Wednesday, 21 November 2007

Kontraproduktif Dunia Pendidikan Kita

Kontra-produktif Dunia Pendidikan
Oleh Anton

Pendidikan bagaimanapun merupakan motor paling kuat untuk membentuk peradaban manusia. Pendidikan merupakan proses mencerahkan pikiran dan melatih cara-cara berpikir lewat metode yang sudah disepakati dalam dunia ilmiah.Pada hakikatnya pendidikan bukan membentuk orang terampil, tetapi lebih kepada membentuk orang yang mampu berpikir secara sistematis, bermoral benar dan tahu mana yang baik dan bukan dalam kehidupannya, idealisasi dunia pendidikan adalah menciptakan manusia baru yang dapat memecahkan segala bentuk permasalahan yang dihadapinya dengan kekuatan berpikir, berkata dan bertindak.

Namun ketika dunia pendidikan dimasukkan ke dalam industri, kemudian dilibatkannya modal, kekuasaan dan kepentingan subjektif, maka dunia pendidikan serta merta menjadi sekedar alat kepentingan jaman belaka.

Ambil contoh, ketika dunia pendidikan modern masuk ke Indonesia lewat gerakan politik Etis Tahun. 1900, pada awalnya dunia pendidikan hanya di jadikan mesin penghasil manusia-manusia yang dapat digunakan untuk keperluan kegiatan perekonomian Hindia-Belanda seperti : Perkebunan, Manufaktur, Transportasi, Jasa Keuangan, dll. Namun ketika mesin penghasil itu sudah memproduksi manusia-manusia yang bersentuhan dengan alam pikiran modern, maka lahirlah sebuah kelas baru, kelas Priyayi terdidik, disini dunia pendidikan bersentuhan dengan problematika kelas yang di dalam masyarakat. Bangsawan-bangsawan lama yang tidak terdidik namun memiliki prestise karena tanah dan kehormatan disaingi oleh dokter-dokter muda, pengacara-pengacara ataupun tammatan sekolah Praja yang berasal dari golongan bangsawan kelas lebih rendah, persaingan tersebut melahirkan sebuah identitas baru bagi gelar-gelar di dunia pendidikan, disinilah dunia pendidikan berubah menjadi sebuah sistem feodal, gelar pendidikan yang tadinya sebagai penanda kemampuan seseorang dalam sebuah keahlian ber-transformasi menjadi semacam gelar kebangsawanan.

Dunia Pendidikan juga kerap dijauhkan pada problematika yang ada di alam nyata, murid-murid lebih dikenalkan pada penghapalan teoritis, bukan diajarkan bagaimana cara mempraktekkan pemecahan suatu problem, saya pernah melihat seorang siswa SD membawa tas yang sangat berat karena berisi buku-buku yang amat banyak, (bagi saya hanya pantas di bawa mahasiswa tingkat akhir), disinilah dua kesalahan terbentuk, murid-murid di jauhkan dari realita dan bertemu pada kepentingan industri buku dimana murid hanya dijadikan objek konsumen yang tidak memiliki daya tawar menawar, karena buku sudah diwajibkan oleh pihak sekolah. Penekanan pada proses menghapal ketimbang melatih berpikir juga membentuk murid-murid lebih pada kesenangannya bersikap dogmatis ketimbang kritis, manusia yang terbiasa menghapal adalah manusia mekanis dan itu sesungguhnya menjauhkan manusia pada proses eksistensialisnya, dimana proses penemuan eksistensi lebih mudah pada proses kegelisahan intelektual ketimbang kebekuan intelektual.

Dunia Pendidikan juga kerap di jadikan alat politik bagi sebuah kepentingan rezim, kita ingat bagaimana dulu ketika Orde Baru sedang kuat-kuatnya, proses ideologisasi tidak tanggung-tanggung, sejak kelas tiga SD sampai mahasiswa semester pertama dan kedua diajari pendidikan Pancasila, (dulu PMP) dan jika sudah di perguruan tinggi mata kuliah Pancasila, dan setiap memasuki jenjang pendidikan ada sebuah matrikulasi bernama Penataran P4, bayangkan berarti secara normal manusia Indonesia selama 9 tahun di suruh belajar sebuah pemikiran filsafat tentang Pancasila, namun sama sekali tidak ada hasilnya kecuali hapalan sila pancasila dan paling banter pembukaan UUD 1945, berapa banyak waktu di buang percuma untuk proses pemahaman yang sia-sia.

Kemunafikan dan ketidaktahuan masyarakat yang diakibatkan proses pembusukan sosial juga membuat dunia pendidikan tidak bersentuhan dengan proses pencerahan yang dapat membuat murid-muridnya menemukan talenta sesungguhnya, Kita lihat berapa juta anak Indonesia gugur cita-citanya akibat timbulnya steorotype-steorotype atau cap bagi kepintaran seseorang, kepintaran hanya milik orang yang pandai : matematika, fisika, kimia.. Kelas-kelas sosial (A3/IPS) adalah berisi orang-orang buangan yang tidak mampu menempati kelas-kelas A1 atau A2(Pengetahuan alam), anak-anak yang berbakat musik, kesenian, olahraga, budaya dianggap sebelah mata oleh masyarakat, masyarakat menilai keberhasilan adalah milik : dokter, insinyur, bahkan doktorandus mendapat tempat lemah dalam gradasi akademik, karena dianggap sarjana dengan pelajaran mudah. Orde Baru yang sangat takut terhadap bentuk-bentuk nalar kritis telah menemukan tempat sosial yang paling tepat, bagi Orde Baru, orang-orang yang berbakat di bidang pengetahuan alam jarang terjun ke dunia politik, maka direkayasalah sistem pendidikan yang seolah-olah menempatkan gelar-gelar insinyur, dokter ataupun sarjana alam lainnya seakan-akan lebih tinggi ketimbang orang-orang sosial apalagi orang-orang kesenian. Dengan alasan penyingkiran orang-orang sosial akan mempermudah penyingkiran manusia-manusia kritis di awal pembentukannya, akibat dari sistem ini seakan-akan ada diskriminasi grade pendidikan berdasarkan disiplin keilmuannya,di jaman saya orang-orang lulusan SMA A1 dan A2/Biologi dan Fisika berhak mendapatkan formulir ke semua jenis fakultas, karena dianggap bisa melakukan semuanya termasuk pelajaran-pelajaran sosial, sedangkan lulusan SMA A3 dan A4 (Sosial dan Budaya) dianggap sebagai murid setengah bodah karena hanya boleh masuk ke bidang-bidang sosial, bahkan AKABRI jurusan Angkatan Darat (favorit jurusan di Akademi Militer) hanya memperbolehkan lulusan A1 dan A2. Nah diskriminasi ini malah melemparkan opini ke masyarakat bahwa jurusan-jurusan alam jauh lebih pintar ketimbang jurusan-jurusan sosial, dan ini sungguh menyesatkan karena setiap disiplin keilmuan mempunyai tingkat kesulitannya tersendiri, dan ketika orang belum masuk kedalam kualifikasi keahlian (SMP dan SMA) dan baru mempelajari pemahaman dasar, maka ia berhak memilih bdiang apapun yang diminatinya, Orde Baru berhasil menempatkan steorotype seperti ini bahkan menyentuh pada masalah-masalah budaya masyarakat, bagaimana seorang bergelar insinyur atau dokter lebih dihargai calon mertua ketimbang seorang lulusan ekonomi apalagi hanya seorang seniman pemula.

Pendidikan juga di degradasikan hanya untuk memperoleh gelar dan bukan sebuah bentuk latihan pembelajaran terus menerus. Sikap ini merupakan warisan buruk yang ada sejak jaman kolonial namun tetap melekat di masyarakat, maraknya ijasah-ijasah palsu, kebanggaan kosong manusia-manusia bergelar sarjana sampai berderat tiga koma dibelakang namanya, dan sikap budaya dinamika kelas masyarakat yang masih menganggap dunia pendidikan sebagai salah satu lisensi untuk loncat ke kelas yang lebih tinggi. Lihatlah bagaimana parlemen tidak memperbolehkan seseorang yang tidak tamat SD untuk ikut berkiprah ke dalam parlemen, kepemimpinan politik harus memiliki gelar kesarjanaan, dan segala bentuk diskriminasi lainnya. Kalau pensyaratan gelar untuk masuk kedalam dunia industri yang memerlukan keahlian gelar tersebut bisa dimaklumi, seperti profesi akuntansi, tentunya akan lebih cenderung menggunakan orang bertitel sarjana akuntansi, ataupun profesi dokter tentunya akan dibutuhkan orang-orang berpendidikan kedokteran, namun dunia politik adalah dunia sosial, dimana dinamika yang ada tidaklah memerlukan disiplin keilmuan tertentu, seorang lulusan SD tatkala ia terbentuk oleh kemampuan alam dan kecerdasannya bisa saja menduduki jabatan politik, apakah Georgde Washington,Agus Salim, Lenin, Stalin apalagi Suharto adalah orang-orang berpendidikan tinggi secara akademis?,Diskriminasi ini sangat busuk, karena telah menyalahkan ketimpangan sosial dan kekayaan menjadi alat tawar menawar yang utama, pendidikan di indonesia adalah fase yang melibatkan modal kekayaan, jutaan anak berhenti sekolah karena tiadanya biaya, apakah anak yang berhenti sekolah ini kecerdasannya kurang dari anak yang lulusan UI atau ITB, kesempatanlah yang membuat mereka dianggap bodoh.Kesombongan inteletualitas dengan gelar-gelar tentunya memancing sekelompok orang yang berpikiran ingin seperti mereka membuat ijasah palsu, karena dianggap itu bagian dari prestise dan modal awal mengeruk keuntungan secara ekonomis.

Bagaimanapun yang terjadi saat ini dunia pendidikan Indonesia telah mengalami kegagalan, pendidikan lebih dilihat sebagai sebuah proses industrialisasi, birokratisasi, pelestarian feodalisme dengan gelar-gelar dan justru membentuk kelas yang dijauhkan dari alam realitas masyarakat. Pendidikan di jadikan alat arogansi untuk memperjelas perbedaan kelas antara kaum terdidik dan kaum tidak terdidik, bukan sebagai alat mencerahkan, pendidikan juag dibahasakan sebagai alat berkuasa bukan alat menjelaskan bagaimana berkuasa yang benar. Tapi kini hukum alam dan hukum besi ekonomi sudah mulai memperlihatkan kebenaran objektifnya, jutaan sarjana menjadi penganggur, gelar-gelar yang dulu dianggap bernilai hanya menjadi sampah bernilai ratusan ribu(sesuai gaji yang diterimanya per bulan), berapa banyak sarjana yang bekerja bukan di bidang keahliannya, ratusan ribu orang-orang yang mengaku terdidik berbondong-bondong melamar pekerjaan ke instansi pemerintah dengan konsekuensi bergaji rendah dan syukur-syukur bisa kaya dengan jalan korupsi, marka up anggaran dan menjadi preman birokrasi.

Kita dididik untuk menjadi orang bayaran, menjadi klerk lebih mulia ketimbang menjadi seorang enterpreneur, menjadi pengusaha.. kita ditipu oleh kekuasaan untuk bangga menjadi orang gajian ketimbang orang yang menciptakan kesempatan ekonomi, gelar-gelar digunakan untuk kesombongan kosong dan menghinakan kelompok yang tersingkirkan ketimbang dijadikan jenis penanda kemampuan ilmiah.berapa juta mahasiswa salah jurusan dan di gugurkan kemampuannya hanya karena dianggap kemampuannya memalukan orang tua, yang lebih bangga punya anak dokter, pegawai bank atau insinyur ketimbang musikus, ataupun pelukis.(maka berterima kasihlah pada dunia entertainmen yang membuktikan bahwa orang yang berbakat seni dan diterima masyarakat lebih makmur hidupnya ketimbang seorang doktoral (s3) yang tidak pernah menulis satu bukupun!!)

Dan ingatlah kata Schumpeter, ahli ekonom dari Austria “bila suatu negara tidak memberikan kesempatan bagi enterpreneur dan bagi pencipta-pencipta inovasi ekonomi yang mampu menumbuhkan pertumbuhan ekonomi, maka perekonomian negara akan mendekati krisis”
Disinilah negara yang memiliki keunikan-keunikannya, Suatu negara yang mampu melahirkan jutaan sarjana tetapi tidak mampu melahirkan hanya ratusan inovasi saja tiap tahunnya, disinilah bangsa yang menelurkan jutaan sarjana tetapi dunia buku tidak mengalami perkembangan dalam sekian dekade, disinilah masyarakat yang lebih melihat gelar ketimbang daya kritis dan penalaran dan disinilah korupsi lebih dihargai ketimbang keringat enterpreneur dan ironisnya setelah 9 tahun melalui pendidikan moral..............sungguh aneh.

ANTON

1 comment:

Anonymous said...

tulisan L'etase moi salah tuh. harusnya L'etat c'est moi