Wednesday, 21 November 2007

The Budiono Stories...

Cerita Di Balik kenaikan Budiono.

Tiba-tiba dengan kejutan yang luar biasa, bahkan bagi kalangan wartawan investigasi sekalipun, Presiden mengumumkan rencananya yang sudah memiliki tingkat kepastian politik, dimana Budiono mantan Menkeu di jaman Ibu Megawati Sukarnoputeri, yang juga kolega Presiden SBY saat-saat di kabinet Mega. Masuk kembali ke jajaran kabinet SBY-Kalla. Ini kejutan yang bukan main, karena nama Budiono sejak awal ditolak habis-habisan oleh Jusuf Kalla, bahkan sejak pembentukan kabinet rezim SBY-Kalla, setahun lalu (Th.2004). SBY sekali lagi telah mulai menggeliat dari tangan kuat Kalla, sekaligus pelan-pelan menyingkirkan peran Kalla, walaupun yang di korbankan mungkin saja Jusuf Anwar, orang netral dalam kabinet SBY-Kalla, tetapi memiliki kecenderungan untuk memihak SBY. SBY mengorbankan orang pilihannya (Jusuf Anwar) demi langkah selanjutnya yang lebih prinsipil menghilangkan secara penuh warna Kalla-Bakrie dalam tim ekonomi dan memulihkan kendali politik ke tangan SBY dari kendali Kalla yang sudah mengusik perannya sebagai Presiden.

Untuk menelisik lebih jauh apa dan mengapa SBY memasukkan Budiono serta rencana-rencana selanjutnya bagi SBY untuk memulihkan kendali politik dan ekonomi ke tangannya, maka bisa kita susuri satu persatu peristiwa, kinerja tim ekonomi dan tarik menarik politik antara berbagai kekuatan yang mengerubungi Istana dan cerita-cerita emosional di balik kenaikan Budiono.

