Wednesday 21 November 2007

Filmnya Gie

Sekali lagi tentang Film Gie...

Kematian Soe Hok Gie di gunung Semeru tak terlepas dari konspirasi yang melibatkan Suharto, intelijen Kopkamtib, Pangdam Jawa Timur dan Jin gunung Semeru. Dikabarkan Suharto memberi instruksi kepada bawahannya untuk bekerjasama dengan jin gunung Semeru agar mereka mengeluarkan asap beracun supaya seorang aktivis muda yang membeberkan pembunuhan besar-besaran terhadap massa PKI bisa dihabisi. Percayalah ini sekedar lelucon, namun bagi pecinta sejarah, sejarah Indonesia sama sekali bukan lelucon yang lucu, sejarah Indonesia adalah sebuah kisah tragis dan sekali lagi percayalah...banyak bagian dari bangsa ini yang sangat jijik untuk memahami masa lalu bangsanya sendiri.

Melihat film Gie karya Riri Riza, semakin membangkitkan keyakinan saya bahwa Sejarah - bagaimanapun usaha dari Riri Riza untuk menempatkan film ini sebagai sebuah gambaran fair terhadap manusia jujur – masih sangat tak adil. Pertama, yang sangat jelas dari film ini adalah tidak lepasnya sebuah stereotype sejarah Orde Baru tentang bayangan kelam terhadap pendahulunya – Sukarno dan rezimnya. Orde Baru selalu menggambarkan periode Sukarno adalah periode dengan bayangan buram, periode dimana rakyat kelaparan dan dipaksa mengantri beras dan minyak, dan yang lebih tragiknya lagi PKI ditempatkan sebagai aktor tunggal dari kekacauan pemerintahan Sukarno. Periode 1959-1965 merupakan periode paling penting dalam karir politik Sukarno dalam menuntaskan ide-idenya. Periode ini dimulai dengan keberhasilan pasukan Yani menumpas gerakan militer, PRRI yang ditunggangi oleh Amerika Serikat di wilayah Sumatera dan Sulawesi. Pada periode ini juga terjadi kekalutan luar biasa di tubuh empat angkatan unsur ABRI, Angkatan Darat menolak tampilnya Kolonel Bambang Utoyo untuk menggusur Kolonel AH Nasution yang pro Jakarta, lalu muncul kekecewaan Letkol M Simbolon dan Kolonel Zulkifli Lubis. Di tubuh Angkatan Laut terjadi perlawanan sejumlah perwira menengah terhadap karakter kepemimpinan Laksamana Subijakto sehingga menyebabkan dipecatnya barisan perwira anti Subijakto, di tubuh Angkatan Udara Komodor Surjadarma melakukan pembenahan dengan meninju beberapa unsur yang anti dirinya termasuk perlawanan dari barisan perwira rendahan yang berasal dari unsur Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Tjepat), begitu juga di tubuh POLRI. Peristiwa PRRI dan penyelesaiannya dapat digambarkan sebuah akhir dari kekalutan yang menimpa tubuh ABRI. Walaupun dominasi dari pelaku berasal dari Angkatan Darat namun gerakan politik Sukarno untuk mengkonsolidasi ABRI di bawah tangannya (hal yang tak pernah dilakukan secara sempurna oleh Sukarno) sedikit banyak membawa hasil. Nasution berhasil dimasukkan kembali setelah sekian tahun bekerja di luar jalur militer bahkan sempat memimpin partai IPKI. Kemudian yang terpenting adalah semua panglima dan komandan pasukan yang tidak solid terkonsolidasi di tangan AH Nasution. Dan dengan demikian setelah pembubaran Masjumi dan PSI yang kemudian diikuti pemberlakuan demokrasi terpimpin, secara langsung ABRI terlibat dalam pengukuhan pemerintahan Sukarno. Jelas ABRI memiliki satu wajah yaitu Loyalis Sukarno, apalagi ketika Sukarno berhasil menggeser ABRI ke tangan elit-elit militer di Jawa yang puncaknya mendepak Nasution dari posisi yang memegang pasukan dan menempatkan Ahmad Yani pada posisi paling strategis di Angkatan Darat. ABRI menjadi pendukung kuat Sukarnoisme.
Kemudian di luar ABRI orang melihat bahwa pendukung Sukarno yang memelintirkan pemerintahan adalah PKI. Jadi secara militer Sukarno didukung penuh oleh Angkatan Darat dan secara politik poros yang mendukung Sukarno adalah kaum kiri baik itu Nasionalis pro kiri maupun komunis, tidak ada tempat lagi bagi kaum kanan seperti Masjumi yang pro Amerika ataupun PSI yang Europeesch minded. Namun bila ditelisik lebih jauh peranan pendukung politik Sukarno bukanlah PKI saja tetapi unsur-unsur gabungan yang didominasi PNI, kaum Agama dan Murba. Sekali lagi kelompok-kelompok politik yang boleh hidup di era Sukarno semuanya memusuhi PKI. Dari ketiga Wakil Perdana Menteri (Waperdam) sama sekali tidak ada unsur PKI-nya. Subandrio, Waperdam I (Unsur independen/pilihan politiknya oportunis dan sangat dibenci pemimpin2 PKI), Waperdam II, J.Leimena (Unsur Agama/Katolik) dan Waperdam III (Murba, sebuah partai warisan Tan Malaka). Keberadaan unsur utama rezim Sukarno ini jelas merupakan lanjutan dari cara-cara sistem politik dekade 50-an yang menampik PKI masuk ke dalam jajaran pemerintahan. Sikap DN Aidit dan anggota politbironya yang mau bekerjasama dengan Sukarno yang notabene dicap mereka sebagai representatif dari Nasionalis Borjuis merupakan taktik Aidit dalam melakukan tahap awal revolusi yang diimpikannya, revolusi dua tahap, Pertama; penghancuran Kapitalis dengan bekerjasama pada kelompok nasionalis borjuis dan tahap kedua, mengimplementasi revolusi komunis sesungguhnya. Dan PKI yang dirugikan secara politis akibat peristiwa Madiun 1948 juga tekanan dari kelompok Agama dan Nasionalis, terpaksa merapatkan diri kedekat punggung Sukarno dan Sukarno yang jenius politik itu mengambil kompensasi dari penawaran PKI dengan mengambil massa PKI untuk mendukung ide-idenya dalam menerapkan tujuan revolusi impiannya sendiri, NASAKOM sebuah proyek raksasa yang diproyeksikan akan menjadi kekuatan alternatif ketiga dalam pertarungan Komunisme dan Kapitalisme.

