Tuesday, 27 November 2007

Pasar Saham Sosial


Pasar Saham Sosial

Oleh : Anton

Ada ide yang menarik digagas oleh M. Yunus – ekonom peraih nobel dari Bangladesh – tentang kemungkinan diadakannya Pasar Saham Sosial dalam wawancaranya dengan KOMPAS pada minggu (2/8/07). Menurutnya ada peluang untuk membuat Pasar Saham Sosial di Internet dengan perusahaan-perusahaan sosial yang dari berbagai negara. Bila ini berhasil dilakukan maka M. Yunus telah menyempurnakan kerja besarnya menjadi Revolusi Sosial yang mengglobal, pertama karena ia membuka kemungkinan akses kaum miskin untuk mendapatkan kredit tanpa halangan birokrasi, kecurigaan kelas dan ketertutupan budaya. Kedua, ia menciptakan Pasar dengan regulasi Internasional dimana akumulasi kapitalnya secara agregat bukan dikuasai oleh kelompok tertentu – seperti yang terjadi dalam alam kapitalisme busuk saat ini – tetapi dinikmati oleh seluruh umat manusia tanpa melihat kelas, status dan kekayaan. Semoga Open Listing Pasar Saham Sosial ini segera terbentuk.

M. Yunus telah melakukan apa yang disebut Karl Marx sebagai ‘Intelektual Organik’ yaitu : Intelektual yang aktif mengaplikasikan pemikiran-pemikirannya dengan kata lain ‘tidak berjarak dari massa’. Terlepas dari perdebatan apa yang dilakukan M.Yunus sebagai ‘Pengenalan alam kapitalis pada akar rumput masyarakat- namun yang dilakukan M. Yunus justru pokok dari ajaran Marxisme, yaitu menjebol mistifikasi kelas-kelas di dalam masyarakat, menghancurkan mistifikasi distribusi kekayaan dan membongkar sistem-sistem kekuasaan yang berbasis pada korupsi. Penjebolan M. Yunus pada mistifikasi pelapisan kelas adalah sebuah langkah revolusioner, dimana merupakan tujuan banyak kaum pejuang kemerdekaan Nasionalis di abad 20 memikirkannya. Adalah Hatta orang Indonesia yang pertama kali menyadari bahwa ‘kemerdekaan ekonomi’ adalah landasan berdirinya sebuah negara-bangsa dan ekonomi yang diingini oleh Hatta perekonomian berbasis koperasi dengan semangat kewirausahaan yang kolektif. Namun gagasan Hatta hancur total dalam eksperimen Orde Baru, dimana tidak ada tempat untuk ekonomi rakyat dan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai ‘langkah membebaskan usaha-usaha besar dan raksasa dengan pinjaman luar negeri yang raksasa pula’ disinilah mulai berselingkuh antara kekuasaan dan kaum usahawan yang hasilnya kita lihat sekarang. Utang besar dan rakyat yang tidak tahu apa-apa disuruh membayar lewat pajak. Dalam ekonomi Orde Baru, akses modal dibatasi pada ‘kelompok-kelompok’ tertentu yang dekat dengan kekuasaan dan menopang kekuasaan. Kelompok-kelompok ini kemudian membentuk kelas-kelas di dalam masyarakat dan bahkan saat ini mereka adalah ‘ruling class’ dari hasil reformasi gadungan. Seringkali banyak pertanyaan mengapa pengemplang-pengemplang kelas kakap itu dibebaskan utangnya, sementara rakyat kecil semakin dibatasi aksesnya, termasuk akses paling dasar, seperti : Rumah Tinggal dan Ruang Hidup. Ketidakadilan ini disebabkan, kaum pengemplang itu adalah pilar-pilar ekonomi Indonesia saat ini, merekalah pondasi paling kuat terhadap sistem kekuasaan di Indonesia, terlepas sistem yang dipakai itu demokrasi atau otoriter. Kenapa maling sendal bolong atau maling lada hitam beberapa kilogram dihukum jauh lebih berat daripada koruptor ratusan milyar rupiah? Karena hukum terjebak pada mistifikasi kelas, kelas-kelas penguasa bahkan yang pernah dipenjara sekalipun menjadi jantan tanpa malu dihadapan publik tak ada cemoohan sosial atau hukuman masyarakat, sementara kelas yang terpinggirkan oleh sistem menjadi pariah, kalaupun mereka pernah dipenjara, maka hukum sosialnyapun jauh lebih berat dari hukuman Tuhan. Itulah salah satu sebab kenapa pada masyarakat-masyarakat dunia ketiga mobilitas sosial selalu diartikan sebagai pencarian kekayaan yang kemudian berubah menjadi status sosial, karena ‘Miskin itu dosa’. Dan mistifikasi status itu menjadi barang suci dalam masyarakat dunia ketiga.

Kedua, apa yang dilakukan M. Yunus adalah menghancurkan mistifikasi distribusi kekayaan. Apa yang kita rasakan terhadap anehnya distribusi kekayaan di Indonesia adalah nyata dan memalukan sebagai negara-bangsa yang berkomitmen pada ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Bank-Bank di Indonesia bukan saja enggan berurusan dengan kredit mikro bahkan mereka sebagai agen-agen mediasi antara kelompok surplus dengan defisit menciptakan mitos sendiri, mereka membangun ketakutan-ketakutan pada kelompok miskin, mencap kelompok miskin sebagai bukan bagian dari sistem ekonomi dan merekayasa regulasi yang semakin mempersempit akses ‘kaum tanpa identitas’ menjadi sama sekali tidak bisa mendapat pinjaman untuk melakukan wirausaha. M.Yunus dengan dua orang pembantunya, puluhan tahun lampau malah mendatangi kaum miskin tanpa identitas, dan menanyakan serta memberi apa kebutuhan mereka sembari meningkatkan semangat kewirausahaan. Menurut M. Yunus sistem keuangan dibangun dengan berdasarkan kecurigaan, bukan kepercayaan. Ekonomi berbasis curiga, maka menciptakan sistem yang mengancam dititik inilah konflik sosial kerap terjadi. Di Indonesia hancurnya Bank-Bank kita di era 1997-2000 dan direbutnya bank-bank lokal jatuh ke tangan asing, adalah gambaran betapa ekonomi kita di tangan Orde Baru bukan saja dijalankan diskriminasi kelas tapi juga alat menopang kekuasaan, ketika kekuasaan itu runtuh maka borok menjadi jelas di depan mata kita, namun borok itu diobati dengan penuh kasih sayang atas nama penyelamatan ekonomi nasional. Baru-baru ini Menteri Keuangan pusing dengan membludaknya dana di BI, namun menkeu atau siapapun pejabat publik di negeri ini tidak kedengaran suaranya tentang bagaimana memanfaatkan sekian persen saja idle cash dana negara untuk kewirausahaan sosial. Tidak ada kreatifitas membangun sistem keuangan yang radikal, selain hanya tambal sulam terhadap warisan sistem keuangan masa lampau. IHSG, Nilai Rupiah, dan tetek bengek instrumen makro menjadi sama sekali tidak berbunyi di sektor riil, karena tidak ada keberanian mengambil resiko bagi pemerintah untuk masuk pada ekonomi rakyat yang sesungguhnya. M. Yunus mengajarkan pada kita, bahwa distribusi ekonomi tidak harus dibangun dasar curiga, tapi kepercayaan. Dan ekonomi rakyat memiliki kadar kepercayaan yang tinggi ketimbang konglomerasi-konglomerasi bentukan Orde Baru. Nilai-nilai Agama tentang tanggung jawab sangat besar pengaruhnya terhadap kultur rakyat kecil, Islam sendiri selalu mengajarkan bagaimana perdagangan diletakkan terutama sekali pada nilai tanggung jawab, kepercayaan dan saling pengertian seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad dalam melakukan perdagangan di Damaskus.

Walaupun M. Yunus gagal untuk masuk ke dalam sistem politik Bangladesh yang tipikal dunia ketiga macam Indonesia, yaitu : Korup. Namun sistem keuangan ‘Grameen Bank’ bisa menghancurkan sendi-sendi paling dasar korupsi itu sendiri, korupsi yang terjadi di Indonesia adalah ‘Penyakit Jiwa’ atau ‘Mental Yang Rusak’ bukan kebutuhan untuk hidup. Sakit jiwa ini dilahirkan oleh sistem yang sakit dan sistem sakit disebabkan pada tujuan-tujuan dasar bangsa yang salah kaprah. Mayoritas pegawai negeri dan calon pegawai negeri di Indonesia bukanlah pengabdi rakyat tapi pada pencari ladang status sosial, dan status sosial harus ditopang pada kekayaan, komoditifikasi kekayaan bagi kaum birokrat adalah jabatan dan komoditi jabatan membentuk nilai fantastiknya lalu dibeli oleh cukong-cukong dari sinilah Korupsi bermula dan beranak pinak membentuk derivatifnya. Kenapa status sosial begitu penting? Kenapa mobilitas sosial terpusat pada simbol-simbol pendidikan, status dan kekayaan?. Ini karena gagalnya mentalitas wirausaha di kalangan mayoritas bangsa Indonesia. Ratusan ribu orang antre untuk jabatan pegawai negeri untuk ratusan lowongan, aksi tutup mulut IPDN terhadap kebrutalan institusinya untuk mempertahankan keselamatan menjadi pegawai negeri, Kebanggaan profesional-profesional muda terampil bekerja pada perusahaan asing dan jutaan kaum terpelajar menganggur adalah indikasi bahwa ada yang sakit pada bangsa Indonesia, yaitu : ‘Gagalnya mental wirausaha di Indonesia untuk tumbuh’. Lucunya jika di Amerika Serikat kaum usahawan merupakan orang-orang pilihan, di Indonesia usahawan adalah orang-orang yang kepepet jadi pengangguran, bukan kesadaran memilih untuk menempa menjadi usahawan. Kesalahan ini bukanlah didasarkan pada mentalitas orang Indonesia saja yang membenci menjadi usahawan, tetapi juga sistem keuangan yang diskriminatif. Pemuda-pemuda tangguh Indonesia yang berani bertarung untuk menjadi usahawan sering terganjal pada sistem keuangan yang penuh curiga, akses modal terbatas, tertutupnya jaringan pasar produk dan regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada usahawan kecil. Bila M. Yunus memburu kredit untuk pengemis-pengemis di jalanan Bangladesh maka menurut Jusuf Kalla, di Indonesia kemiskinan tidak separah Bangladesh. Pendapat itu seratus persen benar, karena secara nominal kita lebih kaya, tapi secara riil tidak ada yang lebih mengharukan melihat seorang pemuda di jalanan Jakarta, dengan menggunakan hem putih dan celana hitam di pinggiran jalan Jakarta menggantungkan karton besar dengan tulisan besar ‘Saya Butuh Pekerjaan’.

Kita sudah putus asa dengan pemerintahan yang autis seperti saat ini dan jangan berharap dari pemerintah mulailah dari diri kita sendiri, apa yang dilakukan M.Yunus adalah pemberdayaan kecil dengan akibat besar, andai saja kaum kaya Indonesia yang jumlahnya puluhan juta mengalami kesadaran sosial untuk memahami skema pinjaman gaya M.Yunus dengan memberi kredit pada orang-orang yang dikenalnya bukan dengan sistem yang Dzalim maka kita sudah memberi apa yang disebut ajaran Islam sebagai sedekah. Disinilah tangan Tuhan mulai bekerja. Dengan dimulai dari diri kita sendiri. AMIEN


ANTON

No comments: