Wednesday 21 November 2007

Benang Merah Garis Politik Sukarno-Suharto

Benang Merah Garis Politik Sukarno-Suharto Dalam Peta Politik Indonesia

Oleh : ANTON


Adalah suatu yang menarik melihat keterkejutan masyarakat yang berkembang tentang koalisi Nasionalis Golkar – PDIP dimana pendapat yang bermunculan menyatakan bahwa koalisi Golkar-PDIP adalah sebuah pengkhianatan yang dilakukan elite politik PDIP terhadap sejarah perjuangan dari kaum yang termarjinalkan dalam iklim penindasan Orde Baru.

Sebuah pendapat yang mungkin benar bila dilihat dari sisi emosional politik tapi mungkin juga tidak benar bila dipandang dari rasionalitas politik dengan mencoba memahami benang merah dari tradisi dan ideologi sebuah partai. Bagaimanapun Golkar adalah pewaris dari sistem otoriter Sukarno yang disempurnakan oleh Suharto dengan mengadopsi nilai-nilai Nasionalisme yang agak chauvinistik. Garis Sukarno dalam menentukan politiknya setelah pembungkaman PSI dan Masyumi di tahun 1960 adalah membentuk sistem Partai Tunggal yang mendukung kekuasaannya, hanya saja fragmentasi politik pada waktu itu masih menyisakan residu maklumat 1945 dimana fragmentasi ideologi sangat luas dan penuh konflik. Sukarno hanya berhasil menyatukan ideologi dan menyelesaikan konflik-konflik paham politik dengan wacana Nasakom serta membentuk Front Nasional dimana warna Komunisme sangat kental dan diiringi lagu Sukarno ‘Revolusi Indonesia adalah Revolusi Kiri’. Warna kiri dalam ajaran-ajaran Revolusi Sukarno sekaligus menasbihkan konsolidasi kekuatan politik yang menihilkan ruang kompromi dan itu disokong oleh kekuatan PKI –yang sejatinya adalah Nasionalis kiri ala Sukarno, PNI (Mesin Birokrasi) dan Militer. Tripancang politik Sukarno ini justru membuahkan konflik antara Militer dengan Sipil dalam hal ini PKI untuk memperebutkan Angkatan Bersenjata.

Setelah gagalnya Gerakan 30 September 1965. Kekuatan figur politik Sukarno berakhir dan dunia internasional dikejutkan dengan munculnya Jenderal Suharto yang dalam waktu tiga bulan pertama berhasil menghancurkan mental Sukarno. Pada tahun 1967 lewat sebuah pertempuran politik gaya Jawa yang tarik ulur barulah jelas siapa pemenang politik yang menjadikan Suharto adalah Presiden Republik Indonesia.

Suharto melakukan inisiasi politiknya sebagai Presiden RI dengan memperbolehkan beberapa Partai terlarang di masa Demokrasi Terpimpin seperti Murba untuk ikut dalam Pemilu tapi juga tetap melarang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi. Di titik konsistensi pelarangan PSI dan Masyumi inilah Suharto secara sadar membangun politiknya sejalan dengan impian Sukarno yaitu terbentuknya Partai Tunggal pendukung kekuasaan. Jalan Suharto ini tidaklah berbeda dengan jalan yang dibentuk oleh Lenin dalam menguasai Russia dibawah Partai Komunis Uni Sovyet, Adolf Hitler lewat Partai Nasionalis-Sosialis ataupun Mao Tse Tung yang dengan sukses membentuk sistem satu Partai. Pada tahun 1945 menjelang diumumkannya Maklumat 1945 oleh Hatta yang isinya ‘memperbolehkan partai-partai berpolitik kembali dalam payung Republik Indonesia’ yang menentang adalah Sukarno, sejak awal Sukarno menghendaki sistem satu Partai seperti di Jerman, sebagaimana Sukarno sangat mengagumi Hitler dalam membentuk mekanisme politik yang terintegrasi, kuat dan fasistis.

Namun berbeda dengan Lenin, Hitler ataupun Mao. Sukarno memiliki kelemahan paling fatal yaitu gagalnya dukungan Angkatan Bersenjata untuk masuk ke dalam struktur partai atau minimal Jenderal-Jenderalnya melakukan sumpah setia kepada pemimpinnya sebagaimana yang dilakukan oleh Hitler terhadap Angkatan Darat Jerman.

Problematika Angkatan Bersenjata ini menghantui Bung Karno karena dirinya tidak bisa sepenuhnya menguasai militer. Pemenang bagi penguasa Angkatan Bersenjata dari tubuh politisi sipil adalah Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tangan kanan Hatta di tubuh militer adalah AH Nasution yang dicibiri Sukarno sebagai ‘Jenderal Petak (kecil) Kontra Revolusi’ dan untuk melawan Nasution, Sukarno menggunakan Ahmad Yani namun gagal karena tersandung proyek Angkatan Kelima.

Suharto sendiri maju sebagai Jenderal kemudian menjadi Presiden bukan karena merupakan orbitan pemimpin-pemimpin politik sipil. Justru karir Suharto jatuh akibat permainan elite baik dari Sipil maupun Militer. Gagalnya penunjukkan Suharto sebagai Panglima Dwikora dalam rencana penyerbuan operasi militer Malaysia menunjukkan Suharto telah dikebiri oleh kekuatan politik sipil di lingkaran dalam Sukarno. Jauh hari sebelumnya Suharto juga pernah dipermalukan oleh Nasution, Yani dan staff perwira SUAD dalam tuduhan korupsi di lingkungan Divisi Diponegoro. Ini menunjukkan Suharto bukanlah bagian dari rencana ‘pembintangan’ karir menuju kursi Presiden dimana jago-jago yang dielus-elus waktu itu adalah : Jenderal Nasution, Jenderal Ahmad Yani, Subandrio, Chaerul Saleh atau DN Aidit. Suharto jadi bebas dari usaha-usaha dikte yang dilakukan elite sipil maupun militer pasca G 30 S.

Independensi Suharto ini sama dengan Independensi Sukarno dalam identifikasi politik. Sukarno memang anak didik HOS Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam tapi dia berhasil melepaskan cap Islam dalam merk politiknya. Sukarno malah berhasil membangun identifikasi politik yang berkarakter Nasionalisme, dan karakter Nasionalisme ala Sukarno inilah yang memerdekakan Indonesia. Jadi bisa dikatakan Proklamasi 1945 adalah kemenangan paling penting di tubuh kaum Nasionalis terutama sekali Nasionalisme berorientasi Sukarno.

Penentangan dominasi kaum Nasionalis bukannya tidak terjadi sepanjang Revolusi Bersenjata 1945-1949 tapi justru berkali-kali dilakukan penyerangan secara sporadis kekuatan politik Nasionalis baik dari golongan Kanan dalam hal ini kelompok Islam Radikal dan golongan kiri yaitu, Komunisme. Kaum Komunis menjadi lawan kuat identifikasi nasionalisme di Indonesia, kaum komunisme era pasca Proklamasi 1945 adalah sisa-sisa penganut paham Komintern yang dibubarkan untuk mendukung pakta Sekutu melawan Hitler. Setelah kehancuran Jerman dan kesalahan Presiden Franklin Delano Roosevelt untuk menghambat laju Uni Soviet di Timur Eropa maka paham Komintern dihidupkan kembali dan difokuskan pada tiga ring. Ring Pertama pada teater politik Eropa Timur, Ring Kedua di Amerika Latin dan Ring Ketiga di wilayah Asia-Afrika. Tujuan utama geopolitik paham Komintern (Komunisme Internasional) adalah menafikan batas-batas negara, meniadakan Nasionalisme dan membentuk dewan-dewan (Soviet-Soviet) yang merupakan kepanjangan tangan dari diktator proletariat. Ketiga hal inilah yang paling ditentang pemimpin-pemimpin Nasionalis baru dunia ketiga yang walaupun landasan mereka Marxisme namun mereka besar dalam lingkungan Borjuis yang mengakar dalam.

Pada Ring Asia beruntung bagi Amerika Serikat, bahwa Stalin agak kurang memperhatikan perkembangan politik di Asia pada periode 1945-1949 dan ini membuat Presiden AS Harry S Truman mengisi seluruh wilayah Asia dengan sistem Liberalisme yang cenderung Anti Komunis kecuali di Vietnam yang pada waktu itu masih mati-matian bertempur dengan kolonialis Perancis. Keberhasilan paling gemilang bagi Harry S Truman adalah mengamankan posisi Indonesia dari pengaruh kaum komunis dan juga membuat sinergi politik (sesuatu yang banyak gagal pada era Presiden AS sesudah Truman dalam hubungannya dengan Sukarno) yaitu melakukan pakta kerjasama dengan pemerintahan Sukarno-Hatta-Sjahrir dan bersama-sama menghancurkan kekuatan kiri baik ‘Satelit Moskow’ seperti Musso maupun ‘Trotskys Nasionalis’ ala Tan Malaka.

Hancurnya Komunisme di tahun 1948 sekaligus memperburuk citra politik komunis seperti era Hindia Belanda. Merupakan kemenangan besar kedua bagi kaum Nasionalisme setelah Proklamasi 1945, adalah menarik melihat misteri hilangnya Tan Malaka yang nyaris berdekatan waktunya dengan ditembak matinya Musso cs di Boyolali. Padahal Tan Malaka adalah lawan terberat bagi politik Komintern. Sinyalemen ini hanya bisa ditunjukkan dengan bahwa Tan Malaka adalah ancaman terbesar bagi Sukarno.

Fragmentasi politik Indonesia terbesar terjadi pada tahun 1951-1959 setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sentralistis. Yang menarik disini peran politisi berbasis Islam di tahun-tahun 1951-1955. Walaupun tuntutan mereka untuk mengubah konstitusi negara Republik Indonesia dengan dasar hukum-hukum Islam namun mereka tetap membingkai dalam bentuk Nasionalisme. Dasar-dasar kebangsaan kelompok Islam ini justru sama kuat dengan kaum Nasionalisme Sekuler yang mendukung Pancasila sebagai landasan bernegara. Kelompok Islam era Demokrasi Liberal terpecah menjadi dua, yang pertama adalah Masyumi, yang banyak didukung politisi Islam luar Jawa dan yang kedua adalah Nadhlatul Ulama (NU) kelompok barisan ulama yang memiliki bukan saja jaringan politik tapi juga jaringan silsilah kyai-kyai besar di Jawa.

Masyumi sebagai kekuatan Islam yang diam-diam juga didukung oleh Muhammadiyah dengan tegas mengkampanyekan konstitusi Islam dalam Rencana Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang baru ditentang kuat oleh Sukarno, dititik inilah baru pertama pertarungan antara Nasionalisme ala Sukarno dilawan dengan politik Islam Moderat yang rata-rata berasal dari luar Jawa dan kurang memahami budaya Jawa dalam interior resmi konstelasi politik formal Indonesia. Nadhlatul Ulama - yang pada awalnya merupakan onderbouw dari Masyumi kemudian pecah setelah perebutan pos Departemen Agama yang secara tradisi dimiliki NU kemudian oleh Masyumi diputuskan diduduki dari Ormas Islam lain - , dengan terang-terangan melawan garis politik Masyumi dan mengikuti Nasionalisme aliran Sukarno. Dan Masyumi menjadi hancur lebur karena dengan sengaja mengundang kekuatan militer AS dalam konflik PRRI/Permesta dimana Soemitro Djojohadikusumo dari PSI juga terlibat. Masuknya AS dalam konflik separatis ini mengundang antipati kekuatan kaum Nasionalis Indonesia. Bahkan sampai era Orde Baru, Suharto sangat membenci Masyumi dan PSI. Puncaknya Suharto memenjarakan tokoh-tokoh PSI yang dianggap terlibat Peristiwa Malari 1974 dan mengisolasi secara politik eks pemimpin Masyumi dari panggung kekuasaan Orde Baru. Peristiwa PRRI/Permesta juga merupakan awal dari terlemparnya kelompok Islam dan kelompok intelektualis berhaluan liberal dalam konstelasi politik Indonesia sampai saat ini.

Masuknya NU sebagai bagian dari aliran Nasionalisme Sukarno membuat Sukarno sadar bahwa ide-nya di masa muda tentang bersatunya tiga aliran politik pokok di Indonesia Nasionalisme – Agama (Islam) dan Komunisme ketiganya disebut dengan akronim Nasakom, harus segera diwujudkan sebelum Indonesia dimakan oleh kekuatan besar politik Internasional.

Sukarno bertambah semangat untuk menyatukan kekuatan besar tiga aliran politik setelah munculnya empat anak muda : DN Aidit, MH Lukman, Nyoto dan Sudisman untuk merevitalisasi Partai Komunis Indonesia yang sebelumnya sudah porak poranda. Kegembiraan Sukarno terpusat pada diputuskannya garis partai dalam kongres PKI ke V (Lima) pada bulan Maret 1954 yang sesungguhnya adalah memutus hubungan peran PKI sebagai agen Soviet dan memasukkan PKI ke dalam lingkaran Revolusi Sukarno (DN Aidit merumuskan ini ke dalam tulisan ‘Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia disingkat MIRI). Strategi partai ini sekaligus mementahkan ‘Resolusi Jalan Baru’ Musso 1948 yang mengandung anasir dimasukkannya Republik Indonesia sebagai bagian dari Revolusi Dunia yang berpusat di Moskow. Lokalitas PKI versi 1954 dengan produknya yang berupa taktik dua tahap dimana tahap pertama adalah revolusi demokratis dan tahap kedua revolusi komunis ternyata sejarah membuktikan PKI versi 1954 hanya mampu bertahan pada Revolusi tahap pertama, Revolusi Demokratis dan hancur berkeping-keping akibat terjebak pada taktik konyol Gerakan 30 September 1965.

Ikutnya PKI versi 1954 ke dalam pusaran Sukarno tak lepas dari keberhasilan Sukarno melakukan kaderisasi politik di era pendudukan Jepang. Dua orang pemimpin utama PKI DN Aidit dan MH Lukman bahkan pernah merasakan diajari politik langsung bukan saja oleh Sukarno tapi juga Hatta, AK Gani dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya pada tahun 1939-1945 (bahkan ayah MH Lukman yang sahabat Hatta menamakan anaknya dengan meniru Hatta, yaitu Mohammad Hatta Lukman). DN Aidit juga bagian dari ‘Genk Sukarni-Wikana’ yang memaksa Sukarno-Hatta mengumumkan kemerdekaan segera setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Kedekatan-kedekatan inilah yang memungkinkan PKI versi 1954 justru menjadi mesin politik Sukarno ketimbang menjadi bagian dari Revolusi Moskow. Bahkan pada saat Sudisman mengajukan pledoinya pada tahun 1967 yang dianggap merupakan ‘Pembelaan Terakhir PKI’ pada Mahmilub tersirat jelas pemahaman PKI adalah membela kepentingan Sukarno bukan melakukan tindakan Revolusioner sesuai kepentingan Moskow ataupun Peking.

Titik penting memahami peran PKI dalam era Sukarno adalah bahwa Nasionalisme Sukarno selain merupakan Nasionalisme berpaham Kiri tetapi juga Nasionalisme yang mengembangkan kekuatan-kekuatan riil di masyarakat dalam melakukan peran Revolusionernya dimana kader-kader PKI kerap menjadi pelopornya. Bingkai Revolusi Sukarno sesungguhnya menjadi realitas pada tingkatan geopolitik tapi sama sekali gagal dalam membangun mental seperti yang di idam-idamkannya dalam Trisakti, Manipol Usdek dan sederet jargon-jargon politik ‘Character Building’ lainnya. Revolusi Sukarno juga adalah usaha tersistematis untuk membangun kekuasaan Majapahit Raya di Asia Tenggara dimana wilayah Malaysia, Filipina Selatan dan Thailand Selatan dianggap bagian dari wilayah Majapahit. Hanya saja Sukarno terhalang pada garis demarkasi Van Heutz di tahun 1910 yang membatasi wilayah Hindia Belanda hanya sejangkau Sabang-Merauke bukan Saigon-Merauke.

Tahun 1960-1965 merupakan tahun puncak dari konsolidasi kekuasaan Sukarno yang sentralistis, bergaya Monarki Jawa dan Nasionalis - Fasis. Mesin birokrasi politik Sukarno tetap dikuasai orang-orang birokrat keturunan Priyayi yang tidak memiliki fanatisme ideologi kecuali menjadi mesin birokrat yang patuh dan korup. Mesin birokrasi ini terpusat pada Departemen Dalam Negeri dan Lingkaran Dalam Istana kedua habitat itu dikuasai oleh PNI. Sementara perwira tinggi Angkatan Bersenjata terbelah menjadi dua setelah hancurnya Perwira Tinggi luar Jawa karena kasus PRRI/Permesta maka tinggal dua kelompok yaitu : Perwira Tinggi di Jakarta yang elite, bergaya hidup kosmopolitan, intelektual dan pro Amerika dengan Perwira Tinggi di daerah yang kolot, Nasionalisme sempit, anti intelektual dan Sukarnois. Pada kelompok kedua-lah Suharto dibesarkan.

Terlepas dari berkembangnya wacana yang mengkaitkan Suharto sebagai bagian dari orang CIA terselubung namun bila dilihat dari perkembangan politik yang berkembang sebelum dan sesudah peristiwa G 30 S, adalah lebih tepat bahwa Suharto adalah titik temu dari kekuatan-kekuatan konflik yang bertemu dimana sesungguhnya adalah usaha naif untuk mempertahankan ‘ide Sukarno tanpa Sukarno’.

Flirting antara Sukarno dan Mao Tse Tung yang membuahkan ide Angkatan Kelima menjadi titik awal konflik antara Nasionalisme Sukarno versus Kepentingan Sukarno. Sinyal awal pertarungan ini adalah berkembangnya pergesekan intelektual antara kubu yang menamai dirinya ‘Barisan Pendukung Sukarnoisme’ (BPS) dimana ujung tombak mereka adalah Seyuti Melik yang menulis artikel ‘Memahami Sukarnoisme’ yang isinya mementahkan peran PKI dalam Sukarnoisme dengan ‘Pendukung Revolusi Sukarno’ dimana peran PKI sangat terasa. Dibubarkannya BPS oleh Sukarno menandai bahwa Sukarno lebih mementingkan kepentingan politik praktis ketimbang memelihara dukungan pendukung tradisionalnya, Kaum Nasionalisme ala Sukarno. Pembubaran BPS ini juga berakibat pada dilarangnya Partai Murba dimana pemimpin Murba Sukarni ditahan. Dan disambut tepuk tangan hangat oleh PKI. –namun kemudian hari justru terbongkar bahwa BPS memang merupakan mantel dari kekuatan-kekuatan anti Sukarno, hal ini terbukti setelah mentahnya dukungan PNI terhadap Sukarno pasca G 30 S -

Main mata Jakarta-Peking inilah yang membuat gerah pendukung Nasionalisme Sukarno terhadap Sukarno, karena dengan sadar Sukarno menjadikan Republik Indonesia yang independen seakan-akan berada dibawah pengaruh Peking. Letnan Jenderal Ahmad Yani yang tadinya merupakan macan andalan Sukarno untuk melawan Nasution menjadi dekat dengan Nasution yang pro AS dan sudah mempersiapkan aksi penggulingan Sukarno dengan melakukan konsolidasi kekuatan anti Sukarno di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Koalisi Nasution-Yani ini menjadikan Sukarno dikucilkan akses militernya dalam mengerahkan pasukan untuk mengobarkan perang Malaya. Perang Malaya sesungguhnya dijadikan prolog dari pertempuran antara kekuatan Kiri dengan Imperialis Kanan yang akan bertemu di Saigon. Tujuan utama dari Perang Malaya sendiri adalah menguasai politik regional Asia Tenggara yang bersih dari pengaruh Inggris dan Amerika Serikat.

Tidak seperti politik Irian Barat yang mengantarkan Sukarno pada reputasi tertingginya. Politik Konfrontasi Malaysia justru mengantarkan dia pada kehancuran politik yang puncaknya adalah aksi dari ajudan Sukarno yang secara misterius menculik enam Jenderal Angkatan Darat dan membunuhnya.

Tindakan konyol Letnan Kolonel Untung, Komandan pasukan khusus pengawal Sukarno menjadi bumerang bagi karir Sukarno. Dan mulai pagi 1 Oktober 1965 muncullah Suharto sebagai Matahari baru dalam dunia politik di Indonesia.

Suharto adalah bintang yang tak pernah digadang-gadang oleh kelompok manapun. Nama besarnya hanya muncul sekilas saat dia berhasil menjadi Panglima Mandala dalam usaha merebut Irian Barat dan itupun tertutup oleh hingar bingar pujaan terhadap Sukarno. Ia mengawali karir sebagai perwira militernya di Yogyakarta, di kota inilah ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar Republik Indonesia seperti : Sukarno, Jenderal Sudirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pemahaman tentang konsepsi Indonesia sangat minim dan terbatas hanya pada peran militer, inilah mengapa di jaman Orde Baru rekonstruksi sejarah kemerdekaan Indonesia ditafsirkan sebagai ‘pemuda gondrong dengan bambu runcing’ melawan tank Belanda ketimbang perjuangan intelektual ala Sjahrir di meja Perundingan.

Suharto mengalami hubungan emosional yang kuat pada gagasan Sukarnoisme lewat konsepsi ‘Bakti Negara’ nya dalam tugas-tugas militer. Ia memandang Nasionalisme Sukarno sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar oleh ideologi dan kepentingan politik apapun. Ia sendiri memerangi ‘Musuh-Musuh Sukarno’ sejak era Jenderal Sudharsono tahun 1947 sampai pada politik Irian Barat dan berakhir pada diri Sukarno.

Suharto menghancurkan kelompok Islam Radikal seperti Batalyon 426 di Jawa Tengah, Menyerbu Makassar dan menghancurkan Kahar Muzzakar, menyiapkan armada besar dalam persiapan pelumatan sisa-sisa kolonialisme Belanda di Irian Barat. Hal-hal inilah yang membawa Suharto pada gagasan Nasionalisme Indonesia baru yang chauvinistik dan tanpa kompromi. Tidak seperti Bung Karno pencetus konsepsi Nasionalisme itu sendiri yang agak terpaksa memberi ruang kompromi bagi lawan-lawan politiknya, Suharto, kelak setelah menjabat Presiden tidak pernah satu centimeter pun memberikan ruang kompromi politik bagi lawan-lawannya sesuai dengan mental serdadu.

Gagasan-gagasan Sukarno tentang Nasionalisme seperti : Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan RI, Proklamasi 1945 dan Sentralisme peran Negara menjadi dogma paling suci bagi Suharto. Suharto melihat PKI tidak lebih dari agen asing dan Sukarno terjebak dalam umpan PKI sehingga melupakan cita-citanya sendiri.

Sebuah misteri sejarah terbesar sampai saat ini?, mengapa Jenderal-Jenderal itu diculik dan dibunuh?, siapa yang memerintahkan bunuh?, kenapa Suharto tidak menjadi sasaran?, Apa hubungan Latief dengan Suharto pada dua pertemuan menjelang G 30 S dan dimana Suharto pada malam G 30 S menjadi tugas sejarawan untuk menjelaskan fakta-fakta materiil, sampai saat ini kita hanya bisa menarik dari akibat munculnya Suharto pada 1 Oktober 1965.

Kemunculan Suharto pada pagi hari 1 Oktober 1965 mengawali dominasi figur publiknya sampai pada detik ini. Suharto bukan saja berhasil menggebuk PKI ia juga menjungkalkan Sukarno dan membangun era Orde Baru yang sangat berkarakter. Fanatisme terhadap ajaran Sukarno tentang konsep Nasionalisme diterapkan secara membabi buta, ia sangat membenci hal-hal yang berbau asing PKI sendiri dianggap produk asing yang tidak sesuai dengan gaya hidup Indonesia, ia tidak menyukai intelektualitas, menjauhi gaya hidup barat seperti yang pernah dilakukan Bung Karno dan Ahmad Yani, tidak berusaha belajar bahasa Inggris dan tidak bangga dalam menggunakan komunikasi bahasa asing seperti : Inggris dan Belanda. Bila Bung Karno senang menari lenso di waktu senggangnya, maka Pak Harto lebih menyukai menggunakan sarung dan membaca koran di ruang belakang rumahnya di Cendana sembari merokok pipa dan mendengarkan burung perkutut. Sukarno dan Suharto adalah dua pribadi yang sungguh jauh berbeda namun memiliki jalan pikiran politik yang sama yaitu membentuk kekuatan kaum Nasionalis yang didukung Angkatan Bersenjata untuk menguasai secara mutlak Indonesia Raya. Disinilah kunci memahami benang merah hubungan politik Sukarno-Suharto.

Kemenangan pertama Suharto setelah Sukarno berhasil disingkirkan adalah menguasai Angkatan Darat secara mutlak. Reputasi ini tidak pernah dicapai oleh Sukarno. Suharto sama sekali tidak mengusik wilayah politik elektoral sampai tahun 1969. Fokus utama pemulihan kekuasaannya, adalah menertibkan pembunuhan-pembunuhan atas orang-orang PKI dan simpatisan Komunisme terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang pada awalnya dipicu oleh propaganda Suharto dengan dukungan RPKAD dibawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo namun pembunuhan-pembunuhan itu menjadi tak terkendali. Masalah kedua adalah pemulihan kondisi ekonomi Indonesia dengan cara meminta-minta bantuan negara-negara barat seraya membuka iklim investasi liberal di Indonesia, dan ketiga adalah melakukan rumusan Orde Baru yang sederhana, praktis dan efektif.

Setelah berhasil memulihkan kondisi ekonomi akibat hutang-hutang Pemerintahan Sukarno, inefisiensi pengelolaan moneter dan macetnya cash cow keuangan negara. Maka Suharto masuk ke wilayah politik elektoral. Pada awalnya Suharto menyukai PNI dan hal ini didukung oleh Ali Murtopo yang menyetujui untuk membangun peran sentral PNI kembali dalam politik elektoral untuk mendukung Orde Baru.

Partai Nasional Indonesia, PNI merupakan tali penghubung antara Sukarno dan Suharto. PNI pada awal-awal setelah meletusnya G 30 S menjadi ambivalen, karena mereka harus mempertahankan Sukarno tetapi juga separuh senang karena musuh utamanya PKI hancur total. Pada awalnya Sukarno yang menganut kebijakan ‘Mempertahankan PKI sampai mati’ berhasil menggeser PNI menjadi kiri dibawah veteran tua Ali Sostroamidjojo pengagum Marxisme sekaligus jenis feodal yang malas. Ali berkoalisi dengan Surachman, tokoh PNI yang dekat dengan PKI – yang oleh koran-koran pro Orde Baru disebut ‘PNI Asu’, PNI Ali-Surachman - . Hal ini jelas menyingkirkan PNI Hardi yang inklusif, aristokrat, anti militer dan intelektual. Setelah Sukarno tersingkir PNI merevitalisasi dirinya sesuai dengan perkembangan politik, Osa Maliki dan Usep Ranuwihardja berhasil meneguhkan PNI berpihak pada Orde Baru pada pertarungan Sukarno-Suharto. Jasa-jasa Osa-Usep inilah yang mendorong Suharto untuk berpikiran akan menggunakan PNI sebagai alat politiknya. Namun pikiran ini berantakan karena Osa Maliki keburu wafat tahun 1968. Suharto memberikan peluang pada sahabat lamanya di masa ia menjabat Panglima Divisi Diponegoro, Hadisubeno. Diangkatnya Hadisubeno sebagai pemimpin PNI mengejutkan banyak orang karena pada waktu itu banyak analisa menjagokan Hardi kembali memimpin PNI. Hubungan manis Suharto dengan entitas PNI harus berhenti tatkala ia disodorkan pilihan untuk menggunakan Sekber Golkar sebagai kendaraan politik Orde Baru.

Tertariknya Suharto pada Golkar dikatalisir oleh Gerakan HR Dharsono pada tahun 1968. HR Dharsono yang merupakan bagian dari ‘Grup Jenderal Elang’ sangat anti terhadap Sukarno dan memiliki basis kekuatan militer pada Divisi Siliwangi banyak berpengaruh pada intelektual muda yang tumbuh sebagai antitesis terhadap politik Sukarno. Kelompok muda Bandung dikenal ‘sangat Amerika’, Liberal, Anti Militer, tidak menyukai politik aliran, dekat dengan PSI, memiliki akses kepada perwira-perwira tinggi pro Orde Baru terutama sekali perwira tinggi Siliwangi dan punya koran ‘Mahasiswa Indonesia’ yang opininya memiliki daya pengaruh kuat di kalangan elite intelektual Indonesia.

HR Dharsono mengemukakan sistem politik Indonesia harus segera direkayasa menjadi sistem ‘Dua Partai’ seperti di Amerika Serikat. Artinya, hanya ada satu partai pemerintah dan satu partai oposisi. Suharto tidak senang dengan gagasan ini, ia berhati-hati terhadap politisi-politisi sipil warisan jaman sebelum Orde Baru. Gagasan HR Dharsono ditanggapi keras oleh politisi-politis sipil karena ditengarai akan memicu pembubaran partai-partai politik oleh pemerintah. Kecaman terhadap HR Dharsono ini juga merupakan kesempatan bagi Suharto menyingkirkan HR Dharsono dalam panggung kekuasaan, HR Dharsono dicopot dari jabatan Pangdam Siliwangi dan ‘membuangnya’ sebagai Duta Besar di Thailand. Setelah itu Suharto membersihkan lawan-lawan potensialnya yang banyak tumbuh dari Siliwangi dan melakukan ‘desiliwangisasi’ di tubuh elite militer.

Tawaran mendayagunakan Sekber Golkar ditanggapi baik oleh Suharto. Pada awalnya di Parlemen hanya ada ‘Fraksi Karya Pembangunan’ dimana anggotanya dipilih langsung dan digunakan untuk menghapus kekuatan Sukarno di Parlemen. Sekber Golkar sendiri awalnya ditengarai oleh Ali Murtopo berisi perwira-perwira tinggi fanatik Sukarno dari blok anti Komunis. Dan Ali sangat berhati-hati terhadap usulan Golkar untuk digunakan sebagai mesin elektoral Orde Baru. Dengan kecerdasannya yang tajam Ali Murtopo berhasil mencaplok Golkar dan membersihkan pemimpin-pemimpinnya di era Sekber 1964 yang dianggap pro Sukarno. Pencaplokan Ali Murtopo terhadap Sekber Golkar tahun 1969 diikuti dengan pengisian orang-orang Ali Murtopo untuk menyetir Golkar dan berlangsunglah Golkar fase pertama.

Golkar fase pertama adalah masuknya orang-orang Ali Murtopo dan dukungan intelektual anti Sukarno untuk mengisi posisi teras Golkar. Bian Koen, Bian Kie, Cosmas Batubara, David Napitupulu dan sederet pemimpin mahasiswa era 1966 menjadi tokoh kunci dalam pembajakan Sekber Golkar, dan kemudian diikuti kelompok intelektual yang cenderung tidak partisan serta dekat dengan PSI seperti Rahman Tolleng, Rachmat Witoelar, Mansur Tuakia, Sulaiman Tjakrawiguna, Rubianto Ramelan dan Sarwono Kusumaatmadja.

Orang-orang inilah yang kemudian membentuk warna intelektual Golkar yang baru yaitu : Partai Modern. Kinclongnya Golkar sekaligus mengesankan partai-partai politik lainnya seperti ‘barang-barang tua yang memuakkan’. Masuknya Mukti Ali (pemimpin Islam) ke dalam tubuh Golkar menandai bahwa Golkar merupakan kekuatan politik inklusif, tidak memiliki ideologi dan bersifat plural. Golkar dalam strategi Ali Murtopo diarahkan menyerupai konsepsi Nasakom Sukarno dan Front Nasional-nya. Sehingga nantinya akan menjadi kekuatan Politik tunggal yang mendukung Orde Baru dan memang itu terwujud di tahun 1973 ketika fusi Parpol dilakukan.

Koalisi Ali Murtopo dan intelektual muda pro PSI dalam tubuh Golkar berakhir setelah peristiwa Malari 1974. Sebelumnya barisan intelektual muda di koordinasi Arief Budiman melakukan kegiatan ‘Golongan Putih’ atau Golput sebagai protes terhadap rekayasa politik Orde Baru.

Pada awalnya Suharto menjaga jarak dengan Golkar, ia menganggap Golkar hanyalah mesin elektoral yang kurang penting arti politisnya dibanding Angkatan Darat dan dia seperti halnya Sukarno ingin menjadi Godfather dalam sistem politik Indonesia dimana Suharto bukan saja milik Golkar tapi juga milik semua Partai Politik. Suharto juga mendekat pada kelompok Islam terutama NU yang dinilainya cenderung adaptif terhadap kekuasaan dan tetap menyayangi kelompok PNI warisan Sukarno. Namun Suharto semakin sadar untuk melakukan politik kamuflase terhadap serangan dunia Internasional tentang kekuasaannya, ia membutuhkan faktor legitimasi dan legalitas terhadap kedudukannya sebagai Presiden lewat Pemilu yang demokratis, dan satu-satunya cara adalah mengendarai Golkar serta menyetir Parpol-parpol kecil. Kemenangan Pemilu 1971 yang mengejutkan dimana Golkar menang 60% membuat keyakinan Suharto bahwa Front Nasional seperti cita-cita Bung Karno bisa dimanifestasikan lewat Golongan Karya.

Setelah Malari 1974 Suharto memperlemah politisi-politisi sipil dengan memasukkan kaum Parpol sebagai ‘outsider’ yang tak mungkin masuk ke dalam lingkungan kekuasaan – bila sebelumnya orang-orang seperti Mintaredja dari PPP dan Sunawar Sukowati dari PDI-PNI bisa menjadi lingkaran dalam Suharto- maka sejak konsolidasi 1974 sekaligus penyingkiran Jenderal Soemitro dan Mayjen Ali Murtopo maka peran politisi sipil habis . Pariah-nya politisi-politisi sipil berbasis aliran merupakan sebuah rekayasa logika sinting Suharto dan anehnya itu dibenarkan bagi mereka yang menjadi bagian dari sistem Politik di Indonesia. Logika ini bisa dibaca dari pernyataan-pernyataan ketua Partai diluar Golkar yang selalu mengatakan gembira menjadi ‘Oposisi Loyal’ dan tujuan utama kaum Parpol tapi menjadi orang gajian pemerintah di Parlemen. Disinilah Suharto berhasil memegang dunia Politik Indonesia 100% ditangannya. Sesuatu yang tidak pernah berhasil dilakukan oleh seluruh Gubernur Jenderal jaman Hindia Belanda, Sukarno ataupun politisi lain yang pernah ada di Indonesia.

Dengan politik logistik, Suharto berhasil menggiring kelas menengah Indonesia sebagai kaum lemah yang memiliki ketergantungan dengan proyek-proyek pemerintah. Orang-orang Cina yang memiliki bakat usaha di lokalisir dan semuanya tersentral pada Cendana. Suharto sadar untuk tidak memberikan akses ekonomi bagi pengusaha-pengusaha pribumi karena ia tahu, bila pengusaha pribumi memiliki duit maka langkah selanjutnya adalah menjungkalkan pemerintahan dan ia tidak mau itu terjadi.

Para mahasiswa angkatan 1966 sendiri terpecah menjadi berapa kelompok. Kelompok pengusaha sukses yang rata-rata modal awalnya menikmati semburan minyak Pertamina, kelompok politisi tulen yang kemudian menjadi menguasai Golkar setelah tersingkirnya Sudharmono tahun 1993, dan kelompok intelektual penentang Orde Baru yang konsisten. Dari tiga kelompok inilah, kelompok ketiga sangat berpengaruh untuk menyadarkan masyarakat bahwa Suharto telah salah jalan dan melakukan usaha terus menerus untuk melakukan aksi penggulingan terhadap Suharto dengan membangkitkan gairah perlawanan kaum muda. Eksistensi pertama dari kelompok ketiga ini adalah peristiwa Malari. Rusuh Malari harus dilihat sebagai awal tidak legitimated-nya kekuasaan Suharto di mata kaum intelektual dan masyarakat urban yang bukan dari pendukung Sukarno.

Untuk melihat proses bercerainya Golkar dengan kelompok intelektual, dan masuknya Golkar sebagai bagian dari ‘Front Nasional’ gaya Suharto adalah dengan memperhatikan perkembangan pemikiran intelektual-intelektual Indonesia dari garis Partai Sosialis Indonesia, PSI yang banyak berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran kaum muda intelektual pada belahan pertama 1970-an.

Partai Sosialis Indonesia, PSI adalah partai pecahan dari Partai Sosialis (partai pemerintah pimpinan Amir Sjariffudien) setelah perjanjian Renville yang kontroversial dan masuknya Amir Sjarifuddien ke dalam organ Massa Komunisme dimana kemudian dilawan Sutan Sjahrir dengan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang terpisah dengan jaringan Komunisme. Sutan Sjahrir sendiri merupakan mentor yang mampu menciptakan generasi intelektual yang dikemudian hari mewarnai Indonesia. Pengikut-pengikut militan Sjahrir seperti Djohan Sjahruzah, Soedjatmoko, Rosihan Anwar dan Soemitro Djojohadikusumo terbukti mampu membangun karakter intelektual yang berpengaruh pada fase awal Orde Baru.

Orde Baru 1967-1969 bisa dikatakan merupakan proyek ‘PSI’ dari perombakan struktur Angkatan Darat yang diotaki oleh Jenderal Suwarto yang dekat dengan PSI, pemapanan kekuasaan Suharto sebagai Pejabat Presiden sampai pada perumusan kebijakan-kebijakan strategi politik dan ekonomi. Orde Baru 1967-1969 berarti ‘Modernisasi’ dan kata ‘modernisasi’ ini merupakan sebuah patokan bagi kelompok-kelompok intelektual pengaruh PSI untuk merumuskan perjuangan mereka pasca Sukarno.

Penekanan pada pengaruh intelektual-intelektual eks PSI ini dalam membedah perjalanan Golkar memiliki arti yang sangat penting, karena bagaimanapun pupuk yang mampu membesarkan Golkar dan kemudian hari menyelamatkannya di tahun 1998 adalah karena gagasan-gagasan PSI yang menjadi titik awal perjalanan Golkar. PSI sendiri dijamannya memiliki pengaruh besar bagi pemikiran-pemikiran elite partai bukan saja pada partai-partai sehaluan tapi juga partai-partai lawan PSI seperti PNI dan PKI.

Modernisasi Indonesia yang menjadi keberhasilan terbesar bagi Rezim Suharto 1966-1998 merupakan gagasan yang dikembangkan oleh kalangan PSI dan simpatisannya sejak tahun 1930-an terutama sekali saat konflik St. Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang kemudian menjadi patok pertama pembelaan untuk memenangkan apa yang disebut Sjahrir sebagai ‘Kultur Borjuis sebagai Peradaban Dunia’ dan sejak saat itu Sjahrir serta anak didiknya memandang barat sebagai satu-satunya peradaban yang dimenangkan. Tidak seperti Sukarno dan Hatta yang memilih berjabat tangan dengan Jenderal-Jenderal Pendudukan Jepang di Istana Gubernur Jenderal, Sjahrir malah melakukan gerakan bawah tanah dengan Amir Sjarifudien dan beberapa anak didiknya menolak propaganda Jepang. Banyak orang termasuk Sukarno sendiri yang menganggap gerakan bawah tanah Sjahrir semata-mata hanya strategi perjuangan, tapi yang lebih tepat adalah Sjahrir menolak Fasisme sebagaimana ia menolak otoritarian Komunisme. Dan penolakan Sjahrir itu merupakan harga mati sekaligus menentukan warna sosialisme yang diperjuangkannya. Sosialisme yang menghargai kebebasan individu, anti perang, anti militerisasi, kosmopolitan, humanisme dan berpandangan universal. Gagasan-gagasan inilah yang kemudian hari banyak bersinggungan bahkan bertentangan baik kepada Sukarno maupun Suharto di era sesudahnya.

Masuknya pengaruh PSI, Pembelaan terhadap Orde Baru yang anti Komunisme, dukungan jutaan rakyat pada Pemilu 1971 dan Dukungan pemerintah dan Angkatan Bersenjata terhadap Golkar membuat Golkar menjadi sebuah organisasi politik pertama di Indonesia dengan watak Populis, Berorientasi Kekuasaan dan Rasional. Ketiga pengaruh ini tidak dimiliki PNI yang populis, berorientasi birokrat tapi kurang rasional. PKI yang populis, rasional tapi terisolasi dari kekuasaan incumbent atau PSI sendiri yang rasional, memiliki akses kekuasaan (di era demokrasi liberal) tetapi tidak populis.

Suharto sendiri mengalami nasib yang persis sama dengan Sukarno di awal kekuasaannya tahun 1945-1947 yaitu memiliki ketergantungan yang besar terhadap ide-ide Sjahrir untuk membongkar tantangan-tantangan yang dihadapinya. Dependensia Sukarno terhadap Sjahrir adalah menghilangkan kesan bahwa pemerintahan RI merupakan ‘buatan Jepang’ yang berada di bawah pemimpin-pemimpin kolaborator seperti Sukarno, Hatta, Ahmad Subardjo dan birokrat-birokrat lokal yang bekerjasama dengan Jepang. Sjahrir dianggap oleh Inggris dan Belanda sebagai ‘kawan’ karena berjuang melawan Jepang sebagaimana kaum resistance di Belanda, Perancis, Yugoslavia atau negara-negara Skandinavia. Kepahlawanan Sjahrir ini dimanfaatkan oleh Sukarno dengan membiarkan Sjahrir menuangkan ide-idenya, dan manifestonya yang terkenal dari Sjahrir ‘Perdjoangan Kita’ menjadi landasan rasional untuk Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Digunakannya landasan Sjahrir ini menjadikan watak asli Sukarno tidak dapat muncul ke permukaan politik resmi pemerintah Indonesia. Gagasan-gagasan Sukarno tentang Partai Tunggal, Nasionalisme garis keras, Revolusi Kiri, Penggunaan Angkatan Bersenjata untuk kepentingan politik, dan Kultus Individu seperti Raja-Raja Jawa tidak berjalan dengan baik namun berhasil menyusup ke alam bawah sadar bangsa Indonesia. Sukarno lewat ribuan pidato-pidatonya pada jaman Revolusi 1945-1949 dan kemampuan dia melakukan sentral publik opini dengan sendirinya menjaga gagasan-gagasannya yang akan muncul di kemudian hari.

Dengan kelihaian Sjahrir dan Hatta maka Indonesia dapat menghentikan peperangan 1945-1949, dan tanpa disadarinya menghentikan ‘romantika gelora Bung Karno’. Tujuan utama politik Sjahrir adalah menghentikan peperangan dengan demikian akan menyelamatkan nyawa jutaan pemuda-pemuda Indonesia dan bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan modernisasi bangsa Indonesia ketimbang sibuk bertempur. Tujuan politik itu berhasil diselesaikan dengan baik oleh Sjahrir, tapi bukan suatu yang nyaman bagi Sukarno. Apa yang diinginkan Sjahrir dan Hatta oleh Sukarno bukan lagi perjuangan yang penuh getar, apalagi Konferensi Meja Bundar, KMB 1949 masih menyisakan Irian Barat yang belum diserahkan pada Indonesia sesuai dengan kesepakatan ‘seluruh wilayah Hindia Belanda di Nusantara adalah milik Pemerintahan Indonesia’ sementara Belanda menganggap Irian Barat bukanlah bagian dari Nusantara yang memiliki pengaruh peradaban Jawa-Sumatera tetapi bagian dari gugusan Asia-Pasifik sama halnya dengan Australia. Sukarno memanfaatkan celah untuk kesempatan politiknya dan gongnya dimulai tatkala AH Nasution menelurkan konsepsi Dwi-Fungsi ABRI serta DN Aidit mengarahkan PKI mendukung Sukarno. Dengan momentum itu Sukarno memanfaatkan ABRI dan PKI untuk tujuan-tujuan yang diklaim sebagai gagasan Nasionalisme Indonesia. Dan mulai saat itu Sjahrir ditendang keluar dari sistem politik Indonesia.

Sejarah berulang, begitu yang sering dikatakan kaum sejarawan. Suharto mengulangi perbuatan Sukarno dalam melakukan politik kekuasaannya, awalnya Suharto tergantung sekali dengan PSI kemudian setelah kuat menendang kuat-kuat pengaruh PSI dan mengisinya dengan Nasionalisme gaya Orde Baru.

Menjelang runtuhnya kekuasaan Sukarno di Indonesia tumbuh gerakan-gerakan mahasiswa yang berorientasi aliran seperti : Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berorientasi PNI, CGMI yang PKI, HMI berkiblat pada Masyumi dan Gemsos yang PSI. Walaupun partai-partai induk dibubarkan namun gerakan idee mahasiswa tetap berlangsung dan semarak. Yang perlu diperhatikana dari gerakan-gerakan ini adalah kelompok intelektual yang tumbuh di Bandung dimana kemudian hari begitu mewarnai gerakan penumbangan Sukarno. Dan gerakan mahasiswa Bandung sendiri memiliki akar anti Sukarno, rasional, liberal dan pro Amerika Serikat bila ditilik dari karakter ini maka tak pelak mereka adalah binaan PSI. Gerakan mahasiswa Bandung tersebut mendapat dukungan dari perwira-perwira tinggi Siliwangi. Aliran pemikiran Bandung ternyata berpengaruh pada mahasiswa-mahasiswa non partisan yang berdomisili di Jakarta dan kemudian mereka membentuk lingkaran diskusi, lingkaran diskusi inilah yang menjadi bibit-bibit demonstrasi mahasiswa 1966 dimana mereka pertama kali yang berteriak ‘Anti Sukarno’.

Setelah Suharto berhasil mengisolasi Sukarno dan mengamputasi kekuatan-kekuatan Sukarnois setelah sebelumnya membunuh PKI dengan brutal. Suharto memiliki jalan yang lebar untuk menjadi Presiden RI tanpa saingan, hanya saja ia memerlukan legitimasi dunia internasional terutama barat. Dan untuk mengetuk pintu barat maka Suharto menggunakan eks PSI untuk memainkan peran, maka berbondong-bondong kaum PSI yang dulu dihajar oleh Bung Karno menjadi pembicara pada seminar-seminar perumusan Orde Baru yang diselenggarakan oleh Angkatan Darat. Hal ini sama persis dengan kebutuhan Sukarno memanfaatkan Sjahrir untuk membuka pintu hati Inggris dan Belanda agar mereka memberikan legitimasi politik Internasional.

Bulan madu Suharto dan PSI berlangsung selama hampir sepuluh tahun, sebuah masa yang nyaris sama dengan saat pengaruh Sjahrir dalam pemerintahan Indonesia sebelum peristiwa PRRI. Setelah berhasil melakukan penaklukan terhadap parpol-parpol melalui fusi politik 1973 Suharto membangun mekanisme politik Indonesia yang sampai saat ini belum bisa dihancurkan oleh kekuatan Reformasi 1998. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gabungan NU dengan partai Islam di luar NU, Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan PNI dengan partai-partai kristen serta partai nasionalis sekuler diluar Golkar.

Fusi politik itu juga menandai mulai dihancurkannya kekuatan PSI di dalam tubuh Golkar dan peminggiran kaum intelektual dengan meninggalkan mahasiswa yang terakhir kali ditemui Suharto pada kampanye anti Korupsi 1970. Suharto yang memang pada dasarnya Sukarnois terselubung, dan diam-diam sebagai priyayi Jawa memilih PNI membentuk PNI-barunya lewat Golkar. Golkar dijadikan Suharto sebagai mesin penghasil birokrasi seperti PNI. Semua pegawai negeri harus mencoblos Golkar dan menjadi loyalitas Golkar paling militan, seluruh sektor sosial-masyarakat dimasuki Golkar tidak terkecuali wilayah Islam yang memiliki tingkat resisten terbesar terhadap gagasan-gagasan Nasionalis-Sekuler. Lewat Ali Murtopo yang membangun GUPPI (Gerakan Usaha Pendidikan dan Pembaharuan Islam) Ali melakukan rekruitmen terhadap kader-kader militan Islam untuk mendukung politik ‘satu partai’ Orde Baru.

Ledakan anti PSI gaya Suharto juga menyerupai gaya Sukarno yang menangkapi pemimpin-pemimpin PSI di tahun 1960. Suharto melakukan penangkapan terhadap orang-orang eks PSI setelah peristiwa Malari seperti Prof. Sarbini Sumawinata, Rosihan Anwar, Soebadio Sastrosatomo dan intelektual-intelektual muda yang dekat dengan PSI seperti : Syahrir, Marsillam Simanjuntak, Dorodjatun Kuntjorojakti, Hariman Siregar serta menyingkirkan elite Militer yang terkena pengaruh PSI seperti : Jenderal Sumitro dan Jenderal Sutopo Yuwono. Sejak Malari inilah intelektual-intelektual muda yang Liberal, Sekuler, Anti Militer, Pro Amerika Serikat dan Humanisme-Universal menjadi lawan terhadap pemerintahan Suharto yang Nasionalis, Otoriter, Feodalis-Jawa, irasional dan sentralistis.

Adalah menarik untuk mencermati bahwa Sukarno dan Suharto tidaklah memiliki ideologi yang berbeda dalam menjalankan kekuasaannya. Suharto adalah anak ideologis Sukarno sekaligus korban dari pemahaman yang salah terhadap konsep Nasionalisme Sukarnoisme itu sendiri. Bila Sukarno masih berhasil menarik bangsanya untuk tidak menjadi bahan mainan kekuatan politik Internasional dan bersikap ekspansif layaknya Raja-Raja Majapahit, Suharto malah bersikap seperti Raja-Raja Mataram (pasca Sultan Agung) yang dengan mudah menggadaikan potensi negara untuk memperkuat kekuasaan. Ini sama saja dengan Amangkurat II yang memberikan konsesi pelabuhan-pelabuhan pesisir di Semarang, Tuban, dan Gresik pada VOC untuk menghantam Trunojoyo. Dan Suharto memberikan konsesi ladang-ladang minyak, Sumber Daya Alam dan potensi negara untuk membunuh musuh-musuhnya.

Namun dibalik bertolak belakangnya cara berkuasa, mereka berdua memiliki gagasan yang sama yaitu : Nasionalisme yang anti terhadap ideologi-ideologi asing, tidak dekat dengan Islam, anti Liberalisme, gemar terhadap penggunaan kekuatan militer dalam melakukan pendekatan politik, sentralistis dan otoriter.

Dari mereka berdualah lahir partai politik seperti PDI Perjuangan dan Golkar. PDIP sendiri merupakan revitalisasi ketiga PNI yang muncul pada tahun 1986 dan membangkitkan kenangan terhadap Bung Karno. Suharto memiliki jasa besar dalam membangkitkan Sukarnoisme di masyarakat dalam warna paling vulgarnya, yaitu ketika ia melihat mulai membesarnya politik Islam pasca Revolusi Islam Iran 1978 dan tumbuhnya pusat-pusat diskusi Islam-politik yang banyak di gawangi oleh pemimpin-pemimpin eks Masyumi. Suharto juga mengantisipasi ledakan ekspor revolusi Islam Iran yang banyak juga banyak ditakuti negara-negara mayoritas Islam lainnya. Pada tahun 1982 Orde Baru menyadari bahwa Islam telah digunakan untuk melawan pemerintah dan berpotensi menjadi oposisi yang populis di luar jalur, apalagi kemudian muncul suara-suara dari kalangan Islam yang menggugat Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Suharto harus menggunakan senjata politiknya, dan ia tahu senjata untuk melawan golongan Islam yang sudah mulai membidik masalah Pancasila dan konstitusi adalah ‘Gagasan-Gagasan Sukarno’ karena menurut penilaiannya, Sukarnoisme mampu meledakkan gairah kembali emosional Nasionalisme bangsa Indonesia yang di jaman Orde Baru terasa kering. ‘Teori Getar Sukarno’ ini kemudian ditanggapi oleh Suryadi pemimpin PDI yang juga merupakan binaan Jenderal LB Moerdani, Pangab pada waktu itu. Suryadi merayu Megawati agar ikut dalam gelanggang politik dan menampik komitmen keluarga Sukarno untuk tidak ikut ke dalam kancah politik.

Atas bantuan suami Megawati, Taufik Kiemas. Suryadi berhasil menggaet Megawati di tahun 1986 untuk ikut dalam kampanye Pemilu. Di titik inilah PNI mengalami revitalisasinya setelah dua dasawarsa mati suri. Gambar-gambar Bung Karno diusung kaum muda. Kaum tua yang setia pada Sukarnoisme, eks PKI dan simpatisan Komunisme yang ditindas pada masa Orde Baru, seluruh orang yang terkenang akan kejayaan Bung Karno dan kharismanya berhamburan di jalan-jalan. Eforia Bung Karno ini mengalihkan perhatian publik pada kerja politik Suharto dalam mempecundangi Partai Persatuan Pembangunan, PPP rival berat Golkar pada Pemilu sebelumnya. Suharto dengan brillian membangkitan kenangan permusuhan lama antara Masyumi dalam hal ini diwakili Parmusi dengan Nadhlatul Ulama, operasi politik Suharto berhasil memecah PPP. Di bawah Gus Dur dengan NU-nya bersemangat menggembosi PPP dan bergabung dengan Golkar. Gus Dur juga mendekat pada Jenderal LB Moerdani yang dianggapnya mampu menjadi rival Suharto di saatnya nanti.

Operasi Suharto yang gemilang menghancurkan PPP dan kekuatan-kekuatan Islam justru mempercepat gerak perlawanan dari politisi-politisi Nasionalis yang seperti batang terendam di jaman Orde Baru. Tidak seperti golongan Islam yang kurang mendapat legitimasi dalam memperebutkan kursi Presiden dan menguasai negara karena faktor beban ‘perjuangan Negara Islam’ kaum Nasionalis memiliki justifikasinya karena Pancasila, UUD 1945 dan konsep NKRI adalah gagasan orisinil kaum Nasionalis yang juga dimanfaatkan oleh Suharto.

Setelah PPP hancur lebur dan kekuatan Islam tersingkir dari permukaan politik digantikan dengan hingar bingar ‘kenangan Bung Karno’. Suharto harus melakukan langkah kedua yaitu : Menghancurkan senjatanya (yang sempat digunakan mengkamuflase penghancuran Islam-Politik), Megawati. Untuk mengimbangi ledakan Nasionalis-Sukarno dan mengembalikan Nasionalisme pada rel Orde Baru, Suharto membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), mendekat pada Muhammadiyah dan golongan-golongan Islam baik NU atau di luar NU dan membangun koridor terhadap Ormas-Ormas Islam seperti yang dilakukan oleh Ali Murtopo di tahun 1970-an. Tahun 1989 Suharto mengganti Posisi Pangab LB Moerdani dengan eks ajudannya Jenderal Try Sutrisno yang akan digunakan untuk melawan pengaruh LB Moerdani. Ini sama persis seperti yang dilakukan Sukarno dengan mengangkat Yani untuk melawan pengaruh Nasution.

Bersamaan dengan menguatnya PDI dimana PNI mengalami kebangkitannya, kaum katolik yang juga sejak lama menguasai peta intelektual Indonesia dan memegang pos-pos penting terutama di bidang Keuangan menjadi sinergi dengan kekuatan Angkatan Bersenjata faksi LB Moerdani. Perkembangan PDI-Megawati menjadi semakin tidak terkendali ketika beberapa pensiunan pemimpin Angkatan Bersenjata menyeberang ke PDI dan adanya dukungan diam-diam Angkatan Bersenjata terhadap Megawati. Dukungan ini tidak lepas merupakan dampak dari memburuknya hubungan Golkar dan ABRI yang renggang karena Suharto dengan keras kepala memasukkan Sudharmono sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Suharto. Sudharmono tidak disenangi oleh LB Moerdani dan mengingatkan masyarakat pada tuduhan yang pernah dilakukan Ismail Sunny tahun 1977 tentang keterlibatan Sudharmono pada peristiwa Madiun 1948, tudahan Sunny satu dasawarsa sesudahnya didukung oleh BAIS (Badan Intelijen Strategis), sebuah badan intelijen ABRI bentukan LB Moerdani. Bahkan di masyarakat berkembang berita yang menyebutkan Sudharmono sebagai perwira Divisi Ronggolawe ditangkap oleh perwira Siliwangi Umar Wirahadikusumah dan dibawa ke Yogyakarta untuk diadili karena mendukung PKI dan ditengarai Sudharmono adalah kader PKI.

Tuduhan terhadap Sudharmono ini ditanggapi dingin oleh Suharto dan ia tetap menjadikan Sudharmono sebagai calon Wakil Presiden menggantikan Umar Wirahadikusumah. Keras kepalanya Suharto ini menunjukkan bahwa Suharto bukanlah seorang Jenderal veteran yang murni Anti PKI atau komunistophobi. Loyalitas Suharto hanya satu yaitu : pada kepentingan politiknya, seperti halnya Bung Karno yang setia pada satu hal : Tujuan-tujuan politiknya.

Keputusan Suharto jelas membuat kecewa Jenderal-Jenderal yang sedari awal menolak Sudharmono dan separuh percaya berita miring tentang Sudharmono, bahkan Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo mengundurkan diri dari MPR karena memprotes dicalonkannya Sudharmono.

Penolakan terhadap Sudharmono merupakan titik awal perpecahan antara perwira-perwira tinggi Angkatan Darat dengan Suharto. Suharto menganggap perkembangan Indonesia ke depan tidak boleh tergantung oleh kekuatan bersenjata. Ia ingin memperdayakan kekuatan sipil, apalagi setelah adanya tekanan dari dunia Internasional tentang berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia. Suharto tidak lagi bisa menggunakan dukungan dunia barat untuk pembenaran pelanggaran HAM-nya atas nama anti komunisme yang tenar itu, karena kekuatan komunis dunia sudah berantakan dan kekuatan PKI di Indonesia telah benar-benar hancur. Selain itu Suharto ingin memperdayakan Golkar bukan lagi hanya sebagai mesin elektoral semata tetapi juga lembaga pengkaderan politisi sipil yang kelak akan mendukung kelanjutan rezim Suharto dan penggantinya.

Walaupun Sudharmono tidak populer dikalangan Jenderal-Jenderal Angkatan Darat namun harus diakui dia sangat berhasil dalam memimpin Golkar bukan saja menjadi pemenang Pemilu yang telak, tapi juga mampu membangun struktur pengkaderan sipil yang nantinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan Golkar juga terhadap rezim Suharto –sekaligus klik penting di Golkar dalam pendongkelan Suharto- . Sudharmono menumbuhkan tokoh-tokoh sipil berbakat seperti : Murdiono, Sarwono Kusumahatmadja, Ginandjar Kartasasmita, Rachmat Witoelar dan Akbar Tanjung. Tokoh-tokoh ini merupakan jenis politisi-politisi yang mampu mempertahankan citra Golkar ketika hantaman reformasi datang dan mereka bukan berasal dari lapisan Saudagar-saudagar kaya yang datang belakangan.

Keras kepalanya Suharto untuk menaikkan sipil dalam kerja pengkaderan ‘ruling class’ ditanggapi keras oleh LB Moerdani yang kemudian memunculkan klik ‘Merah Putih’ atau barisan Nasionalis di tubuh ABRI. Barisan ini pada awalnya merupakan cetusan kekecewaan terhadap naiknya Sudharmono kemudian berkembang menjadi faksi di tubuh ABRI yang membawa beberapa perwira tinggi untuk tidak lagi menjadi bagian subordinasi Suharto. Kelompok ‘Merah Putih’ menginginkan ruling class tetap dipegang pemimpin-pemimpin Angkatan Darat yang dipersiapkan untuk memegang pemerintahan berikutnya tatkala Suharto selesai memimpin Orde Baru.

Puncak perseteruan antara Angkatan Darat klik LB Moerdani dengan Suharto terjadi lagi lima tahun kemudian setelah terpilihnya Sudharmono, Golkar yang kemudian ditekan oleh pihak ABRI untuk tidak lagi dipegang sipil diambil alih oleh perwira ABRI dan direpresentasi kepada Wahono, pensiunan Jenderal yang tidak memiliki reputasi tinggi dalam lapangan politik. Tahun 1992 dikenang bagi kebanyakan orang sebagai tahun kehancuran Golkar karena gagalnya Golkar mendominasi telak suara Pemilu seperti Pemilu-Pemilu sebelumnya. Dan gagalnya Wahono ini mendesakkan suara keras di dalam tubuh Golkar yang menghendaki naiknya kalangan sipil dan tidak lagi tergantung pada ABRI. Penunjukkan Haji Harmoko sebagai ketua umum Golkar yang baru mengejutkan banyak pihak karena Harmoko murni sipil dan tidak dekat dengan ABRI. Harmoko yang banyak dijuluki secara sinis ‘Hari-Hari Omong Kosong’ ini dicap sebagai tangan kepentingan pribadi Suharto ketimbang kompromi Soeharto-ABRI di tubuh Golkar. Pada diri Harmoko inilah tersirat pertarungan diam-diam antara Suharto dan Pemimpin-Pemimpin ABRI yang menginginkan modernisasi di tubuh ABRI serta kontinuitas ruling class Indonesia dari kalangan ABRI.

Suharto semakin merenggangkan hubungan dengan ABRI ketika ia menginginkan Habibie. Naiknya Habibie juga menunjukkan kemampuan visioner Suharto melihat perkembangan jaman. Ia menginginkan Indonesia lepas dari ketergantungan terhadap ABRI dan memajukan demokrasi yang sudah menjadi hukum sejarah setelah kehancuran tembok Berlin dan bubarnya negara Uni Soviet. Pertarungan dunia Internasional tidak lagi menjadi pertarungan Bipolar tetapi mengarah pada kompetisi multipolar yang prolog-nya adalah Unipolar dimana Amerika Serikat memegang peranan sebagai pemimpin dunia. Cina dan India sudah diperhitungkan menjadi kekuatan besar di Asia. Sementara Indonesia menginginkan menjadi pemegang kunci penting dalam wilayah Asia Tenggara sesuai dengan ambisi sejak jaman Bung Karno yang oleh Suharto menjadi beban tanggung jawabnya –setidak-tidaknya lewat pembentukan ASEAN-. Dan perubahan jaman itu tidak lagi harus menggunakan cara-cara penindasan militer seperti yang selama ini dilakukan oleh Suharto dengan brutal. Habibie juga diharapkan Suharto menjadi kelanjutan dari mimpi Suharto ‘Memodernisasikan Indonesia sesuai dengan niat awalnya dalam membentuk Orde Baru’. Suharto sudah lama mempersiapkan Habibie. Ia sendiri mengenal Habibie saat menjabat Komandan Pasukan yang ditugaskan menghancurkan Kahar Muzzakar di Sulawesi tahun 1950-an. Suharto sendiri yang mengurusi pemakaman ayah Habibie saat meninggalnya dan menjadi wali dari Kaptennya Subono yang menikahi kakak perempuan Habibie. Suharto melalui Ibnu Sutowo dan beberapa kepercayaannya memperhatikan perkembangan Habibie. Dari laporan-laporan yang datang kepadanya, semakin mempertebal keyakinan Suharto bahwa Habibie adalah orang yang tepat untuk membawa Indonesia menjadi negara maju seperti : Jepang dan Jerman.

Jika Impian terbesar Bung Karno adalah menjadikan Indonesia sebagai kekuatan politik yang berpengaruh dan mampu mengimbangi kekuatan Uni Sovyet dan Amerika Serikat sebagai garis tengah politik dunia. Maka Impian terbesar Suharto adalah menciptakan Indonesia sebagai negara modern, memiliki infrastruktur raksasa yang terintegrasi dan menjadi pusat bisnis di Asia. Dan untuk mewujudkan mimpi itu Sukarno mempercayakan impian-impiannya pada Subandrio, Ahmad Yani, DN Aidit dan barisan diplomat kawakan maka Suharto mempercayakan impiannya pada menteri-menterinya yang legendaris dari sisi kecakapan, efisiensi dan kemampuan bekerja keras yang tidak pernah tertandingi oleh kabinet-kabinet sesudah rezim Suharto.

Habibie datang ke Jakarta dan disuruh magang pada Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang sebelumnya diduduki ahli ekonomi kawakan Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Pada pos ini Habibie mempelajari secara sungguh-sungguh perkembangan teknologi dan proses modernisasi di Indonesia. Ia diberi kesempatan oleh Suharto lebih dari menteri-menteri lainnya termasuk penggunaan anggaran negara yang dimanfaatkan untuk memperjelas dan mewujudkan jalan pikiran Habibie. Dua langkah terpenting Habibie yang mencengangkan Indonesia pada waktu itu. Ia membangun pabrik pesawat di Bandung dan menyiapkan Batam menjadi pulau pesaing Singapura.

Ditengah kecaman-kecaman dari kelompok ekonomi terhadap aksi ‘gila’ Habibie dalam penggunaan anggaran negara, Habibie mampu membungahkan hati Suharto dengan produksi pesawat CN 235 dan hampir bersamaan waktunya Suharto mendapat anugerah FAO di Roma tahun 1985 atas prestasinya membangun swasembada beras bagi penduduk Indonesia yang sangat tergantung dengan makanan pokoknya nasi. Inilah puncak kebanggaan Suharto dalam memimpin Indonesia. Ia tidak menginginkan Indonesia terisolasi dalam perkembangan dunia di bawah cengkeraman pemerintahan Junta Militer kesan sipil Indonesia harus diperkuat pada era puncak kejayaannya.

Namun impian Suharto tidaklah mudah untuk memotong ketergantungan sirkulasi kekuasaan di Indonesia dengan tidak mengikut sertakan ABRI. Keinginan Suharto menaikkan Habibie menjadi Wakil Presiden benar-benar mendapat tantangan keras dari faksi LB Moerdani yang tidak mau lagi kecolongan dengan naiknya Sudharmono.

Untuk meredam faksi LB Moerdani, Suharto mulai mendekat ke kelompok Islam lewat Habibie, dan momentum dibentuknya ikatan Cendikiawan Muslim oleh aktivis Mahasiswa Islam Univ. Brawijaya, Malang. Dimanfaatkan secara optimal oleh Suharto dengan menggabungkan dirinya kepada Ikatan Cendikiawan Muslim itu, Habibie di plot menjadi ketua ICMI. Munculnya ICMI ternyata bukan mendapat sambutan keras dari LB Moerdani tapi justru mengundang protes dari Gus Dur, bintang politik NU yang saat itu dikenal sebagai orang satu-satunya yang berani melawan Suharto pada peta politik Indonesia. Gus Dur memandang terbentuknya ICMI merupakan bibit ganas terhadap tumbuhnya politik sektarian di Indonesia, dimana politik sektarian itu telah banyak merugikan seperti yang terjadi di India dan Pakistan. Politik Sektarian juga tidak cocok bagi masyarakat Indonesia yang majemuk dan dipandang berseberangan dengan konsep negara integralistik Indonesia.

Perlawanan Gus Dur ini menumbuhkan kemarahan pada Suharto dan ia menolak mendukung Gus Dur menjadi pemimpin NU pada periode berikutnya seraya melakukan operasi intelijen yang terkenal bernama ‘Naga Hijau’ pada muktamar NU tapi Gus Dur terlalu kuat untuk dijatuhkan di kandangnya sendiri.

Namun perlu dicatat seperti pendahulunya Sukarno, Suharto juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kelompok Islam yang selalu ditatap penuh curiga sejak ia menjadi tentara puluhan tahun sebelumnya, buktinya pada Kabinet berikutnya tidak satupun pemimpin ICMI masuk dalam struktur kabinet Suharto. Dan ini menunjukkan ICMI hanya digunakan sebagai benteng paling luar perlindungan Suharto dari serangan kelompok LB Moerdani dan kelompok-kelompok intelektual garis keras yang mulai tumbuh seperti Forum Demokrasi dimana Gus Dur, Marsillam Simanjuntak dan Sri Bintang Pamungkas menjadi tokohnya. Dan tidak seperti kabinet 1988 yang berhasil menggolkan Sudharmono, kali ini Suharto harus mengalah pada tekanan LB Moerdani dengan masuknya Try Sutrisno sebagai Wapres, Try sendiri tidak digunakan oleh Suharto dan dipandang sebelah mata karena bukan merupakan bagian dari visi Suharto membentuk masa depan Indonesia.

Menguatnya kelompok LB Moerdani, tekanan dunia Internasional agar Indonesia menjadi negara demokratis dan menghargai HAM, sorotan masyarakat terhadap tingkah laku anak-anak Suharto terhadap bisnis-bisnis raksasanya, dan tumbuhnya lingkaran-lingkaran intelektual yang mampu membangkitkan gerakan mahasiswa yang mati suri sejak serangan NKK/BKK Daoed Joesoef tahun 1978. Membuat Suharto seperti limbung. Diawali dengan dibebaskannya tahanan-tahanan politik pada era G 30 S seperti : Subandrio, Latief dan Omar Dhani, juga Habibie yang mendekat pada kelompok petisi 50 dimana AH Nasution dan Ali Sadikin menjadi tokohnya, membuat kesan Suharto ingin melakukan rekonsiliasi politik. AH Nasution yang walaupun sudah disingkirkan Suharto sejak awal 1970 namun memiliki pengaruh terhadap pikiran-pikiran perwira Angkatan Darat, bahkan ada kesan bila Suharto tidak menyetujui jalan pikiran perwira Angkatan Darat seakan-akan posisi Nasution meng-counter apa kehendak Suharto. Di pertengahan tahun 1990-an Suharto dikukuhkan Jenderal besar bintang lima bersama dengan Abdul Haris Nasution. Ini merupakan tragedi yang tidak lucu karena Sukarno pada tahun 1966 diturunkan dari bintang lima menjadi bintang empat, sementara Sudirman, Bapak Angkatan Bersenjata Indonesia hanya bintang empat dan bertitel Panglima Besar. Jadi praktis Suharto diluar konteks artifisial AH Nasution menjadi orang yang paling tinggi derajat kepangkatannya dalam sejarah Indonesia. Membaiknya hubungan dengan Nasution tidak berarti menurunkan tensi kelompok Nasution untuk membebek pada Suharto serangan mereka justru semakin kuat lewat juru bicaranya Ali Sadikin. Di sisi yang lain para tahanan-tahanan politik G 30 S mulai angkat bicara sejak kebebasan mereka, yang paling mengguncangkan adalah dibukanya Pledoi Kolonel Latief di depan umum dan beredar di kalangan intelektual yang membangkitkan pertanyaan ‘Di posisi manakah Suharto pada G 30 S?’ karena pada pledoi itu terungkap bahwa Latief dua kali menghadap Suharto dan melaporkan gerakan yang dipimpinnya untuk menciduk para Jenderal, hal ini pernah diakui oleh Suharto pada majalah ‘Der Spiegel’ terbitan Jerman di tahun 1970-an awal bahwa Latief ingin membunuh Suharto di RS tapi tidak jadi karena banyak orang namun pengakuan ini berubah pada Otobiografi Suharto yang disusun G.Dwipayanan yang mengatakan Latief hanya mengamati Suharto dari jauh saat Suharto menunggui Tommy Suharto yang tersiram sup panas.

Kontroversi Suharto dalam kasus G 30 S yang mengungkapkan apakah Suharto ini pahlawan atau pengkhianat, hal yang nyaris sama juga menimpa Sukarno tentang kontroversi keterlibatan dia pada pemerintahan pendudukan Jepang, dimana Sukarno menjadi salah seorang tokoh yang menganjurkan Romusha. Namun derajat misteri antara kontroversi Sukarno dengan Suharto berbeda, karena Sukarno memang mengakui keterlibatannya dalam pengerahan Romusha dan itu dilakukan demi strategi politiknya yang merangkul Jepang untuk memperkuat bibit-bibit militer di Indonesia yang berhasil lewat penggalangan PETA dan Heiho.

Warna abu-abu Suharto dalam kasus G 30 S semakin menebal ketika beberapa anak Jenderal yang terbunuh menanyakan kebenaran sesungguhnya kasus yang terjadi, dan koran-koran politik tumbuh dengan dahsyat termasuk tabloid Detik yang fenomenal pelan-pelan menanyakan peran Suharto dalam kasus G 30 S.

Mendapat tekanan kanan kiri dan taktik politik pecah belah di ABRI yang semakin tidak terkendali Suharto mendapat tekanan paling keras yaitu : Meninggalnya Ibu Tien Suharto yang dianggap sebagai pepunden dalam melakukan tugas sucinya. Sepeninggal Ibu Tien kebijakan politik Suharto semakin ngawur dengan melakukan penyerangan terhadap kantor PDI yang diduduki oleh orang-orang Megawati.

Penyerangan kantor PDI ini menjadi titik penting warna politik Megawati dan lingkarannya. Karir politik Megawati benar-benar terbantu oleh Suharto popularitas Megawati melesat tinggi. Layaknya Inul Daratista yang dihinakan Rhoma Irama di depan publik, Bintang Mega secepat Inul.

Warna perjuangan PDIP setelah mendapat sukses politiknya tidak lagi menjadi kekuatan penggerak rakyat terbesar justru setelah berhasilnya penjatuhan Suharto. PDI P tidak lagi menjadi representasi perlawanan terhadap Suharto pada tahun 1998 karena menolak bergabung dengan kekuatan mahasiswa untuk menjadi petarung jalanan yang menantang Suharto. Ironisnya yang muncul ke depan sebagai petarung jalanan adalah kelompok Islam modern, yang di tahun 1990 merupakan anak emas Suharto. Bahkan representasi perlawanan terhadap Suharto pada Reformasi 1998 ditujukan pada Amien Rais, seorang yang sesungguhnya bukan apa-apa dalam kultur perlawanan Orde Baru di tahun-tahun sebelumnya. Kekuatan mahasiswa Islam pun terkonsolidasi dengan cantik, mereka membangun gerakan politik yang mobilitasnya tinggi dan mampu meneruskan gagasan-gagasan pembaharuan politik yang dikawinkan dengan gaya hidup yang diyakini benar. Kelompok mahasiswa inilah yang kemudian menjadi bibit dari berdirinya PK (Partai Keadilan) dimana kemudian setelah berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) kekuatan politik Islam modern menjadi ancaman serius bagi kaum Nasionalis Sekuler.

Dua hal kegagalan terbesar dalam Reformasi 1998 adalah tidak ditemukannya kepemimpinan yang kuat dan tiadanya ideologi alternatif yang bisa menjadi platform reformasi itu sendiri. Bila Sukarno berhasil membangun Demokrasi dengan makna Sukarnoisme di tahun 1959, dan Suharto meracuni mental bangsa Indonesia yang sampai saat ini belum hancur lewat Suhartoisme, maka Reformasi 1998 tidak melahirkan apa-apa kecuali suasana disintegrasi. Beruntunglah di Indonesia ternyata apa yang dinamakan ‘bangsa’ lebih kuat dari ‘negara’. Ketika negara Orde Baru hancur lebur, bangsa Indonesia tetap bertahan.

Peran kekosongan politik ini kemudian diisi dengan cerdik oleh Golkar. PDIP yang sesungguhnya mampu mengisi kekosongan ini dengan jujur harus menerima kenyataan dipecundangi Golkar. Pahlawan Golkar yang menyelamatkan dirinya dalam gelombang politik yang keras adalah Akbar Tanjung, dialah satu-satunya tokoh Golkar yang bertahan menyelamatkan Golkar dari ancaman pembubaran akibat tuduhan terlibatnya Golkar dalam kejahatan Orde Baru, bahkan Akbar dengan berani menantang Edi Sudradjat dan membuat jarak dengan ABRI sehingga muncul apa yang disebut ‘Golkar Merah’ untuk menyebut kekuatan kubu Edi Sudradjat yang berhasil dikalahkan Akbar Tanjung.

Dalam patahan politik 1998 Golkar bernasib sangat baik dibanding PKI saat kejatuhan Sukarno, dengan Golkar saat kejatuhan Suharto 1966-1967. PKI tidak menjatuhkan Bung Karno kecuali tuduhan pemimpinnya terlibat dalam Gerakan Untung 1965. Tapi pemimpin-pemimpin Golkar terang-terangan terlibat dalam penjungkalan Suharto di tahu 1998. Harmoko sendiri merupakan tokoh kunci penjungkalan Suharto yang mengesahkannya dalam koridor konstitusi. Akbar cs melihat keuntungan ini dengan menyeret keluar dengan cepat Golkar dari situasi bahaya dan menjauhkan dari diri Suharto. Bahkan Golkar kubu Akbar tidak mau mendukung Habibie yang dianggap terkontaminasi Suharto.

Golkar ditangan Akbar menjadi kekuatan penting di dalam peta politik pasca Reformasi 1998. Dan menguat ketika rakyat tidak puas terhadap akting kepemimpinan Megawati. Golkar mendulang untung besar. Kemenangan Kalla dan tersingkirnya Akbar Tanjung tak lebih karena oportunisme Golkar terhadap kekuasaan maka Akbar cs tersingkir. Tapi fundamen Golkar modern gaya Akbar tetap dipertahankan. Perlu diingat Jusuf Kalla bukanlah calon dari Golkar, tapi independen bahkan JK diancam dipecat oleh Akbar. Dan karena manipulasi figur SBY yang kharismatik maka rakyat Indonesia memilih dia menjadi Presiden RI dan JK terkena cipratan rejekinya.

Di luar kemenangan Kalla adalah langkah politik Akbar cs yang membangun persekutuan dengan Megawati harus diperhatikan tidak semata merupakan persekutuan jangka pendek tapi lebih pada kemampuan Akbar melihat peta politik Indonesia masa depan dimana permusuhan antara Nasionalisme kiri dan Nasionalisme kanan tidak lagi merupakan pertarungan signifikan tetapi mereka mau tidak mau harus bersatu karena bangkitnya kekuatan di luar Nasionalisme yaitu : Gerakan Islam Modern.

Di luar itu dunia politik Internasional bergulir cepat. Saat ini yang menjadi isu terbesar bukan lagi bipolarisme Komunis dan Demokrasi Liberal, tapi adalah pertarungan peradaban. Peradaban Sekuler gaya Amerika dinilai telah melahirkan dunia yang tidak adil. Telah terbukti kekuasaan bangsa Anglo-American telah menjadi kekuasaan terbesar di muka bumi sepanjang sejarah. Kapitalisme yang menjadi senjata mereka menganggap dunia Islam merupakan ancaman, karena dunia Islam memiliki independensinya sendiri dalam membentuk sejarah dan kemudian tertimbun dalam kebekuan pikiran setelah gerakan sufisme memenangkan pertarungan dalam dunia Islam setelah invasi Mongol. Namun dunia Islam kini bangkit bukan dari gerakan sufisme tapi dari gerakan penyadaran sejarah dan kritik terhadap kapitalisme. Gerakan ini sama saja dengan Gerakan Revolusioner yang muncul di Paris tahun 1830 dan meledak tahun 1848. Hanya saja gerakan revolusioner itu melahirkan sistem Sosialisme yang kemudian malah berkembang menjadi Komunis-Leninis-Stalinis yang melahirkan penjara terbesar di dunia dan mematikan kreatifitas kemanusiaan.

Dunia Islam kini bergerak dan diandalkan sebagai alat ideologi alternatif dari gaya hidup sampai sistem ekonomi yang berseberangan dengan Kapitalisme. Amerika yang senang bermain dengan Israel untuk menguasai minyak Arab kini mendapat buah dari ketidakseriusannya untuk mengatur dunia yang adil. Gaya hidup Amerika kemudian diklaim merupakan aksi pencurian besar-besaran dari kebodohan dunia ketiga yang banyak dipimpin oleh kroni mereka kaum Nasionalis Sekuler.

Kemenangan Kapitalisme atas Komunisme Russia merupakan juga kemenangan kaum Nasionalis kanan terhadap kelompok-kelompok lain di dunia ketiga. Suharto merupakan barang usang mainan Amerika sudah disingkirkan hanya saja meninggalkan nama buruk bagi nasionalisme yang berpijak pada kultur Amerika. Indonesia dinilai sebagaimana halnya dengan negara-negara blok barat lainnya telah memberikan konsesi keuntungan ekonomi yang maha besar untuk negara-negara barat dan melakukan kejahatan kemanusiaan. Sementara Komunisme sendiri juga dianggap telah gagal menjalankan tujuannya sebagai sistem yang membebaskan kemanusiaan dan tujuan akhir menyelesaikan sejarah sebagaimana dipikirkan oleh Karl Marx dan Lenin. Maka kekosongan itu adalah ideologi yang sekarang ini menjadi angin segar bagi perubahan politik.

Apa yang terjadi di Lebanon dan Palestina, sesungguhnya bukanlah masalah Israel semata tapi merupakan pertarungan ideologi. Kelompok Hamas di Palestina menginginkan terbentuknya negara Islam sementara di luar itu mempertahan ideologi sekuler seperti yang diusung kaum Fatah dibawah Hamas. Yang mengejutkan saat ini adalah kekalahan Pemilu untuk Parlemen di Turki bagi kaum Nasionalis Sekuler (yang didirikan Bapak Bangsa Turki, Kemal Attaturk) oleh Partai Islam terbesar disana. Turki yang merupakan benteng sekuler terbesar di beranda negara-negara mayoritas Islam, dan merupakan pengusung fanatis sekularisme telah memilih ideologi alternatif yang sesungguhnya bukan menolak sekulerisme itu sendiri tapi lebih merupakan kebencian terhadap sistem kapitalisme yang digawangi Amerika Serikat dan Inggris yang nyata-nyata telah merugikan negara-negara lemah.

Apakah Indonesia akan mengikuti efek domino Turki-Palestina ini mengingat Indonesia sangat rentan sekali terhadap percaturan dunia Internasional. Dan apakah kekuatan Islam modern saat ini bisa memenangkan pemilu di Indonesia, mengingat sepanjang sejarah tidak pernah ada satu Partai Islam pun yang sanggup memenangkan Pemilu di Indonesia? Apakah gerakan Islam di Indonesia mampu menjadi alat ideologi alternatif gerakan melawan sistem kapitalisme dunia?. Dibalik kelemahan-kelemahan Partai Islam yang dirasa cukup signifikan untuk memenangkan pertarungan politik di Indonesia namun ada yang cukup menggetarkan yaitu : bersatunya akar Nasionalisme Sukarno dan Suharto yang memang bibitnya dimulai dari Nasionalisme gaya Sukarnoisme. Dan pertanyaan ke depan apakah persekutuan politik ini merupakan persekutuan buah dari pergerakan jaman?atau hanya ambisi sesaat dari Paloh dan Kiemas?

Yang terpenting dari kaum Nasionalis sekarang adalah menggerakkan Angkatan Mudanya, sudah cukup lama Gerakan Muda Indonesia berbasis Nasionalisme dimatikan oleh Orde Baru. Gerakan-gerakan resmi kepemudaan berbasis Nasional hanya bertujuan untuk mengejar kekuasaan, prestise dan tidak dilembagakan sebagai agen perubahan seperti jaman Sukarno, Hatta, Tan Malaka di tahun 20-an. Gerakan Muda Indonesia yang berwatak Nasionalisme dimanipulir menjadi gerakan mencari kekayaan dan masa depan pribadi, bukan gerakan perjuangan hidup mati bangsa. Bangkitnya PKS sebagai partai besar dan berpengaruh merupakan pelajaran bagi kaum muda Nasionalis, bahwa mereka mampu membangun kekuatan lewat gerakan dakwah kampus, bergerilya tak henti-hentinya langsung di kancah masyarakat, mengerti persoalan masyarakat. Sementara kaum muda Nasionalisme hanya berjalan di awang-awang, mengejar jabatan dan kekuasaan, membangga-banggakan keturunan anak pejabat, turun ke masyarakat kalau sudah dekat Pemilu dan hanya rajin menggelar panggung-panggung dangdut dan bukannya menyelesaikan persoalan masyarakat. Sementara kaum muda yang terpesona dengan gerakan sosialis kiri lebih suka bertarung di Jalanan, dan tidak melakukan koordinasi yang kuat karena memang ada halangan infrastruktur politik yang menghalangi mereka. Jika kaum muda Nasionalis tidak bangkit dan tidak membuang watak oportunisnya. Maka jangan terpana bila di tahun-tahun mendatang PKS menjadi Partai nomor dua di Indonesia.

ANTON

2 comments:

Anonymous said...

catatanya lengkap bak sejarah di musium negara trimaksi bung! salam anak bangsa

Anonymous said...

Mantap dech tulisannya ... keren ...

Sy lama di liqa/usrah/tarbiyah/pk/pks, hampir 15 tahun dan melihat perubahan yang cukup signifikan di tubuh kelompok Ikhwanul Muslimin ini.

Dari awal ngaji yang melarang alat musik (lihat team2 nasyid di awal 90an-mereka tidak menggunakan alat musik) sampai kampanye yang mengundang rocker atau penyanyi dangdut.

Perubahan dari puritan hingga "sedikit" liberal ini berimbas pada pemilu 2008 kemarin. Dari target 15-20% suara PKS hanya mendapatkan 8% suara karena ditinggalkan kader2 akar rumput yang puritan yang memang sebagai "pendiri" jama'ah ini.

Ke depan, tergantung mereka sendiri, meneruskan program2 liberalnya atau kembali menjadi puritan. Saya malah menilai, semakin puritan mereka akan semakin banyak suara yang mereka dapatkan dan sebaliknya.

Tapi saya akui sistem cell mereka yang dimodelkan dalam bentuk kyai-santri, guru-murid atau priyayi-wong cilik lebih tertata rapi dibandingkan aktivis kiri yang cenderung egaliter dan parsial-mencar-mencar apalagi dibandingkan teman2 nasionalis yang rada-rada hedonis

:-)

b