Wednesday, 21 November 2007

Pandangan Ali Sadikin dan Kekuasaan ala Jawa
Oleh Anton

Suatu saat saya pernah membaca di milis ttg cara pandang Ali Sadikin dalam menyikapi kasus legalisasi judi di masa kepemimpinanya 1966-1977. Ketika ditanya ttg persoalan judi dan konsekuensi keagamaan, Ali justru menanggapi sikap-sikap kaum agama dengan pandangan rasional dan menantang. Ali juga menganggap kelompok-kelompok politik berbasis agama sebagai kelompok opportunis yang hanya mengambil kesempatan dan popularitas politik.
Saya tidak melihat sisi kontroversial dalam melihat kasus judi, tapi saya melihat gaya dan sikap Ali Sadikin adalah sikap seorang yang benar-benar diwarisi cara pandang Jawa yang sedikit banyak berjarak dengan Islam orthodox, dan kejadian ini sebenarnya memiliki sejarah yang panjang dalam konflik politik di Jawa. Ali Sadikin seorang turunan bangsawan Sumedang, yang merasa memiliki kaitan masa lalu dengan Kerajaan Pajajaran yang hindu, merupakan gambaran jelas posisi bangsawan-bangsawan Jawa dalam memahami Islam. Islam di Jawa, tidak seperti di Sumatera atau semenanjung Melayu, tidak pernah sepenuhnya masuk sebagai bagian budaya dominan. Masuknya Islam ke Jawa dan melakukan sebuah gerakan-gerakan politik kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak Bintoro, Cirebon dan Banten, dan menghancurkan kerajaan-kerajaan lama seperti; Pajajaran, Majapahit, Blambangan bahkan mampu membuat eksodus orang-orang Majapahit-Daha untuk lari ke Pulau Bali. Kejayaan Kerajaan dengan basis Islam-Orthodox sebenarnya hanya berlangsung lama di Banten, hal ini bisa terjadi karena Sultan Banten memiliki dukungan dari para Ajar (pemimpin-pemimpin rakyat) yang sedari awal memang tidak menyukai Pajajaran. Sementara di luar Banten Islam-Orthodox tidak bisa bertahan lama secara politik, tanah Priangan dan Cirebon keburu di kuasai Mataram sehingga tidak bisa menerima Islam Orthodox dan berkembangnya kekuasaan VOC Belanda, dan banyaknya kantor-kantor dagang Eropa yang menyurutkan penyebaran Islam lebih luas lagi ke dalam sistem budaya Jawa.

Islam Orthodox yang berpusat di pesisir-pesisir pantai, mengalami kekalahan paling telak ketika mulai berkembangnya kekuasaan Mataram-Islam di bawah Panembahan Senopati. Panembahan Senopati adalah putera Ki Gede Pemanahan, nama kecil Panembahan Senopati adalah Sutowijoyo, Sewaktu kecil ia diangkat anak oleh Sultan Hadiwijoyo alias Jaka Tingkir. Ketika berumur 16 tahun Sutowijoyo di perintahkan oleh Sultan Hadiwijoyo untuk membunuh musuh bebuyutannya, Pangeran Aryo Penangsang putera dari Pangeran Sedo Lepen, Sedo Lepen adalah pewaris sah tahta Demak, yang kemudian akibat intrik politik kekuasaan Demak berpindah tangan ke Hadiwijoyo yang mendirikan kerajaan di Pajang (Utara Solo). Sutowijoyo akhirnya berhasil menghabisi Pangeran Aryo Penangsang, dan oleh Sultan hadiwijoyo, Sutowijoyo dihadiahi tanah luas di daerah hutan Mentaok, oleh Sutowijoyo hutan itu dibuka dan kemudian didirtikan suatu wilayah bernama Mataram. Lambat laun Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai adipati yang otonom terhadap kekusaan Pajang, dan puncaknya Sutowijoyo mengumpulkan 55 Bupati di seluruh Jawa untuk melawan Hadiwijaya, dan akhirnya Hadiwijoyo kalah, ia tewas jatuh dari Gajah tunggangannya ketika bertempur melawan Sutowijoyo. Dan Sutowijoyo di tasbihkan menjadi Raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati ing Alogo. Gelar Sultan tidak di dapatkan oleh Sutowijoyo karena timbulnya penolakan dari kekhalifahan Turki yang masih menganggap kekuasaan berada ditangan kerajaan Demak dan Pajang.

Pada saat kekuasaan Jawa mundur ke wilayah selatan, maka seakan-akan sudah lepas pengaruh dari kekuasaan-kekuasaan Islam Orthodox atau Islam santri. Sebenarnya pertarungan antara Hadiwijaya dan Aryo Penangsang bisa dilihat juga pertarungan antara Sunan Kalijogo (guru Hadiwijoyo) dan Sunan Kudus (Ayah angkat Aryo Penangsang). Disini Sunan Kalijogo direpresentatifkan sebagai kelompok Islam yang lebih menguatkan kesadaran budaya lokal, dan membangun kekayaan budaya lokal guna memperkuat keislaman orang Jawa, Sementara Sunan Kudus lebih mengedepankan budaya impor (arab) yang juga dimasukkan ke dalam satu paket dengan pola-pola penyebaran Islam di tanah Jawa. Dan akhirnya metode Sunan Kalijogo-lah yang mendapatkan kemenangan di wilayah-wilayah pedalaman, sementara wilayah pesisir masih dipengaruhi oleh Sunan Kudus tapi lambat laun Islam Orthodox gaya Sunan Kudus terdesak oleh hadirnya ratusan kantor-kantor dagang Eropa dan mulai berkembangnya kantong-kantong masyarakat Cina, menyurutkan pengaruh Islam Orthodox di tanah Jawa.

Di wilayah pedalaman Islam kemudian tumbuh sebagai agama kerajaan, namun Panembahan Senopati yang masih memiliki darah biru Majapahit, masih seakan-akan kurang menerima hadirnya Islam dalam sistem budaya. Islam lebih dianggap sebagai alat politik yang penting untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang belum takluk kepada Mataram, dan membangun hubungan dengan ulama-ulama yang mulai berpengaruh di Timur Jawa. Jadi pada awal kekusaan di tanah Jawa pada periode Islam memang adanya jarak antara Islam dengan kekusaan, para satria-satria yang memimpin wilayah Tanah Jawa (termasuk Priangan), masih menganggap mereka adalah keturunan sah kekuasaan Majapahit atau Pajajaran yang memiliki kebduayaan jauh lebih tinggi dari kebudayaan Arab. Kaum ningrat masih sering membandingkan keagungan masa lampau sebagai basis pemahaman bahwa mereka adalah keturunan orang-orang mulia, Borobudur sering dianggap titik kejeniusan orang Jawa thd masa lalu. Borobudur adalah bangunan yang rumit dan lebih indah dari Angkor Wat di Kamboja. Islam bagi kelompok penguasa kemudian tidak begitu mempengaruhi cara hidup mereka, mereka masih dipengaruhi cara-cara berpikir Jawa yang dipengaruhi oleh campuran Hindu, Budha dan Islam Sufistik yang melahirkan filsafat Jawa. Untuk kaum priyayi, filsafat Jawa yang mempunyai gambaran lengkap dalam lakon-lakon wayang orang masih dianggap memiliki tempat yang tinggi, dan kemudian ini dilihat oleh Sunan Kalijogo yang kemudian menciptakan struktur wayang kulit yang tidak sepenuhnya mengadopsi secara sempurna bentuk-bentuk tubuh manusia namun menggambarkan subjek individu lakon itu sendiri.

Kejadian paling buruk dalam hubungan antara penguasa dan umat Islam-Orthodox adalah peristiwa pembunuhan 4000 ulama oleh Amangkurat I (cicit Panembahan Senopati) (1646-1677) yang menuduh para ulama bersekongkol ingin menjatuhkan dirinya. Dan akibat peristiwa ini semakin menjauhkan hubungan antara penguasa dengan Islam-Orthodox yang baru bisa dipulihkan saat Perang Jawa berlangsung di bawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro di tahun 1825-1830.

