Tuesday, 20 November 2007

Gelar

GELAR

Oleh : Anton

Beberapa tahun yang lalu Helmi Yahya sebagai pemandu acara kuis ‘Siapa Berani’ menanyakan pada rombongan yang merupakan para Sarjana Ekonomi salah satu Universitas di Jakarta. Helmi Yahya menanyakan “Apa arti Equilibrium?” satu orangpun dari mereka tidak bisa menjawab ketika ditanya lagi oleh Helmi “Anda benar semua sarjana?” tanya Helmi Yahya dengan wajah heran, semuanya mengangguk senang dan bersorak-sorak tapi tidak tahu Equilibrium, Helim Yahya hanya menggeleng kepala sambil mulutnya tersenyum kecut. Helmi yang pintar dan lulusan STAN itu mungkin lupa di Indonesia pendidikan dan gelar merupakan suatu yang beda, gelar harus dimaknai sebagai gelar, sebagai bagian proses adaptasi bermasyarakat dan penyandangnya tidak harus dituntut melalui proses pendidikan yang berat untuk menyandang gelar itu. ‘Kamu punya uang maka kamu bergelar’

Gelar bagi masyarakat kita merupakan bagian dari ‘nama yang hidup’ dan bahkan dianggap merupakan fase kehidupan sehingga apapun yang dinilai memiliki arti dan mengesankan bagi masyarakat kita, maka gelar yang jauh dari konteks prestasinya diberikan. Disinilah nama menjadi bagian yang berbunyi bagi masyarakat Indonesia tidak seperti orang barat yang tidak mementingkan nama tapi perbuatan, makanya di barat nama tidak indah dan itu-itu saja sementara di Indonesia nama menjadi suatu yang bunyi bahkan lebih berbunyi dari tindakan.

Bagi saya pribadi suku yang punya nama aneh namun kaya adalah Minangkabau. Disana bermacam-macam nama bisa digelar dan kata teman saya “Orang Padang namanya aneh-aneh” misalnya : Man Robert, Vittorio Hasan, Geovanni Maerosso, Musso Benum, Alon dan nama-nama yang tidak memiliki konteks asal-usulnya. Kita tidak bicara masyarakat Padang (Padang, adalah sebutan cepat untuk orang Minang) jaman sekarang yang memang saat ini nama orang Indonesia semangkin aneh-aneh dan tidak berkonteks. Tapi masyarakat Padang jaman dulu. Mereka memiliki kekayaan nama mungkin karena mereka adalah masyarakat yang suka merantau dan banyak berolah pikir juga terbiasa dengan kebudayaan luar. Pemikir-pemikir besar Indonesia yang memiliki daya jangkau luas biasanya orang Minang sebut saja : Tan Malaka, Hatta, Sutan Sjahrir, Hamka, Mochtar Lubis (walaupun dia Tapanuli Selatan tapi pengaruh Minangnya kuat), Poerwadarminta, Chairil Anwar, Deliar Noer, Rosihan Anwar, Djamalludin Adinegoro (lebih berkembang di Medan tapi asli Minang) atau kakaknya Moh. Yamin si Tukang Tambo yang tergila-gila budaya kuno Jawa. Orang Minang jaman dulu memang si Gilo-Gilo Baso mereka banyak membentuk Ke-Indonesiaan masa depan namun mencermati nama-nama di Minang adalah mencermati gelar. Di Minang nama berarti gelar dan setiap orang tanpa memperhatikan strata sosialnya bisa menyandang gelar yang direstui melalui sidang ninik mamak, disinilah nama, status dan embel-embel harapan menjadi egaliter. Namun se-egaliter apapun pemberian gelar adalah kerinduan bawah sadar untuk menjadikan diri mereka berbeda dengan yang lain.

Islam sendiri adalah agama paling egaliter, tidak mengenal sistem kependetaan. Hukum-hukum ibadah diletakkan pada disiplin kemasyarakatan yang paling egaliter. Bahkan untuk menghindari kelas dan pembentukan sistem masyarakat yang mengkultuskan individu sejak awal mula Nabi Muhammad menolak menjadi Raja dan menolak di patungkan atau dilukis. Dan memang tidak ada sistem kependetaan dalam Islam, lalu kenapa di Indonesia dan Malaysia marak gelar Haji dan seakan-akan haji itu merupakan sebuah kelas sendiri dalam sistem masyarakat Indonesia? Adalah Belanda yang sangat mengenal pola pikir bangsa ini dari awal mulanya. Sebelum Belanda datang sebutan Haji tidak ada (mana ada Kyai Haji Syaikh Siti Jenar, atau Sunan Haji Kalijogo) tapi setelah Belanda datang barulah di kenal nama Haji dalam susunan masyarakat untuk mempertegas kelas-kelas sosial di masyarakat pada gilirannya kaum Haji inilah yang kemudian menjadi kelas penyangga dalam sistem kolonial di Indonesia. Namun dampak dari sistem kelas penyangga ini ternyata tidak hanya sampai disini, kadang-kadang gelar Haji adalah sebuah bentuk eliminir untuk menghilangkan rasa inferior compleks bila tidak bisa menyelesaikan gelar pendidikan, misalnya Haji Harmoko (penekanan Haji ini untuk mengeliminir pertanyaan kenapa tidak ada gelar seperti Insinyur Akbar Tandjung). Jadi dalam masyarakat modern Indonesia di tahun-tahun gila gelar pada era Orde Baru gelar Haji menjadi semangkin berbunyi. Proses seleksi Haji jaman dulu sangat rumit hanya orang kaya dan mampu-lah yang bisa naik haji, bahkan dulu ada istilah ‘Haji Singapur’ untuk meledek kaum yang tidak berpunya tapi nekat mau naik haji namun hanya terdampar di Singapura karena kekurangan uang atau bekerja jadi awak kapal. Seleksi rumit biasanya diikuti menjadi pemisahan kelas, nah kelas-kelas yang terpisah inilah kemudian memperkuat makna bunyi Haji dalam susunan sosial masyarakat sehingga bisa menjadi mobilitas kelas di masyarakat. Disini kaum Haji memiliki wilayah kewenangannya sendiri, selain dipandang sebagai kaum kaya mereka juga dianggap sebagai kaum berilmu lebih. Imaji ini kemudian merasuk ke dalam masyarakat awam dimana makna Haji tidak lagi sepenuhnya diyakini sebagai Perintah Nabi untuk terus memegang benang sejarah dengan berziarah ke Mekkah tapi juga diikuti pemaknaan bahwa Haji adalah sebuah proses mobilitas sosial sehingga apapun dikorbankan untuk menjadi Haji. Bahkan jual tanah untuk naik haji sampai 20 kali.

Di jaman dunia yang semangkin mengglobal ini makna nama Haji tidak lagi bergema, karena ‘tukang buah-pun bisa jadi Haji’ atau ‘TKW-pun sudah menyandang nama Hajjah’ maka Haji dalam pemaknaan kelas-kelas sosial sedikit demi sedikit pudar. Maka masyarakat mencari gelar-gelar baru untuk dijadikan pegangan. Dulu nama Syarif atau Sayid sempat mendapat posisi elite di kalangan masyarakat Islam Indonesia namun kemudian hal ini dimentahkan oleh Syeikh Ahmad Soorkati pemimpin gerakan Al Irsyad lalu semakin mentah lagi ketika KH Ahmad Dahlan mengeluarkan fatwa ‘Islam tidak mengenal diskriminasi karena keturunan, harta dan pangkat. Pudar Syarif dan Sayid lalu gelar ‘Habib’ naik daun setelah munculnya gerakan Islam eksklusif yang lebih mementingkan agama terinstitusi atau identifikasi keagamaan dengan basis budaya Arab. Lalu saat Gus Dur naik daun maka bareng-bareng orang pakai nama Gus, seluruh elite Jawa Timur lantas pakai nama Gus, tatkala Gymnastiar memesonakan masyarakat maka nama A’a yang dulu merupakan panggilan sayang pada orang yang lebih tua di Bandung atau sekitar Priangan (saya masih ingat nama teman saya A’a Kusumayadi) menjadi semangkin berbunyi bahkan nama berbau Jawa-pun melampirkan diploma A’a seperti : A’a Haryono, A’a Subagyo atau A’a Kusumo. Saya pastikan bila Aom (sebutan gelar bangsawan Sunda) Kusman populer lagi, maka rangkaian nama Aom ini bisa terus berderet. Tak aneh karena ini bagian dari masyarakat latah gelar.

Dalam budaya Jawa gelar menjadi lebih bermakna lagi. Saat gelar masih punya tempat di masyarakat seribu satu macam jenjang gelar ada dalam struktur masyarakat Jawa mulai dari Den Bei (Raden Ngabehi) sampai Sinuwun (Rajanya). Raden, Raden Mas, Raden Nganten, Raden Ayu, Raden Roro, Bendoro Raden Mas, Kanjeng Gusti Pangeran Hario itu yang basis keturunan ada juga yang berdasarkan pangkat kraton, seperti : Mas, Panatus, Penewu, Ndoro Kliwon, Ngabehi dan banyak lagi. Untuk masyarakat yang tidak memiliki gelar baik dari keraton maupun dari keturunan, maka dia berhak merebut politisasi gelar lewat perubahan nama. Bagi orang Jawa masa hidup memiliki fase-fasenya. Biasanya lelaki Jawa menganggap pernikahan itu sebagai awal dari kelaki-lakiannya maka mereka biasanya merubah nama mereka dan dikenal-lah nama kecil juga nama dewasa. Seperti : Panjul jadi Sastrowiryo atau Kuncung jadi Mangunprawito.

Raden Anton

No comments: