Wednesday 21 November 2007

Over The Counter Pasar Modal Kita

Over The Counter, bisakah menjadi masa depan Pasar Modal Indonesia?
Oleh : ANTON

Over The Counter dalam definisi buku “Understanding Wall Street” karangan J.B Little dan Lucien Rhodes adalah “The Nationwide of brokers/dealers engaged in buying and selling securities that, for the most part, are not listed on exchanges”.
Secara garis besar Over The Counter atau OTC adalah sebuah pasar modal yang tidak terdaftar pada main stock exchange – di Indonesia contoh dari main stock exchange adalah Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Sebenarnya transaksi instrumen efek banyak yang telah dilakukan pada OTC seperti : obligasi. Namun untuk pasar berharga saham OTC sama sekali tidak dapat dilakukan karena belum memiliki regulasi yang dapat mengatur mekanisme dan administrasi pasar. Sebelum membahas OTC lebih jauh kita akan melihat kondisi objektif pasar modal Indonesia.

Di Indonesia, pasar modal setelah aktif kembali tahun 1977 hanya dapat bermanfaat bagi lingkungan masyarakat kelas atas. Bahkan Marzuki Usman salah seorang petinggi Pasar Modal era reformasi Pasar Modal Indonesia 1988 mengatakan “Pasar Modal itu canggih, canggih =cangkemme wong sugih ( bhs. Jw omongannya orang kaya). Kaya disini berarti memang harus sungguh-sungguh kaya karena baik pengguna dana (emiten) maupun pemasok dana (Investor) semuanya menggunakan dana dalam skala massif, sampai saat ini pemain utama pasar modal adalah pemain asing, ini secara halus mengartikan bahwa pasar modal Indonesia belum permisif terhadap kemampuan bangsa Indonesia melakukan konsolidasi dana yang kemudian dapat diputar di Pasar Modal.

Dulu menteri keuangan Ali Wardhana merasa takut untuk lebih melibatkan keuangan Indonesia pada pasar modal dan tidak lagi menjadikan perbankan sebagai sumber pendanaan yang utama. Kenapa sebabnya? Menurut pengakuan Ali Wardhana dirinya merasa belum paham dengan Pasar Modal namun ini pengakuan yang menurut saya kurang serius karena saya yakin Ali Warhana sangat ahli dalam keuangan dan mengenal teori pasar modal sangat baik, kemungkinan lambannya Pasar Modal di Indonesia menjadi kultur sehingga kurang ada political will karena pola ekonomi Orde Baru mengedepankan stabilitas, ketakutan terbesar penguasa Orde Baru yaitu apakah Pasar Modal akan mengguncang stabilitas karena melibat dana masyarakat yang luar biasa banyak, apakah pemerintah bisa mengawasi dan mengendalikan mekanisme pasar?

Namun setelah desakan Amerika Serikat dan beberapa negara kawasan untuk lebih mengaktifkan Pasar Modal di Indonesia pemerintah Orde Baru setuju membuka pasar modal lebih luas lewat beberapa rangkaian paket gebrakan Sumarlin, Pasar modal Indonesia mengalami booming. Dilepasnya batas fraksi harga dan aturan kepemilikan terhadap pemodal asing membuat pasar modal Indonesia menjadi pasar yang eksotik bagi para fund manager asing. Namun booming pasar modal Indonesia 1988-1991 tidak diikuti oleh sebaran pengetahuan masyarakat tentang pasar modal, juga rezim Orde Baru tidak begitu berminat menggerakkan pasar modal sebagai financial leader di Indonesia dengan menyentuh rakyat kecil. Pasar Modal diisolir hanya menjadi mainan orang kota dan tidak memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan ekonomi mikro di kalangan masyarakat kecil yang banyak tinggal di luar kota, korelasi pasar modal dengan pertumbuhan ekonomi riil dibawah 50 persen atau nyaris tak berpengaruh, walaupun secara tolol banyak petinggi keuangan Indonesia menyebutkan IHSG kerap dijadikan alat ukur suhu ekonomi Indonesia. Namun IHSG sama sekali tidak mencerminkan posisi ekonomi Indonesia secara riil apalagi posisi kemakmuran masyarakat.

Gambaran umum pasar modal di kalangan masyarakat awam hanya sebagai wahana judi (the gamblers place) menjadikan cerminan bahwa memang konsepsi pasar modal kita gagal mendapatkan pemahaman di masyarakat, dan kalangan masyarakat yang mencap demikian itu bukan saja dari lapisan masyarakat uneducated tapi juga lapisan masyarakat terdidik. Hal ini disebabkan karena pola-pola pengertian pasar modal di Indonesia pada awalnya disebarluaskan sebagai wahana mencari tempat untung dengan cepat apalagi pengalaman masa-masa booming pasar modal Indonesia dimana banyak sekali perusahaan-perusahaan yang go publik melakukan emisi saham dengan harga perdana lebih rendah dari nilai perusahaan sesungguhnya dan kemudian bertemu dengan ekspektasi pasar yang sedemikian over value sehingga pada saat saham emiten itu masuk ke dalam pasar sekunder harga melambung tinggi bahkan bisa sampai 500%. Hal ini yang kemudian mengundang histeria massa sehingga pada saat itu banyak sekali manusia antre untuk membeli saham pada pasar perdana, namun histeria massa berubah menjadi tangisan kingkong para investor karena ada beberapa perusahaan yang go publik namun ketika masuk ke pasar sekunder harganya mengguyur ke bawah dan tidak pulih kembali.

Akrobat harga pasar modal pada waktu itu hanya menjadikan pasar modal sebagai alat penciptaan harapan instan di masyarakat tapi tidak memberikan sumbangan terhadap terbentuknya struktur pasar modal jangka panjang. Para petinggi pasar modal hanya menjadi pawang-pawang sirkus para pialang dan investor avonturir dan tidak menjadikan dirinya peletak landasan besar kondisi keuangan di Indonesia karena menciptakan pasar modal yang baik akan menanamkan hakikat kapitalisme bukan hanya sekedar kapitalisme kolokan model konglomerat binaan Orde Baru.

Namun setelah jatuhnya Suharto dan mulai masuknya unsur-unsur demokratis dalam sikap berpolitik di Indonesia pasar modal sesungguhnya harus menjadi pelopor perubahan dalam melakukan perbaikan kondisi pasar uang dan pasar pendanaan di Indonesia. Saat ini kondisi perbankan Indonesia sudah mengalami perbaikan secara struktural maupun teknikal, regulasi-regulasi perbankan sedemikian ketatnya sementara pelaku-pelaku perbankan seperti pimpinan-pimpinan puncak bankir yang dari lokal semuanya habis tergusur. Bankir-bankir kelas atas diisi dengan bankir asing yang memiliki kualifikasi internasional, anggap saja ini sebagai hukuman pasar terhadap tingkah laku bankir kita di masa lalu yang menganggap bank sebagai warisan engkongnya dan memainkan nasabah seenak udel mereka. Bankir-bankir penipu dan berwatak rampok perlahan akan tersingkir oleh mekanisme pasar yang semakin mengglobal, beruntungnya di Indonesia pasar modal kita tidak bernasib dengan perbankan nasional dari sisi sumber daya walaupun masih ada kekurangan sana-sini. Lembaga keuangan non bank seperti Pasar Modal Indonesia memang pada awalnya berisi manusia birokratis (mungkin kita bisa melihat sisa-sisanya bila kita berkunjung ke kantor bapepam) namun sejak reformasi pasar modal menggelinding, Pasar Modal Indonesia menjadi harapan bagi pilihan utama profesional muda untuk bergelut di bidang keuangan, disamping memang kondisi Pasar Modal yang menghendaki setiap informasi bersifat transparan dan bisa dipertanggung jawabkan sehingga ini sedikit banyak mendorong karakter profesional murni bagi pelaku pasar modal. Memang harus diakui di sana sini masih banyak kita temui moral hazzard pelaku pasar modal dari mulai transaksi semu sampai insider trading namun penyimpangan ini jika ditindak dengan cepat maka akan menjadi pasar yang bisa dipercaya, ke depan ambtenaar Pasar Modal Indonesia (seperti dewan direksi BEJ dan Pengurus Bapepam) harus diisi oleh orang-orang yang berkarakter dan visioner sehingga Pasar Modal akan menjadi pilihan utama sumber dana dan juga pilihan pertama untuk melakukan kegiatan investasi, perubahan harus segera dilakukan sekarang juga!!

Kondisi ekonomi dunia ke depan akan mengikuti trend Alvin Toffler yaitu : informasi cepat, pergaulan mendunia tapi bersentuhan lokal. Hal ini berarti menempatkan individu semakin penting dan berbeda dengan masa revolusi Industri yang menempatkan individu sebagai bagian kolektif dari sebuah produksi sehingga acap kali melahirkan sistem yang bejat macam pertanian kolektif Uni Soviet dan industrialisasi Stalin juga dehumanisasi di negara-negara dunia ketiga macam Indonesia yang kerap menepuk dada dengan keunggulan komparatif : Buruh Murah dan berfilsafat explotation l’homme par l’homme.