Islam hanya bisa berkembang di luar pengaruh-pengaruh kekuasaan yang penuh curiga, Islam banyak berkembang di wilayah-wilayah yang sangat jauh dari pusat-pusat kekusaan Jawa, itulah kemudian banyak dipahami Islam Santri yang kemudian banyak mendirikan pusat-pusat pendidikan (pesantren) banyak berkembang di wilayah timur Jawa yang jauh dari Mataram. Dan sikap kaum santri rata-rata tidak radikal terhadap sistem kekusaan Jawa, mereka menganggap bahwa kekuasaan adalah urusan di luar wewenang mereka.
Para Bangsawan Jawa (termasuk Priangan ) saat kehadiran Belanda di Eropa, sangat terpukau oleh kemajuan Belanda dalam hal ini Eropa, namun mereka juga masih menganggap Eropa sebagai bangsa rendahan, yang sama halnya dengan Cina dan Arab. Mereka melihat bahwa Eropa sangat menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan. Dalam pandangan hidup priyayi Jawa, kebendaan adalah hal-hal rendah yang harus dijauhi, sikap manusia harus berpusat pada keluhuran budi yang jauh dari nilai-nilai pamrih, sementara kebendaan menghubungkan manusia pada ketidak jujuran dan sikap pelit. Inilah makanya mayoritas pandangan Priyayi Jawa yang melihat bentuk-bentuk perdagangan sebagai sesuatu yang hina, mereka menganggap pedagang bukanlah pekerjaan mulia, dan wilayah perdagangan banyak diambil oleh orang-orang Cina, Arab dan suku-suku pribumi yang tidak begitu peduli dengan cara pandang Jawa seperti :orang kalang (bekas budak Mataram dari Bugis dan Bali) danorang-orang seberang (suku Melayu, Bugis dan pedagang-pedagang dari Minang). Inilah yang kemudian bisa menerangkan bagaimana orang-orang Jawa merasa lebih mulia untuk menjadi pegawai negeri, militer ataupun penguasa-penguasa wilayah dengan bayaran apapun mereka pasti berusaha mendapatkannya. Dan sebagai sumber dana selain tanah, para penguasa Jawa masa lampau memiliki kroni-kroni Cina yang digunakan sebagai alat untuk membangun perdagangan, dan terbentukalah perdagangan yang tidak fair dimana kekuasaan dan modal bertemu, ini sangat tidak bisa dipahami oleh orang-orang Eropa yang menganut sistem perdagangan bebas (ala smithian), namun lambat laun orang-orang Eropa juga terbawa-bawa dengan cara dagang seperti ini. Para Bangsawan Jawa (juga Priangan) lebih senang dan merasa mulia berkembang di bidang-bidang halus, seperti dunia sastra, (inilah makanya kenapa nama bangsawan dengan nama Sastra banyak digemari, seperti; Sastranegara, Sastraningrat, sastrawijajaya, sastradharsana dll), dunia spritual, dan dunia yang berhubungan dengan kekusaan. Sampai saat inipun para Jenderal, Gubernur bahkan Presiden sekalipun mempunyai kroni-kroni dagang Cina atau asing, seperti Sukarno yeng berkroni dengan Dasaat (arab, pada era Sukarno pedagang-pedagang Cina di habisi oleh kelompok politik Masjumi), Suharto memiliki Liem Sioe Liong, Prajogo Pangestu, Oom Tik (dan banyak sekali kroni Suharto, di era dia puncak kroni terhadap ekonomi timbul), Gus Dur ( Marimutu Sinivasan, dan William Suryawidjaja) dan sebagainya. Setiap Jenderal juga memiliki kroni, dan ini bisa dibuktikan pada sumber-sumber kesejahteraan Angkatan Bersenjata yang banyak disumbangkan oleh pengusaha-pengusaha keturunan.

Islam dalam politik juga tidak akan bisa memenangi pertarungan, Diponegoro yang menggunakan simbol-simbol Islam kalah dalam pertarungan politik dengan penguasa-penguasa Yogyakarta yang dibantu oleh Belanda. Sementara gerakan-gerakan politik Islam yang pada mulanya berhasil menjadi gerakan Rakyat seperti Sjarikat Islam (SI) yang menjelma menjadi kekuatan raksasa di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, malah kemudian surut diawali oleh di akomodirnya kelompok Komunis (PKI) ke dalam SI , lalu hadirnya gerakan nasionalis yang lebih mengakomodir budaya Jawa ke dalam pemikiran politiknya, Partai Nasionalis Indonesia yang didirikan oleh anak didik HOS Tjokroaminoto, Ir. Sukarno, menjadi simbol terpenting lahir kekuasaan dominan di Indonesia yaitu kekuasaan kaum nasionalis yang sangat memperhatikan struktur masyarakat Jawa dan mengakui peran-peran kaum bangsawan di dalamnya, Sukarno sendiri sering mengaku sebagai keturunan bangsawan dan mengenakan embel-embel raden di namanya. Sementara Komunisme juga hadir dalam pertarungan politik di Jawa, Komunisme atau PKI yang sempat memberontak di tahun 1926 dan membawa implikasi merugikan dalam suasana pergerakan politik pada waktu itu, mengangkat bentuk perlawanan frontal terhadap kekuasaan penjajah dan juga memusuhi kaum priyayi. Disinilah kemudian muncul anggapan di kalangan priyayi bahwa komunisme adalah sebuah gerakan yang akan merusak tatanan. Tatanan masyarakat bagi orang Jawa merupakan fundamental bangunan masyarakat yang tidak boleh rusak, jika diganggu akan menimbulkan kekacauan suasana yang oleh orang Jawa disebut Gonjang-Ganjinge Jaman, atau Disharmoni. Nah, komunisme yang lebih mengangkat pembelaan terhadap rakyat banyak dan tertindas dianggap akan merusak kekuasaan para priyayi.

Setelah kehadiran pasukan pendudukan Jepang 1942-1945 dan Jepang mendidik orang-orang Jawa dalam sekolah-sekolah militer yang tidak elitis, populis dan berorientasi tempur disinilah semangat keprajuritan orang-orang Jawa muncul kembali setelah dihilangkan dengan sistematis oleh penguasa Belanda. Orang-orang Jawa yang medapatkan didikan militer kemudian merumuskan dirinya sebagai kelas baru para priyayi, kelompok militer inilah yang kemudian berkembang menjadi suatu lapisan elite yang kemudian sanggup bertempur dengan anasir-anasir panganggu kebudayaan Jawa. Mereka menafsirkan dirinya sebagai : Nasionalis, Perwira sejati dan Penjaga kemerdekaan Indonesia. Sementara kelompok-kelompok Islam-Orthodox yang berkembang di pesantren-pesantren memilii lasykar-lasykar rakyat bersenjata, namun kemudian oleh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX di eliminir dalam program rekonstruksi dan reorganisasi (ReRa) di tahun 1948. Bila Kaum santri masih menurut saja dengan pelucutan senjata oleh kaum Nasionalis, tidak halnya kaum komunis yang memiliki pengaruh di kalangan Angkatan Perang, mereka menolak bila lasykar-lasykar sosialis juga di hapuskan, maka timbullah peristiwa Madiun 1948.

Kaum Santri di wilayah barat Jawa, kemudian dimanfaatkan oleh SM Kartosuwirjo untuk melakukan gerakan-gerakan politik yang bernama Darul Islam Indonesia/tentara Islam Indonesia (DII/TII), sebuah Negara Indonesia dengan dasar Islam. Timbulnya DII/TII malah memunculkan ketidaksenangan kelompok elite militer di Jawa Barat (Siliwangi) yang sangat nasionalis merekalah yang kemudian berhasil menangkapi gerombolan tersebut, tapi baru pada tahun 1963 DII/TII baru benar-benar bisa ditumpas (Bandingkan dengan PKI yang mati-hidup antara tahun 1948-1965).

Kelompok Komunis atau PKI yang berkembang pesat di tahun 1950, setelah DN Aidit menyingkirkan orang-orang komunis era Digul, mulai melakukan politik kompromi dengan Sukarno namun benar-benar di tolak oleh militer mereka bahkan terang-terangan mengancam Sukarno untuk melepaskan pengaruh PKI, kelompok militer ini berasal dari luar Jawa, sementara Sukarno masih dianggap dewa oleh kelompok militer Jawa, tahun 1958 PRRI/PERMESTA timbul dan membuat berang Sukarno, maka diperintahkan A Yani untuk menghabisi PRRI/PERMESTA, dan pasukan Yani menang, ini sekali lagi menguatkan bahwa kelompok militer Jawa memiliki keunggulan dengan kelompok militer luar Jawa. Hancurnya PRRI/PERMESTA menegaskan sekali lagi bahwa perwira Militer Jawa berhasil menaklukkan Militer luar Jawa, dan mengambil jarak dengan kelompok Sosialis ala Sjahrir dan Islam Modern Masjumi. Puncak kemenangan militer Jawa adalah peristiwa jatuhnya Sukarno di tahun 1967. Intrik di Angkatan Darat malah berkembang menjadi penghancuran thd dua lawan politik penting Angkatan Darat di era Nasakom, Figur Sukarno dan Partai Komunis Aidit. PKI yang sudah bersiap untuk menyambut pemilu malah takut keduluan akan kudeta Angkatan Darat, mereka melihat para perwira militer mungkin saja terinspirasi oleh kudeta militer di Aljazair tahun 1964. Kekhawatiran Aidit ditambah provokasi dari agen-agen intelijen yang bermain malah menimbulkan tindakan sepihak dari pasukan pengawal Bung Karno untuk menciduk tujuh Jenderal, dan ini malah menyeret PKI sebagai pelaku pembunuhan. PKI dibubarkan, Sukarno dijatuhkan dan kemenangan bagi militer Jawa yang pengaruhnya terasa sampai sekarang.

Pernyataan Ali Sadikin yang bersikap anti pati thd kelompok politik agama ternyata juga memiliki kaitan sejarah yang panjang, sikap Ali adalah cerminan dari begitu berjaraknya kekuasaan thd unsur-unsur lain di luar kekuasaan seperti : Partai Agama, Luar Jawa, Kelompok Sipil bahkan kelompok yang benar-benar di asingkan seperti Partai Komunis Indonesia (PKI).

ANTON

No comments: