Wednesday, 21 November 2007

Education is free, not for Sale!!!

Education is free, not for Sale!!!

Oleh : ANTON

Di Indonesia masalah kelas-kelas sosial merupakan isu yang sangat penting terutama dalam pergaulan sosial dan status seseorang di masyarakat. Status sosial di Indonesia yang mengalami modernisasi dan bertahan hampir dari seratus tahun adalah : status pendidikan.

Setelah status dengan basis keturunan dan pemuka agama dianggap sudah ketinggalan jaman, pendidikan seakan terus tegar dan mendapat tempat. Bahkan status kepemimpinan agama sekalipun tak afdol bila tidak dikawinkan dengan gelar-gelar pendidikan seperti : Profesor Agama, Master Agama, atau Sarjana Agama. Gelar di Indonesia sudah merupakan produk spesifik yang mengarah pada Produk Konsumen. Jika beberapa waktu lalu kita mendengar gelar kebangsawanan bisa dibeli, maka gelar pendidikan bukan saja masalah jual beli tapi sudah merupakan industri yang mau tak mau menyeret komersialisasi sebagai bahasa komunikasinya.

Jika komersialisasi dilakukan pihak swasta yang mendapat lampu hijau dari negara mungkin masih bisa dimaklumi walaupun saya katakan itu juga tidak bermoral, namun bila itu dilakukan oleh pendidikan yang diselenggarakan negara, dibiayai oleh pajak rakyat dan merupakan bagian dari tanggung jawab negara maka negara telah kehilangan kepercayaannya untuk melaksanakan salah satu poin penting alasan negara Republik Indonesia berdiri “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.

Komersialisasi atas nama pendidikan adalah hal lucu dan memalukan. Disini kelompok produsen membodohi konsumen dan konsumen membodohi dirinya sendiri. Kelompok produsen menciptakan sebuah image yang mendengung-dengungkan seakan-akan gelar pendidikan memiliki bunyi lebih dalam pergaulan dan status sosial sementara bunyi itu tak lebih dari genderang kosong ilmu pengetahuan yang dikandungnya. Selain itu masyarakat menyambutnya dengan gagasan-gagasan yang juga sama bodohnya. Bila di luar negeri atau negara-negara maju performance seseorang diukur dengan prestasinya sehingga akan berimbas pada imbalan, maka di Indonesia performance orang diukur pada gelar-gelarnya. Inilah yang menyebabkan seseorang terus mengejar gelar pendidikan walaupun ia tidak terlibat pada dunia akademis tapi dunia Industri yang kinerjanya sama sekali tak tergantung dengan teori-teori akademis yang cenderung kaku dan statis. Hanya di Indonesia seseorang bisa naik gajinya bila melanjutkan pendidikan, bukan naik gaji bila prestasinya mengalami pertumbuhan, hanya di Indonesia gelar-gelar pendidikan menjadi prasyarat untuk menjadi ketua Partai, dan hanya di Indonesia gelar-gelar pendidikan sangat berkorelasi dengan sikap pergaulan sosial.

Di Indonesia, ijasah seseorang bukan saja merupakan pengakuan atas kemampuan akademis seseorang terhadap objek ilmu pengetahuan (sesuai dengan definisi umum pendidikan) tetapi merupakan kapital. Kapital yang menghendaki adanya pengakuan terhadap kekuasaan. Kekuasaan disini berhubungan erat dengan ‘intellectual community imagined” yang berjarak dengan masyarakat awam. Dan ketika hubungan itu menghasilkan laba maka tak pelak komersialisasi menjadi jawaban paling cepat.

Kapital Ijasah bahkan lebih berharga daripada penguasaan Ilmu Pengetahuan itu sendiri. Di Indonesia setiap bidang yang berkaitan dengan penguasaan terhadap Ilmu Pengetahuan segera diciptakan gelar-gelarnya dan sertifikasi-nya tapi itu bukan untuk tujuan pengakuan terhadap penguasaan Ilmu Pengetahuan, tetapi bertujuan untuk diperdagangkan dan dengan segera ijasah menjadi ladang jual beli yang subur.

