Tuesday 27 November 2007

Tentang Gelar Sarjana

Sarjana

Suatu saat pada sebuah acara televisi antara Menkominfo Sofyan Djalil dan Wimar Witoelar saling setengah pamer masalah pendidikan “Saya S1-nya di hukum dan S2-nya mendalami Pasar Modal” ujar Sofyan.”Wah kalau saya malah tidak pernah belajar komunikasi, saya S1-nya di elektro dan saat ini kerjaan saya konsultan keuangan...apa saja yang bisa dikerjain ya dikerjain..hehehe” begitu sekelumit catatan yang saya ingat tentang setengah pamer status pendidikan masing-masing. Beberapa hari kemudian opini tentang sarjana berkembang di ranah publik tentang status pendidikan. Kubu SBY rupanya ingin membidik Gus Dur dan Megawati sebagai pesaing potensial di Pemilu 2009 menembak kelemahan Gus Dur dan Mega yang ndak selesai sekolah. Gus Dur terlalu kepinteran, sementara Mega keburu kawin sehingga mereka berdua gagal menyelesaikan studi kesarjanaannya. Sementara SBY yang salah satu jualan politiknya pamer bahwa dia bisa menyelesaikan S3-nya di IPB tepat waktu dengan proses Pemilu 2004, ditangan tim kampanye SBY status S3 SBY sontak menjadi komoditas yang layak jual, SBY mencitrakan dirinya sebagai doktor ilmu ekonomi dari Institut Pertanian Bogor yang kesohor dengan ilmu Matematika Ekonomi, Statistika dan Pertaniannya itu, walaupun setelah menjabat Presiden harga gabah meroket, Indonesia tak kunjung berswasembada beras dan kelaparan masih jadi berita. Dibanding Suharto yang lulusan MULO Schakel ( SMP Swasta) Muhammadiyah, gelar doktoral SBY tak ada apa-apanya dibanding ketajaman otak Suharto jika berbicara masalah pertanian dan ekonomi makro. Suharto yang mengaku berpendidikan terbatas itu terbukti membawa Indonesia menjadi negara swasembada beras dan memodernisir Indonesia sementara SBY yang mengaku dan diakui doktor Ilmu Ekonomi jebolan Sekolah Pertanian ternama membuat blue print pertanian Indonesia-pun tidak mampu....

Hal yang paling saya ingat saat saya kuliah adalah cita-cita saya dan banyak kawan saya menjadi ‘Sarjana Ekonomi’...awalnya cita-cita yang abstrak itu membuat saya merasa bangga dengan status sarjana yang akan saya dapat itu, apalagi saya bercita-cita akan meneruskan sekolah keluar negeri sembari terus datang ke pameran-pameran pendidikan luar negeri dan mengumpulkan prospectus serta brosur-brosur kampus-kampus luar negeri yang mentereng. Di satu pagi tahun 1996 saya hendak ke dokter gigi berangkat pagi hari dan membekali dengan bacaan catatan pinggir Goenawan Mohammad (GM) yang akan saya baca di tengah perjalanan. Ada satu essay yang menarik saya berjudul ‘Pak Susman’ (terbit pada edisi Tempo 19 Agustus 1978) begini tulisannya :


Pak Susman mengajar geometri untuk SMP negeri yang dipimpinnya, ia seorang guru yang dikenang muridnya seumur hidup. Sebab pada satu hari ia tiba-tiba bertanya “ Untuk apa kamu belajar imu ukur?” Adapun yang ditanyainya adalah murid-murid kelas satu yang kedinginan oleh angin.

Waktu itu hari mendung. Dan setiap hari mendung, kelas di gedung bekas kamar bola Belanda di kota P itu gelap. Dan Pak Susman dengan mata yang mulai tua tapi berwibawa, tampak kian angker dengan pertanyaan yang mustahil dijawab.

Untuk apa belajar ilmu ukur?
Tapi Pak Kepala Sekolah itu rupanya tahu, bahwa anak-anak akan diam.Maka suaranyapun seperti bergumam, ketika menyelesaikan sendiri tanda-tanya yang ia lontarkan tadi : “Kamu belajar Ilmu Ukur bukan untuk jadi Insinyur, tapi supaya terlatih berfikir logis, yaitu teratur”

Lalu dengan antusiasme mengajar yang khas padanya, ia pun menjelaskan. Satu soal misalnya menyebutkan hal-hal yang sudah diketahui dari sebuah bangunan geometri. Ada rumus-rumus yang menyimpulkan berbagai hubungan dalam bangunan seperti itu. Nah jika anak-anak diminta membuktikan suatu hal dari dalam soal itu, mereka harus berfikir secara teratur : dari hal-hal yang sudah diketahui, sampai kesimpulan yang bisa ditarik.

Yang menakjubkan bukan saja ia dapat menjelaskan proses berfikir logis itu dengan gamblang dihadapan sejumlah bocah kedinginan yang berumur 13 tahun.Yang juga mengagumkan ialah bahwa ia, seorang kepala sekolah tak dikenal, di sebuah SMP bergedung buruk, dalam sebuah kota yang tak penting,ternyata bisa menanamkan sesuatu yang sangat dalam, yakni : apa sebenarnya tujuan pendidikan sekolah.

Pak Susman meninggal kira-kira 20 tahun yang lalu. Seandainya ia masih hidup, dan bertemu dengan seorang bekas muridnya yang lintang pukang menyiapkan diri untuk ujian SKALU -(sekarang UMPTN-anton). Barangkali ia juga akan bertanya : untuk apa semua itu?”

Ya, untuk apa?
Ada sebuah sandiwara keagamaan di TVRI beberapa waktu yang lalu. Seorang ayah menanyai ketiga anaknya, dengan pertanyaan yang mirip “apa cita-citamu? Apa tujuanmu sekolah?”

Yang pertama menjawab “saya akan jadi pemilik pabrik paku” Yang kedua menyahud, “saya akan jadi rohaniawan.” Yang ketiga berkata, “Saya akan jadi Sarjana.” Jawaban yang pertama adalah spesifik, jelas, terperinci. Jawaban yang kedua juga tak memerlukan tanda tanya baru. Tapi jawaban menjadi “saya akan jadi sarjana” terasa belum selesai. Diucapkan dalam bahasa Indonesia masa kini, kata “sarjana” adalah sebuah pengertian yang melayang-layang. Kita tak bisa menyama-artikan dengan kata ‘Scholar’ Atau ‘Scientist’. Arti “sarjana” yang lazim kini tak lain adalah dan tak bukan hanyalah “lulusan perguruan tinggi.”

Maka jika anda masuk sebuah perguruan tinggi karena bercita-cita menjadi “sarjana” itulah sama kira-kira dengan jika anda melangkah karena ingin berjalan. Sudah semestinya.

Kekaburan itu terjadi agaknya bukan cuma karena kacaunya pengertian “sarjana” Tapi juga karena sejumlah ilusi. Ilusi yang terpokok ialah ilusi tentang pendidikan sekolah serta tujuannya. Sudah tentu salah bahwa tujuan bersekolah di Universitas adalah untuk mendapatkan gelar. Tapi tak kurang salahnya untuk mengira bahwa di Universitas orang akan menemukan pusat ilmu, ataupun puncak pendidikan ketrampilan.

SEBAB bak kata Rasul Tuhan, orang harus mencari ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Dewasa ini pemikir pendidikan juga berbicara tentang “pendidikan seumur hidup” Dan dalam proses itu, Universitas hanyalah sepotong kecil. Seorang doktorandus, seorang Ph.D., barulah mengambil bekal untuk perjalanan panjang yang sebenarnya. Mereka belum selesai – juga belum selesai bodohnya.

Karena itu seandainya Pak Susman masih hidup, ia pasti akan bilang “kamu masuk universitas, itu supaya bisa terlatih berpikir ilmiah” Itu saja, kalau dapat.

(GM, 19 Agustus 1978)


Membaca tulisan GM itu kontan saya kaget dengan ketololan saya untuk mengejar jadi sarjana tanpa tahu apa esensi mencari ilmu pengetahuan dan latihan berfikir sesungguhnya. Dan kini saya melihat kelucuan lagi tentang wacana seorang Presiden harus Strata-1. Maka rontoklah orang-orang seperti Agus Salim, Sjahrir, Tan Malaka, DN Aidit, Hamka, Suharto, Adam Malik dan jutaan orang pintar di Indonesia yang tidak memilih jalur akademis formal untuk menajamkan intelektualitasnya.


ANTON

1 comment:

Anonymous said...

saya suka blog ini :)
terimakasi bapak, blognya sangat bermanfaat :)