Saturday 3 October 2009

Sajak Kepada Kawanku Hudan




Sajak Kepada Kawanku Hudan

by. Anton Djakarta

Hujan merah tadi pagi, mencuatkan tanah seperti pelangi
Tembusan-tembusan petir yang disiangi awan
menjadi gaduh di dalam pikiran

Hujan merah ini, bukan hujan darah
Dengan hujan merah, kutulis sajak merah, sajak tanpa air mata
karena sajak ini bukan sajak tentang angkat senjata, bukan pula sajak merubah jaman

Mari kawanku Hudan, kita duduk disini dibawah payung warung minuman
kupesankan bir hitam dua botol dan kau letikkan kacang
mari kita bicara sastra Hudan
Sastra yang kau bisikkan bisa merubah kehidupan seseorang.

Biarkan aku bicara dulu, sembari kubenarkan letak dudukku

Aku ingat saat jatuh cinta di masa sekolah dulu
melihat perempuan yang kita puja dengan mata berkilat-kilat lalu kita duduk lemas di bangku belakang. Duduk menepi, menautkan kepala pada tembok berkapur.
Buku matematika aku lalap seperti buku berlumpur enny arrow
Menarik tapi menjijikkan. Tegang tapi tak bernyawa.

Lalu aku tarik kertas kosong, burat kelana dalam pikiran
Mengigau seperti anjing buta
Ah, coba kutuliskan sajak-sajak bualan tentang gadis yang berjalan di depan lapangan rumput setengah kering.
Aku coba tautkan, Hudan
Kata demi kata....
Satu demi satu
Jadilah rangkaian kalimat bersusun dengan makna tak perlu.
Apakah itu sastra Hudan?
Sastra sehebat Lu Hsun atau Voltaire?

Sajak itu aku ingat biasa saja
Jenaka dan nakal
Seperti anak malaikat yang baru disunat pada hujan batu.
Melompat-lompat seperti seperti kijang muda yang terbelit asmara
Kata-kata itu memutar
Lalu bertanya dengan bahasa sederhana, bahasa remaja yang tak tau santun dan seloka kasta
Sajak biasa itu aku klaim sebagai karya sastra
sehebat barisan kata yang meluncur pada pena WS Rendra

Sastra itu perenungan, ia berangkat dari kata berakhir pada rumah aksara yang dibangun dari air kehidupan
Idealismemu membentuk kehidupan, begitulah Hegel bicara dengan nada datar dan tanpa pancingan polemik.
Tapi bukankah benda diluar kita adalah pikiran yang kita pantulkan, karena disitulah makna kehidupan dan barisan tindakan menjadi bagian gerak hidup. Seperti letupan api pikiran Karl Marx.
Aku disini menuangkan sejumput kalimat yang aku susun dengan kartu-kartu tebal beku
katanya tak sekedar menjadi maknawi
Tapi juga membanggakan, setidaknya diusiaku belasan dan jatuh cinta pada wanita berkaki jenjang yang jalan direrumputan dan wajahnya wagu
Aku bisa membuat puisi
dimana dua puluh tahun kemudian aku tertawa saat membacai puisi usang itu
puisi yang lekat pada kekonyolan masa muda.
Begini baitnya hudan :

“Mar,.....Kamu seperti kupu-kupu
Terbang pelan lalu menancap pada ujung bunga”

Aku seperti helm buram
yang rusak kelam

“Apakah helm buram dan kupu-kupu bisa bersatu?”

Apakah kata-kata ini menjadikanku sastrawan besar dan bisa bergelar profesor sastra?

Hudan..........Hudan
Seni itu soal hati, dia tidak bisa diukur
tak ada kalibrasi, tak ada presisi
Tak ada objektivisme dan tak ada moralitas

Seni itu bebas ukuran
Seni itu gagasan yang mengantar manusia pada alam malaikat tapi tidak dengan sayap

Aku tegaskan Hudan, bahwa sastra bukanlah Matematika!
Atau bualan kosong ketenaran yang bisa mengakumulasi modal
Sastra bukanlah panggung gembira dengan seribu hujan bunga

Sastra bagiku Hudan, adalah bagaimana manusia bisa memecahkan teka-teki tentang kesepian

Sedikit saja

...........Kupesankan Bir dua botol lagi Hudan, kulihat kau begitu rakus memacari gelas bir mu itu.

Dan dengan langkah gagah aku mendekat padamu
Terima kasihku padamu Hudan dengan kerendahan hatimu kau bisa mengangkat manusia menemukan kemanusiaannya. Dengan sastra manusia bisa mengenal kata, tanpa harus terlindas kelas dan kasta. Juga tak harus surut pada kuasa modal.

Aku jenakkan dulu kekagumanku padamu, Hudan.

.....Barang sebentar.




Jakarta, 4 Oktober 2009.

1 comment:

ellysuryani said...

Sajak ini indah kawan. Sajak ada di jiwa, mengendap di benak, tertuang di lembaran. Entah tetap di lembaran jiwa, lembaran kertas di buku, lembaran layar monitor, dan lembaran kehidupan yang mencuat lalu mungkin menguap entah kemana.