Sunday 25 October 2009

Sajak Merayu Maryam Supraba

by. Anton Djakarta


Mei, aku tau kamu tak suka kata-kata yang bermain di halaman lumpur
kamu menyukai bunga tapi kamu juga suka gitar yang ditaruh pada jalan-jalan kota
flamboyan yang tumbuh di perempatan dago
manggut-manggut mencari angin, resah menyapa pada buah-buah malam
dan satu-pun tak bisa kudengar dari rintihan kecapi yang dipetik pelan-pelan
aku melihatmu tertawa dan menari
pada sudut belokan jalan tamansari sambil menyanyi folk
badanmu yang kurus itu menyetel bulan sehingga malam berputar-putar.. cihui, riang gembira

Mei, sajak ini sajak murahan
tak apalah menjadi tumpukan kertas yang memberatkan tinta-tinta
sedikit bualan menimpa sunyi. Malam berhenti dan kata-kata ini menabrak logika kosong
tapi ini adalah mantra rayuan
untuk membuat hatimu takluk seperti Suminten Edan
yang jimatnya dipasang pada sudut mata kananku, dengan susuk berlian kubeli dua ratus ribu perak pada dukun di pinggir sawah.

Mata kusam...Mata hutan, aku sudah lama merekrut kesaktian buta-buta wayang
tapi aku adalah sukrasana yang membuat taman sriwedari, hanya untukmu Mei
sambil kujalin bunga-bunga dan bunga-bunga itu menjadi buku-buku bekas dari pasar loakan inilah hadiah paling indah untukmu, kusajikan sebagai aji-aji agar dirimu runtuh dan secepat daun beringin jatuh, kau memuja aku.

O, Mei
Bulan retak di pinggir kali
janda-janda menari
republik ini berdiri
tapi kok yang kaya para menteri
ah, buat apa memikirkan negeri yang seperti buaya mati
kalau masih ada kamu, Mei

O, Mei
Wajahmu itu punya siapa
mewarisi kecantikan siapa
kulitmu hitam seperti Sembadra
hidungmu bangir seperti banowati
dan lincahmu bagai srikandi terserempet panah bisma

Rerata tanah dua terbilang, dari buku-buku catatan harian semasa SMA
Matahari menjadi jaring-jaring
dan jaring-jaring gagal menebak masa depan
Diamku menarik rindu
dan kamu menari diatas kertas-kertas puisi ini, sambil mendengarkan tuts-tuts piano mendentingkan suara sautan jazz negro yang hidupnya dijeruji

Rayuan ini seperti peluru
peluru yang macet di ujung kokang
lidahku kelu
untuk sekali lagu merayu
bumi gempa
cakrawala tak lagi menjadi alam keberanian
dan kata-kata bukanlah pelaksanaan perdjoangan
perjuangan sudah mati
dari jaman silam
tapi untukmu, Mei
tak boleh satu senti-pun perjuangan mati

Mei, Wajahmu manis semanis coklat swiss
senyummu seindah barisan kata proklamasi empat lima
dan hidupmu semisteri narasi gestapu enam lima

tapi percayalah Mei
aku tidak berjanji seperti Presiden di jaman Pemilu
aku berjanji seperti tukang kredit panci yang akan datang tepat waktu
mencari cintamu.......

Pucuk-pucuk cemara, daun jati berwarna kesumba
malam legit tak pernah puasa, memuja wajah dengan kecantikan Supraba
Aku bukanlah arjuna, yang mampu merayu setiap anak resi
Aku hanya secuil berahi begawan Wisrawa, yang menjadi awal hebatnya cinta Rahwana......

Mei, aku duduk menontonmu
menari-nari dengan tubuh kurusmu, dan batara narada menggoyang-goyangkan pantatnya
lalu Neptunus menolak menjaga samudera dan datang ke tanah Jawa
hanya untuk memainkan tabla, mengiringi kamu menjura-jura

Mei, inilah rayuanku
jilid nanti mungkin puisiku hanya pelangi yang dicoret-coret anak TK menjadi lukisan Affandi
lalu korator cinta menggiling harga
sampai aku tak bisa menyentuh kulitmu, Mei
seperti Ateng merayu Mutiara Sani pada film-film jaman dulu......

Inilah sajak rayuanku
kutulis ketika semangkuk mie ayam Pasar Baru sudah kutelan bulat-bulat
sambil mendengar tukang parkir berteriak....Kiri Jalan Terus.......



Jakarta, 25 Oktober 2009.

1 comment:

Andry said...

mas, puisinya keren banget. boleh saya kutip ndak?