Tuesday, 27 November 2007

Sebuah Prosa

Prosa Matahari atau Prosa Tanpa Bumi

Oleh ANTON

Pada tubuh yang bertumbuh, kami sebarkan benih-benih hingga rambatannya menjadi lingkar mata cinta dan kau bubuhi nama walau gelap sunyi senyap tiada beda
Pada cinta berpembuluh kusetubuhi mata bulan dan kugenapi giringan malam rindu senda gurau dan mata tajimu menjadi waktu yang tak tentu. Kuingin bersamamu pada bujur-bujur jalan sepi dan kerlip matahari tapi gemeretak kasihmu malah menggenapkan lukaku dan malah bermain pada satu-satunya kemarau.

Segitiga mimpi kumaknai beda, tentang malam atau air mata atau cinta bersungut-sungut. Kalaulah bulan terbit mengorbit di dermaga Kan’kurangkai bunga-bunga melantun sunyi Pada awan hutan. Pada serigala gang-gang tanah kota. Pada mukiman hunian tentara atau rumah-rumah perompak bajak. Kusuguhi dengan air rindu pencoleng atau mainan pemeras sehingga mata mu akan melalap-lalap pondasi yang kususun tanpa bopeng hingga kau menjadi budak cintaku dan menaruh dupa lalu kau tiupkan buhul-buhul cintamu pada mantra-mantra hitam bermakna senja.

Tup Gorap Garip Bekutup Makatrib Makalub Dikobit-kobit. Kacau sudah tubrukan mimpi. Kacau sudah makna sunyi. Karena dirimu tak lagi menjadi pecinta tanpa karib, tanpa sobat. Tubuhmu hanya budakku dan aku tak lagi jadi Manusia yang suarnya menyala di antara karang di antara gelombang. Hingga sepi menjadi padam, dan padam menjadi mimpi. Maka bola-bola utara yang kau buang di sampan tadi malam. Bunyi kincup-kincup sampai daratan bok bok bok bok makobok makolang makoleng mudengkor palup palup palep palep hup hup.

Haaaa...tujuh purnama rindu kusebut pada buhul-buhul bermata gelap. Kenapa kau lumat tanpa kedap dan lidahmu senjap-senjap menyalang menyatu maka kau lawan kodrat. TUHAN.....TUHAN.....Mari melawak bersamaku hop hop hop hop maka Gigi Tuhan tertawa putih bentuknya menyerupai batu pualam tanah georgia atau lumbung-lumbung petani di utara serbia. Kurindu dan kutinggalkan sambil bermain dadu. Lagi-lagi TUHAN tertawa Bang...Bang ...Bang dan TUHAN tak berpangkal karena sudah menjadi pelawak HAHAHAHA kata TUHAN aku menjadi lawan tak seimbang kumimpi menjadi Ullyses tapi aku hanyalah Don Kisot. TUHAN pergi tertawa HAHAHAHAHA......pergilah kau ke Pasar kata Tuhan maka kau akan jumpai bayanganku.....

Maka kupergi ke Pasar-Pasar berjumpa Nietzsche sang pecinta yang gagah sentosa “Tuhan Sudah Mati...Tuhan Sudah Mati...” teriak manusia berkumis dahan dan bertubuh kerontang dibalut TBC dia bukanlah perwira Friedrich tapi hanyalah petani Bavaria yang tatapannya hanya tatapan budak dan memegang injil sunyi. Tuhan sudah mati...Tuhan Sudah Mati....kata manusia itu sambil tertawa di pasar-pasar. Hup kutangkup mulut Nietsczhe sampai dia mati. Delapan orang mengiringi Matahari Eropa dan menurunkan jasad sang pongkol sejarah Diam-Diam aku yang sudah menjadi pelawak TUHAN menuliskan di guratan Nisan Nietszche “Nietszche Sudah Mati.......” Tertanda TUHAN aku tertawa HAP HAP HAP BOLANG BALENG...aku lantas berkincup menjadi kupu-kupu dan kuwarnai matahari yang seindah permen Cina berformalin dan merancap-rancap pada sabtu suci semua orang memujaku menjadi teman Pelawak TUHAN....tapi bolahop makoneng makoneng hup hap hup makodap makodap. TUHAN Menjadi si Pencemburu bukan TUHAN pelawak lagi.

BUZZ aku tiba-tiba di pojokan Tiffany lalu kerlip itu datang lagi Mokadap! Aku ada di suar-suar Wall Street. Keloneng-keloneng begitulah bel berbunyi aku menjadi mulut-mulut spesialis nama menyebut Wal Mart berulang kali atau Yahoo! dan Google sambil mulutku berbusa-busa. Tiba-tiba aku menjadi segaris beta yang digambarkan para analis saham berambut pirang dan menyebut siklus menjadi mata hati serta capital gain adalah Zeus tanpa mati. Bongkahan-bongkahan nilai bukuku menjadi sarat dengan harga berkarat aku mengendap diantara tumpukan-tumpukan kertas pesanan di pasar yang bullish ternyata terjebak di Rasio Lancar. Dan mataku menjadi sasaran panah para pialang ganas Italia yang menyebutku “Numero-Numero Uno. PRONTO?” dikiranya aku adalah tukang sampah anak mafia little Italy yang besar di Jersey dan terjebak pada pulau liberty lalu mengangkangi sungai Hudson dan menaklukkan tiang kapitalis di gereja Trinity Church Seeeeettt...TUHANku temanku itu datang lagi dengan berpakaian seperti mahluk suci dia bilang pergilah ke hutan-hutan Bolivia Bantulah Alan Woods!

Bukan-aku ada di Amazon...tapi aku malah nyasar ke otak serdadu Gurkha di pinggiran kota Surabaya, yang sedang makan soto ayam lalu pergi ke Tunjungan dan mundur teratur di tangan-tangan pelacur murahan dekat pangkalan kapal. Ada seribu granat tiba-tiba meluncur “gogon-gogon!” begitu teriaknya dan aku menyerap lukaku dengan mulut separuh Shiwa dan tangan-tangan dewi durga menyelamatkan aku tidak seperti Sadewa yang diikat pada pohon Gandewa. Buaaaaaaahhhhh aku ingin melepaskan dari hentakan sejarah agar karma ini berhenti. Tiba-tiba kulihat sang Biksu Buddha di Klenteng Dewangga kuikuti jalannya pelan-pelan kok malah aku ada Tibet?

Diam-diam aku naiki tangga di Istana Potala pada puncak taman Dewangga. Di sebuah ruangan tanpa hina aku temui siapa? Marx! Ya...Karl Marx sedang bicara dengan Dalai Lhama. “Mari kita bebaskan dunia..” ucap sang Maha Riponche sambil dengan tatapan mata dalam. Karl Marx diam tanpa bahasa lalu berdiri gagah, telunjuknya menuding-nuding batu besar bernama Eropa. “Aku bagian membebaskan ini” teriaknya dia tuding London dan Paris. Dalai Lhama tersenyum bijak. “Aku ini” Katanya sambil menunjuk hati. Di dalam diri ada Dalai Lhama di luar ada Marx tapi ditengah-tengah ada siapa? Marx dan Dalai Lhama berpelukan lalu mereka berujar bersama “Mari kita bebaskan dunia” Tunggu-Tunggu kataku “Aku ikut...” tapi Doar-Doar peluru perunggu mematikan langkahku.

Lho kok aku ada di Pulau Buru? Kuikuti kaki sampai tengah Wai Babi lalu kurenungkan bukankah ini Widoro Kandang tempat Prabu Anom Kongso? Aku yang tadi sempat hanyut di Selat Sape dan berteriak-teriak “Aku bukan Baso!...Aku bukan Baso! Aku bukan Barisan Sukarno...tapi aku tukang Bakso!” tidak kamu ikut kekuatan jahat di malam buta ayo ikut kata tentara bermata seroja berkumis Gatot Kaca. “Ikut Aku!” maka aku menjadi saksi. Para satria Pendawa di buang ke tengah hutan oleh Kaurawa gara-gara sang Yudhistira bermain dadu di malam September Tiga Puluh. Sementara Sukarno sudah hanya jadi Destarata dan Sang Jenderal Kemusu menjadi Dewa berwajah Arjuna separuh Dasamuka. Ha...sang pendawa sudah ada di hutan dan dikurung 13 tahun lamanya. Arjuna berubah menjadi Janaka dan menari-nari banci, sementara si perut babi Jagal Abilawa berteriak garang. Akan aku hancurkan wajah Duryudana. Tak tahu dia rupanya Duryudana sedang menandatangani kontrak-kontrak Pertamina. Blongkah Blongkeh aku ada di laut lepas bersama mata Pram yang senja serta mesin ketik yang dibilang dari Sartre tapi bututnya bukan kepalang. Pram pelan-pelan menulis di sini dan aku menjadi kertas kosong. “Nyanyi Sunyi seorang Bisu” Soliluquy katanya pelan. Lalu dengan jidatnya yang selebar Kemayoran dia pergi keluar dan menumpuk batu bata. Sorenya dia datang lagi ke Barak dan menulis “Indonesia benar-benar kucinta padamu” ...”Bung Pram!” teriak sipir. “Dicari Jenderal Mitro”...”Mitro siapa?” ...”ah tak maulah aku bertemu dengan antek Orde Baru” cobalah atau aku jedoti kau di tiang-tiang batu bata yang kau susun tadi pagi” kata sipir dengan wajah mirip Hitler. “Pak Pram” sapa Mitro gendut dengan tenang tongkat komandonya bergemeretak dan giginya nyalang. “Ya”... kata Pram, lalu Jenderal Mitro mendekat dan berkata: “Man Kann Alles verlieren nur die hoffnung nicht. Hoffnung das schonste des lebens. “Orang bisa kehilangan segala-galanya kecuali harapan...karena harapan itu yang terindah dalam hidup manusia. “ Ya Harapan...harapan maka kujadikan Bumi Manusia menjadi bukan Rumah Kaca juga Bukan Pasar Malam tapi Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Karena dengan itu diam-diam harapan menjadi seindah pelangi di sore waktu bersama teh hangat dan sepiring pisang goreng.

Tiba-tiba tubuhku diseret Mitro Gendut. “Ikut aku!... ngapain kamu disini!!!”. Pantatku ditendang jauh-jauh dan aku berada di tenggara Yogyakarta. Sulahap Lahop aku menjadi Ki Juru Mertani, dan disampingku Raden Ronggo buah persenggamaan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Sutowijoyo. “Mari Raden aku ambilkan batu” aku yang bertubuh Ki Juru Mertani mengambil batu sebesar kepala. ‘Jangan Raden kau menantang Bapakmu Panembahan Lor Ing Pasar” ...”ah peduli setan, aku anak dewa dari alam metafisika berani aku dengan Bapakku yang akan mewariskan cara hidup Tiran dari rahim perut Ratna Dumilah...” Aku menasihati lagi...”jangan-jangan Raden” tapi raden Ronggo itu beranjak pergi dengan tombak Ki Awut-awut ia lemparkan bagaikan lembing anak-anak kota Marathon, Duaarrr langit jingga berwarna merah darah dan samar-samar kulihat macan hitam melintas ringin kurung kembar, raden Ronggo melompat dan kakinya menerjang udap-udap batu karang. Tapi Sang Panembahan tak kalah sigap dengan kolaborasi Siluman Merapi ia kutuk sang anak petaka menjadi kura-kura emas. Dalam hati “Gagal aku mendidik sang Pangeran Pembebas” ah hanya tinggal Ki Ageng Mangir Wonoboyo, tapi buang sudah harapan karena Ki Ageng cuma takluk pada gempal payudara Pembayun...Lap Lap Lap Lap aku melompat jauh ke depan. Tiba-Tiba aku ada di pengadilan tak bernama.

“Siapa nama kamu?”
Orang itu diam dan menunduk dalam-dalam dia bilang “Lihat Bumi Ini masih berputar” Ah kuasa gelap bisa saja berubah bentuk demi kepentingan senyap, seperti mereka yang masih berpaham Ptolemeus dan menolak Copernicus. Ya...ya dunia terus berputar dan aku tiba-tiba menjadi Kardinal berwajah sentosa lalu duduk diam di panggung sejarah. “Awalnya Gerak dan tidak berhenti sebelum ada yang menghentikan” ahhhhhh...’Itu hukum pertama” ya...itu hukum revolusi bumi bulat bukan bumi datar seperti kata Friedman yang mencoba menjadi penjahat di muka bumi. Aku berlari kencang menembus kabut, aku tidak mau menjadi Friedman atau orang pintar yang jadi nafsu militer dan katanya berotak seperti jam Swiss. Detak rajin tanpa bunyi yang hasilnya adalah kelaparan disudut-sudut jalan kota, dan kelaparan anak bangsanya jadi cendera mata. Aku hanya ingin jadi Columbus. Syahdan aku diadili di ruang tua Ratu Issabella dari Aragon. “Ah...semua orang bisa” kata pesinis sambil mengernyitkan bibirnya seperti Gareng ayan. “Semua Nakhoda akan sampai pada Amerika kalau dia terus saja” Colombus maju ke depan, dan bertanya pada dewan “sekarang siapa yang bisa mendirikan telur ini?” tidak ada yang bisa satupun termasuk si pesinis. “Aku bisa kata Columbus” lalu ia meretakkan sedikit ujung telur dan menaruh telur itu. “Ah kalau itu aku bisa” kata pesinis. “Lha, kalau kamu bisa, kenapa tidak kamu lakukan tadi?”

Tiba-tiba aku menjadi tiang tinggi menara kota London dan menyaksikan senyum Monalisa di tangan Garibaldi. “Kembali Ke Laptop!!” tiba-tiba sang penggede sejarah menunjuk padaku, ia bukan pelawak lagi.Dan aku berhenti. Tiba-tiba aku disini hanya menumpang sepi. Tak ada lagi kerinduan dan air mata yang ada hanyalah sebungkus kacang bulat seharga seribu.

Maka prosa ini kuakhiri
Dengan sedikit Gurindam Raja Ali Haji
Atau renungan Lorca di benteng-benteng Mallorca
Dan mengerti Ibarruri yang berteriak “No Pasaran”
Lalu Brigade Lincoln tertembak selangkangannya di parit-parit Madrid
Dan Malraux menembakkan pelurunya berlagak menjadi Ace
Maka aku berhenti
Aku hanyalah penyair yang coba-coba
Untuk menjadi penyair
Tapi malah kudapati aku tak lebih dari Sengkon dan Karta
Manusia yang menempuh jalan mati dengan segudang berita tudingan
Maka kuteriakkan dari mulut kering tukang becak
Yang suka makan blanggreng di sudut Tugu Takluk Laskar Jipang
Maka telah kutabur biji-biji
Dan teriak : LAWAN
Malah aku yang tersungkur
Dengan segelas cendol
Selamat Malam
Selamat Datang
Selamat Siang
Selamat Tidur
Dan mari kita terus bermimpi
Sambil perbanyak punda pundi
Aku diam
Dan duduk membisu
Karena ingin lagi kulihat Tukul
Tapi yang kudapat : Coblos kumisnya
Sudahlah, Toh aku bukan penyair

No comments: