Kisah Orang-orang kalah
Oleh : ANTON
Saya suka sekali membaca biografi atau otobiografi, karena jenis bacaan itu adalah cerita yang sungguh hidup, terlepas dari membual atau tidaknya sang tokoh. Dan karena terbatasnya bacaan saya, mungkin selama ini saya hanya membaca biografi dari orang-orang besar yang notabene mapan hidupnya dari segi ekonomi. Apalagi saya suka sekali membaca buku-buku biografi pemimpin politik, ekonomi ataupun seniman yang entah pahit atau tidak pahit cerita hidupnya, tapi penggambaran kondisi ekonominya jauh diatas lumayan bahkan berlebih. So..jika ingin membaca cerita biografi saya menyiapkan pikiran saya tentang tokoh yang sukses secara ekonomi.
Tapi pikiran yang saya siapkan itu baru-baru ini salah, bahkan saya harus menerima realitas ulang tentang arti tujuan hidup, logika berpikir dan lebih jauh lagi pilihan nilai-nilai hidup. Ketika saya membaca buku “Pram dari dekat sekali” yang ditulis oleh Koesalah Soebagjo Toer adik kandung Pramoedya Ananta Toer tokoh utama yang diceritakan buku ini. Yang menarik perhatian saya justru bukan Pram tapi ‘second layer’-nya yaitu Koes adik Pram yang menulis buku ini. Selain cara bertuturnya rapi, sistematis tulisan Koes juga memiliki daya human interest yang tinggi, human touch-nya kerasa banget.
Okelah, saya bukan ahli kritik tulisan orang, cukuplah buku itu dikritisi oleh ahli-ahli sastra kita yang sering berjualan ide di koran. Tapi saya ingin mengangkat sebuah gambaran kehidupan manusia, yang terus terang saja membongkar habis logika saya tentang bagaimana cara mencari nafkah yang benar, bertingkah laku benar, memegang prinsip, daya tahan dan mensyukuri hidup biarpun menderita. “Penderitaan adalah agung”..benar kata Rabindranath Tagore, tapi manusia jauh lebih agung..lanjutnya.
Koes, adik Pram ini ditakdirkan untuk mendampingi kakaknya, begitulah yang tersirat dalam buku ini. Koes juga pernah masuk penjara bikinan Orde Baru tahun 1968 dan baru keluar sekitar tahun 1978. Masuknya penjara Koes ini lebih karena ia adik kandung Pram, yah adik kandung Pram...sebuah kebetulan genelogis, yang perlu dihukum (Irasionalitas kekuasaan bukan?)– bandingkan dengan koruptor yang mencoleng uang negara. Dan itulah Orde Baru, sebuah orde yang mengutamakan stabilitas, penghancur leburan oposisi dan pemberhalaan materi serta daya konsumtif yang pada gilirannya menggadaikan kekayaan negara.
Saya sebagai generasi yang dibesarkan dalam pusat konsumerisme dan akumulatif-materi sentris ini tentunya membaca buku Koes ini terasa berjarak yah seakan-akan ada ruang yang memisahkan antara saya dengan Pram, antara saya dengan idealisme Pram, antara saya dengan daya tahan hidup Pram dan antara logika saya dengan logika Pram dan Koes itu sendiri. Ruang itu jelas diisi oleh senjang generasi yang patahannya direkayasa Suharto, direkayasa Orde Baru dan direkayasa budaya gadai negara. Jadilah kami ini generasi yang lahir dekade 1970,1980,1990 adalah generasi yang sepenuhnya diisi dengan logika konsumtif dan ukuran-ukuran kekayaan sebagai prestasi yang perlu dipamerkan.
Korupsi, adalah akar budaya itu sendiri. Dialah Pusat budaya kita, pusat cara berpikir kita dan lebih jauh korupsi adalah peradaban kita. Ukuran-ukuran kekayaan menjadi patokan tingkat masyarakat, stratifikasi kelas didasarkan berapa banyak kita punya modal, berapa banyak modal kita mempengaruhi nilai orang lain dan di Indonesia untuk mencari uang yang banyak itu yang nggak ada laen musti korupsi, karena ruang-ruang kekayaan alam dan sumber daya ekonomi dikuasai oleh kekuasaan yang untuk membukanya diperlukan pintu korupsi dan dari situlah kita bermula, berproses dan menjadi...manusia Indonesia.
Dan ketika kita menjadi manusia Indonesia, apalagi di jaman Suharto dan kini. Maka sempurnalah wujud wajah koruptor kita, wujud wajah kebohongan-kebohongan kita, wujud kepandaian membual kita, wujud non produktif kita dan wujud dari nafsu konsumtif kita. Itulah manusia Indonesia definisi Orde Baru yang selama Indonesia merdeka berhasil dicetak. Bandingkan dengan propaganda Sukarno yang hanya sekilas untuk mencetak manusia Indonesia revolusioner, tapi keburu habis tuntas setelah peristiwa gelap G 30 S tahun 1965.
Tapi bukankah setiap keburukan ada perlawanan, yah brutalitas Suharto dalam menanamkan paham konsumtif, ekonomi dependensia, stabilitas penindasan, keseragaman untuk kekuasaan dan kekuasaan dengan dibiayai korupsi selalu ada perlawanannya. Dan penantang-penantang jaman itu...sayangnya adalah orang-orang kalah.
Dulu, waktu jaman kuliah tahun 1995-an saat ngantri bensin di buncit dekat perempatan Duren Tiga, saya pernah melihat sosok Jenderal (Purn) Pol. Hoegeng. Dia duduk di bagian belakang mobilnya yang butut warna coklat dengan sopir yang nyaris sama tuanya, Sang Jenderal duduk di belakang. Itu suatu kebetulan karena beberapa malam sebelumnya saya membaca cerita Jenderal Hoegeng dalam salah satu artikel di majalah mingguan. Jenderal Hoegeng ini adalah Kapolri paling legendaris yang dimiliki Indonesia, ia pernah menyamar sebagai crossboys hippies untuk ngegulung mafia narkotik dan ia bergerak cepat untuk membasmi penyelundupan-penyelundupan di Indonesia. Tapi sayang ia justru dicopot dari jabatannya karena bekerja keras untuk membasmi penyelundupan. Kalo ndak salah kasusnya Robby Tjahjadi. Pak Hoegeng ini pandai bermain Hawaiian Guitar, ia punya grup musik hawaiian dan sering manggung di TVRI. Entahlah apa karena pemerintah tak suka, grup musik ini dibredel dan tak boleh manggung lagi hanya gara-gara ada pak Hoegeng Jenderal jujur itu. Suatu saat Pak Hoegeng di panggil ke rumah Jenderal M Jusuf yang baru saja diangkat menjadi Panglima ABRI sekitar tahun 1978. Jenderal Jusuf meminta cerita pengalamannya dalam memegang Polri. Setelah selesai Jenderal Jusuf mengantarkan Pak Hoegeng keluar rumah, Jenderal Jusuf tanya. “lho mobil Pak Hoegeng mana?” Pak Hoegeng tertawa lalu berkata “ini mobil saya” seraya menunjuk sepeda onthel. Betapa sederhananya Pak Hoegeng dan betapa membencinya Orde Baru pada orang yang berani berkata “tidak”.
Orde Baru bagaimanapun merupakan patahan paling jelas dari sejarah Indonesia modern. Orde ini dibentuk oleh senjata dan paksaan. Orde yang lahir dari peristiwa paling misterius penuh teka-teki sejarah ini dan sejarah Orde Baru tidak berhenti begitu saja ketika Suharto jatuh dan digantikan rezim yang silih berganti. Karena yang jatuh adalah Suharto bukan Suhartorian sebagai gagasan!, Suhartorian sebagai gagasan saat ini sudah merupakan alam bawah sadar banyak manusia Indonesia, alam bawah sadar pemimpin-pemimpin politik negeri ini.
Soe Hok Gie, pemuda pemberani itu pernah menulis dalam catatan hariannya “ lebih baik dikucilkan daripada menyerah pada kemunafikan” Gie berani tunjuk kebenaran sebagai kebenaran dan diluar itu, tidak ada kompromi. Gie tokoh paling menarik dalam sejarah generasi muda Indonesia. Dalam usia yang begitu muda ia begitu kritis melihat manusia kerumunan sebagai kejanggalan, dia telah membentuk dirinya sebagai manusia otentik. Kiekergaard filsuf eksistensi itu pernah bilang “bahwa ketika manusia sanggup menerima pesan-pesan Tuhan maka manusia itu sudah mengalami eksistensialitasnya” eksistensi Gie adalah eksistensi yang bukan saja penemuan hubungan individu dengan Tuhannya tapi juga menemukan bagaimana relasi-relasi Tuhan itu bekerja dalam kehidupan manusia. Toh pesan-pesan Tuhan dalam jaman yang serba materialitas ini selalu ditunggangi dengan uang. Uang dan nilai kerja yang terukur kini menjadi penentu batas ada atau tidaknya kemanusiaan pada diri seseorang.
Orang-orang kalah selalu punya cerita gelap. Di Yogyakarta ada makam yang selalu dinjak-injak jika kita hendak ziarah ke pasareyan para Raja. Kabarnya makam itu adalah makam seorang patih di jaman Diponegoro yang berkhianat kepada Sultan dan sang Pangeran. Entahlah cerita itu benar atau tidak. Tapi yang jelas betapa ingatan kolektif selalu menyeragamkan cerita dan semakin hari semakin buruk. Bagaimanapun sejarah adalah cerita sang pemenang. Aryo Penangsang penuntut tahta Demak selalu digambarkan beringasan, ambisius dan memiliki sifat-sifat raksasa dalam pewayangan sementara lawannya Jaka Tingkir digambarkan satria bijak, apakah cerita ini akan sampai ke kita bila saja Sutawijaya gagal membunuh Pangeran Aryo Penangsang yang sejatinya memang pewaris sah tahta Demak dan Jaka Tingkir gagal mengalahkan Pangeran pemilik kuda hitam Gagak Rimang itu?
Sejarah adalah citra yang tertuang dalam ingatan dan citra tidak selamanya benar.
ANTON
No comments:
Post a Comment