Seandainya anda pelajar pintar, tapi ayah anda tukang becak misalnya yang berpenghasilan sehari dua puluh ribu rupiah, maka saat ini anda jangan berharap menjadi mahasiswa di sekolah-sekolah negeri atau perguruan-perguruan tinggi negeri. Karena kini sekolah-sekolah negeri tetap saja menarik ongkos (walaupun sudah dibebaskan uang sekolah/SPP) dari biaya buku, kesejahteraan guru, uang rapat guru dll. Bahkan Perguruan-perguruan Tinggi negeri lebih jahat lagi, mereka mulai menerapkan sistem tarif yang memberatkan mahasiswa. Disinilah berkelindan pendidikan, status sosial dan benteng pelapisan struktur dalam kelas-kelas masyarakat. Kaum miskin tak akan menembus status kaum kaya berpendidikan, dan kaum kaya melindungi golongannya dari kaum miskin dengan menciptakan tarif-tarif mahal untuk pendidikan.

Ketika seantero Jepang dibom oleh pasukan Jenderal MacArthur dan rakyat bersembunyi di lubang-lubang persembunyian, lalu pasukan militer Jepang menyerah kalah dan seorang petinggi Istana melaporkan kekalahan Jepang kepada Kaisar Hirohito bahwa banyak orang-orang terbaik tewas dalam pertempuran. Kaisar Jepang itu berjalan ke arah jendela dan melihat kota Tokyo yang hancur lebur, lalu wajahnya menoleh ke arah petinggi Istana itu dan berkata lirih “berapa guru yang masih kita punya?”

Militer Jepang boleh hancur tapi jangan pendidikan. Kini keajaiban pendidikan Jepang sudah kita lihat dan kita menyaksikan lagi keajaiban pendidikan India. Dulu Jenderal Gatot Subroto datang ke India dan disambut oleh Perdana Menteri Jawaharlal Nehru. Nehru yang kharismatik itu berkata pada Jenderal Gatot, “Jenderal, mungkin anda melihat kemiskinan yang luar biasa di New Delhi dan Calcutta, tapi jangan lihat India sekarang, kami tidak membangun India untuk orang-orang jaman saya, tapi saya membangun India untuk anak-anak masa depan, yang saya kerjakan adalah India masa depan”. Dan di India pendidikan sangatlah murah harganya. Puluhan ribu tiap tahun buku terbit dalam bahasa Inggris, harga-harga buku bukan main murahnya, bangunan Universitas-Universitas India tidaklah semewah dan seagung Universitas-Universitas di Indonesia tapi lulusannya bisa mengancam ahli-ahli IT di Silicon Valley, USA. Di India bangunan sekolah bukanlah hal utama, status pendidikan tidak pernah menjadi bahasa dalam pergaulan sosial dan pekerjaan, kemampuan dinilai dari prestasi bukan gelar pendidikan yang terus ditambah, dan Ilmu Pengetahuan menjadi kebutuhan hidup bukan alat pamer.

Kini India menjadi kekuatan sumber daya manusia intektual terbesar di dunia setelah Eropa dan Amerika Serikat. Sementara ekspor barang-barang murah Cina menjadi ancaman dunia maju, maka ekspor tenaga intelektual murah menjadi ancaman serius bagi pasaran tenaga kerja di Eropa dan Amerika Serikat.

Dan di Indonesia kita menyaksikan bangsa ini terpuruk, yang kelompok terdidiknya cuma berani tepuk dada di depan bangsanya sendiri yang kurang beruntung. Para cukong berkedok kaum akademis berlomba-lomba membangun institusi pendidikan hanya untuk mengeruk uang dan kapital, tanggung jawab akademisnya hanya dilihat dari untung rugi dagang dunia pendidikan. Dan tidak seperti Kaisar Jepang, maka para rektor, kepala sekolah atau pemimpin-pemimpin di dunia pendidikan Indonesia gemar sekali berkata “Berapa banyak laba usaha yang kita dapat tahun ini?”
Maka hasilnya adalah ‘jutaan sarjana menganggur’ di Republik ini.


ANTON

No comments: