by.Anton Djakarta
Hari ini aku duduk di tepi rumput
melihat bunga-bunga liar menari dan angin menyejukkan garis mataku
baiklah, aku duduk sendiri
mengenang tentang masa lalu
tentang Orde Baru
Ah, sebuah masa ketika kita mengenang harga beras murah
supermarket mulai ada dan gedung menjangkung dimana-mana
Banpol mengejar-ngejar becak dan menjadi bahan sorakan rakyat di tepi-tepi pasar, kampanye pemilu seperti buluh perindu bagi pecinta Oma Irama, sang raja menyanyi dangdut irama gendang.
Spekulan tanah menjadi buaya bagi halaman-halaman rumah rakyat, kerna jalan tol dibangun pada seribu titik kota
Dengan seribu rupiah kita bisa makan di warteg serupa tingkat kepuasan para bayi menetek pada ibunya, kenyang perut terisi.
Di masa ketika bunga ranum, dan nyanyian cengeng menghegemoni telinga, kita juga lihat film-film john travolta menari-narikan kaki dan menaikkan kerah baju sambil mengusap jambul lalu berkata “Yeah...”
sungguh hangat hidup di jaman itu
Harmoko selalu membuat harga cabe keriting stabil tanpa berani orang main harga kerna takut cap subversif dan Habibie membangunkan mimpi kaum muda bahwa bangsa yang dikatakan berotak tempe ini, mampu bikin pesawat dengan teknologi yang membuat kerut kening kita.
Anak-anak muda tertawa, di Senayan kita main sepatu roda
Di Jakarta Fair kita memburu barang-barang murah
ah, indahnya negeriku
TVRI menjadi ruang publik satu-satunya, Anita Rahman dan Tuti Adhitama kita kenang sebagai wajah televisi dimana Unyil hanya saingannya.
Eddy Sud mengantarkan mimpi kaum jelata, tentang dangdut atau lawak
Krisbiantoro rambutnya menjingkrak ke udara, dan Benyamin S membuat kita tertawa sampai kencing di celana.
Jikalau malam kita putar Prambors dan SK
mendengar Sys NS atau Ida Arimurti lalu mendengarkan anekdot dan lagu sambil kita melukisi awan, dan giliran tertawa mendengarkan Unang mengejar umpan lawakan Mi'ing dan adiknya Didin.
Betapa indah jaman Orde Baru, bila lebaran datang tak ada yang lebih menggairahkan kecuali film-film Warkop dan Saur Sepuh atau awal tahun baru mendengarkan Elvy Sukaesih mencari bulan di atas panggung Monas.
Setiap akhir cerita TVRI kita dengarkan suara lagu Ibu Sud “walaupun banyak negeri kudatangi, yang masyhur permai dikata orang.........”
ah, romantisnya jaman itu kukenang sambil memakan silver queen aku nyanyikan lagu Gombloh tentang malam yang tergadaikan karena cinta dibawa kabur orang.
Malam Orde Baru ternyata tidak sampai disitu
ia bermula pada malam jahanam
malam direnggutnya para Jenderal yang berakhir sampai jatuhnya Sukarno dua tahun kemudian.
Malam jahanam menyeret dua bulan hari-hari pembantaian
orang saling tuduh, keluarga saling menghancurkan
sungai-sungai banjir darah, dan tentara menjadi penguasa tunggal seperti Dewa yang menentukan hidup atau mati orang.
Inilah Orde Baru, ketika kesenian dijadikan kali-kali dangkal
Orang-orang pintar dibui atau dipaksa melacur pada kekuasaan, orang-orang penjilat menjadi kuat dan bandit tiba-tiba muncul menjadi penguasa manis dengan senyum murah hati di dalam kotak televisi.
Para seniman tak punya ruang, tapi pengarang lagu cengeng menjadi permata kesukaan
inilah jaman ketika kita tak boleh lagi berpikir dalam-dalam
saat rakyat diajarkan bagaimana menghabiskan uang hutang dan produksi Amerika serta Jepang menjadi penguasa di rak toko-toko.
O, sebuah Orde yang dibangun dengan darah berton-ton beratnya
dengan kekejaman yang membuat seribu malaikat menangis
lalu diatas lumbung air mata, dibuatlah dunia manis secerah pelangi, dibangunlah rupa tentang gadis manis yang merindukan pangeran tampan bermobil Corolla DX sambil mengangkangi orang-orang miskin yang tak dapat rejeki.
Ketentraman dibayar dengan nyawa, biarlah darah membanjiri aspal
dan Petrus terang-terangan melanggar kemanusiaan dibilangnya Hukum Penuh kemanusiaan
tanpa dosa sang penguasa menceritakan bagaimana menghilangkan kemanusiaan bisa menentramkan kehidupan
O, inilah jaman ketika engkau berani bersuara maka suaramu membuat pintu penjara terbuka
manusia hidup di jaman ini, dijadikan paranoid
takut pada bayangan-bayangan yang tak ada
takut pada kata-kata, karena kata-kata yang salah berarti peluru tajam penuhi dada
dan bui, buang, bunuh menjadi tiga rangkaian yang lengkap sempurna sebagai bahasa kekuasaan.
Keadilan hanya untuk pejabat
bukan untuk rakyat
maka di depan meja hijau Sum Kuning dipaksa mengangkang kakinya menceritakan berahi karena ingin sama ingin bukan perkosaan terhadap wanita penjual telor
dan tersangka anak penggede aman tidur nyenyak tanpa gangguan polisi.
Rasa adil hanya milik yang punya uang
bukan dirasai kaum buruh serupa Marsinah
di markas tentara dia dipukuli sampai mati
dan di detik ini semua tersangka masih bisa mengangkat kaki diatas meja sambil menghisap rokok dalam-dalam.
Pengadilan hanya untuk pencopet
tapi bukan edy tansil serta kompradornya yang kasih katabelece
Wartawan Bodrek menjadi dewa
Wartawan idealis mati seperti Udin
Koran, tabloid dan Majalah macam Indonesia Raya, Pedoman, Tempo sampai Detik
Bredel informasi kuasa pemerintah
sementara rakyat dianggap tak mengerti apa-apa
pemerintahlah yang tau segala
WS Rendra dibungkam mulutnya
Widji Thukul tak jelas nyawanya kemana?
Hanya karena puisi yang ia tulis
bagaimana penguasa disebut manusia kerna hanya menuangkan pikiran nyawa menjadi barang gadaian
Kenanglah dijaman itu
Cerita Losmen dengan lembut wajah Mieke Widjaja
tapi juga kupikir ada baiknya kamu mengenang,
bagaimana telinga Pram menjadi tuli kerna dipopor gagang pestol tentara
Kenanglah komik Lupus dijaman itu
tapi setel kenanganmu barang sebentar pada “Gadis Pantai” yang diacung-acungkan jaksa agung sebagai buku neraka dan anak muda dilarang membaca.
Itulah jaman ketika kedangkalan menjadi panglima dan kita sudah separuh lupa..............
namun kini setelah sepuluh tahun Orde Baru separuh tutup buku :
Sajak-sajak WS Rendra tentang orang miskin dan terinjak mastodon birokrat dibacai di apartemen mewah, sambil naik mercy kita kenangkan orang melarat
sambil naik camry mulut kita lancar bicara rejeki yang tak adil
dan dengan cerutu kita mainkan kemiskinan sebagai celoteh yang mengasikkan
Tulisan-tulisan Pram penuh di rak-rak buku
anak-anak membacai Pram tanpa harus takut todongan peluru
tak seperti dulu ketika Coki Naipospos yang kena tangkap serdadu kerna mengedarkan copy “Rumah Kaca” mendapat hadiah kurungan bui
tapi kini aura Pram tak lebih Andy Warhol
fungsi sosialnya gagap
hanya bisa memenuhi ruang jualan toko buku, tanpa rakyat berani melawan
padahal Pram selalu bilang
“Bacalah tulisanku, maka kamu akan berani”
Pemuda saat ini tidak pernah dilahirkan menjadi pemimpin
tapi membeo kaum tua
kaum tua yang sudah kena duit Orde Baru
maka kita menjadi pemuda pewaris mental babu takut pada generasi tua
kita pandang muka mereka, beraklah pemuda di celana........
Inilah jaman ketika Orde Baru dilanjutkan
anak pejabat tetap digariskan takdir menjadi pejabat
tanpa pengetahuan duduk di Parlemen
tanpa pengalaman menyusui kekuasaan bapaknya
anak tukang becak paling banter jadi tukang sapu departemen
mana mungkin masuk UI, berapa uang kuliah saat ini
Mencerdaskan kehidupan bangsa hanya jadi literatur di ruang sunyi
dibacai dengan seksama pada upacara anak SMA setelah itu kita hisap ganja.
Lupa pada jaman, lupa tanggung jawab.
dan Indonesia Raya berkibar-kibar
sambil kita dengarkan bagaimana Hatta menangis keras-keras dalam kubur
melihat bangsanya tumbuh pandai main korupsi
O, inilah jaman ketika pemuda hanya berani kentut tanpa berani bersuara lantang.
“Kugantikan Orde Baru, sebagai Jaman Baru...Jaman penuh keberanian dan berdiri diatas garis yang sudah ditentukan kenapa kita harus merdeka”
Percayalah, semua bapak pendiri negeri tak pernah membayangkan Indonesia jadi begini
Kita semakin jadi bangsa kuli dan dibiayai oleh modal yang dikumpuli setelah menguliti bumi Republik
Kita semua sudah menjadi Romusha atas modal Amerika, tapi kita duduk tenang seperti tak terjadi apa-apa.
O, Orde Baru yang kukenangkan ternyata masih ada sampai kini dan kita tak lupa
malah dengan seksama kita jalani, anak-anak muda yang menyusui kekuasaan bapaknya itu diajari menjadi plagiat yang paling sempurna.
............................
2 comments:
Ya..ya..breakdance
mengantar jalan sore
di Melawai
Zaman si Boy baik budi juga kaya
Ingatah pada
Raja segala Raja
Cuma berdehem : ..ehm..
Segala ahli fonetik, ahli bahasa,pakar budaya feodal
entah spontan entah direkayasa
Sibuk mengartikan ...ehm..
Sang Raja Diraja
Yang kusesali,
Jatuhnya Sang Raja
Kenapa tdk spt Qadafi di Lybia
Diseret spt anjing tak berharga
Ah.. itulah salahnya
Jargon " Mikul dhulur mendam jeroan ..;)"
Post a Comment