Oleh Anton
Melawak bukanlah hal yang mudah, butuh kecerdasan, kecepatan membaca situasi, menjungkir balikkan logika, dan menipu pikiran pendengar dan penonton lawakan. Lawakan bukanlah seni yang remeh yang hanya membutuhkan akting badut yang konyol, seni lawak musti disejajarkan oleh literatur- literatur penting, lawakan bisa jadi merupakan jiwa suatu jaman, jeritan terhadap ketidakadilan bahkan sebuah bentuk perlawanan halus terhadap kekuasaan. Dalam kondisi tertekan akibat penindasan dan serangan politik dari kelompok represif yang berkuasa dunia lawak mampu menimbulkan penyegaran, ambil contoh, sindiran Voltaire terhadap kelompok agamawan yang menggunakan kekuasaan dalam kedudukannya untuk mengambil keuntungan politik dan serangannya terhadap kaum filosof macam Marquis Condorcet dalam “candide”, kemudian humor-humor orang Russia terhadap gaya kepemimpinan Stalin, sindiran terhadap Hitler oleh Charlie Chaplin dalam filmnya “The Great Dictator”, bahkan di jaman jepang seorang pelawak Surabaya berani menyindir bala tentara Nippon, dengan pantunnya, tapi itulah dunia lawak dia bebas dari segala bentuk nilai, Dalam dunia bebas, seperti Amerika dan Eropa Barat, komedian diletakkan dalam suatu disiplin yang serius, Bob Hope, pelawak legendaris Amerika bahkan mampu melawak di tengah pertempuran Perang Dunia II di Eropa dengan baik dan bertahan sebagai pelawak nomor satu beberapa dekade berikutnya.Kemudian Chaplin bisa mengadaptasi gaya humor Inggris yang cenderung slapstick dapat diterima dengan kesesuaian akal sehat, gaya Chaplin inilah yang kemudian mengilhami Mr. Bean dalam gaya lawakannya, kadang-kadang slapstick gaya Anglo Saxon ditiru tanpa mempertimbangkan unsur kecerdasan bagi penirunya, dan ini pernah diikuti dalam beberapa episode film2 Warkop (walaupun saya nilai group warkop adalah grup paling bermutu di Indonesia)
Dunia lawak di Indonesia, boleh dikatakan berdiri otonom dan tidak tidak terlalu dipengaruhi oleh unsur impor, dalam tradisi lawak di Indonesia harus dilihat struktur kekuasaan sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melihat bagaiamana dunia lawak kita berkembang. Ada arus utama budaya lokal yang berkembang di Indonesia dan bagi saya ini masih hal yang aneh, yaitu budaya Jawa (Mataraman). Mataraman adalah suatu wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Mataram yang berpuncak pada kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo, wilayah ini meliputi Priangan di Jawa Barat, Seluruh Wilayah Jawa Tengah dan Sebagian besar wilayah Jawa Timur, di wilayah inilah tradisi Jawa lebih berkembang, kecuali Priangan yang memang sudah mewarisi tradisi Pajajaran, tetapi pesisir jawa barat (karawang, indramayu, cirebon) memiliki kesamaan bahasa dan tradisi yang khas mataraman. Nah pada saat kekuasaan raja-raja mataram memerintah, ada sebuah sikap absolut dalam melaksanakan kekuasaannya “L'etase moi” begitulah kata orang perancis, sikap yang absolut ini, justru menimbulkan ruang rileks pada hal-hal yang tidak serius, humor-humor yang menyindir kekuasaan diperbolehkan dalam kerangka tetap sebagai humor. Pewaris tradisi lawakan mataram inilah yang berkembang secara sempurna sebagai bentuk lawakan di Jawa Tengah sebagai Dagelan Mataram dan di jawa Timur bernama Ludruk.
Dalam khasanah dunia lawak modern kita, pewaris gaya dagelan mataram dan ludruk adalah Srimulat, Srimulat yang pada awalnya berdiri dimaksudkan sebagai sebuah seni sandiwara tradisional yang dipadu dengan nyanyian-nyanyian keroncong justru malah berkembang menjadi hiburan lawak, karena permintaan penonton. Teguh adalah pendiri Srimulat dan orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap jenis lawakan Srimulat yang : seenaknya, menjungkirbalikkan logika sosial, melawak tanpa teks, karakterisasi personal dan slapstick. Sampai saat ini jenis gaya lawakan Srimulat musti bisa dilihat sebagai sisa-sisa warisan tradisi, dan saya menilai pelawak- pelawak senior Srimulat yang pernah merasakan dibawah kepemimpinan Teguh, masih dengan paham memegang tradisi itu, jika ingin melihat warna srimulat sesungguhnya justru pada pelawak-pelawak jebolan srimulat yang kini namanya agak dilupakan : Asmuni, dialah yang mampu menenrjemahkan kemampuan humor gaya teguh menjadi diterima masyarakat, kemudian Almarhum gepeng, dan saya masih ingat sampai sekarang duet dialog paling pas menunjukkan gaya srimulatan justru pada Asmuni-Alm.Sopiyah, cara melawak mereka sungguh menggambarkan karakter dagelan Mataram.
Untuk menggugat intelektualitas Srimulat tentulah tidak begitu tepat, karena memang mereka bergerak dan hidup dari kalangan bawah masyarakat yang tingkat pendidikan, penerimaan informasi dan tingkat nalar yang terbatas, namun tentunya bila gugatan itu dilakukan dalam konteks semakin modern-nya orang Indonesia tentulah bisa dipahami,dan pelawak2 generasi muda srimulat seperti Nunung yang pernah mengucapkan ketidak mengertiannya cara melawak grup SQL yang intelektualis (pada festival lawak API ) adalah suatu yang memprihatinkan.
Saya katakan dunia lawak semakin mundur dan tidak cerdas lagi, dan menembak penyebabnya adalah Srimulatan merupakan sebuah kesalahan, karena memang karakterisasi Srimulat yang menjadikan cara kerja pikiran yang luas sebagai bahan lawakan bukan tradisi mereka, tapi menembak kepada kelompok2 muda yang namanya menanjak keatas di tahun 90-an sampai kini mungkin bisa dibenarkan. Bagi saya awal kehancuran dunia lawak Indonesia adalah mulai pudarnya pelawak2 penanding gaya srimulat, seperti Alm. Bing Slamet, Eddy Sud, S Bagyo, Ateng, Mang Udel, Kang Ibing, Abah Us Us, dan bisa disebut juga Benyamin S, mereka bisa disebut penanding gaya Srimulat yang frontal, lawakan dari orang2 yang saya sebut diatas memang masih mewarisi tradisi mataraman tapi sangat jauh dari humor khas srimulat. Kemudian memudarnya pamor grup2 lawak cerdas yang tumbuh dari keresahan anak muda setelah terpilih kembalinya Suharto di tahun 1978, seperti: Warkop DKI, Nanu (wafat 1983), Mat Solar (yang populer dalam lawakan2 intra kampus di UI awal tahun 80-an ), group parodi Pancaran Sinar Petromak (PSP) dan Group Sersan Prambors. Pudarnya mereka lebih disebabkan oleh represifnya Orde Baru dalam mengekang ekspresi mereka, dari kelompok ini, kelompok Warkop DKI-lah yang paling cerdas dan ternyata mampu bertahan walaupun agak sedikit mengikuti selera pasar.Jika ingin mengikuti humor sesungguhnya dari kelompok Warkop DKI, jangan dilihat film2nya tapi dengar lawakan di radio2 yang agak cenderung bebas, saya pernah mendengar radio di tahun 1986 bagaimana Kasino seorang diri pada session di radio SK kalau tidak salah nama acaranya “Old Song” dia menyanyi “Unchained Melody” sembari melempari celetukan2, benar2 lucu....
Nah ada kelompok yang kemudian mencuat dan namanya sedikit mendompleng kelompok Warkop dan kemudian seakan-akan pewaris sah lawakan modern di Indonesia, mereka-mereka ini jebolan dari radio SK tapi lawakannya sungguh sama sekali tidak bermutu dan hanya mengandalkan humor-humor yang dangkal. Saya sebut arus besar lawakan modern di Indonesia berpusat pada Eko-Ulfa, mereka berdualah yang dianggap sebagai benchmark (patokan) cara melawak, gaya mereka serta merta diikuti oleh beberapa kelompok lain dan peniru paling pas dari gaya Eko adalah kelompok Cagur, narji, denny dan wendy.. gaya melawak mereka sungguh tidak membuat lawakan itu sebagai bahan renungan dan alat kritik yang bisa membuat orang reflektif terhadap kehidupannya, gaya lawakan mereka adalah lawakan yang bercanda, menyakiti (baik hati dan fisik) lawan main, kemudian tidak memberikan humor-humor cerdas. Ditambah pengaruh gaya Komeng, yang di tiap detik kata2 nya adalah menghina orang, merendahkan lawan main, dan menangkis kata-kata dengan mencela fisik. Ini sungguh memprihatinkan. Dan ironisnya gaya lawakan yang tidak sesuai dengan tipe mereka disuruh minggir..