Saat-saat itu sudah harus ditinggalkan, ke depan ekonomi dibentuk oleh imajinasi bukan realitas yang menghasilkan produk massal. Persepsi tentang dunia semakin menjadi turunan-turunan yang mendekati limit yaitu : dunia kecil individu. Dan revolusi ini digerakkan oleh internet dan jaringan komunikasi yang semakin mobil. Pasar Modal juga akan mengikuti trend demikian, kondisi pasar modal konvesional yang hanya menghendaki perusahaan-perusahaan kelas gembong dengan omzet trilyunan sehingga membentuk kelas elite-nya akan hancur oleh kehadiran industri-industri yang digerakkan oleh individu. Dan individu akan mencari jalannya sendiri untuk membentuk cluster-cluster pendanaan.

Jika masa lalu (mungkin juga saat ini) mentalitas manusia Indonesia masih menjadi manusia babu (alias suruhan) baik babu kelas atas yang bekerja di perusahaan internasional, babu kelas menengah yang bekerja di sektor-sektor swasta besar juga babu kelas bawah yang menjadi TKI internasional, ke depan saya yakin akan berubah. Dalam trend Alvin Toffler manusia akan bekerja untuk dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena ‘manusia informasi’ adalah manusia yang memiliki kemampuan berproduksi dengan tingkat varian semakin sempurna walaupun tidak menampik masih adanya sektor-sektor besar sebagai penyumbang kebutuhan tetapi himpunan kebutuhan manusia yang mampu di produksi manusia itu sendiri akan semakin luas. Sektor-sektor keuangan akan sedemikian complicated karena akan pelayanan terhadap individu menjadi perhatian utama bukan lagi pelayanan terhadap institusional seperti saat ini. Pada titik inilah OTC akan menjadi model Pasar Modal Indonesia masa depan. Dan bursa seperti BEJ, NYSX atau mainstream bursa lainnya hanya tinggal sejarah.

OTC dalam hal ini bukan dalam pengertian Nasdaq tapi dalam pengertian yang agak-agak mirip dengan Granville di Inggris sana. Granville adalah OTC Inggris yang berdiri tahun 1972 dimana saat itu mulai terjadi ledakan OTC-OTC untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tidak dapat dimasukkan ke dalam main stock exchange seperti London stock exchange. Tujuan utama OTC ini adalah membantu para pengusaha kecil yang memiliki prospektif untuk mendapatkan dana lewat penjualan saham perusahaannya. Dan regulasi yang mengatur tentang hal ini walaupun berkesan simpel namun cukup rumit karena memiliki tingkat resiko yang tinggi bagi pemodal untuk mengembangkan dananya. Tapi hal itu tidak akan jadi masalah bila para penyelenggara OTC melakukan pengawasan yang ketat untuk melakukan seleksi terhadap perusahaan-perusahaan yang akan dimasukkan ke dalam urutan saham jualan OTC itu.

Saat ini (mungkin anda tertawa) saya akan mengeluarkan teori berdasarkan trend alvin toffler anggap saja ini Anton Theory/DH Nugrahanto theory. “Pasar Keuangan akan terbentuk oleh siklus-siklus aliran dana yang semakin kecil, semakin neighborhood dan relasi yang terbentuk antara surplus dana dengan defisit dana adalah kemampuan melihat usaha itu dengan lebih dekat (bahkan mungkin mengenal sang pemilik) tapi diimbangi dengan tingkat spekulasi tinggi” keadaan ini memiliki key success-nya pada ada tidaknya penyelenggara OTC yang memiliki tanggung jawab profesi yang besar. Tentunya diimbangi dengan regulasi-regulasi yang ketat dan kepatuhan terhadap etika bisnis.

Jika itu terjadi nantinya di tiap mall, di tiap pasar induk, pasar-pasar pedesaan dan di tiap lingkungan pusat-pusat usaha akan berkembang OTC-OTC dengan regulasi-nya sendiri yang akan digunakan oleh pelaku-pelaku pasar di sektor riil (yang membuka usaha di lingkungan tersebut) untuk mencari dana dan direspon oleh peminat-peminatnya yang senang melakukan investasi dalam sektor saham jika ini terjadi maka shehuizhuyi shicang jingji (ekonomi pasar sosialis) benar-benar terjadi seraya kita sambil ucapkan “selamat tinggal Keynes, selamat tinggal third way, dan menjauhlah Friedman” Apakah ini terjadi? Waktu yang akan menjawabnya.

ANTON

No comments: