Tuesday 20 November 2007

Konstruksi Perempuan Di Dunia Laki-Laki

KONSTRUKSI PEREMPUAN
DI DUNIA LAKI-LAKI

Oleh Anton

Menurut saya, gerakan feminis itu memang memiliki tujuan yang lebih besar lagi. Menciptakan suatu masyarakat dengan persamaan kelas. Gerakan feminis itu mirip sekali dengan Praxis-Marxis yang menerapkan sistem egaliter. Seperti melakukan penyadaran pada buruh bahwa mereka adalah golongan yang ditindas hingga melahirkan gerakan buruh. Padahal banyak pula buruh yang tak merasa tertindas karena sudah cukup senang dapat pekerjaan dan gaji. Inti gerakan buruh dan feminisme itu sama. Taktik yang dilakukan, pertama melakukan penyadaran bahwa mereka kaum yang tertindas. Setelah kesadaran itu muncul, apalagi kalau ada figur yang mempersatukan atau ada organisasinya, itu bisa menyatukan kekuatan kaum proletar itu.

(DR. Ratna Megawangi, Republika 2001)

Pernyataan lama DR. Ratna Megawangi yang menentang gerakan feminisme ini sempat menyentak gerakan perempuan Indonesia, bahwa memang ada kelompok resisten terhadap gerakan equal perempuan Indonesia atau Feminisme dari golongan yang merasionalisasi kedudukan perempuan Indonesia bahwa kedudukan perempuan berada subordinat dari laki-laki dengan kata lain kaum perempuan tetap menjadi kaum yang tidak memiliki harkat kemanusiaan secara penuh dalam masyarakat laki-laki. Apapun rasionalisasinya dari rasio-rasio teori sampai kebenaran mistis yang mereka lontarkan selama perempuan tetap dikurung dalam penjara ketidaksadaran bahwa mereka mengalam subordinasi dari laki-laki selama itu pula-lah tali relasi perempuan-lelaki akan selalu dipenuhi kutu busuk kepentingan yang pada akhirnya memojokkan kaum perempuan.

Dari yang saya kutip diatas konstruksi pembebasan perempuan disama artikan semata pada perjuangan kesamaan kelas bukan hal yang lebih jauh lagi ‘kesadaran peradaban’. Saat ini kesadaran peradaban belum menyentuh wilayah alam pikiran wanita secara total. Sejarah kita adalah sejarah yang dibentuk dan dianyam oleh pikiran laki-laki bukan relasi lelaki-perempuan atau bahkan pikiran perempuan. Kita dilahirkan di dunia pada hari pertama hidup kita disentuh pada alam pikir laki-laki dan terbentuklah persepsi bahwa dunia laki-laki adalah satu-satunya kebenaran yang harus menaklukkan kaum perempuan dan menundukkannya dan keperempuanan hanyalah pelengkap dari tujuan mulia laki-laki. Itu yang kita pahami dan anggap sebagai kebenaran mutlak. Saya orang yang paling percaya pada hukum relativitas dimana tidak pernah ada titik akhir dalam memahami laju sejarah dan tekanan-tekanan rasional peradaban, dimana laju sejarah selalu mengarah pada konflik ekonomi dan berlatar belakang pembebasan kemanusiaan dimanapun juga.

Termasuk pembebasan wanita yang secara sadar atau tidak sadar dibawah dominasi laki-laki sampai saat ini (!). Tujuan pembebasan manusia bukan hanya pembebasan laki-laki dalam menyentuh akses ekonomi tapi juga bagaimana kaum perempuan sama dengan laki-laki dalam melakukan tugas-tugas ekonominya sehingga kesamaan mereka dalam relasi-relasi itu bisa tercapai. Untuk itulah diperlukan kesadaran.

Akar kekerasan di dalam rumah tangga adalah ketidakadilan dalam masalah ekonomi. Kaum laki-laki yang sejak awal mula dididik sebagai penyumbang kekayaan keluarga memiliki hak-hak istimewa. Jadi secara langsung masyarakat mengarahkan baik tidaknya keluarga adalah bagaimana kepala rumah tangganya, jadi ketika ini dijadikan patokan utama maka hilang sudah kepribadian-kepribadian individu yang membentuk keluarga dan kemudian pribadi individu yang terbiasa di bawah pengaruh sistem yang timpang ini membawanya ke dalam masyarakat lalu terbentuklah secara sempurna masyarakat patriakal, dunia peradaban yang sedang kita jalani saat ini.

Keluarga itu seperti miniatur masyarakat yang memiliki kelas-kelas seperti di masyarakat, kaum yang berkuasa : Biasanya pemegang sumber utama ekonomi, kelas borjuasi-tersubordinasi : anak-anak dan yang memiliki hubungan istimewa dengan kelas berkuasa, Kelas proletar : Kaum isteri dan Pariah : Pembantu rumah tangga, sopir atau tukang kebun. Relasi-relasi ini kemudian saling kait mengkait menjadi hubungan yang saling menindas tapi diselubungi nilai-nilai harmoni. Dan yang paling menderita terhadap penindasan institusi keluarga biasanya kelas yang tidak memiliki kapital juga tidak punya andil dalam pembentukan akumulasi kapital bagi kesejahteraan keluarga tersebut : Kaum wanita paling banyak menerima kekerasan terhadap sistem ini.

Keluarga sendiri merupakan proses akumulasi kapital yang pada akhirnya mengembangkan sistem penindasannya sendiri lalu menghasilkan korban-korban kekerasan dan ketiadaan masa depan bagi korban dimana penindas adalah orang yang mengembangkan kapitalnya atau dengan kata lain terjadinya penindasan atau tidak tergantung penuh pada kebajikan si penguasa tadi. Terbentuknya keluarga selalu mengikuti kelaziman umum : Kaum laki-laki dengan didukung atau tidak didukung keluarga besarnya datang kepada perempuan untuk dikawini. Pada titik ini kaum lelaki harus memiliki potensi modal yang berguna untuk membangun keluarga, kapital ini kemudian diakumulir oleh pihak laki-laki dan perempuan tetap menjadi proletar dalam rumah tangganya, ia melayani laki-laki dari hasrat seksual sampai romantikal, dari reproduksi keturunan sampai pelayanan pendidikan keturunan. Proletariatisasi perempuan ini menjadi hal yang paling wajar dalam logika peradaban, banyak ujaran-ujaran lama yang memojokkan kaum perempuan sebagai kaum pinggiran dalam dunia laki-laki : Perempuan itu hanya di tiga tempat : Sumur, Dapur dan Kasur. Atau Mocopatan lama Jawa : Wanita = Wani Di tata (berani diatur), Isteri itu bekti pada suami Suwargo Nunut, Neroko Katut (kemanapun ikut dan mutlak turut pada suami). Disinilah kemudian perempuan menjadi paling sering menjadi sasaran amukan dari ketidakseimbangan psikologis laki-laki baik kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga maupun penindasan psikis.

Alam buas susunan masyarakat kapitalis semangkin menghancurkan keadaban dalam relasi-relasi lelaki-perempuan. Ditambah sistem kapitalis ala Indonesia yang hanya menguntungken segelintir kelompok penguasa yang mainan kapitalisnya bersaing bukan didasari pada prinsip-prinsip kapitalis kompetitif melainkan kapitalis-patriakal-korup semangkin memojokkan peran perempuan. Dari sistem Kapitalis-Patriakal-Korup (KaPkor) maka lahirlah generasi perempuan-perempuan etalase dimana penyadaran keberadaan mereka hanyalah sebagai alat kepentingan alam dunia laki-laki. Perempuan-perempuan etalase ini membenarkan kedudukan kelas laki-laki yang mencerabut akar kebebasan perempuan dengan pembenaran-pembenaran yang dipahami dari otak laki-laki. Kaum perempuan jenis ini sebenarnya juga korban dari ketidakmampuannya memahami makna pembebasan kaum perempuan dari akar ketertindasannya.