Perseteruan kubu pro-IMF, Golkar dan Anti-IMF

Ada segitiga kekuatan yang sekarang berada di lingkaran inti kekuasaan ekonomi di Indonesia. Mereka adalah kubu ; Pro IMF, yang sering disebut-sebut sebagai kaum kanan, Golkar dengan sebutan tengah-kanan. Dan Anti-IMF yang sering disebut oleh lawan politiknya sebagai orang-orang kiri. Pada saat kekuasaan Suharto mengalami krisis hebat, dimana intervensi IMF sudah masuk secara lugas ke dalam kebijakan ekonomi Indonesia akibat krisis moneter 1997, IMF membangun jaringan kekuasaannya dengan memasukkan orang-orang yang berpaham benar-benar ‘western’ dalam landasan pemikiran ekonominya. Orang-orang ini menganut paham kebijakan yang pro-Amerika, bersikap moneteris Milton Friedman, dan tidak menyukai gagasan-gagasan campur tangan negara yang kuat bahkan untuk berpikir secara neo keynesian saja mereka mengharamkan. Kelompok ini berpusat pada orang-orang yang pernah direkrut IMF sebagai karyawannya dan ditempatkan di seluruh penjuru dunia, sebagai karyawan duta. Tokoh utama dalam kelompok ini berpusat pada Sri Mulyani Inderawati, seorang ahli ekonomi lulusan UI dan melanjutkan studinya di Amerika Serikat. Sri Mulyani (-yang pada saat itu di luar kabinet-) membangun kelompoknya yang sangat pro-IMF di lingkaran kekuasaan Megawati pada saat itu. Orang-orang yang berada satu jalur dengan Sri Mulyani dan memiliki akses kepada kekuasaan di kabinet Megawati adalah : Laksamana Sukardi, Rini Soewandi dan beberapa dirjen di lingkungan departemen (keuangan, industri dan perdagangan), termasuk Bank Indonesia yang dikuasai kelompok Miranda Gultom. Jaringan Sri Mulyani telah melaju kuat dan sempat menekan kelompok Dorodjatun Kuntjorodjakti yang didukung Menkeu Budiono. Awalnya Dorodjatun bersikap konservatif terhadap agresivitas kelompok Sri Mulyani dalam hal tuntutan kenaikan BBM, namun akhirnya sikapnya melunak.Penghapusan subisidi BBM yang menjadi pokok utama tuntutan IMF dalam memulihkan kondisi keuangan negara, mendapatkan tantangan yang kuat dari orang-orang yang boleh disebut berpaham sosialis. Orang-orang ‘kiri’ ini awalnya menumpukan kekuatan pada DR.Rizal Ramli (bekas tahanan politik Malari dan rekan aktivis Dorodjatun periode perlawanan politik mahasiswa dan intelektual, 1974). Tetapi kesalahan yang utama bagi Rizal Ramli adalah berharap banyak dari dukungan politik Gus Dur. Aksi politik Gus Dur yang menggusur berbagai kelompok yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya dan menempatkan orang-orang yang kurang kredibel dalam posisi-posisi strategis, membuat kubu Megawati pda saat itu didekati oleh kekuatan-kekuatan politik yang menghendaki ditumbangkannya Gus Dur dari posisi jabatan Presiden. Kubu Megawati yang pada awalnya enggan menyambut gandengan politik lawan-lawan politiknya yang dulu mengganjal posisi dia di Senayan tahun 1999, perlahan mulai membuka diri. Puncaknya adalah terowongan politik yang dibangun oleh suaminya, Taufik Kiemas ke kelompok penentang Gus Dur. Taufik Kiemas membangun aliansi kepada Amin Rais dengan komitmen menaikkan Megawati sebagai Presiden dan mengamankan posisi-nya sampai tahun 2004, menugaskan Amin Rais menyatukan sikap di kalangan umat Islam untuk berada di bawah kekuasaan Megawati dan tidak mengusik apapun yang diperbuat Megawati termasuk pembentukan Kabinet. Megawati yang leluasa membentuk kabinet akhirnya memasukkan dua orang ke dalam posisi paling strategis dalam kabinetnya, yaitu : Dorodjatun, sebagai Menko Perekonomian, dan Budiono sebagai Menteri Keuangan. Keputusan Megawati ini banyak diwarnai oleh nasihat mantan menteri senior di Era Suharto, Prof. Widjojo Nitisastro. Awalnya naiknya Dorodjatun disambut gembira kelompok kiri walaupun Rizal Ramli telah tersingkir. Kelompok kiri saat itu menggeser gantungan harapannya kepada : Kwik Kian Gie, seorang akademisi cemerlang lulusan Rotterdam yang pikirannya bergaya sosialis, bahkan disebut-sebut sebagai sosialis garis keras. Namun kegembiraan kelompok kiri ini tidak berlangsung lama, karena orang se-partai Kwik di PDI-P, Laksamana Sukardi menjadi penantang setiap kebijakan yang condong ke kiri. Bahkan Laksamana melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat tercela di mata orang-orang kiri, yaitu ; melakukan penjualan BUMN, layaknya seperti sopir angkot yang mengejar setoran. Kwik kerap berseteru dengan Laksamana, terutama masalah ikut campurnya IMF dalam kebijakan-kebijakan ekonomi di Indonesia. Bahkan suatu saat Kwik nyaris mengucapkan “Go To Hell, IMF”. Kwik yang menampik IMF jelas-jelas memposisikan dirinya pada situasi yang sulit. Karena pada saat itu anggaran keuangan negara membutuhkan dana segar, kelompok-kelompok negara kreditur yang biasanya kerap menggelontorkan dana bersikap hati-hati memberikan pinjaman ke Indonesia, perhatian mereka lebih kepada negara-negara berkembang yang sehat seperti : Vietnam, Meksiko dan pemulihan kondisi moneter di Argentina. Keuangan global yang diposkan ke negara-negara berkembang tidak jatuh ke Indonesia. Dan inilah yang membuat posisi IMF semakin kuat, karena berkat lobby IMF ke sindikasi keuangan internasional dan kesediaan IMF memberikan dananya ke Indonesia dalam beberapa tahap juga janji penyelesaian urusan khusus IMF yang dimulai tahun 1997 dan akan berakhir 2003, mau tak mau membuat orang-orang Sri Mulyani mendapat angin. Menguatnya kubu Mulyani pelan-pelan mengikis habis orang-orang kiri di kabinet Megawati, ditambah kelompok tengah-kanan (Golkar) yang setelah jatuhnya Suharto melakukan politik defensif, mulai mendapatkan jalan untuk memperkuat negosiasi. Golkar memiliki dua kubu pada era Megawati. Kubu Akbar Tanjung, dengan komandan strategi Mahadi Sinambela dan kubu Iramasuka (Indonesia Timur) yang dikomandoi Jusuf Kalla, Marwah Daud Ibrahim dan belakangan Agung Laksono membelot ke kubu Iramasuka. Kasus bulog II, yang menimpa Akbar merupakan ‘handycap’ utama bagi kubu Akbar dalam melakukan manuver politiknya, entah kenapa Akbar seakan-akan menggadaikan kubunya ke Megawati dengan dua pinjaman politik, memuluskan Megawati mempertahankan jabatan Presiden, lalu kedua, Megawati berjanji mendukung upaya-upaya lolosnya Akbar dari jeratan hukum. Kasus Bulog II, juga membuat Akbar melakukan blunder terbesar yang berakibat tersingkirnya Akbar dari ketua umum Golkar, blunder itu adalah mekanisme pencalonan Presiden oleh Golkar lewat proses konvensi. Dalam konvensi itu Akbar benar-benar dipermalukan oleh Wiranto, seorang Jenderal yang sepanjang karir militernya berada di luar garis Beringin (tidak seperti, Sudharmono, Hartono ataupun Prabowo). Akbar memang pernah mencoba menghubungi SBY sesaat sebelum ide konvensi berlangsung, namun keinginan Akbar itu kandas karena gadai politik terhadap Megawati. Megawati tidak akan suka sekutunya membangun aliansi dengan lawan politik yang paling dibencinya, bahkan kebencian terhadap SBY sudah masuk ke wilayah pribadi Megawati. Singkat cerita Akbar tersingkir, karena ketidakpercayaan cabang terhadap dirinya karena dipecundangi Wiranto, dan Golkar yang memiliki prinsip politik paling jelas, yaitu : ‘Siapa yang berkuasa, dia yang kita bela’ menjadi semakin berwarna Iramasuka ketika Kalla berhasil menduduki kursi wapres. Dengan mudahnya setelah setelah serangan kilat empat bulan, Kalla berhasil duduk menjadi ketua umum Golkar. Kalla dengan cepat pula menendang Akbar Tanjung yang sudah bersiap-siap memecat Kalla karena memihak kepada pihak lain tanpa seijin DPP. Kalla menang dan menguasai jalannya kekuasaan di tubuh Golkar.

