Saturday 24 October 2009

Sajakku Sajak Kemarahan

Sajak Kemarahan

Anton Djakarta


Gending ini sudah tamat riwayat, tak bisa aku memaknai tak pula aku mengerti
Kias-Kias orang Jawa memainkan musik liwat hati sudah mampus digilasi jaman modal
jaman modal, jaman dangkal tak ada lagi renungan dalam-dalam tentang rumput yang dibasahi air bulan atau tentang kehidupan manusia yang terbungkuk dihantam berkarung-karung gabah

Ini hari kita liat, petani tidak berhak atas tanah sawahnya
Buruh tani sudah ada lima generasi menonton tanah yang dulu digergaji buyutnya, tanah sawah sudah milik haji kaya atau pemodal saham yang beruntung juta-juta
nelayan tidak ada solar dan menyewa kapal dari orang kota bermodal
kaum buruh hidup dari jam-jaman dan tidak lagi bisa mengerti kenapa dia harus bekerja
Kaum modal memanjakan anaknya ke luar negeri dan barter dengan Presiden sampai Bupati

Buat apa negeri ini merdeka bila hanya kaum penggede yang berkitaran pada Sukarno merampas tanah dan rumah di seputaran Menteng dari tangan Belanda lalu berlagak menjadi priyayi kampungan yang ujungnya mengentuti pantat rakyat.
Buat apa negeri ini ada bila guru-guru di kemudian waktu menjadi buruh kapur yang hanya terima sogokan orang tua murid kaya.
Buat apa negeri ini membangun kecerdasan bila gelar sarjana tak lebih berbunyi dari ijasah sah keraton sebagai penancap status sosial dan menjadi sarjana bila tak pernah satu pun buku dibaca.
Buat apa negeri ini menghasilkan intelektual bila dosennya sudah melacurkan telanjang bulat-bulat demi transfer imbal konsultasi menghitung angka-angka kekuasaan lalu berkata : “Kamilah Agen Kemenangan Anda untuk meraih kekuasaan” Dengan bangga watak rendahan menjadi makelar kekuasaan diiklankan di koran-koran.

Dulu Partai-Partai menjadi penggerak suara rakyat
sungguh-sungguh menjadi mesin kebudayaan mengenalkan suara ideologi
Masjumi, NU, PKI, PNI, Murba, PSI
bukan saja alat politik tapi alat gerak peradaban

Tapi memang keputusan bejat fusi 1973 menjadi awal mula kehancuran
Partai yang dulu menjadi alat kebudayaan dan ukuran-ukuran ideologis tak lebih dari agen-agen perekrut massa yang hanya disuruh menyanyi dangdut di lapangan.

Partai-partai dihari ini hanya menjadi Perusahaan Terbatas liwat Notaris Mendagri
Dengan beslit Mendagri Partai menjadi alat modal, dan modal selalu berjarak dengan rakyat
Lalu lewat kekuasaan dan modal merekrut para pesohor dan pesolek untuk dijadikan wakil rakyat
Badut-badut televisi dikumpulkan lalu disuruh tertawa di depan meja parlemen
Persoalan rakyat bukan persoalan penting
Cukuplah rakyat diberi hiburan sinetron, ajang cari jodoh, sulap jalanan atau tebak lagu maka persoalan itu menjadi beres. Sejarah negeri ini dibangun dengan semangat filsafat tapi berakhir seperti orang kesrakat.


Apa yang kita lihat di hari-hari ini adalah lelucon tanpa musabab
Demokrasi menari-nari seakan sudah menjadi ruang kebenaran, matahari kesadaran lenyap sudah digantikan proyek-proyek pengadaan
Parlemen menjadi pasar malam, komidi putar menari-nari diatas ribuan saran tumpukan bundel-bundel regulasi
Tawar-menawar komisi, gratifikasi dan uang lelah adalah keringat bernanah yang sudah diwarisi sejak jaman kakek nenek dulu menjilati pantat Belanda dan Djepang.

Raja-Raja Jawa yang edan sejak jaman Giyanti
Semakin sinting ketika pabrik-pabrik gula dibangun dan tak merasa bersalah melihat petani-petani yang punya sawah gembur dipaksa mengganti ladang-ladang tebu dicambuki pecut pari lalu hanya melahirkan generasi babu,

Raja Jawa dengan tingkah biadab mewarisi watak bejat ke pejabat kita sekarang,
Raja-Raja warisan Giyanti boleh naik ke langit Imogiri tapi watak bajingannya sudah menjadi karat dalam kalimat buku-buku adat.
Adat birokrasi, adalah adat dengan harga mati
Seribu Revolusi tak bisa menembus watak-watak ini
Birokrasi kita dibangun dari candi-candi batu hasil korupsi
Malam ini, Malam kemarin dan Malam Depan Sudah jadi kekacauan
Hidup bukan saja entropi tapi kekacauan yang berjiwa

Suharto boleh saja mati tapi bukan alam pikirannya, alam pikiran Suharto adalah alam pikiran yang hidup..sehidup-hidupnya, boleh saja kita memaki-maki Suharto sampai berak dicelana, tapi tingkah laku kita menjadi plagiat paling persis dari pribadinya.

Ya, Negeri ini dari dulu dijiwai kekacauan
Agama menjadi mainan, halal-haram dijadikan alat modal dan cukuplah kita lancar mengucap ayat maka bersihlah jalan hidup kita. Cukuplah kita lancar mengucapkan salam dan pandai melawak maka agama menjadi bahan cari duit dan laku di televisi-televisi
Bulan Puasa bukan lagi jaman menderas ayat-ayat suci Al Qur'an lalu memaknai sejarah hubungan Tuhan dan manusia tapi diredusir serendah banyolan-banyolan di waktu sahur.

Sajak ini bukan sajak revolusi sosial
karena sudahlah mati revolusi sosial, para pemimpin revolusi tak kuat lagi menahan berahi
bermain-main api rakyat jua yang mati
tak mungkin lagi ada sejarah yang dibangun dengan darah kesadaran kerna rakyat sudah diajari bagaimana enaknya kencing di muka umum tanpa malu.

Sejarah kita adalah sejarah pengulangan, pengulangan dari ketololan
Sumpah Pemuda, Proklamasi, Revolusi Sukarno, Demonstrasi 66 sampai Jaman Reformasi hanya melahirkan pejabat-pejabat
rakyat tak pernah dilibatkan dalam sejarah, karena toh kita dibajaki alam pikiran wayang yang tak kenal dunia rakyat, ngurusi rakyat tak ada duit, lebih baik kita jilati pantat anak-anak pejabat maka duit datang seperti kena jimat.

Dunia ini hanya 'sementara' mung mampir ngombe.... kata orang Jawa
itulah orang Jawa yang kalah, karena tak bisa melihat realitas
Padahal semua bermula dari Realitas
dan kita sejak bayi tak diajari mengenali realitas
dunia yang dikenalkan adalah dunia dongeng, disekolah-sekolah guru kita mengajari agar kita menjadi buruh yang patuh, diasingkan kemanusiaannya lewat stigma-stigma kecerdasan, guru-guru kita dipaksa mencekoki kurikulum yang dia sendiri tidak tau bagaimana riwayat infiltrasinya.

Dari generasi ke generasi kita dikenalkan hanya pada dunia babu
negara lain sudah sampai ke bulan dan mengapling tanah Mars kita hanya ribut soal mengapling sorga

Dan kita rebutan sorga lalu berlomba-lomba doa dan menjalankan ritual agama padahal duit didapat dari hasil menjarah : Menjarah hutan-hutan, menyakiti bumi dengan menambang batu bara,. Menipu dana anggaran, atau main kongkalingkong peraturan..........

Kita mengapling sorga dengan duit yang didapat dari menghinakan kemanusiaan dan kita mendikte Tuhan semau-mau kita. Lalu sehabis makan uang rakyat, kita selalu memohon doa selamat.

Inilah sajakku
Sajak kemarahan.............




Jakarta, 25 Oktober 2009

No comments: