Wednesday 21 November 2007

A Tribute To Teguh Karya

A Tribute To Teguh Karya
Oleh Anton

Setelah lama nggak nonton film-film Indonesia jaman dulu, sepertinya saat ini saya asyik nonton film-film yang dibuat oleh Teguh Karya atau Steve Liem. Secangkir Kopi Pahit, Wajah Seorang laki-laki, Siti Nurbaya, Ranjang Pengantin, Di balik kelambu, Ibunda dll membuat saya berpikir bahwa sesungguhnya film yang bermutu adalah filsafat yang digambarkan. Pemikiran-pemikiran Teguh Karya (TK) ttg seni film bukan hanya berhenti bagaimana gambar bercerita, tetapi juga bagaimana gambar membuat berpikir dan menangkap kesan. Saat saya menonton Slamet Rahardjo berlari-lari dengan membawa jaket, itu saja merupakan sebuah gambaran ttg bagaimana kehidupan musti dilakukan, ini mungkin sama dengan ketika ada adegan pertarungan antara gengsi dan kebutuhan rumah tangga dalam film Ibunda, disitu Slamet Rahardjo menjadi supir Taxi yang dianggap mertuanya suatu pekerjaan bukan untuk kelas priyayi. Teguh Karya mampu menghadirkan suasana realitas keseharian masyarakat dan mengajak kita berpikir bagaimana semestinya realitas itu disikapi. Bila mengingat Teguh Karya dengan film-filmnya saya malah teringat dengan Bertold Brecht yang mengatakan bahwa film adalah sebuah gerakan hidup yang mengalir tenang dalam keseharian kita. Ada film biografi ttg Pablo Picasso, yang saya lupa judulnya apa, di film itu saya melihat secara utuh bagaimana perkembangan seni seseorang juga mempengaruhi gaya hidupnya, termasuk memutuskan hal besar dengan alasan-alasan santai dan remeh. Saya terkesan dengan adegan ketika Pablo Picasso memecat sopirnya yang sudah bekerja padanya selama 20 tahun hanya karena sopirnya diajak anak pablo Picasso ugal-ugalan naik Vespa membawa hasil karya seni Matisse.

Di Film yang paling saya kagumi seperti Forrest Gump, walaupun jalur ceritanya lucu dan diinspirasi dari novel kacangan, namun ternyata justru ketika ditampilkan dalam bentuk film, Forrest Gump mampu menghadirkan jiwa Amerika dan mengusik bangsa Amerika bahwa kemenangan mereka justru dibantu oleh orang-orang yang nggak paham demokrasi atau orang yang menurut sesuai dengan perintah atasan. Kembali ke Teguh Karya, memang susah bila kita terbiasa menikmati gaya film Hollywood dimana alurnya adalah cepat, gerak lurus memperhatikan durasi waktu sebagai patokan utama. Teguh Karya membuat filmnya dengan aliran Eropa, khususnya Perancis. Apalagi dengan latar belakang teater, membuat TK menghasilkan film-film tentunya dengan logika teater dimana kekuatan watak lebih penting daripada kejelasan tema. Tema tidak perlu diperjelas tetapi dipahami dengan dimensi berbeda-beda. Bagi TK yang walaupun berlatar belakang pendidikan film di Universitas of Hawaii, dia tidak terpengaruh dengan penjelasan tema, dia sangat menekankan kekuatan watak, dan kemampuan akting pemain dalam memperlakukan, melihat dan berpikir tentang relasi-relasi antara individu dan benda. Kedalaman berpikir sangat terasa pada karya-karya TK. Saya sangat bangga dengan TK, tapi juga sedih, melihat perkembangan seni peran di Indonesia. TK berhasil menancapkan produktivitas karyanya dengan menelurkan aktor-aktris yang berkualitas tetapi dalam perkembangannya malah Indonesia mendapatkan artis-artis sinetron yang kualitas aktingnya, setiap orang tanpa belajar-pun bisa melakukannya. Tidak tahu malunya orang-orang yang hidup dalam sinetron itu dengan kualitas akting ala kadarnya berani menyebut diri mereka sebagai bintang besar, saat ini setiap orang-pun bisa berakting, Dari Kris Dayanti sampai Memet Mini semua pasti bisa, asal ada dialog bisa menjadi aktor-aktris di TV nah penurunan kualitas akting yang menjadi semakin pasaran jelas semakin mengacaukan definisi akting sebenarnya. Akting harus dipelajari serius, akting bukan hanya menghapal dialog, tetapi juga menjiwai dan merasuki personifikasi tokoh. Jadi banyak aspek mempengaruhi kualitas akting, di Amerika dan Eropa, bintang-bintang film memperlakukan akting dengan kesungguhan yang rumit, para aktor mempelajari bagaimana personifikasi bisa dimasukkan ke dalam keseharian dengan segala hal aspek psikologisnya. Tapi jika melihat karya TK, menjadi pembenaran dalam pikiran saya tentang kata-kata seseorang seniman di tahun 1950-an yang mengomentari filsafat Albert Camus dengan mencemooh karya sastra Ernest Hemingway yang dianggap dangkal, katanya....Orang Indonesia dari dulu dilatih untuk berpikir dalam-dalam..................

ANTON

1 comment:

mypuzzleoflife said...

saya sudah nonton filmnya Teguh Karya yang Ibunda,bagus.
Kira-kira bisa dapet dimana ya film2nya Teguh Karya yang lain?

Cheers,

-ocha-