Menguatnya kelompok Kalla.

Jusuf Kalla yang memiliki latar belakang pengusaha nasional dari Indonesia Timur dan kurang tercebur pada proses politik Suhartorian di era Orde Baru, memiliki kejeniusan politik yang luar biasa dalam membangun strategi politiknya. Proses-proses negosiasi dagang dimana dia memiliki pengalaman selama 30 tahun sebagai penguasaha membuat ia terbiasa berjalan di tengah konflik lalu mengambil keuntungan, dan meng-akumulirnya. Kalla tidak terbiasa dengan politik harmoni, ataupun politik yang memiliki unggah-ungguh (etika) Jawa, dimana mayoritas politisi Indonesia diluar Gus Dur, sangat mematuhi etika itu. Jaringan utama Kalla adalah pedagang praktis, dia bukan industrialis yang terbiasa dengan pola pikir strategis jangka panjang, otak Kalla yang pedagang sangat bernafsu bila melihat keuntungan-keuntungan jangka pendek. Strategi Kalla adalah strategi jangka pendek yang kemudian, keuntungan-keuntungannya diakumulir dan menyebar kedalam pukulan-pukulan politik yang mematikan. Akbar Tanjung sudah merasakan hebatnya pukulan Kalla. Dan cara dagang politik Kalla membuat benturan-benturan politik yang kadang menggoyang harmoni, cara Kalla mengingatkan kita pada gaya Wakil Presiden Adam Malik (1978-1983).

Jaringan Kalla yang pedagang praktis mendekatkan Kalla kepada kelompok-kelompok dagang pribumi, yang selama ini kurang mendapat perhatian politik di era Presiden Suharto. Pedagang-pedagang pribumi dengan segala macam asosiasinya mendapat perhatian Kalla dan dijadikan Kalla sebagai benteng terkuat untuk melakukan tawar menawar politik, bila Amien Rais menggunakan Muhammadiyah sebagai kuda tunggangan, Gus Dur Nadhlatul Ulama, Megawati Nasionalis-Sukarnois, Wiranto Nasionalis-Sekular-Orde Baru, Hamzah Haz, Islam-Luar Jawa, maka Kalla menggunakan Kadin, Hipmi, dan jaringan dagang Indonesia Timur sebagai kendaraan politiknya. Awalnya bila dilihat kendaraan politik Kalla paling lemah diantara semua pemain politik yang berperang pada pemilu Presiden (kecuali Gus Dur yang diganjal KPU). Tetapi nasib baik berpihak pada Kalla, tiba-tiba mencuat kharisma politik yang luar biasa dari Susilo Bambang Yudhoyono, koleganya paling dekat pada kabinet Megawati. Diusir dan didiamkannya SBY oleh Megawati, membuat opini masyarakat yang selama ini kecewa dengan perilaku politik Mega, memberikan dukungan penuh kepada SBY. Rebutan pinangan ke SBY dilakukan oleh lawan-lawan politik Megawati, tapi SBY selalu menolak, sedari awal ia menginginkan Kalla sebagai pasangan politiknya. Kalla yang menjaga perasaan Megawati -orang yang berjasa membersihkan namanya dari segala tuduhan Gus Dur- mengulur waktu untuk menerima tawaran SBY. Namun ketika Kalla mendengar SBY sudah akan bergandengan dengan pesaing politiknya, ia segera menghubungi SBY dan langsung mengajak kerjasama. Kerjasama politik antara SBY dan Kalla menyiratkan kemenangan bagi kelompok kanan yang pro IMF. Karena pada saat itu Golkar lebih menyenangi kelompok kanan ketimbang musti bersekutu dengan orang-orang kiri.

Kalla bersekutu dengan Aburizal Bakrie

Aburizal Bakrie, pengusaha nasional Indonesia yang sering mengklaim dirinya sebagai front terdepan pengusaha pribumi Indonesia, besar dalam lingkungan usaha. Ayahnya Abdullah Bakrie adalah pendiri NV. Bakrie, sebuah perusahaan kontrak minyak dengan investor asing yang laris dalam menekuni bisnis subkontraknya. Dan ditangan Aburizal perusahaan Hadji Bakri berkembang sedemikian rupa, pesat perkembangannya. Tapi perkembangannya itu didukung oleh kemampuan Aburizal bermain di ruang-ruang kekuasaan liwat asosiasi-asosiasinya, seperti Hipmi atau Kadin.

Disinilah Kalla mengenal Bakrie, liwat asosiasi pedagang yang sedikit banyak mengobarkan semangat anti cina dan menebalkan perasaan pribumi (hal yang sudah dilakukan dalam lebih satu abad sejak bangkitnya Sarekat Dagang Islam/SDI) dalam melakukan kampanye-kampanye bisnisnya. Dan ini tidak disukai oleh golongan konglomerat-konglomerat cina besar seperti Bian Koen dan Bian Kie, yang menyerang Aburizal dan terang-terangan mendukung Megawati.

Kalla melihat Aburizal Bakrie sebagai sebuah kekuatan potensial untuk menumbuhkan basis politik dengan dasar kekuatan pasar. Kalla yang sudah lama tidak menyukai dominasi pengusaha-pengusaha Cina secara sadar menempatkan gerbong Aburizal Bakrie sebagai kekuatan besar yang diharapkan menandingi kekuatan kelompok Cina dan kompradornya. Dan sikap kaku Kalla ini jauh lebih tidak bersahabat daripada sikap Megawati yang sudah terbiasa menghadapi kelompok pengusaha Cina karena pengaruh bapaknya, Sukarno yang tidak pernah menempatkan politik rasis sebagai barang dagangan.

Dengan demikian persekutuan politik antara Kalla-Bakrie lebih kepada penandingan terhadap kelompok Cina tapi kenyataan politik berjalan lain, persekutuan ini musti berhadapan dengan musuh yang tak diduganya : kelompok pro-IMF, dimana sedari awal mereka menganggap pro-IMF ini adalah teman yang jauh dari pikiran menggangu tapi apa daya idealisme SBY telah menjebak persekutuan mereka menjadi berhadap-hadapan dengan kaum kanan.

Dan tanpa sadar menggiring mereka membuka front terbuka terhadap SBY.

Kini pemegang kekuasaan setelah pemilu 2004 semakin jelas, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang didukung tentara Angkatan Darat dan Laut, partai-partai kecil (termasuk Demokrat) yang berhaluan Nasionalis, Partai-Partai Islam moderat (PKS, PBB, PPP dan PBR) dan Partai Amanah Nasional (PAN) yang baru pada detik-detik terakhir memberikan dukungannya. Jusuf Kalla telah menguasai seluruh gerbong Golkar dan menyingkirkan unsur Akbar Tanjung dalam DPP, hanya sebagian kecil lasykar Akbar tersisa di DPC-DPC ( sebagian Jawa dan Sumatera ). Gabungan antara SBY dan Kalla telah cukup untuk menyetir parlemen dan membungkam lawan politik utama SBY-Kalla, PDI-P pimpinan Megawati yang kadang-kadang dibantu PKB versi Gus Dur.

Kemenangan SBY dan Kalla yang sangat telak, malah bukan menciptakan sinergi dalam kubu pemerintahan baru tapi yang terjadi adalah meruncingnya persaingan, dan persaingan ini mulai dibuka menjadi genderang perang. Dan perang itu bermula pada saat penyusunan kabinet. Front pertempuran dibuka pada saat-saat formasi kabinet tim ekonomi. SBY yang sedari awal sudah tenang karena menganggap dirinya mahir dalam menciptakan strategi ekonomi jangka pendek, menengah dan panjang dengan visinya. Ternyata dikejutkan dengan sikap Kalla. SBY tidak menyangka Kalla memiliki pandangan politiknya yang begitu bertentangan dengan apa yang dimaui SBY. Perang mulut terjadi ketika membahas siapa yang layak menjabat posisi Menteri Koordinator Ekonomi dan Menteri Keuangan, SBY mengantungi nama Sri Mulyani, Dorodjatun, Marie J Pangestu, Kwik Kian Gie (akhirnya dicabut karena penolakan Megawati yang tidak mau Kwik membantu SBY). Sementara Jusuf Kalla menyodorkan Aburizal Bakrie, Rahmat Gobel dan sederet nama pengusaha yang tidak berlatar belakang akademis yang kuat sebagai inti dalam tim ekonomi. Kelompok Islam yang dikomandoi kubu PKS malah memperkeruh suasana, orang-orang dari partai Islam tidak suka jika Sri Mulyani dan Marie J Pangestu yang sudah mendapat stigma IMF-girls, masuk sebagai menteri utama Kabinet SBY.



Detik-detik terbentuknya tim ekonomi SBY-Kalla

Layaknya sebuah pernikahan, pertarungan kuasa siapa yang pegang kendali rumah tangga isteri atau suami biasanya terjadi di bulan-bulan pertama pernikahan, berbagai macam strategi dilancarkan baik dari pihak suami ataupun isteri. Begitu pula pada penguasa-penguasa Indonesia setelah era Sukarno-Suharto, semuanya penuh hitung-hitungan. Memang bila dipikirkan tidak mungkin SBY yang meraih kemenangan besar musti tunduk pada pendampingnya yang kekuasaannya jauh lebih kecil. Tapi Kalla bisa bersikap sebagai kancil, Ia berpendapat bisa saja SBY menang dalam Pemilu, tapi ia bisa saja dijatuhkan jikalau tidak dilingkari partai politik yang kuat, seperti kasus Gus Dur. Dimana pada awalnya Gus Dur meraih dukungan karena popularitas di parlemen juga karena akal-akalan Amien Rais namun ternyata, Gus Dur dijegal di tengah jalan sekaligus setengah dipermalukan. Kesalahan Gus Dur hanya satu..tidak punya partai yang kuat. Dan kini Kalla memilikinya, lalu SBY musti membayar semua itu.

Ada kisah menarik dalam drama pertarungan politik G-30-S, empat puluh tahun lalu, tanggal 1 Oktober 1965, yaitu dalam satu hari kekuasaan Republik Indonesia, tiga kali berpindah tangan. Jam enam pagi, di tangan Dewan Revolusi pimpinan Letkol (TNI/Inf) Untung Bin Sjamsuri yang melakukan gerakan sepihak dengan membunuhi enam Jenderal dari Staff Umum Angkatan Darat. Jam sepuluh pagi kekuasaan berpindah kembali ke tangan Sukarno yang menghendaki perubahan di struktur kabinet dan pembenahan jalannya revolusi, serta kebingungan akibat terbunuhnya enam Jenderal dan sikap konyol gerakan Untung, kekuasaan Sukarno hanya sampai jam lima sore, karena jam itu. Major Djenderal Suharto mengumumkan di radio RRI bahwa dialah pemegang kekuasaan di Angkatan Darat sekaligus bersumpah mengejar pembunuh para Jenderal dan mengecap gerakan Untung adalah kudeta. Dan sejak jam itu kekuasaan Sukarno tak pernah pulih dan Gerakan Untung mendapat nasib sialnya.