Sayangnya ketika proyek impian itu diberlakukan, Sukarno tidak mendapatkan dukungan internasional. Kesialan Sukarno makin lengkap ketika RRC pimpinan Mao dikeluarkan dari PBB dan dikucilkan. Sukarno yang dijauhi oleh kawan-kawan lamanya seperti Nehru, Tito dan Nasser kemudian dengan ceroboh membentuk poros Jakarta-Beijing-Pyongyang. Yang selain dituduh mengkhianati gerakan Bandung 1955 juga membuat marah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Washington marah karena Sukarno telah dengan jelas berpihak pada komunis Cina sementara Moskow berang sebab Sukarno mengkhianati Moskow dengan berdekatan Beijing dimana RRC merupakan rival bagi Komunisme ala Soviet. Pada dasarnya gerakan ini tidak pernah mencapai tahapan realitas namun berhasil dengan sangat membangkrutkan perekonomian Indonesia. Sukarno yang sama sekali tak paham bagaimana mengelola perekonomian malah membelitkan Indonesia pada persoalan politik yang semakin carut marut. Utang dari IMF dikemplang, bantuan-bantuan keuangan lebih ditujukan pada proyek-proyek idealis bukan proyek-proyek pragmatis. Maka tak pelak kenaikan harga dan kelangkaan barang menjadi realitas bagi masyarakat Indonesia saat itu. Justru yang paling garang terhadap kondisi carut marutnya Indonesia pada saat itu adalah PKI. Karena secara politik PKI sadar bahwa mereka tak mungkin dibubarkan oleh Sukarno (dan ini terbukti setelah peristiwa G30S, Sampai mati Sukarno tak bersedia menandatangani pembubaran PKI), maka dengan itu mereka menjadi partai politik paling galak terhadap kebijakan pemerintahan Sukarno, sementara partai-partai lainnya lebih senang tiarap untuk menghindari amarah Sukarno, bahkan mereka menjilat habis-habisan pantat Sukarno, seperti NU yang menggelari Sukarno pemimpin agung umat Islam Indonesia atau Wali Al Amri Daruri bi asy-Syaukah, Murba yang sedikit-dikit salah tingkah atau PNI yang birokrasi oriented. Pencegahan elite puncak PKI untuk masuk ke dalam lingkaran dalam Sukarno membuahkan keberanian terhadap PKI untuk menunjuk-nunjuk hidung Sukarno. Aidit paling gemar mengatai orang dekat Sukarno sebagai penggila wanita, dan kapitalis birokrat (Kapbir).

Sementara di tubuh Angkatan Darat sendiri terjadi perpecahan. Pada pra G 30 S, kubu yang anti Sukarno tersingkirkan dalam-dalam. Setelah dihabisinya PRRI/Permesta yang melibatkan elite militer cemerlang non Jawa seperti : M.Simbolon, Djambek, Zulkifli Lubis dan Alex Kawilarang. Maka yang naik adalah kelompok pro Sukarno, awalnya Nasution dan kelompoknya naik ke puncak namun oleh Sukarno kelompok mereka dipotong. Sukarno melihat Nasution juga sudah terlalu terpengaruh oleh Amerika. Pilihan Sukarno jatuh pada Ahmad Yani, perwira Jawa, berasal dari unsur Diponegoro, memiliki kemampuan lapangan yang luar biasa dan pandai berdiplomasi. Yani 100% Sukarnois, dan tak mungkin rela menghabisi Sukarno. Orang yang paling berpeluang untuk tega mendepak Sukarno di tubuh elite militer justru Nasution, namun sejarah mencatat ketika Nasution berpeluang mendepak Sukarno di awal-awal pasca G 30 S justru tak dilakukannya ini membuktikan Nasution juga Sukarnois walaupun sudah terpengaruh barat. Kelompok Yani yang berkitar di SUAD (Staff Umum Angkatan Darat) sangat dekat dengan Sukarno namun bermusuhan dengan PKI ini karena ide Aidit yang menyodorkan untuk dibangunnya Angkatan ke V (Lima) di tubuh ABRI. Sementara perwira-perwira AD di daerah tidak begitu terlibat dengan konstelasi politik di Jakarta, mereka terpecah menjadi beberapa kubu, kubu yang paling kuat ternyata terletak di Diponegoro dan Brawijaya, semuanya adalah pro Sukarno, sementara Siliwangi yang tidak begitu kuat memiliki ikatan emosional dengan Sukarno dipimpin oleh perwira Sukarnois 100%, Ibrahim Adjie.

Jadi pada kondisi carut marutnya ekonomi di era pra G 30 S, bukan merupakan akibat tunggal dari dominasinya PKI di jaman itu tapi lebih kepada konsekuensi kebijakan politik internasional Sukarno. Bahkan setelah pengusiran orang-orang Belanda sebagai akibat politik Irian Barat, banyak dari elite militer menguasai lahan-lahan perekonomian strategis. Yang paling menonjol adalah Permina dan Permigan (kelak Pertamina) dibawah Kolonel Ibnu Sutowo. Atau fenomena warlord-warlord dari Angkatan Darat di daerah-daerah yang banyak menyelundupkan barang ataupun barter kebutuhan pokok dengan asing tanpa sepengetahuan Jakarta. (suatu hal yang juga dilakukan Suharto saat ia menjabat Panglima Diponegoro). Nah film Gie ternyata terjebak pada stereotype bahwa gagalnya perekonomian rezim Sukarno sebagai akibat dari bermainnya PKI, padahal banyak elemen yang kompleks dimana PKI hanya berpengaruh kecil terhadap kebijakan ekonomi Sukarno.

Tapi sejarah bukanlah milik bagi orang-orang kalah. PKI terbukti menjadi kambing paling hitam dalam proses pertarungan politik terakhir antara Sukarno dan Angkatan Darat pro Suharto. Suharto memerlukan legitimasi untuk memperkokoh daya tawar dengan Sukarno. Maka pembantaian besar-besaran yang terjadi 1966-1967 terutama di Jawa Tengah, Timur dan Bali menjadi daya jual yang paling tinggi untuk menekan Sukarno. Setelah Sukarno berhasil dihantam maka giliran untuk memperkuat kedudukan pemerintahan transisi Triumvirat (Suharto, Sri Sultan HB IX dan Adam Malik) maka pelaburan terhadap wajah PKI diperlukan. Bahkan setelah Suharto sedemikian mapan mengenggam kekuasaan, mitos PKI tetap digunakan sebagai alat paling efektif menindas. Hal ini juga tergambar dalam film Gie di bagian akhir yang menyodorkan efek kemanusiaan dimana Gie menuduh Suharto tidak mampu mencegah pembunuhan besar-besaran yang terjadi di Bali.

Kedua, yang menjadi catatan penting disini adalah film Gie terlalu menjadi terlalu satiris terhadap penggambaran sosok Sukarno. Walaupun memang dalam catatan harian Gie bila kita baca, menggambarkan sosok Sukarno sebagai manusia gila seks, hedonis dan mengkhianati cita-cita negara proklamasi. Tentunya tidak mudah mendegradir sedemikian rendah seorang Sukarno. Sukarno adalah sosok paling unik dalam sejarah Indonesia modern. Dialah orang yang paling bertanggung jawab terhadap pembentukan NKRI, proklamasinya bersama Hatta mengakumulir seluruh kegiatan kepahlawanan pada revolusi bersenjata 1945 berpusat pada dirinya, dan yang paling penting dalam karir politiknya adalah keberhasilan Sukarno menggalang sebuah keajaiban politik dunia Internasional dengan mengumpulkan semua negara yang tidak terlibat dalam pertarungan timur-barat kedalam poros Non Blok di tahun 1955.

Memahami Sukarno adalah seperti memahami bintang Gemini, sebuah bintang dengan lebih dua muka. Sukarno adalah sosok humanis tapi sekaligus keji. Ia tidak rela melihat burung di dalam sangkar namun ia tega menandatangani surat kematian bagi musuh-musuh politiknya yang pernah memiliki kenangan indah bersamanya, seperti Kartosuwiryo, seorang mentor politiknya dan pernah sekamar di indekost HOS Tjokroaminoto, ataupun perintah melawan Musso, seorang yang pernah mengajarinya tentang teori-teori Marxist saat Sukarno masih bersekolah di Surabaya. Sukarno adalah sebuah tragik besar dalam sejarah pemimpin dunia. Tahun 1955 ia menjadi idola nyaris seluruh pemimpin besar di dunia namun di tahun 1964, temannya hanya Mao dan Ho Chi Minh. Ia juga manusia berbudaya, penggila lukisan, intelektual berbakat dan pandai membuat seni arsitektur. Dari cintanya terhadap seni Sukarno lebih cocok menjadi walikota Paris ketimbang Presiden di sebuah negara raksasa yang penduduknya mayoritas masih terkebelakang. Namun di film itu ada bagian yang menyentuh dan merupakan kecemerlangan dari Riri Riza dalam menggarap film ini. Disitu digambarkan dua kegelisahan yang satunya Kegelisahan Gie dan yang lainnya kegelisahan Sukarno. Yang pertama gelisah terhadap aroma darah penguasa yang baru (Orde Baru dan Suharto) dan yang lain gelisah ketika kekuasaannya dilucuti oleh penguasa, ini digambarkan dengan apik saat Sukarno (Soultan Saladin) berjalan lunglai hanya dengan kemeja putih tanpa jas kebesarannya yang bertabur bintang.

Ketiga, yang menjadi catatan terbaik dari film ini adalah keberhasilan Riri Riza menampilkan sosok Soe Hok Gie yang nihilis, Gie adalah manusia pencari, ia cerdas tapi tidak memihak. Ini dibuktikan ia tidak terlibat dalam partai apapun, walapun Gie dekat dengan kelompok PSI, bukan berarti ia memihak pada partainya Sutan Sjahrir yang melakukan gerakan konspirasi anti Sukarno setelah PSI dibubarkan. Gie bahkan bersimpati terhadap PKI yang digambarkan dengan berani melawan Sukarno di tahun-tahun saat Sukarno perkasa. Kecintaan Gie pada sejarah juga karena faktor keberpihakannya pada kelompok yang kalah. Kawan-kawan pribadi terdekat Gie adalah korban politik keganasan anti PKI, yang pertama adalah Effendi anak Jawa yang kedua orangtuanya mati akibat peristiwa Madiun dan yang kedua adalah Tjioe Tjin Hok, kawan kecilnya yang bernasib sial. Sedari kecil hidup susah, dipukuli bibinya untuk bekerja keras dan setelah besar malah terlibat PKI dan diburu pada saat pasca G 30 S. Sampai detik ini keberadaan Tjioe Tjin Hok masih misterius apa sudah mati atau masih hidup. Pengalaman kawan-kawannya inilah yang membangkitkan minat Gie untuk mendalami studi sejarah yang berkaitan dengan gerakan komunisme di Indonesia. Karya-karya monumentalnya sendiri berkisar pada gerakan Komunisme seperti “Palu Arit di Ladang Tebu” atau “Orang-orang di persimpangan kiri jalan”. Jadi amat susah memahami Gie (kecuali sebagai seorang nihilis) apakah dia mahasiswa aktivis anti PKI, orang kanan, pro Suharto atau pembela kaum kiri. Karena akibat artikelnya yang berjudul “pembunuhan besar2an di Pulau Bali” membuat Gie di cap sebagai orang yang pro kiri. Disinilah letak kebesaran manusia Gie. Ia tidak pernah mau menikmati dan menggunakan kekuasaan sebagai jalan untuk mencari tenar dan kekayaan. Sementara kawan-kawan seangkatannya seperti : Abdul Gafur, Akbar Tanjung, Cosmas Batubara bahkan mentor akademisnya Nugroho Notosusanto menjilat habis-habisan pantat Suharto. Gie tetap mengambil jarak dengan kekuasaan. Ia dengan berani menuding Suharto musti bertanggung jawab terhadap pembunuhan besar2an di tahun-tahun pasca G 30 S. Saya berpikir bila Gie memiliki umur panjang kemungkinan besar ia nyawanya akan dihabisi oleh Orde Baru, karena Gie memiliki jaringan internasional untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Orde Baru terhadap PKI. Ini sedikit mirip dengan kasus pembunuhan Munir yang ditengarai akan mengungkapkan kasus-kasus kejahatan HAM di Indonesia pada masyarakat Internasional.

Back to the starting point, film ini mampu melahirkan sesuatu yang indah, dan sebagai alternatif film intelektual. Pemilihan dialog dalam kata-kata yang ada di Catatan harian Gie sangat tepat, bahkan untuk puisi yang ditulis Gie buat kawan wanitanya. Bintang Lima buat Riri Riza!!


ANTON/DH NUGRAHANTO.

2 comments:

andra said...

Saya setuju dengan Anda. Filmnya memang bagus dan saya sangat suka. Dari sisi seni, penyesuaian antara tokoh fiksi dengan apa yang ditulis di buku harian Soe Hok Gie sangat sesuai.
Namun karena hanya bersumber dari satu sisi saja yaitu pandangan Soe Hok Gie jadi tidak memungkinkan menggambarkan peristiwa sedetail yang Anda gambarkan. Apalagi film ini memang film biografi seseorang yang cenderung lebih mengedepankan sifat-sifat Soe dan pemikirannya.
Namun ada yang kurang dari film ini yang sayang bila tidak ditampilkan, yaitu periode saat Soe ke luar negeri dan berdiskusi dengan mahasiswa asing, saat ia mengirimkan bedak dan pupur kepada teman-temannya di dewan, dan lain-lain. Sebaliknya kisah cinta yang digarap habis-habisan menunjukkan film ini lebih mengarah ke nilai estetiknya daripada nilai historis itu sendiri.

Anonymous said...

"Palu Arit di Ladang Tebu" buku tulisan Hermawan Sulistyo, mungkin buku tulisan Gie lebih tepat berjudul "Di Bawah Lentera Merah"