Disini masih ada Extravaganza, tapi Extravaganza bukanlah seni melawak yang spontan, ia lebih menyerupai opera komedi, karena keterikatannya pada teks yang sedemikian kuat. Project Pop lebih cenderung pada bentuk2 musik dan lagu,sementara gaya lawakan yang spontan, membuat orang merenung dan menyikapi kondisi sosial dengan gayanya yang cerdas sama belum muncul, saya ingat bagaimana krisbiantoro mampu melawak dalam bahasa Perancis, ataupun Ebet Kadarusman yang melawak berjam2 di radio Australia dengan bahasa Inggeris, Sukarno yang membuat orang terpingkal2 di dalam pidato2 nya, Churchill yang santai dan sempat2 membuat anekdot sebelum mendeklarasikan perang dengan Jerman ataupun Gus Dur yang mampu menyembunyikan kesulitan2 nya dalam memecahkan problem2 sosial-keagamaannya dengan melucu, spontanitas yang cerdas masih menjadi impian dalam dunia lawak kita yang sedang hancur lebur ini.
Dunia lawak di Indonesia, boleh dikatakan berdiri otonom dan tidak tidak terlalu dipengaruhi oleh unsur impor, dalam tradisi lawak di Indonesia harus dilihat struktur kekuasaan sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melihat bagaiamana dunia lawak kita berkembang. Ada arus utama budaya lokal yang berkembang di Indonesia dan bagi saya ini masih hal yang aneh, yaitu budaya Jawa (Mataraman). Mataraman adalah suatu wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Mataram yang berpuncak pada kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo, wilayah ini meliputi Priangan di Jawa Barat, Seluruh Wilayah Jawa Tengah dan Sebagian besar wilayah Jawa Timur, di wilayah inilah tradisi Jawa lebih berkembang, kecuali Priangan yang memang sudah mewarisi tradisi Pajajaran, tetapi pesisir jawa barat (karawang, indramayu, cirebon) memiliki kesamaan bahasa dan tradisi yang khas mataraman. Nah pada saat kekuasaan raja-raja mataram memerintah, ada sebuah sikap absolut dalam melaksanakan kekuasaannya “L'etase moi” begitulah kata orang perancis, sikap yang absolut ini, justru menimbulkan ruang rileks pada hal-hal yang tidak serius, humor-humor yang menyindir kekuasaan diperbolehkan dalam kerangka tetap sebagai humor. Pewaris tradisi lawakan mataram inilah yang berkembang secara sempurna sebagai bentuk lawakan di Jawa Tengah sebagai Dagelan Mataram dan di jawa Timur bernama Ludruk.
Dalam khasanah dunia lawak modern kita, pewaris gaya dagelan mataram dan ludruk adalah Srimulat, Srimulat yang pada awalnya berdiri dimaksudkan sebagai sebuah seni sandiwara tradisional yang dipadu dengan nyanyian-nyanyian keroncong justru malah berkembang menjadi hiburan lawak, karena permintaan penonton. Teguh adalah pendiri Srimulat dan orang yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap jenis lawakan Srimulat yang : seenaknya, menjungkirbalikkan logika sosial, melawak tanpa teks, karakterisasi personal dan slapstick. Sampai saat ini jenis gaya lawakan Srimulat musti bisa dilihat sebagai sisa-sisa warisan tradisi, dan saya menilai pelawak- pelawak senior Srimulat yang pernah merasakan dibawah kepemimpinan Teguh, masih dengan paham memegang tradisi itu, jika ingin melihat warna srimulat sesungguhnya justru pada pelawak-pelawak jebolan srimulat yang kini namanya agak dilupakan : Asmuni, dialah yang mampu menenrjemahkan kemampuan humor gaya teguh menjadi diterima masyarakat, kemudian Almarhum gepeng, dan saya masih ingat sampai sekarang duet dialog paling pas menunjukkan gaya srimulatan justru pada Asmuni-Alm.Sopiyah, cara melawak mereka sungguh menggambarkan karakter dagelan Mataram.
Untuk menggugat intelektualitas Srimulat tentulah tidak begitu tepat, karena memang mereka bergerak dan hidup dari kalangan bawah masyarakat yang tingkat pendidikan, penerimaan informasi dan tingkat nalar yang terbatas, namun tentunya bila gugatan itu dilakukan dalam konteks semakin modern-nya orang Indonesia tentulah bisa dipahami,dan pelawak2 generasi muda srimulat seperti Nunung yang pernah mengucapkan ketidak mengertiannya cara melawak grup SQL yang intelektualis (pada festival lawak API ) adalah suatu yang memprihatinkan.
Saya katakan dunia lawak semakin mundur dan tidak cerdas lagi, dan menembak penyebabnya adalah Srimulatan merupakan sebuah kesalahan, karena memang karakterisasi Srimulat yang menjadikan cara kerja pikiran yang luas sebagai bahan lawakan bukan tradisi mereka, tapi menembak kepada kelompok2 muda yang namanya menanjak keatas di tahun 90-an sampai kini mungkin bisa dibenarkan. Bagi saya awal kehancuran dunia lawak Indonesia adalah mulai pudarnya pelawak2 penanding gaya srimulat, seperti Alm. Bing Slamet, Eddy Sud, S Bagyo, Ateng, Mang Udel, Kang Ibing, Abah Us Us, dan bisa disebut juga Benyamin S, mereka bisa disebut penanding gaya Srimulat yang frontal, lawakan dari orang2 yang saya sebut diatas memang masih mewarisi tradisi mataraman tapi sangat jauh dari humor khas srimulat. Kemudian memudarnya pamor grup2 lawak cerdas yang tumbuh dari keresahan anak muda setelah terpilih kembalinya Suharto di tahun 1978, seperti: Warkop DKI, Nanu (wafat 1983), Mat Solar (yang populer dalam lawakan2 intra kampus di UI awal tahun 80-an ), group parodi Pancaran Sinar Petromak (PSP) dan Group Sersan Prambors. Pudarnya mereka lebih disebabkan oleh represifnya Orde Baru dalam mengekang ekspresi mereka, dari kelompok ini, kelompok Warkop DKI-lah yang paling cerdas dan ternyata mampu bertahan walaupun agak sedikit mengikuti selera pasar.Jika ingin mengikuti humor sesungguhnya dari kelompok Warkop DKI, jangan dilihat film2nya tapi dengar lawakan di radio2 yang agak cenderung bebas, saya pernah mendengar radio di tahun 1986 bagaimana Kasino seorang diri pada session di radio SK kalau tidak salah nama acaranya “Old Song” dia menyanyi “Unchained Melody” sembari melempari celetukan2, benar2 lucu....
Nah ada kelompok yang kemudian mencuat dan namanya sedikit mendompleng kelompok Warkop dan kemudian seakan-akan pewaris sah lawakan modern di Indonesia, mereka-mereka ini jebolan dari radio SK tapi lawakannya sungguh sama sekali tidak bermutu dan hanya mengandalkan humor-humor yang dangkal. Saya sebut arus besar lawakan modern di Indonesia berpusat pada Eko-Ulfa, mereka berdualah yang dianggap sebagai benchmark (patokan) cara melawak, gaya mereka serta merta diikuti oleh beberapa kelompok lain dan peniru paling pas dari gaya Eko adalah kelompok Cagur, narji, denny dan wendy.. gaya melawak mereka sungguh tidak membuat lawakan itu sebagai bahan renungan dan alat kritik yang bisa membuat orang reflektif terhadap kehidupannya, gaya lawakan mereka adalah lawakan yang bercanda, menyakiti (baik hati dan fisik) lawan main, kemudian tidak memberikan humor-humor cerdas. Ditambah pengaruh gaya Komeng, yang di tiap detik kata2 nya adalah menghina orang, merendahkan lawan main, dan menangkis kata-kata dengan mencela fisik. Ini sungguh memprihatinkan. Dan ironisnya gaya lawakan yang tidak sesuai dengan tipe mereka disuruh minggir..
Disini masih ada Extravaganza, tapi Extravaganza bukanlah seni melawak yang spontan, ia lebih menyerupai opera komedi, karena keterikatannya pada teks yang sedemikian kuat. Project Pop lebih cenderung pada bentuk2 musik dan lagu,sementara gaya lawakan yang spontan, membuat orang merenung dan menyikapi kondisi sosial dengan gayanya yang cerdas sama belum muncul, saya ingat bagaimana krisbiantoro mampu melawak dalam bahasa Perancis, ataupun Ebet Kadarusman yang melawak berjam2 di radio Australia dengan bahasa Inggeris, Sukarno yang membuat orang terpingkal2 di dalam pidato2 nya, Churchill yang santai dan sempat2 membuat anekdot sebelum mendeklarasikan perang dengan Jerman ataupun Gus Dur yang mampu menyembunyikan kesulitan2 nya dalam memecahkan problem2 sosial-keagamaannya dengan melucu, spontanitas yang cerdas masih menjadi impian dalam dunia lawak kita yang sedang hancur lebur ini.
ANTON
1 comment:
pak makasih ya udah ngutip alm kakek saya (asmuni),beliau beneran kakek saya lho!!
ini blog ku,kunjungi n kasih comment ya!!
http://www.smartgirl-hinata.blogspot.com
http://www.dugempicz.blogspot.com
have a nice day and good luck :)
Post a Comment