Kesadaran peranan perempuan harus dipusarkan pada semangat pembebasan untuk memanusiakan manusia dan dimulai dari akarnya, Kapital –pembebasan ekonomi – (dalam ruang Kapitalis M. Yunus sudah berhasil secara bertahap membebaskan wanita dari keterasingan akses kapital) - . Perempuan bukan lagi sekedar objek-kepemilikan tapi merupakan manusia yang utuh, yang memiliki hak-hak asasinya sama dengan laki-laki. Penyadaran kaum perempuan dan penyadaran posisi perempuan yang secara sadar atau tidak sadar terkooptasi oleh kepentingan laki-laki merupakan tugas panjang dari aktivis perempuan dimana konflik-konflik sejarah menjadi medan juangnya.

Pernyataan Ibu Ratna Megawangi yang mengatakan “Padahal banyak pula buruh yang tak merasa tertindas karena sudah cukup senang dapat pekerjaan dan gaji. Inti gerakan buruh dan feminisme itu sama...”

Pernyataan itu merupakan pernyataan kelas borjuis, pernyataan alam bawah sadar kelas ini untuk melakukan politik defensif. Bila dilihat dari kajian historis, ini pernyataan dungu, dimana penyadaran kemanusiaan tidak dimasukkan ke dalam proses pengadaban manusia. Jelas manusia yang kurang informasi dan terdidik tidak akan sadar akan posisi dirinya, akan eksistensi dirinya pada susunan masyarakat yang didalaminya, masalahnya ketika susunan masyarakat itu melahirkan sistem yang menindas, persoalan kesadaran tidak lantas menjadi persoalan sebagian anggota masyarakat elite yang terdidik dan mengetahui sistem yang menindas itu dijejali kebohongan tapi juga persoalan bersama sadar atau sadar bagi kaum yang kurang terdidik, peran elite terdidiklah yang membangun penyadaran ini dan merubahnya bukan dilemparkan pada kesadaran palsu masyarakat yang dibentuk lewat kebohongan. Kebohongan dari sistem yang menindas merupakan bagian dari kerja kapitalis. Ini bisa kita analogikan, seorang Suharto muda dia tidak tahu dan sadar negerinya dijajah dari ia menjadi penggembala kerbau di dusun-dusun pedesaan Yogya sampai menjadi serdadu KNIL, kesadaran kemerdekaan sama sekali tidak ada, yang ia tahu adalah bagaimana berusaha untuk tetap hidup dengan menjadi kuli di sana-sini, kesadaran kemerdekaan Indonesia ada di pikiran Suharto ketika ia ikut proses penyadaran politik di Pathuk, Yogyakarta. Disinilah peran Sukarno, Hatta, Sjahrir atau Tan Malaka dalam melakukan proses penyadaran bagi bangsa Indonesia bahwa diri mereka dijajah. Atau pernyataan Jenderal AH Nasution ketika dimintai pendapatnya tentang Sukarno dia berkata “Bung Karno sudah mengobarkan penyadaran kemerdekaan, sejak saya belum tahu apa artinya merdeka”

Begitu juga dengan perjuangan penyadaran kelompok tertindas kita tidak bisa melihat dari tingkat utilitas ekonomi kaum tertindas, mengatakan bahwa buruh cukup senang dengan gajinya, adalah pernyataan dari teropong orang yang terima duit 30 juta sebulan dan berjibun fasilitas dengan orang yang terima duit 600 ribu sebulan dengan beban ekonomi berat. Dan pernyataan itu dikeluarkan oleh pihak pertama dengan selubung jangan sampai saya disamakan dengan yang enam ratus ribu. Disinilah kunci dari permasalahan konflik sejarah bermula. Kelas yang menindas punya kemampuan berkomunikasi dan akses penyebaran komunikasi sementara kelas tertindas masih sibuk mempertahankan hidupnya. termasuk perempuan-perempuan Indonesia korban kekerasan subordinat

Majulah Perempuan Indonesia !!!!

ANTON

No comments: