Djenar, Urban dan Beatles
Oleh Anton
Membaca cerpen-cerpen Djenar, sekilas memang seperti membaca sebuah stensilan porno yang diperhalus, (-stensilan porno yang bagi remaja mungkin sudah biasa dibaca sejak jaman sekolah dulu-). Djenar menggabungkan gaya kejutan pikiran, paragraf yang isinya sama berulang-ulang sebagai bentuk kebingungan sang tokoh sekaligus penegasan sebuah pemikiran, saya nggak tahu jenis sastra apa ini, tapi gaya seperti ini pada jenis puisi malah mengingatkan saya pada Garcia Lorca di awal karirnya (bukan saat ia sudah matang), Lorca membentuk tata kalimat yang berulang-ulang untuk penegasan maksud. Djenar bukanlah masuk dalam segmen sastra serius tapi juga jenis sastra kacangan, memahami Djenar mungkin paling tepat adalah melihat dari sisi manusia urban yang terasingkan, manusia-manusia urban menjadi tema utama baik dalam bentuk lukisan, sastra, puisi bahkan opera sejak awal abad 18, ketika Paris menjadi pusat gaya mode. Kemudian tatkala USA berkembang pesat menjadi suatu negara besar dan kota-kota di pantai timur menjadi kota industri, tema-tema urban semakin kuat dalam bentuk seni. Picasso adalah pelopor masuknya urban yang abstrak dalam pemikiran seni, kemudian Bertold Brecht, Habermas, Sartre dan terakhir TS Elliot memasuki wilayah urban sebagai jiwa dari karya-karya sastra dan filsafat mereka. Camus dan Fromm dua penulis, lain tema yang satunya Sastrawan-filsafat dan yang lainnya ahli psikologi massa, menggambarkan budaya urban sebagai budaya yang membentuk lahirnya sebuah genre peradaban baru. Fromm melihat kecenderungan urban-fasis sedangkan Camus Urban-Melting Pot. Hal-hal inilah yang mendorong seni urban berkembang pesat, puncaknya tahun 1963 ketika The Beatles melampaui seluruh pusat seni dunia, saat itu juga berkembang gerakan urban culture. Beatles mendorong revolusioner musik ke arah praktis, musik tidak lagi monopoli bangsawan-bangsawan kaya dan tidak mengenal segregasi ras, Beatles yang tidak memberontak, cenderung alim (diawal karirnya), disukai semua kalangan dan dianggap anak baik-baik bagi kalangan tua konservatif malah menjadi warna yang mempengaruhi group-group band pemberontak seperti Rolling Stones, Pink Floyd, The Doors dll. Pragmatisme musik dijadikan acuan paling tepat dalam memahami bunyi-bunyi di telinga kita. Dan budaya Urban menghendaki pragmatis yang cepat, bertenaga dan tidak perlu berpikir dalam-dalam. Bila kita terbiasa dengan logika sastra serius macam Chekov, Tolstoy, Camus atau Umar Khayam. Maka sulit mencernakan kenikmatan Djenar dalam menyusun kalimat-kalimat vulgarnya. Memahami Djenar bukanlah memahami dari sudut vulgar tapi dari kekosongan jiwa-jiwa tokoh yang diperankan dalam cerpen atau novelnya. Vulgar, sedikit amburadul dan menggetarkan. Tapi terus terang...saya suka Djenar, suka dengan tubuhnya bukan gaya sastranya. Saya dengar dia juga janda atau menjelang janda??
ANTON
No comments:
Post a Comment