Filsafat Perempuan
Oleh : ANTON
Dulu dijaman kuliah salah seorang teman saya yang baru saja di putusin dengan pacarnya dengan nada setengah putus asa dan muka separuh nangis bilang “gue banyak belajar filsafat akhir-akhir ini?” jelas saya kaget karena sepengetahuan saya ini anak nggak pernah nyentuh buku dalam setahun dan paling banter bacaannya Donal Bebek sama Paman Gober. “Sejak kapan lo tau filsafat?” balas saya sambil berpikir mungkin Lang Ling Lung dalam tokoh komik Donal Bebek disamakan dengan Heidegger. “Dari perempuan” jawabnya ringkas. Waktu itu saya jelas ketawa sambil senyum nyinyir dan sambil lalu bilang “dasar bukan jiwa leboy, diputusin cewek langsung nge-Rinto” dia hanya cengar cengir aja ndengerin sindiran begitu, lalu teman saya ini cerita banyak tentang kelakuan perempuan yang tidak ia pernah mengerti dalam alam pikirannya sebagai laki-laki.
Waktu teman saya cerita itu, saya tidak pernah tahu “kenapa dia bisa begini, kenapa begitu”...atau “apa ini, apa itu” (pake gaya film Jojon tahun 81). Tapi saat ini saya agak mudhengan dikit, ini bukan berarti saya lantas secara penuh memahami perempuan tapi saya agak ngeh dikit tentang makna dunia yang terbentuk bagi kaum laki-laki dan dunia yang dibentuk dalam alam pikir wanita.
Dunia laki-laki adalah dunia menaklukkan, dunia menundukkan dan dunia yang menggunakan rasionalitas untuk kepentingan egonya. Sedangkan dunia alam pikir wanita adalah dunia yang memberi, dunia yang tampil dengan citra-citra dan dunia yang dibentuk lewat korelasi saling memperhatikan. Dan ini merupakan cerita lama yang mungkin anda sudah tahu tidak saja lewat teori yang diceritakan psikolog di koran-koran minggu pagi, talkshow di televisi atau radio tapi juga ketika anda berinteraksi dengan wanita. Kaum wanita lebih menyenangi tampilan yang selaras dengan citra-citra mereka, lebih memperhatikan elemen rasa ketimbang laki-laki yang cenderung berpikir bagaimana untuk menjadi yang terbaik. Inilah mengapa dunia dapur dan fashion sering diidentikkan dengan perempuan dan dunia olahraga yang keras dan kompetitif adalah alamnya laki-laki.
Boleh saja Hermawan Kertajaya nggembar nggembor bahwa dunia masa depan adalah dunianya alam pikiran wanita, dan jiwa yang terbentuk berbasiskan alam pikir wanita yang digambarkannya dengan ‘Venus’, lalu ia menjabarkan bagaimana teori pemasaran modern bisa bekerja dengan baik sesuai dengan dunia yang dibentuk alam pikiran wanita yang lebih mengandalkan citra, pertimbangan rasa dan perhatian. Tapi menurut saya Hermawan hanya bermain dalam wilayah sempit dunia urban (yang kenes, genit dan berpusar pada permainan citra) sedangkan dunia laki-laki yang digambarkannya sebagai “Mars” akan tergusur selamanya dalam dunia marketing, tapi ini hanyalah khayalan Hermawan saja dan tidak terbukti, bahwa dunia laki-laki akan diruntuhkan oleh dunia perempuan, karena dunia laki-laki adalah dunia yang memenangkan sejarah peradaban kita dan perang antara alam pikir laki-laki dengan alam perasaan perempuan sesungguhnya sebuah siklus sejarah yang sayangnya selalu dimenangkan oleh pihak laki-laki.
Peradaban kita dibentuk oleh penafsiran kita pada sinyal-sinyal spiritualitas, hukum alam, hukum-hukum yang terbentuk oleh kekuasaan, agama dan adat atau aturan-aturan sosial baik yang natural maupun yang sesuai dengan kebutuhan jaman. Sejak Aristoteles berpikir tentang alam, atau Ibrahim yang mencari Tuhannya maka semuanya bekerja dengan penafsiran-penafsiran. Lalu sejarah bergerak baik dalam konsep linier maupun siklus yang tidak mengenal termin-termin maka sejarah dimasa lalu juga terbentuk oleh penafsiran-penafsiran bahkan pada penafsiran agama yang paling skripturalis sekalipun peran psikologis alam pikiran sang manusia tetap berpengaruh.
Dan alam pikiran yang paling mendominasi dunia kita adalah alam pikiran laki-laki, inilah mengapa salah seorang sejarawan besar dunia pernah berkata bahwa sejarah dunia dibentuk oleh perang dan kepahlawanan, atau cetusan salah seorang ahli diplomasi kelas dunia yang berkata “terlalu bahaya bagi sebuah negara untuk hidup dalam jaman perdamaian yang terlalu lama, peperangan yang hebat dapat membentuk karakter bangsa” atau juga filsafat Nietszche yang menghendaki terus menerus adanya krisis bagi kehidupan manusia sehingga ia dapat menemukan eksistensinya, “krisis yang menindih manusia sampai pada batas-batas paling beratnya, disitulah mulai terbuka jalan bagi manusia untuk menemukan eksistensinya” kata Nietszche yang begitu berharap munculnya ‘Ubber Mensch’ atau manusia super. Jelas Nietszche yang bertubuh lemah dan penyakitan itu memiliki daya elaborasi terhadap dunia laki-laki sampai titik maksimal dan hebatnya dialah pemikir raksasa Eropa yang pengaruhnya dapat memunculkan Hitler seabad kemudian.
Saling berkelindannya antara kekuasaan, agama, filsafat dan kehidupan sosial yang terbentuk dalam dunia laki-laki jelas telah membawa kehidupan kaum perempuan sebagai kelas marjinal dan dipandang hanya alter ego-nya laki-laki. Wanita tidak dilibatkan dalam segala hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat bahkan untuk kepentingannya sendiri.
Tidak saja dalam dunia kekuasaan yang memang disesaki oleh pemikiran-pemikiran macho yang kompetitif, dalam dunia agama-pun pengaruh alam pikiran laki-laki begitu mendominasi ruang pemahaman bagi penganutnya, maka tak heran agama kerap dibajak untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan. Relasi ini menjadi semakin kuat ketika tumbuh pemahaman bahwa pengaruh agama dapat menyebar dengan luas apabila agama tersebut dapat memegang kekuasaan atau minimal ‘meng-agamakan’ pemegang kekuasaan. Inilah kenapa sejarah agama-agama besar di dunia selalu berkaitan erat dengan siklus kekuasaan, seperti agama Yahudi yang di patroni Raja merangkap Nabi seperti Daud, Sulaiman sampai zionisme di Israel, lalu Kristiani yang meledak perkembangannya di jaman Kaisar Konstantin II dari Romawi, Islam melaju pesat saat pemuka-pemuka Quraisy yang berbakat menjadi pemimpin berhasil di Islamkan setelah penaklukkan Mekkah atau sejarah kebesaran Buddha dengan Asoka-nya, hubungan Zoroaster dengan Raja-Raja Parsi atau Hindu dengan sejarah kekuasaan di tanah Hindi, Sumatera, Jawa dan Bali. Sejarah pemimpin-pemimpin agama akan lebih dikenang kepahlawanannya dalam dunia laki-laki yang keras, kompetitif dan mengidolakan keberanian fisik. Inilah kenapa Paus Urbanus II, Sultan Saladin, Hamzah, Asoka, pahlawan-pahlawan Mahabharata, atau Jean D’arc lebih dikenal dalam sejarah agama ketimbang Bunda Theresa, Abu Dzarr Al Ghifari, Jamalludin al Rumi, Al Adawiyah, AR Fakhruddin, Hamka dan orang-orang yang menafsirkan agama dalam alam pikir feminis, yaitu hidup hanya untuk memberi, menampik kekayaan agar terhindar dari kehidupan hedonis, tidak berlebih-lebihan, memperhatikan ketimbang menaklukkan, menyayangi ketimbang mengungguli, membelai ketimbang menyeret dengan paksaan, mementingkan olah rasa ketimbang memamerkan kekerasan fisik, mengasah spiritualitas dengan sinyal-sinyal lembut dan memberi ruang bagi kenyamanan.
Dan ketika seorang Gymnastiar melihat wajah lembut Alfarini, putih kulitnya, cantik rupanya bagai bulan purnama yang bersinar sempurna di atas kali, maka jangan salahkan ia karena ingin menundukkan, ingin menaklukkan dan ingin menguasai kecantikan yang dicitrakannya berbalut keimanan itu. Karena dunia Gymnastiar tetap dunia laki-laki. Sedangkan orang-orang yang bernasib seperti Teh Ninih itu hanya punya dua pilihan : keluar dalam perkawinan dan bertarung sendirian melawan kehidupan dalam dunia laki-laki seperti Dewi Yull misalnya, atau tetap tertunduk untuk memberi walau mungkin dalam hatinya bertanya... “dimana letak cinta yang sempurna?, kemana hilangnya lelaki yang dulu pernah menjadi satu-satunya milikku untuk kujadikan pedoman dan pelabuhan terakhir cintaku?”
ANTON
No comments:
Post a Comment