Friday 18 November 2011

Butet Kertaradjasa dan Budi Pekerti

Berbudi Pekerti Itu Yang Lebih Utama

Oleh Butet Kertaradjasa.

Begitu lahir, saya tahu-tahu sudah Kristen. Semasa kecil, ruang tamu
rumah saya sering digunakan sebagai tempat kebaktian kampung. Jadi
ada ibadah gitu. Tapi karena saya tinggal di kampung, saya kadang juga
ikut lebaran. Kalau Idul Fitri, teman-teman main saya selalu pakai
baju baru. Karena itu, saya juga merasa berhak untuk mendapat baju
baru. Ada juga tradisi sungkeman. Tapi memang, saya tidak pernah ikut
salat, sekalipun untuk makan-makan dan baju baru, saya ikutan. Saya
sekolah di lembaga Katolik, dan tiba-tiba saya tahu ternyata ada
agama dalam hidup ini. Jadi agama itu sesuatu yang terberi dalam hidup
saya, tidak melalui proses sosialisasi yang ketat. Di KTP saya sudah
ada kolom isian agamanya, dan di situ sudah ada isinya. Dan memang,
saya nggak pernah alias jarang datang ke gereja. Lha wong saya merasa
punya agama saja waktu bapak dan ibu saya meninggal, kok! Terakhir
saya ke gereja ketika masih di SMP. Tapi, kalau pas natalan, saya
selalu dikirimi pesan-pesan pendek (SMS). Seingat saya, saya juga
pernah ke gereja. Tapi, umatnya heran semua. Aku jadi malu. Ceritanya
begini. Suatu kali, saya stress karena ada masalah pribadi. Terus
saya berpikir, kalau datang ke gereja, mungkin bisa menyembuhkan
persoalan. Bayanganku begitu. Nah, ketika sudah mahasiswa dan
berkeluarga, saya datang lagi ke gereja. Tapi, orang segereja nontonin
saya dengan wajah penuh heran. Makhluk asing mana yang datang ini,
mungkin begitu pikir mereka. Pendetanya juga heran. Setelah itu, saya
tak pernah datang lagi. Saya merasa menjadi makhluk asing yang merebut
perhatian banyak orang yang membuat pribadi saya risih. Kalau
cuma rajin ke gereja, tapi tindak, perilaku, tabiat, dan pikirannya
tidak agamis, apa gunanya?! Kalau saya, orangnya lebih suka pada
tindakan. Saya cuma mencoba untuk mewujudkan harmoni dan hidup yang
baik dalam tindakan dan karya-karya saya. Kalau yang ritual-ritual dan
serimonial seperti itu, saya memang nggak terbiasa. Atau boleh dikata,
saya pemalas. Tapi saya tetap berdoa kalau mau tidur,
dan orang tidak pernah tahu itu. Masak saya harus mengumum-umumkan
yang begituan?!

Makanya, saya cenderung berpendapat, perkara privat
seperti itu tidak usah diomong-omongkan dan tidak perlu
dipamer-pamerkan. Saya beragama karena ada kolom yang
mempertanyakan agama saya apa. Malah menurut saya, di kolom-kolom
formal urusan negara itu, tidak usahlah ngurusi yang gitu-gituan. Mau
bertuhan, mau beragama, itu urusan pribadi orang per orang. Itu kan
bukan perkara publik. Jadi, sebenarnya tidak perlu soal kolom agama itu
ada untuk urusan yang di ranah publik. Hanya untuk bangga-banggaan
soal minoritas-mayoritas?!

Lalu
kalau mau nikah, kita juga harus beragama. Dan kebetulan, saya
menikah secara Islam. Istri saya seorang muslimah, dan alhamdulillah
sudah jadi hajjah. Sejauh ini, tidak ada masalah.
Aman-aman saja. Waktu saya kawin tahun 1981, lembaga cacatan sipil
masih mengizinkan (nikah beda agama). Kakak saya juga menikah beda
agama di catatan sipil. Cuma persoalannya, saya ini menantu seorang
haji. Jadi, mertua saya itu tidak menghendaki (nikah beda agama) itu.
Dia pingin saya nikah secara Islam; dengan ijab-kabul. Ya… karena itu
permintaannya, saya penuhi. Untuk saya, apa susahnya kalau KTP diganti
sebentar. Terus, saya ganti KTP dan saya sudah sunat. Saya
buktikan itu dan saya bawa foto saya waktu sunat. Hanya saja, saya
tidak bisa ibadah-ibadah. Waktu menjelang ijab-kabul, saya disuruh
salat jamaah, tapi saya nggak bisa. Seperti apa dan bagaimana salat
itu, saya tidak tahu. Yang saya tahu cuma wudlu yang basuh-basuh muka
itu. Saya lalu masuk kamar mandi. Tapi, saya lama-lama di situ.
Tiba-tiba, salat sudah selesai, dan saya keluar.

Terus saya ijab-kabul
dan langsung pulang ke Jogja. Setelah itu, saya ganti KTP lagi jadi
Kristen. Memang, di negeri ini banyak yang berpikir bahwa
orang tua wajib mengawinkan anaknya seagama, supaya hidupnya tetap
berbahagia. Pertanyaan saya: jaminannya apa? Saya melihat, orang yang
kawin seagama juga tidak kurang yang terjebak dalam proses
kawin-cerai. Malah, istrinya dipukuli terus-menerus. Itulah pengalaman
saya waktu ngeyel sama mertua saya. Waktu itu, saya dibilang
berbohong, karena sudah Islam di KTP, menikah secara Islam, lalu balik
ke Kristen lagi. Saya dianggap munafik. Lalu, saya
katakan begini: “Kalau Mami menghendaki menantu yang dalam hidupnya
hanya menipu, saya akan tetap menjadi Islam, karena saya pasti akan
tetap menipu diri sepanjang waktu. Sebab, saya pernah berislam hanya
untuk nyeneng-nyenegin Mami, karena Mami menginginkan ijab-kabul
secara Islam.

Tapi kalau Mami menghendaki menantu yang tidak menipu,
maka izinkan saya tetap menjadi Kristen, meski telah menikah secara
Islam. Sebab, kalau saya Kristen, saya tidak akan bohong dalam berdoa,
karena hanya itu yang saya kenal. Kalau sekarang saya dipaksa menjadi
Islam, itu sama saja saya menipu, berbohong. Sebab, hati saya memang
tidak di situ.” Lalu, saya menambahkan, “Saya menjamin anak Mami pasti
akan baik dengan saya.” Itu yang saya katakan. Ya…
sebenarnya dia keberatan. Tapi karena saya bandel dan ingin
membuktikan sepanjang hidup bahwa saya akan memperlakukan dia
sedemikian rupa menjadi bagian dari belahan jiwa saya, dia bisa
terima.Urusan agama saya anggap merupakan urusan privat orang
per orang, bahkan terhadap istri atau anak saya sekalipun. Saya tidak
mau ada urusan keluarga mau beragama apa.

Ukuran saya, asalkan itu
bisa membuat yang bersangkutan berbahagia, saya anggap itu sudah
benar. Jadi, ketika istri saya menunaikan kewajiban agamanya, dan dia
bisa intens di situ, khusuk dan bahagia, sebagai orang yang beragama
beda dan teman terdekatnya, saya harus memberi dia yang terbaik. Saya
ongkosin dia naik haji. Sebaliknya, misalkah saya mau naik haji ke
Yerussalem, misalnya, dia juga harus mendukung saya. Bahkan, ketika
anak saya diam-diam menjadi pengurus masjid, saya oke-oke saja. Hanya
ada satu masalah yang menurut saya sangat dramatis dalam hidup saya.
Yaitu, ketika anak saya mau masuk sekolah dasar. Ini situasi yang agak
membuat shock, karena ketika mendaftar ke institusi formal, negara
kita masih mengurusi soal agama. Dalam formulir pendaftaran, ada
pertanyaan tentang apa agamanya anak. Padahal, saya ini tidak jelas
agamanya. Kalau dikatakan Kristen, saya juga tak pernah ke gereja.
Tapi, dibilang Islam, jelas tidak.Dari situ, saya bertanya ke
anak saya: “Giras, sekarang kamu akan masuk sekolah. Janjinya dulu,
ketika masuk sekolah, kamu akan memutuskan akan masuk agama apa.” Saya
tanya begitu, eh… dia nangis. Bagi saya, peristiwa itu dramatis
banget. Tak ada jawaban darinya waktu itu. Besoknya, ketika ditanya
lagi, dia nangis lagi. Dia lalu berpikir begini: “Pa, kalau aku
beragama Islam, nanti kalau Papa mati, yang mendoakan siapa? Dan kalau
agamaku Kristen, nanti kalau Ibu mati, yang mendoakan siapa?” Mendengar
pertanyaan itu, aku shock juga. “Bajigur iki anakku!” gumamku.
“Mendingan kamu Islam aja deh… Ibumu kan rajin sembahyang!” kataku.
Akhirnya, dia berstatus Islam, walaupun sekolahnya di Katolik.

Budi
pekerti itu yang lebih utama. Misalnya, pemahaman tentang nilai-nilai
yang perlu kita anut dalam hubungan sosial. Menurut saya, itu lebih
penting daripada yang lain. Saya selalu bilang, kalau mengaku telah
mendidik anak saya secara agamis, saya itu bohong. Saya munafik,
karena memang saya sendiri tidak agamis. Tapi, soal hukum dan
perkara-perkara sosial, selalu kita diskusikan bareng anak-anak.
Misalnya saya katakan, kalau melanggar hukum, akibatnya akan begini.
Kalau menyakiti orang, akan begitu. Kalau kamu memukul orang, akibatnya
akan begini dan begitu. Jadi, nilai-nilai yang
universal tetap diajarkan.

Bahwa ternyata itu berhubungan dengan
ajaran agama tertentu, barangkali iya. Tapi aku memang tidak ngerti
soal agama. Untuk ukuran saya, andaikan dalam hidup ini dia bisa
membangun keseimbangan yang adil, baik, dan tidak menyakiti orang, itu
barangkali sudah benar.Untuk saya, itu sudah cukup. Tapi kalau
dia (anak saya itu) mau beragama, jangan melihat dari diri saya. Untuk
agama, dia bisa cari dari sekolah atau masjid tempat beribadahnya.
Sebab, saya pasti tak akan bisa menolong untuk hal-hal seperti itu,
karena memang saya tidak ngerti. Atau, itu semua barangkali bisa dia
dapat dari ibunya yang hajjah itu.

Saya
justru sering dibingungkan oleh perkara agama. Ini berkaitan dengan
pengalaman pribadi saya. Di keluarga kami, ada bermacam-macam penganut
agama. Ayah dan ibu saya Kristen. Menantunya yang seagama cuma ada dua
orang. Yang lainnya campur-campur; ada yang Kristen, Katolik, dan ada
juga Islam. Murid-murid bapak saya itu ada juga yang Hindu. Nah,
ketika Ibu meninggal, kita semua ingin sekali menghormatinya secara
seremonial. Karena ibu Kristen, upacaranya dilakukan secara Kristen.
Tapi, untuk sembahyang, kami memberi semua keluarga kesempatan yang
sama. Karena menantunya ada yang Islam, dan anaknya juga ada yang
Islam, mereka dibiarkan sembahyang secara Islam. Yang Katolik juga
begitu; kita membikin upacara terpisah dengan mengundang seorang pastur.

Tapi
saya heran, yang Islam kok nggak mau. Orang kampung melarang itu.
Pokoknya, bagi mereka, yang Islam tidak boleh mengadakan upacara secara
Islam untuk mayat ibu saya. Jadi, menantu dan anak-anaknya yang
muslim itu tidak boleh menyembahyangkan ibu saya. Saya itu malah
bingung. Kok jadi repot, pikir saya. Padahal, ini kan
perkara bagaimana orang meyakini sesuatu. Barangkali, kalau dalam
Kristen versi saya, itu mungkin akan menolong perjalanan ibu saya ke
surga—kalaupun surga itu ada. Terus yang Katolik juga berpikir begitu.
Tapi, ini kok malah bingung. Dan akhirnya, daripada ribut semua,
urusannya diserahkan pada yang melayat saja. Mana yang terbaik untuk
yang ngelayat dan maunya bagaimana, terserah. Kalau
dalam perkara mati, saya mengikuti ajaran Om saya, bapak Hanung Gusti
Aksono. Dia bilang begini: “Nak, kalau aku mati, terserah mereka yang
hidup. Kalau istri dan anak saya Islam dan mau menyembahyangkan saya
secara Islam, silahkan saja! Kalau kakak-kakak saya yang Kristen mau
menyembahyangkan secara Keristen, silahkan! Kalau adik saya yang
Katolik mau menyembahyangkan secara Katolik, silahkan juga! Itu urusan
orang hidup. Saya kan orang mati. Bahkan ekstrimnya,
andaikan saya ditaruh di jalan raya, lalu burung gagak dibiarkan
mencucu’i tubuhku, saya juga ikhlas. Toh saya juga nggak ngerti. Itu
perkaranya orang hidup, bukan perkaranya orang yang sudah mati.Karena
saya pemuja harmoni, saya tak ingin keluarga saya menderita ketika
saya mati. Pokoknya dia harus aman, tenang lahir dan batin.

1 comment:

BUS said...

itulah kasih .....