Thursday 29 October 2009

Sastrawan Kentut Kambing

by.Anton Djakarta

Terlalu banyak orang sekarang bicara tentang diri sendiri
menjelaskan kecengengan ditengah orang banyak
memamerkan ketidakmampuan menghadapi hidup dengan belagak baca puisi
Lalu dengan menebah dada mereka membelah masyarakat dan menasbihkan diri sebagai sastrawan

Sastrawan kentut kambing,
yang hanya bisa bercerita tentang perceraian dan persoalan-persoalan renik yang tidak menghasilkan
tidak memberikan daya kehidupan
membuat rotan-rotan pada kata, menjalin makna tanpa tau apa yang dihadapinya.
Dikiranya kecengengannya menghadapi soal kehidupan adalah proses membangun peradaban.

Memamerkan kelemahan diri sendiri
tanpa tau persoalan masyarakat
Menangisi diri sendiri, dikiranya dunia ini milik dia sendiri

Sastrawan kentut kambing, asik bercerita tentang berapa harga sepatu, tangisan cengeng pacar kita, ceriwisnya selingkuhan atau kaki yang mengangkang.

Persoalan masyarakat
tak pernah jadi perhatian, kerna otakpun dia tak punya
dikiranya puisi hanya meninju udara, tangisan selesai maka kisah disudahi.

Persoalan kita di hari ini adalah persoalan melawan jaman
memberi tempat pada sastrawan-sastrawan kentut kambing dalam ruang publik sama saja menunggingi perlawanan

Kebudayaan tontonan adalah kebudayaan dangkal, tanpa tempat, tanpa makna dan kita memperbolehkan segala hal, sinetron Punjabi disamakan ruangnya dengan Mutiara Sani.
Puisi kentut kambing disamakan applausnya dengan sajak Lorca yang mencari kebenaran.

Puisi sudah kehilangan magisnya
ketika secara ramai-ramai dibacai, para jenderal pembunuh kesenian diajak ke panggung dan dengan kalung setengah dewa dijadikan pahlawan bagi masa lalu, para artis menjadi deklamator dan perempuan-perempuan wangi yang jatuh dari langit tiba-tiba bisa membaca mantra kehidupan.

Puisi tidak lagi dijadikan tapal perlawanan
seperti pada jok becak Wiji Thukul, atau jalan-jalan sunyi Umbu Landu Paranggi.
Puisi tidak lagi dijalani dengan proses mencari wahyu dari bahasa pengolahan kata.

Maka cukuplah kita sulap kata
merangkai kesedihan kita dan dengan gagah memamerkan kecengengan menghadapi kehidupan
kita menjadi sastrawan dan seniman
membacai kisah perceraian dan perselingkuhan di depan khalayak sambil bibir menyunggingkan senyum yang meruntuhkan awan.

Puisi kini hanyalah gincu, untuk mengisi luang waktu
mari-mari kita baca puisi tak peduli lagi fungsi, tak tahu taklimat seni, yang penting kita sudah meluapkan persoalan-persoalan pribadi yang cengeng ini.

Sastrawan kentut kambing sudah menjajah cakrawala kesenian kita, dan sebagai penyokongnya kita harus merayakannya dengan ramai-ramai baca puisi sambil menangis di depan mikropon dan mendendangkan suara khas mereka "lihatlah tanda merah di pipi bekas gambar tanganmu..........."

No comments: