Wednesday 21 November 2007

Pembantu

Pembantu

Oleh : Anton

Pembantu Rumah Tangga, dalam kehidupan domestik masyarakat di Indonesia sesungguhnya memiliki peran sosial penting, namun strata kelas menghambat publikasi gerak sosial kaum Pembantu ini untuk melakukan gerakan budaya, konsolidasi kekuatan daya tawar politik maupun membentuk habitat dan way of life-nya. Hanya pembantu-lah satu-satunya pekerjaan yang tidak memiliki daya realitasnya di Indonesia. Pembantu tidak bisa disamakan dengan buruh yang merupakan kelas paling bawah dalam sistem ekonomi dan sosial di Indonesia, kehadirannya secara sosial kaum pembantu ini ibarat udara ia tidak kelihatan tapi bisa dirasakan dan sangat penting. Belum pernah sepanjang sejarahnya pembantu rumah tangga di Indonesia membentuk asosiasi profesi. Ide asosiasi itu pernah muncul pada tataran komedi di tahun 70-an dengan ketuanya Zus Doris Callebout dimana mendapat sponsor dari Djalal Gendut lewat film ‘Inem Pelayan Seksi’.

Pembantu memiliki pengaruh sosial yang luar biasa dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, ini bisa dilihat dari beragam nama yang dinisbahkan pada kaum pembantu ini, dari mulai Babu, Bedinde, Batur, Jongos, Kacung sampai Pembokat. Budaya lokal yang paling banyak memanfaatkan tenaga pembantu adalah Budaya Jawa. Itu tak lepas dari struktur priyayi. Dalam budaya Jawa dikenal istilah Magersari dan Ngenger. Magersari adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di lahan milik priyayi kemudian juga bekerja pada Priyayi itu sementara Ngenger adalah bekerja secara ikhlas dan tidak bayar kepada suatu rumah tangga orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi secara martabat, derajat dan pangkat dibanding dirinya. Suharto, eks Presiden RI itu pernah merasakan budaya Ngenger ini di rumah keluarga Harjowiyono di Wonogiri disitu Suharto muda bekerja membersihkan rumah, menguras dan mengisi air dan kegiatan domestik rumah tangga yang mirip dengan pekerjaan seorang kacung –makannyapun dari makanan sisa sang majikan-. Namun dari keluarga Harjowiyono, Suharto muda mengenal Kyai Daryatmo yang kelak menjadi penasihat spiritual setelah Suharto menjadi ‘orang’ disinilah tanggung jawab Harjowiyono membentuk Suharto, mengenalkan dunia pertanian yang kelak sektor pertanian merupakan pusat perhatian dan prestasi tertinggi Suharto dalam mengelola negara.

Dalam budaya Jawa, Cina Peranakan (juga mungkin Sunda) pembantu bukanlah pekerja yang memiliki hak-hak pekerja dengan imbalan kemampuan profesi. Makna pembantu lebih diartikan sebagai orang yang tidak mampu untuk hidup sendiri dalam dunia yang keras, maka itu pembantu memerlukan perlindungan dari kekuasaan sang majikan. Sinar kekuasaan inilah yang membuat pembantu itu merasa nyaman dan terlindungi. Bahkan sampai saat ini pembantu adalah bagian dari keluarga bukan pekerja asing di dalam keluarga yang punya hak dan kewajiban sesuai dengan klaim profesi. Kenyamanan, perlindungan dan merasa bagian dari keluarga yang menurut dirinya dipandang terhormat merupakan alasan banyak pembantu-pembantu rumah tangga di Indonesia bisa betah bekerja di keluarga selama puluhan tahun bahkan turun-temurun pada satu keluarga tak heran anak seorang majikan kenal dengan pembantu yang merawat ibu atau bapaknya saat masih bayi bahkan mungkin masih bekerja di keluarga tersebut.

Pembantu dalam makna Jawa juga memiliki hak untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik dengan memudahkan mobilitas sosial mereka ke strata kelas yang lebih terhormat, tanggung jawab itu secara moral diletakkan pada sang majikan. Sampai saat ini masih banyak pembantu-pembantu di Indonesia yang masih usia sekolah di sekolahkan oleh majikannya. Istilah ‘Pembantu disekolain’ masih sering kita dengar sampai sekarang. Untuk menjelaskan tanggung jawab majikan dalam budaya priyayi-Jawa terhadap pembantu mungkin kita bisa menoleh pada novel ‘Para Priyayi’ Umar Kayam dengan tokoh Lantip sebagai gambaran karakter orang yang ngenger, pembantu yang memiliki hubungan saudara jauh. Dalam novel itu dikisahkan Lantip, anak haram seorang saudara jauh dari keluarga Sastrosudarsono, dulu Sastrosudarsono yang petani dengan bantuan seorang wedana yang baik hati dia bermetamorfosa menjadi seorang priyayi dititipi anak dari sepupu jauhnya yang sudah hidup menjanda dan tidak tidak mampu agar anak tersebut menjadi seorang priyayi bukan petani dekil. Anak yang dibesarkan Sastrosudarsono ini gagal menjadi priyayi, malah tumbuh menjadi anak yang kurang ajar, membuntingi gadis desa penjual tempe dan kabur dari rumah lalu berakhir mati ditembak oleh polisi karena dia menjadi anggota gerombolan kecu (rampok). Merasa gagal terhadap anak yang dititipinya kemudian Sastrosudarsono merasa berhutang untuk membayar kegagalannya, untuk itu dia menerima Lantip, anak haram dari hubungan gelap keponakan jauhnya yang begundal itu dan dididik sampai menjadi orang yang terhormat dalam masyarakat. Makna priyayi itulah yang menurut Umar Kayam berarti membebaskan manusia dari takdirnya sebagai manusia subordinat menjadi manusia merdeka yang mampu memerdekakan orang lain tanpa melupakan bentuk balas jasa berupa pengabdian timbal balik, seperti yang dilakukan Lantip dengan mengabdi pada keluarga Nugroho anak kedua Sastrosudarsono dan menjagai Harimurti cucu Sastrosudarsono yang dipenjara karena dia aktif di PKI atau mengurus tetek bengek perkawinan yang setengah tidak direstui oleh keluarga Darsono, anak sulung Sastrosudarsono yang menjadi pengusaha besar dimana sebelumnya adalah Kolonel Angkatan Bersenjata.

Lantip tidak bisa duduk sejajar dengan majikannya, ia harus duduk dibawah. Secara eksistensi sosial hak Lantip dibantai, namun secara kemanusiaan hak Lantip dilindungi inilah yang banyak dialami pembantu-pembantu di Indonesia. Pembantu di Indonesia tidak bisa diperbolehkan duduk di kursi yang ditempati majikan, ia tidak boleh makan ditempat yang sama dengan majikannya makan namun kekerasan jarang terdengar terjadi pada pembantu-pembantu yang bekerja di keluarga Indonesia yang sejak lama memiliki tradisi menggunakan pembantu, mungkin kejadian satu dua terjadi tapi itu lebih pada penyimpangan sakit jiwa ketimbang bentuk sosial perlakuan terhadap pembantu rumah tangga. Walaupun saat ini kultur priyayi sudah bergeser pada keluarga-keluarga modern, namun sisa kebajikan melindungi hak kemanusiaan terhadap pembantu rumah tangga masih sangat ketara. Hubungan pembantu-majikan di Indonesia memang sudah bergeser pada hubungan kontrak kerja yang bernada kapitalis, namun ketika pembantu itu mengalami domestifikasi maka kultur pembantu keluarga Jawa yang khas masih bisa terlihat jelas bahkan di keluarga-keluarga muda Indonesia.

Pertengahan tahun 90-an sampai awal tahun 2000-an, agak sulit keluarga-keluarga menengah Indonesia mencari pembantu karena mereka harus bersaing dengan pasaran tenaga kerja pembantu di luar negeri, namun di tahun 2005 keatas ada kecenderungan para pekerja migran yang berprofesi pembantu rumah tangga itu lebih memilih bekerja pada keluarga-keluarga Indonesia yang ternyata walaupun membayar murah pekerjaan mereka (sekitar Rp.350.000 sampai Rp.500.000 sebulan) namun kebajikan kultur Jawa membuat mereka sadar, bahwa hubungan kontrak yang semata-mata kapitalisme tidak membawa kenyamanan bagi mereka.

Di Hongkong dan Taiwan dimana banyak komunitas pekerja pembantu rumah tangga asal Indonesia. Profesi pembantu rumah tangga bukan lagi berkaitan semata-mata pada masalah kultur yang melekat seperti di Indonesia, tapi lebih murni kepada persoalan tenaga kerja. Para pekerja migran Indonesia yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, memiliki tempat dalam strata sosial dan diakui dalam kedudukan sosialnya tersebut yang mungkin paralel dengan kelompok sosial pekerja asing kelas bawah. Secara sosial mereka diakui, tapi secara kemanusiaan kedudukan pembantu rumah tangga di Hongkong dan Taiwan seringkali terancam, ini mungkin disebabkan oleh : tuntutan profesionalitas, merasa terancam terhadap kehadiran pekerja asing dan sistem sosial mereka yang keras, disiplin dan tepat waktu.

Di Indonesia jarang sekali pembantu dituntut bisa melakukan sesuatu dengan mahir, apalagi pembantu baru. Bagi keluarga-keluarga Indonesia seorang pembantu lebih dinilai dari kemampuannya memberi rasa nyaman secara psikologis pada sang majikan bukan pada kemampuannya yang tinggi dalam memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, mencuci –setrika pakaian dan tetek bengek pekerjaan rumah tangga lainnya. Pembantu yang bisa menyesuaikan diri dan tahu unggah-ungguh komunikasi dengan majikan yang merasa strata sosialnya lebih tinggi lebih dapat cepat beradaptasi. Jadi memang pekerjaan PRT itu tidak membutuhkan tingkat profesionalitas tertentu, agen-agen penyalur lokal pembantu jarang memberikan pelatihan yang njlimet, idiom ‘kalo nggak goblok, ya bukan pembantu’ menjadi stigma yang wajar diterima masyarakat Indonesia. ‘Pembantu bodoh-bodoh pintar’ adalah idaman keluarga-keluarga di Indonesia bahkan dunia lawak Srimulat sering menggambarkan pembantu jenis ini. Tapi bagi masyarakat berkultur Industri dan tidak mengenal budaya Jawa seperti Singapura, Hongkong dan Taiwan mereka menganggap pembantu adalah profesional, tidak ada subordinat sosial disini, bagi mereka eksistensi sosial PRT sejajar dengan profesi-profesi lainnya, bahkan secara hukum pekerjaan mereka diakui, disini posisi sosial pembantu mendapat pengakuan formal - sementara di Indonesia perjuangan formalisasi pekerjaan pembantu rumah tangga yang diperjuangkan LSM-LSM tenaga kerja tidak pernah berhasil kedudukan PRT tidak ada landasan hukumnya – namun pengakuan sosial bagi pekerjaan PRT di Singapura, Taiwan dan Hongkong harus di imbali dengan kemampuan profesional, celakanya mentalitas profesional yang dituntut masyarakat industri tidak dimiliki pembantu-pembantu ini yang kebanyakan dari masyarakat pedesaan berkultur agraris yang tidak mengenal konsep nilai waktu, disiplin dan berkemampuan tinggi. Seperti pendahulu-pendahulunya yang bekerja sebagai pembantu pada keluarga Indonesia, mereka menganggap bahwa profesi pembantu tidak mutlak memerlukan ketrampilan, hal yang harus diperhatikan adalah adaptasi pada keluarga dengan sikap yang hormat itu saja. Titik kontra inilah yang kemudian banyak melahirkan kekerasan terhadap pekerja migran di Singapura, Hongkong dan Taiwan. Di satu sisi kaum majikan merasa mereka sudah membayar mahal bukan saja pada Pembantunya tapi juga pada agen penyalur, disisi lain para pembantu itu gagap kompleks baik bahasa, budaya yang berbeda, struktur pekerjaan yang dinilainya aneh, aturan-aturan asing dan lain sebagainya.

Di Singapura, Hongkong dan Taiwan para pembantu itu bisa duduk bersama dengan majikan di meja makan yang sama dan makan bersama dengan makanan yang sama pada apa yang majikan makan dan mendapat hari libur. Walaupun pada awalnya gagap budaya itu cenderung melahirkan kekerasan namun profesionalitas para pekerja migran yang berprofesi pembantu itu terbentuk dan menjadi subkultur dalam masyarakat disana. Di Taman Victoria, Hongkong setiap sabtu dan minggu menjadi ajang kumpul pembantu disana, orang Malang, Madiun, Jember atau bahkan Lombok sekalipun bila berkunjung kesana tidak berasa di Hongkong yang berbahasa Mandarin tetapi seperti berada di Jawa dengan bahasanya yang kita kenal akrab.

Lain di negara-negara Asia Timur berbasis masyarakat industri yang meletakkan pembantu rumah tangga sebagai bagian dari pekerja formal. Di negara-negara timur tengah posisi pembantu bukan saja tidak mendapat perlindungan hukum, tapi juga hilang hak sosialnya dan hak kemanusiaannya. Di negara-negara Arab budaya sistem perbudakan dan jual beli manusia yang telah membudaya selama ribuan tahun tidak hilang begitu saja dan mewariskan mentalitas kultur itu pada masyarakat modern Arab terutama negara-negara Petrodollar. Seorang budak perdefinisi merupakan seorang taklukan, dia tidak dianggap eksistensinya, kemanusiaannya nyaris hilang satu-satunya yang mungkin ada dalam diri seorang budak adalah produksi dari hasil kerjanya. Mati hidup seorang budak hanya bergantung pada pemilik. Pemilik hak hidup seorang budak adalah majikan yang tidak bertanggung jawab terhadap keamanan pribadi, memberi kenyamanan psikis dan mobilitas sosial. Jadi ketergantungan keamanan pribadi mutlak diberikan pada sikap mental majikan. Inilah yang kemudian melahirkan banyak kekerasan fisik, seksual maupun verbal bagi pembantu-pembantu rumah tangga yang bekerja di Arab Saudi. Hak asasi mereka dianggap sudah menjadi milik majikan ketika majikan itu membayar kepada agen dan dirinya, dalam alam bawah sadar yang terpengaruh kultur perbudakan, seorang majikan ketika membayar ia membeli bukan sebagai kontrak kerja. Tatkala kemudian ada kekerasan terhadap pembantu rumah tangga maka sistem hukum di negara itu melindungi majikan apapun kesalahan majikan itu, karena secara sosial anggapan pembantu itu adalah budak masih lekat dalam kelayakan tata sosial mereka, dimana pembantu bukan saja tidak memiliki hak hukum tapi juga hak kemanusiaannya.

Di Amerika Serikat negara yang paling maju dalam perlindungan hak asasi manusia juga masih menyimpan masalah terhadap pekerja-pekerja migran namun konsentrasi permasalahan tidak terletak pada masalah sosial tapi lebih pada masalah hukum ketenagakerjaan untuk membatasi pekerja asing. Baru-baru ini juga terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh warga negara AS keturunan India terhadap pembantu rumah tangga asal Indonesia, namun hukum AS bersikap tegas dengan mempenjarakan majikan itu dalam hukuman selama puluhan tahun. Sebuah sikap sosial dan hukum yang layak ditiru dalam melindungi hak kemanusiaan seseorang.

Selain sering menimbulkan masalah kekerasan, ada juga sedikit masalah yang menggangu akibat negara kita rajin mengekspor pembantu rumah tangga, atau dengan kata lain mengekspor kemiskinan, yaitu martabat orang Indonesia dipandang rendah oleh negara-negara yang dulu jaman Bung Karno mungkin ‘calon jajahan’ kita seperti Singapura dan Malaysia. Julukan ‘Indon’ bagi orang Indonesia lebih diasosiasikan pada kalimat peyoratif ketimbang kalimat pujian. Teman saya pernah diceritakan Bapaknya yang sering berkunjung ke Malaysia. “Dulu jaman Bung Karno kalau orang Indonesia berkunjung ke Malaysia, mereka takut pada kita, kita dianggap seperti orang Iran sekarang..manusia bermartabat, revolusioner dan berani menantang Inggris dan Amerika, namun sekarang posisi kita tak jauh lebih dari buruh yang tidak dianggap” itulah kenapa seorang wasit karate dengan tugas resmi dari negara dengan gampang dianiaya polisi disana. Penurunan kualitas martabat ini harus dipertanyakan, mungkin kita memiliki kepemimpinan berkualitas garong ketimbang kepemimpinan berkualitas priyayi yang melindungi dan membebaskan kemanusiaan seseorang.


ANTON

No comments: