboy yang lain, saya. Masyarakat Barat mengerutkan kening. Perhatian Sukarno pada saya tak pernah terputus, dalam masa sulit sekalipun. Tahun 1965, lima tahun sebelum kematiannya, ia mengirimi saya surat dan bingkisan indah sekali: Sebuah keris berukir dari emas dan gading.
(Tempo 1991)
No comments:
Post a Comment