Tentang Budhisme dan MarxismeOleh Abdulkarim al-Syuyu’i (Perhimpunan Muda)
Bagi saya, kegagalan rejim di negeri bekas Uni Soviet bukanlah kegagalan Marxisme, tapi kegagalan totalitarianisme. Karena alasan inilah saya masih merasa bahwa diri saya setengah Marxis, setengah Budhis” (His Holiness the Dalai Lama)[1]
I
Apa yang maksud Dalai Lama dengan menyebut diriNya ‘setengah Marxis, setengah Budhis’? Apakah Dia hendak tunjukkan bahwa Budhisme dan Marxisme sejalan? Orang yang oleh penganut Tantrayana Tibet diakui sebagai perwujudan Bodhisatwa Kasih ini tentu tidak sedang bersenda gurau. Kalau pun sedang bersenda gurau, tentu ada alasan mendasar yang membuatNya melakukan sejenis senda gurau yang serius ini. Dalam suatu wawancara dengan majalah Dialogue and Universalism tahun 1997, Dalai Lama pernah menyatakan bahwa menurutNya, yang menarik dari teori ekonomi Marx adalah bahwa teori itu menekankan betul-betul bagaimana membagi kekayaan, bukan hanya bagaimana menghasilkannya. Pembagian yang setara, inilah yang menurut Dalai Lama dianggap sebagai kekuatan mendasar dalam teori ekonomi Marx. Bila dalam kapitalisme persoalan mendasarnya hanyalah bagaimana menghasilkan kekayaan demi kekayaan itu sendiri dan terus-menerus bersiasat untuk memperoleh laba melulu demi kemaslahatan segelintir kapitalis, maka dalam ekonomi Marx banyak persoalan moral kemanusiaan yang diangkat dalam kaitannya dengan menghasilkan dan menyebarkan kekayaan tersebut demi kemaslahatan umat manusia.Bagi mereka yang mengenal langsung teks-teks ajaran pokok Budha Gautama dan pemikiran Karl Marx, pernyataan Dalai Lama di atas bukan senda gurau. Budhisme dan Marxisme tidak hanya punya banyak kesamaan, tapi juga keduanya sungguh-sungguh saling melengkapi satu sama lain. Memang, dalam beberapa hal keduanya berbeda. Misalnya mengenai doktrin kelahiran kembali yang begitu pokok dalam Budhisme tapi tidak digubris dalam Marxisme. Tapi, keduanya sama-sama tidak menerima teori tentang adanya jiwa substansial. Kedua-dua, sebenarnya menolak metafisika; atau paling tidak tak peduli urusan metafisika. Suatu hari Budha Gautama ditanya seorang Rsi tentang Tuhan atau kekuatan Ilahiah yang mencipta dunia beserta isinya. Budha menjawab pertanyaan ngetes itu dengan menuturkan sebuah kisah. Kira-kira seperti ini kisahnya: ada seseorang yang tertembak panah beracun di dadanya. Racun panah begitu cepat menjalar ke jantung dan dalam waktu singkat dia bisa mati. Dalam keadaan seperti itu tidak ada faedahnya mengetahui siapa yang melepaskan panah, berapa tinggi dan seberapa kokoh tangan orang itu. Tidak ada manfaatnya juga mengetahui dari jenis kayu apa panah itu dibuat dan dengan kecepatan berapa anak panah melesat menembus dadanya. Hal yang musti dilakukan adalah mencabut anak panah dari dada dan mengobati lukanya.Orang yang terpanah mengumpamakan kehidupan manusia di dunia yang menderita (dukkha). Kehidupan itu sendiri begitu singkat. Racun menjalar terus melalui nadi kehidupan dan bisa merenggutnya. Sama sekali tak ada maslahatnya menghabiskan waktu hidup yang singkat dengan mempersoalkan sesuatu yang ‘gaib’, sesuatu yang metafisikal. Yang nyata-nyata nyata adalah penderitaan manusia nyata yang berdarah dan berdaging. Tidak peduli apakah racun itu merupakan suratan tangan Tuhan atau bukan, yang jelas racun harus dihentikan dan penderitaan harus diakhiri.Perumpaan ini merupakan sindiran keras terhadap golongan orang yang kerjanya mengotak-atik sesuatu di luar kehidupan nyata untuk menjelaskan persoalan nyata yang dihadapi manusia. Bagi Budha tak soal apakah semburan lumpur Lapindo itu takdir Tuhan atau bukan; Budha tak peduli apakah Tsunami itu azab, ujian, atau cobaan dari Tuhan Yang Mahakuasa. Yang nyata-nyata nyata adalah manusia menderita yang kehilangan tempat tinggal, sanak saudara, dan pencaharian. Budha tak persoalkan apakah gempa itu kutukan atau balasan Tuhan atas kelakuan manusia. Yang menjadi persoalan adalah ada manusia yang benar-benar menderita dan perlu ditolong. Bagi kita yang tinggal di Indonesia, tentu sudah sering mendengar penjelasan-penjelasan metafisikal atas kejadian di dunia nyata. Saya sendiri pernah mendengar bahwa gempa bumi yang memporak-porandakan Yogyakarta merupakan azab buat mereka yang musyrik. Mengapa wilayah Bantul yang paling parah tertimpa gempa? Kata kawan saya yang muslim, karena penduduk Bantul banyak menjalankan praktik kemusyrikan (menyembah Nyi Roro Kidul, misalnya). Menurut kawan saya itu, semua bencana merupakan azab bagi pendosa dan ujian bagi yang beriman. Karena penjelasannya metafisikal, maka penyelesaiannya pun metafisikal. Misalnya dengan anjuran banyak beribadah, berdoa kepada Tuhan agar dilindungi, atau menyuruh Inul berhenti goyang. Sementara itu pemahaman tentang gempa dan musti bagaimana menghadapi derita yang diakibatkannya diabaikan begitu saja karena dianggap bukan persoalan pokok. Perumpaan yang diajukan Budha Gautama untuk menjawab pertanyaan tentang Tuhan di atas mengingatkan saya pada Ulasan-ulasan tentang Feuerbach dan beberapa tulisan Marx dalam Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat 1844. Dalam ulasan kritiknya terhadap Ludwig Feuerbach (dan rekan Hegelian muda lainnya), Marx menyindir keterjebakan Hegelian Muda pada lumpur metafisika. Ketika Feuerbach mengkritik filsafat Idealis Hegel, dia sendiri terjebak dalam lumpur yang sama. Bagi Marx, baik Hegel maupun Feuerbach sama-sama terjebak dalam pemahaman bahwa penderitaan di dunia nyata merupakan turunan belaka dari dunia metafisik. Bila Hegel menunjuk Roh Dunia, maka Feuerbach merujuk ‘materi’. Keduanya sama-sama membicarakan yang abstrak-abstrak, sesuatu yang menurut Marx bukanlah persoalan pokok penderitaan manusia. Kepada rekan-rekan Hegelian muda, Marx juga mengkritik tajam pemikiran mereka yang hendak menyelesaikan masalah dalam kehidupan sosial dengan mengotak-atik tatanan atas (agama dan negara). Bagi Marx, konsep dan praktik agama (dan negara) hanyalah pantulan tak langsung dari kenyataan sosial sehingga kritik terhadap agama bukanlah yang pokok dan harus dilanjutkan dengan kritik tatanan sosial tempat agama tersebut tumbuh berkembang. Seperti yang diulas Marx dalam Ideologi Jerman, ciri pokok yang membedakan manusia dengan binatang lainnya bukanlah akal, kepercayaan, atau bisa bermain sepak bola, tapi bahwa manusia harus menghasilkan sendiri segala pemenuhan kebutuhan hidup mendasarnya. Oleh karena itu, dalam kehidupan sosial, tatanan yang melaluinya manusia memproduksi kebutuhan mendasar dan menyebarkannya merupakan hal yang mendasar. Di atasnyalah tatanan politik dan pemikiran berdiri. Agama hanyalah pantulan dari jeritan manusia menderita di dalam tatanan sosial yang sakit, yaitu tatanan yang memilah orang ke dalam lapisan-lapisan sosial sehingga mereka yang berada di lapisan atas bisa menghisap daya mereka yang berada di lapisan bawah. Daripada menyasar agama dan negara, lebih berfaedah menyasar kenyataan sosial dibaliknya, yaitu tatanan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi) yang sakit. Bagi Budha maupun Marx, menyasar persoalan metafisik adalah kerjaan buang-buang waktu. Persoalannya ada ‘di sini’; di dunia nyata ini. Tuhan itu ada atau tidak, tak perlu diperdebatkan. Entah surga itu ada atau tidak, yang jelas penderitaan itu nyata menimpa manusia yang berdarah dan berdaging; penghisapan manusia atas manusia yang lain jelas terpampang di muka kita setiap hari dari masa ke masa.
II
Keprihatinan Budha Gautama dan Karl Marx sama, yaitu penderitaan manusia nyata di kehidupan ini (dukkha). Namun keduanya berprihatin pada sisi yang berbeda. Budha mengabdikan seluruh hidupnya demi memahami ‘sisi dalam’ dari penderitaan manusia dan mencari penyelesaian di sisi dalam tersebut. Sedangkan Marx mencurahkan daya hidup untuk memahami ‘sisi luar’ penderitaan yang meradang dalam kehidupan sosial dan menelusuri kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya. Konsep pokok dalam Budhisme adalah samsara atau perulangan kehidupan terus-menerus selama karma buruk melekat dalam kehidupan. Karma atau kelekatan hubungan sebab-akibat atas semua tindakan adalah yang menjadikan lingkaran samsara terus berjalan. Samsara terus berputar sampai tiada lagi karma dan kehidupan mencapai pembebasan sempurna yang disebut sunyata (kekosongan) atau nirvana (ketiadaan). Materialisme historis, yaitu kerangka penjelasan materialis atas sejarah manusia yang menuntun Marx menemukan akar penderitaan manusia boleh dibilang adalah pisau yang membedah samsara sejarah. Perulangan praktik penindasan dan penghisapan manusia atas manusia bukanlah kutukan Dewa atau azab Tuhan. Semua itu adalah akibat tindakan-tindakan manusia secara kolektif yang terus- menerus diulang (karma sosial). Kemiskinan dan ketimpangan sosial bukanlah azab Ilahi, tapi hasil tak terelakkan dari tatanan masyarakat yang timpang. Selama karma sosial atau reproduksi kondisi produksi yang terus-menerus menghasilkan masyarakat yang sakit, maka selama itu pula penderitaan manusia akan tetap bercokol. Oleh karena itu, pembebasan sejati manusia dari penderitaan adalah dengan melenyapkan tatanan yang memilah-milah masyarakat ke dalam lapisan-lapisan yang berkedudukan atas-bawah (kelas sosial). Itulah komunisme, suatu tatanan sosial yang di dalamnya tiada pertentangan; tiada keterpilahan manusia berdasarkan kedudukan tinggi-rendah (nirvana sosial).Kini kita bisa menebak maksud Dalai Lama ketika bilang bahwa dirinya ‘setengah Marxis, setengah Budhis’. Kedua-duanya saling melengkapi berprihatin pada persoalan yang sama. Budhisme menyediakan orientasi ke dalam dan Marxisme memberi orientasi ke luar. Budhisme yang melulu menyasar ‘sisi dalam’ penderitaan akan terjebak dalam kehampaan sosial dan manusia asing dari lingkungan sosial tempatnya berada. Begitu pula dengan Marxisme. Tanpa perhatian pada sisi dalam manusia, perjuangan Marxisme membebaskan manusia dari penderitaan bisa berujung pada perulangan penderitaan itu sendiri. Seperti dengan tepat dikemukakan Dalai Lama ketika berkomentar tentang Revolusi Bolsheviks bahwa “Menurut saya, Marxis, paling tidak dalam teori, berprihatin terhadap orang-orang tertindas, orang-orang kelas pekerja. Tapi dalam praktik mereka hanya menghabiskan semua daya untuk menghancurkan kelas penguasa. Ketika penghancuran sudah dicapai, bagi seorang Marxis tak ada yang perlu diperhatikan lagi tentang penghargaan kepada orang-orang dalam kelas pekerja. Karena kurangnya Kasih sejati, daya mereka menjadi lebih untuk menghancurkan ketimbang membangun”.[2] Ajaran-ajaran mendasar Karl Marx selama ini tertutup debu marxisme ortodoks dan fundamentalisme Stalinis yang mau menjadikan pemikiran Marx sebongkah fisika. Hal ini telah lama menipu bahkan setelah rejim Uni Soviet yang menganutnya sebagai ideologi runtuh berantakan. Yang terkelabui bukan hanya mereka yang sepenuh hati mempelajari pemikirannya karena keprihatinan yang sama, tapi juga mereka yang membenci pemikiran (dan pribadi) Marx. Sumber filosofis yang paling mendasar bagi filsafat Marx adalah penderitaan manusia. Marxisme adalah filsafat penderitaan. Akarnya tertanam di tanah filsafat Feuerbach. Dalam Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Jerman, Frederick Engels tak jemu-jemu mengulang penyataan bahwa Feuerbach jauh lebih miskin daripada Hegel. Dalam pengantar bukunya Perang Petani, Feuerbach mengatakan bahwa, “kalau sekiranya sebelum itu tidak ada filsafat penderitaan, yang menentukan filsafat Hegel, niscaya tidak akan pernah ada peletakan dasar bagi sosialisme ilmiah buat selamanya”.[3] Dalam kapitalisme, menurut R. Gerardy, mantan anggota PKP yang dipecat karena anti-stalin, ketika semua hal, termasuk di dalamnya tenaga kerja, menjadi komoditi, maka muncullah penyelewengan yang di situ tidak terdapat tujuan-tujuan kemanusiaan.[4] Marx sendiri, setelah beres membaca karya Darwin, pernah menulis surat kepada Engels bahwa sistem ekonomi pasar kapitalisme “belum beranjak dari bentuk perekonomian binatang”.[5] Jadi, tujuan Marxisme bukan sekadar menghapuskan perbedaan kelas sosial, tapi terutama memulihkan masyarakat yang sakit sehingga menjadi manusia kembali sebagai manusia. Kepemilikan pribadi atas kekuatan-kekuatan produktif menyebabkan adanya ketergantungan manusia sehingga memunculkan tatanan yang di dalamnya jati diri manusia dimiliki pula oleh manusia lainnya. Dalam Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat, Marx menyatakan bahwa komunisme yang merupakan penghapusan kepemilikan pribadi adalah penguasaan kembali manusia secara penuh, secara sadar dan tanpa menyisakan sesuatu pun dari kekayaan yang menjadi miliknya sebagai mahluk sosial. Komunisme adalah keadaan ketika manusia memiliki kembali kemanusiaannya. Itulah tujuan Marxisme.Akhirnya boleh dikatakan bahwa Karl Marx, mengutip Kevin M. Brien, adalah sejenis bodhisatwa yang hendak melepaskan manusia dari jerat penderitaannya.[6] Namun, karena keprihatinan Marx tertuju pada sisi sosial kehidupan manusia, maka Marx adalah bodhisatwa duniawi.Wallahu’alam bishshawab...Catatan
1 comment:
[komen kedua, topik : sama]
Secara umum tulisan mas Anton bagus2. Isinya berbobot dan referensinya pun jelas.
Hanya sayang, penggunaan paragraf kurang ditempatkan sebagaimana mestinya, jadi lumayan bikin keriting mata.
Buat awam seperti saya, semoga saya dapat mengambil banyak dari tulisan2 mas Anton tanpa menjadi malas akibat melihat tulisan yg 'rumet' tanpa paragraf
Whatever, nuwun buat mas Anton atas tulisan2nya
Post a Comment