Wednesday, 21 November 2007

Pak Ong Dalam Kenangan........

Pak Ong Dalam Kenangan........
(In Memoriam Ong Hok Ham)

Oleh : ANTON

Saya belum pernah mengenal Pak Ong pribadi, ketemu wajah pun belum sama sekali . Tapi mendengar kepergiannya kemarin, saya sedih bukan main. Pak Ong-lah yang mengajari saya lewat tulisan-tulisan di Prisma pada paruh pertama tahun 80-an di mingguan ‘Prisma’ tentang sejarah Indonesia, kemudian lewat tulisan-tulisannya di Kompas dan beberapa bukunya yang sempat saya beli di jaman kuliah.

Saya ingat waktu itu saya masih kelas empat SD sekitar tahun 1984-1985 (jamannya Ellyas Pical dan Rully Nere), karena bapak saya sering bawa pulang majalah Prisma, bukan Bobo..terpaksa saya baca majalah itu. Tadinya saya nggak mudheng dengan tulisan-tulisan Prisma yang berat-berat apalagi pake angka statistik segala. Namun lama kelamaan saya mampu menikmati majalah itu. Penulis-penulis yang saya suka karena tutur bahasanya enak dimengerti adalah : Dawam Rahardjo, Gus Dur, Amien Rais, Kuntowidjojo dan tentunya Ong Hok Ham.

Jalan pikiran Pak Ong terhadap sejarah berpusar pada bagaimana kekuasaan Jawa bekerja pada era tengahan, jaman kolonial dan jaman revolusi. Pak Ong-lah yang bisa dikatakan membuka kesadaran sejarah tentang ‘pergeseran kekuasaan Jawa pada kota-kota pesisir, penguasaan Jawa lewat akumulasi kapital di laut-laut Nusantara ke arah Jawa Pedalaman yang puncaknya berlangsung di Jaman Sultan Agung’ Menurut Pak Ong pergeseran ini menimbulkan banyak implikasi budaya sekaligus secara tidak langsung mengubah mentalitas Jawa, dari bangsa yang melihat keluar menjadi bangsa yang melihat ke dalam. Kalau dalam Istilah WS Rendra, dari Jawa menangan menjadi Jawa taklukkan. Kesadaran sejarah Pak Ong – dan juga Pramoedya A.Toer - melihat pergeseran budaya ini dimana kemudian kekuasaan Jawa menciptakan imaji-imaji agraris yang cenderung tidak dinamis, bahkan setelah Jawa terintegrasi dalam Indonesia Raya mentalitas ‘lihat ke dalam’ menjadi cara melihat kekuasaan gagasan mentalitas Mataram ini diikuti secara total oleh Suharto yang kemudian melahirkan apa yang disebut Daniel Dhakidae “Negara Neo Fasisme Orde Baru”.

Pak Ong juga concern dengan sejarah peran saudagar di Indonesia –terutama Jawa - , termasuk analisa bagaimana kebudayaan saudagar itu mati di kalangan orang-orang Jawa dan hidup subur di komunitas keturunan Tionghoa. Pak Ong senang menggambarkan identifikasi Nyai Blorong sebagai imaji metafisik tentang bagaimana proses kapitalistik itu bekerja bagi orang-orang Jawa. Pak Ong juga melihat peran negara Kolonial membagi-bagi wilayah kewenangan persaingan bisnis lokal ke dalam warna kultur yang kelak dikemudian hari setelah Indonesia merdeka banyak menimbulkan masalah. Pak Ong juga mampu menjelaskan dialektika sejarah korupsi dalam ruang-ruang masyarakat Indonesia masa lalu kemudian membawanya ke masa kini, benang merah yang dijelaskan Pak Ong sungguh benar-benar menjadi –meminjam istilah Pak Swantoro – ‘masa lalu selalu aktual’.

Ada perdebatan yang menarik antara Ong Hok Ham dengan intelektual sejati Indonesia Soe Hok Gie tentang sejarah Indonesia yang sempat dicatat dalam buku harian ‘Gie’ yang terkenal itu. Begini kutipannya :

Sabtu, 16 Maret 1964

Berbicara dengan Ong Hok Ham kadang-kadang sangat menarik. Biasanya aku selalu berbeda pendapat dengan dia. Bagiku ia tetap seorang tradisionalis. Dan bagi Ong aku adalah seorang moralis, yang kini punya agama baru : Logika. Beberapa hari yang lalu aku tanyakan pendapatnya tentang Manipol. Jawabannya sangat menarik.

Ong melihat situasi sekarang sebagai lanjutan belaka daripada pertentangan tradisionalisme. Manipol bagi Ong adalah semacam kitab suci baru. Apakah mungkin suatu doktrin dan falsafah kenegaraan dicakup dalam 15 halaman? Ia lalu menunjuk person dan gelar Presiden Sukarno,Panglima Tertinggi Angkatan Perang adalah jabatan ketentaraan dan Revolusi adalah jabatan keagamaan. Menurut Ong revolusi kini sudah menjadi ‘agama baru’ . Siapa-siapa yang dicap anti Revolusi, berarti anti kebenaran. Jadi Sukarno mempunyai tiga aspek : Gelar raja-raja Jawa jkuga sama dengan gelar politik agama (Syekh Sayiddin Ngabdulrahman) Presiden Sukarno adalah lanjutan daripada raja-raja tanah Jawa. Karena itu dalam tindakan-tindakannya ia bersikap sebagai seperti raja-raja jaman dahulu. Ia beristri banyak, mendirikan keraton-keraton dan lain-lain.

Aku kira aspek yang dilihat Ong ini banyak benarnya dan ia sering menemukan kebenaran-kebenaran dari peninjauan tradisinya. Revolusi adalah ‘agama baru’ dan semboyan-semboyan Manipol, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin dan lain-lain tidaklah lebih daripada do’a-do’a yang dikira mustajab.

(dikutip dari Buku Harian Gie, terbitan LP3ES 1983)

Pak Ong memang menitikberatkan tradisionalisme sebagai ruang gerak untuk memahami sejarah Indonesia. Ia dengan pandai menjelaskan bagaimana sikap Sukarno memahami kekuasaan, Orde Baru dalam kaitannya dengan sejarah Jawa Mataram dan peran Angkatan Bersenjata (ABRI, jaman Orde Baru) melakukan eliminasi politik bukan lagi persuasi seperti jaman Bung Karno dulu. Ong juga mencetuskan istilah Negara Pejabat bagi Hindia Belanda dan ini tidak jauh beda dengan struktur Negara Orde Baru buatan Suharto - Ali Murtopo.

Selamat Jalan Pak Ong, do’aku adalah terimakasihku padamu yang telah menghidupkan sejarah, sehidup-hidupnya dan menjelaskan sejarah sejelas-jelasnya.


ANTON

1 comment:

aLzurjani said...

saya juga begitu mengagumi pak ong
atau onze ong.
meski berupa cina totok, dia tak pernah mempermasalahkan dia keturunan apa
salut untuk pak ong

sekedar share saha