Begitu juga yang terjadi pada detik-detik formasi kabinet di tahun 2004, terutama jabatan-jabatan strategis di bidang keuangan. Pada hari rabu (12/10/04) pagi jam delapan SBY masih memegang kendali kekuasaannya, Ia memutuskan bahwa Menko Ekonomi Budiono atau Purnomo Yusgiantoro, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua Bapenas Marie J Pangestu. SBY secara bulat menegaskan inilah formasi ideal, pertama-tama suara mendesis muncul dari partai-partai Islam yang tidak menyukai kehadiran Marie, yang dianggap representatif dari CSIS, sebuah organisasi yang sempat memiliki reputasi buruk dimata kaum politisi Islam. SBY tidak mempedulikan suara dari partai-partai Islam yang kecil ini. Tapi ancaman hebat terjadi jam sepuluh saat itu Kalla secara mengejutkan membawa nama Aburizal (Ical) Bakri sebagai tokoh utama koordinasi ekonomi, sinyalemen naiknya Ical langsung membuat goncang jaringan konglomerasi Cina, dengan segera mereka mendesak agar jangan sampai Ical menguasai otoritas ekonomi di Indonesia, apalagi Ical akan membawa gerbong pengusaha pribumi yang dikenal pesaing keras terhadap kelompok Jaringan Konglomerasi Cina, semacam Rahmat Gobel ataupun Fadel Muhammad. Usaha kelompok konglomerasi ini berhasil menggagalkan gerbong Ical tapi untuk Ical, Kalla sudah terlanjur kepala batu. Bencana itu datang ketika Marie J Pangestu dan Sri Mulyani serentak mengundurkan diri bila bukan kelompoknya yang naik, Sri Mulyani lebih menghendaki Budiono atau Purnomo Yusgiantoro atau Dorodjatun Kuntjorojakti sebagai kepala tim ekonomi. SBY yang sempat dilanda kebingungan, akhirnya musti memutuskan jalan tengah yang pahit, yaitu tetap mengangkat Bakri tapi juga mengangkat Jusuf Anwar, seorang birokrat yang kurang menonjol prestasinya dan sudah menjelang pensiun, Jusuf Anwar dijadikan SBY sebagai benteng dan pengacau koordinasi, sekaligus informan bagi SBY terhadap kerja Bakri. Loyalitas Jusuf Anwar hanya satu, yaitu pada SBY, lain tidak. Inilah kenapa banyak orang mengendus Jusuf Anwar kurang mampu mengembangkan irama koordinasi, sementara Ical terlihat limbung melihat permasalahan ekonomi yang jauh lebih kompleks ketimbang hanya mengurus perusahaan go publik ataupun mencairkan hutang trilyunan di bank. (Kelak dikemudian hari tugas Jusuf Anwar mengacaukan koordinasi tim ekonomi berhasil diselesaikan dengan baik dan membuka jalan naiknya Sri Mulyani dan Budiono. Mundurnya Jusuf Anwar bukan kegagalan tapi justru keberhasilan strategi SBY untuk mendepak Aburizal Bakrie.)

SBY membiarkan Kalla menjalankan apa maunya, tapi ia tetap akan mengangkat Sri Mulyani sebagai menteri keuangan bila saatnya tepat (dikemudian hari) dan mendorong untuk lebih memperkuat jaringan kerjasama internasional terutama pembicaraan baru terhadap IMF sebagai institusi pendonor dana pembangunan.

Keesokan harinya, SBY dilihat orang sebagai pihak yang kalah dengan mengangkat Aburizal Bakrie dan Jusuf Anwar ke dalam tim ekonomi, tetapi ia masih mengulur waktu.

Dan waktu itu datang.

Masih ingat ketika Gus Dur memberhentikan Wiranto, bukan di Jakarta tetapi disebuah negara yang jauh dari Indonesia. Gus Dur tahu Wiranto masih sangat kuat tetapi ia harus memotong jalur Wiranto agar tidak terjadi persaingan yang sedemikian keras di tubuh Angkatan Bersenjata akibat rivalitas Wiranto dengan Jenderal yang sudah dipecatnya Prabowo dan juga Gus Dur ingin memuaskan tuntutan kaum reformis agar Wiranto dipecat. Begitu juga SBY merombak kabinet dengan langkah utama menyingkirkan Aburizal dalam tim ekonomi, tetapi pengumumannya di Medan jauh dari pusat kekuasaan.

Hari Jumat (2/12/04) setahun setelah berjalannya mesin Ical, SBY melakukan gerakan politik yang cukup mematikan terhadap kelompok Kalla. Setelah diisukan berbulan-bulan bahwa SBY kini dibawah kendali Kalla, dan tidak menjalankan tugas sebagai Presiden yang sejati, kini SBY sudah melakukan serangan politik ke Kalla. Pertama kali serangan itu dilakukan di Medan. SBY melakukan ini karena ia ingin tahu basis dukungannya diwilayah Sumatera, apakah siap bila ia akan bertarung frontal dengan Kalla. Golkar di Sumatera lebih bersimpati pada Akbar Tanjung ketimbang pada Jusuf Kalla, sekaligus SBY memastikan kekuatan di luar Golkar yang akan berpihak padanya seperti PAN di Sumatera Barat bahkan PDI-P di Sumatera Utara yang terkenal radikal. SBY mulai melancarkan politik koridor, ia membangun simpati lawan-lawan politiknya terutama Megawati dan Gus Dur, karena hanya dua orang inilah yang bisa melakukan persaingan sengit dengan Golkar. Akbar Tanjung yang tadinya akan ditarik ke tubuh Partai Demokrat, ternyata masih jadi kartu bagus untuk melawan Kalla, maka Akbar tetap dipertahankan di Golkar.

Pihak Kalla jelas kaget dengan sikap SBY yang bulan-bulan belakangan memberi harapan bahwa Aburizal tidak akan diganti, hanya Jusuf Anwar saja, sesuai dengan permintaan Kalla. Lantas dengan cepat Kalla mengkonsolidasikan kekuatannya untuk berhadapan dengan SBY di Jakarta, perang mulut terjadi diantara mereka dari jam 7.00 malam sampai jam 2.00 pagi, kemudian dilanjutkan pada minggu hampir seharian. SBY ngotot Sri Mulyani musti naik, dan Kalla jelas merasa dipermalukan dengan SBY karena selama ini ia sudah diatas angin dan SBY tidak memperdulikan orang-orangnya di Golkar. Agung Laksono ketua DPR melakukan pendekatan kepada pihak SBY tapi SBY tetap menolak, bahkan keputusannya dianggap final. Bahkan tawaran netral Sugiharto (menneg BUMN) untuk dijadikan menteri keuangan ditolak mentah-mentah oleh SBY.

Kalla yang mulai tinggi amarah politiknya justru bersiap menjawab tantangan SBY dengan melakukan sebuah perlawanan di kabinet dengan membuat garis yang lebih tegas lagi bahwa ada wilayah-wilayahnya yang tidak bisa disentuh SBY, Kalla tidak mau dipermalukan dengan disingkirkannya Aburizal karena dengan demikian kendali politik dibidang ekonomi terlepas dari tangannya, Ia sangat tidak menyukai Budiono dan Sri Mulyani yang dianggap sebagai karyawan IMF, dalam hal ini Kalla menjadi berhaluan sosialis-kiri dan sikap kanan Kalla tidak nampak terlihat. Tapi SBY sudah bersiap menghadapi amarah Kalla ia pun membangun formasi perlawanan tapi ia sadar amunisi politiknya sudah ‘old crack’ maka ia dengan cerdik mengeluarkan senjata lama tetapi cukup mematikan.

Dan senjata pamungkas-pun dikeluarkan SBY...Kekuatan Jawa... Seakan-akan mengikuti jejak Bung Karno dalam mengumumkan perang antara RI dengan Kerajaan Belanda dalam klaim terhadap Irian Barat dan mencanangkan operasi militer Trikora, SBY mengumumkan genderang perang dengan Kalla di Yogyakarta. Ada anekdot-anekdot lucu dibalik Yogyakarta dipilih oleh Bung Karno sebagai tempat memutuskan perang dengan Kerajaan Belanda yang bisa saja memancing Amerika Serikat dan Inggris karena Sukarno menggunakan amunisi Uni Soviet dalam mempersenjatai militer Indonesia. Kata orang Sukarno berkonsultasi dengan Ratu Kidul penguasa pantai selatan, dan diijinkan membawa bala tentara Ratu Kidul tapi setelah operasi trikora selesai Bung Karno lupa pamit pada Ratu Kidul sehingga banyak anak buah Ratu Kidul tersasar kemana-mana, dan bentuknya adalah mewabahnya tikus-tikus sawah dan kekeringan, ini barus diselesaikan ketika ada acara ruwatan lewat pertunjukan wayang barulah bencana usai.

Tapi jelas SBY bukan meminta bantuan Ratu Kidul tapi kepada Sri Sultan Hamengkubuwono X, simbolisasi budaya Jawa. SBY tahu bahwa Kalla kini bukanlah teman sepaham tapi justru menjadi musuh dalam selimut, dan SBY jelas jauh ketinggalan dimana-mana dalam posisi politik dengan Kalla, hanya satu dia menang. SBY orang Jawa. Dan Kalla menyadari itu dari awal bahwa dia tidak akan bisa menang bila sentimen kedaerahan dimunculkan sebagai senjata pertarungan, karena penduduk Yogyakarta plus Jawa tengah saja lebih banyak jumlahnya dari penduduk seluruh Sulawesi. Kalla berkali-kali mengucapkan dia tidak mungkin jadi Presiden karena dia orang bukan Jawa. Tapi kenyataan politik menjawab lain Kalla terus menerus membangun armada politiknya untuk bersiap menghadapi Pemilu, bahkan dalam jangka pendek menyaingi SBY, suatu hal yang dapat membuat lawan-lawan politik terkesiap, termasuk Megawati dan Amien Rais

Di Yogyakarta-lah SBY menembak Kalla, membangun jarak dan ruang tembak agar tepat untuk merobohkan kekuatannya tetapi tidak mematikan, karena bagaimanapun tujuan SBY terbatas hanya untuk mengendalikan Kalla. Tapi beda dengan lawan-lawan politik Kalla, Megawati, Amin Rais, Gus Dur, beberapa golongan Nasionalis kecil, Islam politik, Golkar Jawa-Sumatera pro-Akbar Tanjung dan kelompok sosialis kiri bersiap menghadapi Kalla sekaligus menghadapi Kalla. Bagaimanapun bintang terang Kalla membahayakan posisi mereka menjelang Pemilu 2009. Persekutuan politik terselubung untuk menggusur Kalla kini sudah terbentuk dan SBY masuk ke dalam zona persekutuan itu mau tidak mau justru dialah yang seakan menjadi pemimpin dan nampak dipermukaan untuk menantang Kalla secara terang-terangan, SBY berdiri di depan. Sementara para jago politik masih menyimpan senjata politik dan energi mereka, Megawati membenahi parlemen, Gus Dur menghantam kelompok Alwi Shihab yang mencoba mengkudeta wibawa Gus Dur dan SBY sudah deal untuk menyenangkan Gus Dur menendang Alwi Shihab, Amien Rais sibuk membangun citra politik partainya sebagai partai berhaluan nasionalis-pluralis sementara kaum politisi Islam berjalan di tempat menunggu arah angin politik, kelompok sosialis kiri bersiap memasuki kandang-kandang politik favorit mereka yang saat ini masih terdapat pada PDI-P dan PKB. Sementara militer jelas bulat di belakang SBY.

Jusuf Kalla yang sepanjang tahun 2005 terlihat jumawa, dimulai ketika ia menjadi komandan pengendalian Tsunami yang keputusan wapres-nya membuat kejutan banyak pihak, Konsep perdamaian GAM yang seakan-akan mengambil perjudian politik sebagai bayaran perdamaian sampai konseptor naiknya harga BBM yang tidak masuk akal (80%-200%), membangun armada politiknya sebagai kekuatan partai terbesar dan tidak mungkin dikalahkan kini menghadapi lawan serius, KONSOLIDASI JAWA......dan sepanjang sejarah Indonesia, Jawa tak bisa dikalahkan...PRRI/PERMESTA di Sumatera, Kahar Muzzakar di Sulawesi, DR Soumokil di Ambon, Gerombolan DII/TII di pedalaman Jawa Barat dan berbagai daerah di Aceh dan Sulawesi, PSI dan Masyumi yang merongrong Sukarno pada kehendak demokrasi terpimpin sampai dengan bangkitnya militer Angkatan Darat yang dikomandoi beberapa perwira tinggi Diponegoro menghancurkan segitiga besi: PKI, Sukarno dan Angkatan Darat pro-Jakarta, sampai percobaan separatis GAM-Aceh telah membuktikan sejarahnya bahwa konsolidasi Jawa bukan hal yang bisa dianggap remeh. Dan SBY tahu itu.

ANTON

No comments: