Tuesday, 27 November 2007

Pendidikan Yang Terkapitalisasi

Pendidikan Yang Terkapitalisasi
(Sebuah Jawaban Untuk Bung Kadarma)

Oleh : Anton

Pertanyaan Bung Kadarma

Untuk mas ANTON (anton_djakarta) , bisa tolong jabarkan maksud anda menyebut struktur program doktor di Indonesia sebagai Kapitalisasi Pendidikan?


Jawaban saya ini bukan merupakan pembelaan terhadap sikap anti institusional pendidikan. Tetapi merupakan sebuah teropong mikroskopis sosial terhadap gejala yang terjadi di masyarakat dan sumber sebab kegagapan masyarakat kita memaknai intelektualitas. Tapi sebelumnya saya menganjurkan untuk tetap mengejar pendidikan, mengejar kecerdasan yang bermakna, dengan atau tanpa gelar.

Mengapa pendidikan di Indonesia bisa terkapital?

Salah satu misi penting proyek pembentukan Indonesia adalah ‘Mencerdaskan bangsa’ karena dalam pencerdasan bangsa merupakan bagian pokok untuk menciptakan manusia yang merdeka, manusia yang tidak terasing oleh dirinya, lingkungan dan hasil produksinya juga manusia yang memiliki kesadaran penuh untuk mengembangkan kepribadian dengan mencerahkan nalar. Itu misi ideal dari pendidikan di Indonesia, tapi kenapa kemudian mesin pendidikan kita seakan menjadi tidak bermakna ‘pencerdasan’ tapi ‘pengkapitalan’?

Kesadaran manusia ditentukan oleh masyarakat. Masyarakatlah yang menciptakan kesadaran-kesadaran individu, lalu bagaimana masyarakat Indonesia memaknai pendidikan yang institusional?. Dalam masyarakat kita kecerdasan otodidak sedikit mendapat tempat dalam struktur masyarakat mereka lebih menghargai gelar walaupun tidak memiliki makna kesejatian intelektual, institusional yang kemudian memproduksi gelar adalah alat untuk mencapai mobilitas sosial dalam masyarakat kita. Dengan kata lain gelar dalam dunia pendidikan adalah bentuk titel identifikasi individu yang menjadi bagian dari kelasnya di masyarakat. Titel identifikasi inilah yang kemudian menjadi surplus dalam relasi-relasi sosial masyarakat lalu dimanfaatkan dengan baik oleh para agen-agen kapital.

Sejarah pendidikan kita adalah juga sejarah pencangkokan kapitalisme di Indonesia. Setelah usainya masa Culturstelsel (1830-1870) dimana kebijakan Van Den Bosch ini membawa pagebluk bagi orang-orang pribumi dan mengantarkan kemakmuran negeri Belanda menjadi bangsa utama di Eropa Barat maka mulailah masa kesadaran hati nurani bangsa Belanda dimana kemudian tumbuh kelompok liberal yang dimotori kaum borjuis berpandangan maju ke depan dan tahu perkembangan-perkembangan kapital tahap lanjut. Kaum Liberal ini juga yang kemudian menghancurkan sendi-sendi dasar imperialisme feodal dimana mereka menuntut tidak adanya campur tangan pemerintah dalam kegiatan perekonomian di Hindia Belanda ini juga merupakan lonceng kematian bagi politik Merkantilisme dan Proteksionisme. Tahun 1848 Revolusi buruh membakar Eropa dan membuka kesadaran lebih baru lagi tentang peradaban manusia. Revolusi itu juga merupakan bibit bagi perkembangan Sosialisme yang terpengaruh pikiran Marxisme. Bangkitnya politisi-politisi Sosialisme di parlemen Belanda menimbulkan arus kuat politik baru yang menghendaki lebih dihargainya kaum pribumi sebagai manusia. Bahkan lebih jauh lagi kaum Sosialis Belanda mengobarkan jargon ‘Hindia Belanda untuk orang Pribumi’. Tekanan kuat kaum Sosialis inilah yang kemudian memunculkan ketokohan C.Th. Van Deventer yang sering menuliskan artikel-artikelnya di majalah Socialistische Gids dan De Nieuwe Tijd. Dalam tulisan-tulisan ini kemudian mempengaruhi kebijakan pemerintahan Hindia Belanda untuk melakukan politik balas budi atau Ethis kepada kaum pribumi, dan salah satunya adalah ‘mencerdaskan’ kaum pribumi.

Setelah disetujuinya program-program politik ethis kemudian berdirilah sekolah-sekolah Belanda yang mengajarkan peradaban barat termasuk keunggulan ilmu pengetahuan dan cara berpikir orang barat kepada kaum pribumi. Pendidikan inilah yang kemudian menjadi benih unggul tumbuhnya generasi baru yang memiliki kesadaran kemerdekaan politik. Namun disamping akibat positifnya program-program pendidikan barat ini juga memunculkan masalah serius di dalam masyarakat. Program pendidikan di Hindia Belanda menghasilkan pribumi-pribumi pintar tapi susunan masyarakat kolonialis belum siap menerima kelas baru itu. Kaum terdidik pribumi yang tidak berminat menjadi ‘Freeman’ dan menjalankan aktivitas politik liar memiliki satu cita-cita yaitu menjadi pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini bisa terjadi karena kolonialisme Hindia Belanda merupakan Beambtestaat (negara pegawai-kelak sistem ini diadopsi Orde Baru) disinilah kepintaran kaum terdidik menjadi mentah di dalam tata masyarakat kolonialisme karena terbentur masalah rasial, dimana orang Belanda totok yang bodoh bisa menjadi atasan bagi kaum pribumi yang pintar. Hal ini yang kemudian menimbulkan rasa frustrasi kaum pribumi terdidik dan malah menjadi dinamit bagi sistem kolonial.

Belanda juga mensyaratkan jenjang pendidikan institusional yang ketat sebagai alat untuk menyaring pegawai-pegawai kelas atas, syarat mendapat gelar dari institusional pendidikan ini kemudian pelan-pelan menggeser kekuasaan kelompok-kelompok bangsawan tradisional. Kaum terdidik yang juga sebagian besar merupakan kelompok bangsawan rendahan menjadi terangkat kelasnya untuk bersaing dengan kelas bangsawan tinggi dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda dan senjata persaingan itu adalah gelar-gelar pendidikan. Lambat laun masyarakat feodal runtuh digantikan masyarakat kapitalis namun gema gelar pendidikan sebagai bagian dari identitas kelas malah semakin kuat dan menggantikan gelar kebangsawanan. Di titik inilah kemudian ‘pendidikan tidak diperlakukan sebagai pendidikan’ tetapi sebagai bagian diluar makna pendidikan dimana gelar pendidikan menjadi sangat penting bahkan jauh lebih penting dari proses pendidikan itu sendiri.

Dalam masyarakat yang berkarakter feodal seperti Indonesia, gelar-gelar keturunan tidak lagi berbunyi apalagi setelah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 dimana salah satu gerakan penting revolusi itu menghantam feodalisme dengan keras (Revolusi sosial di Sumatera Timur dan Anti Swapraja di Solo) sehingga menjungkir balikkan nilai-nilai dalam masyarakat, gelar tradisional mengalami eliminasi makna namun karakter feodal masyarakat tidak berubah maka dicari gelar baru bernuansa feodal yang bisa memenuhi kepuasan masyarakat akan karakter feodal ini maka lahirlah dua kelompok baru yang mengidentifikasikan sebagai kelas terhormat, kelompok militer dan kelompok terdidik. Kelompok yang paling diuntungkan dalam penjungkirbalikkan kelas adalah kelompok elite militer baru (bentukan Jepang) dan kelompok terdidik bergelar pendidikan. Dari dua kelompok inilah menjadi mesin pemerintahan terpenting dalam menjalankan rezim Orde Baru yang tumbuh setelah menghancurkan sel-sel gerakan rakyat kelas bawah yang diwakili oleh PKI dan Kekuatan Nasionalis Pro Sukarno. Bangunan masyarakat Orde Baru digiring menjadi bangunan yang mendukung kuat kelas elite.

Orde Baru adalah rezim dengan dua wajah yang saling bertolak belakang, wajah anti intelektual yang menafikan rasional dan menghidupkan mitos-mitos kekuasaan dan wajah yang mendewakan pendidikan sebagai sarana untuk menyaring manusia-manusia loyal terhadap kekuasaan.

Institusi pendidikan dibawah Orde Baru bukan lagi sesuatu yang otonom tapi merupakan bagian dari wilayah yang takluk pada kekuasaan. Dibawah Orde Baru kekuasaan tidak berhenti di depan pintu kampus, tapi malah masuk dan merasuk ke dalam kampus menjadi nyawa kampus itu sendiri dan menghembuskan kematian keberanian intelektual dan kemampuan berorganisasi para mahasiswa. Salah satu petunjuknya gagapnya generasi muda dalam melakukan keberanian berorganisasi adalah gagalnya mereka mengambil peran sejarahnya yang sesungguhnya sudah ditakdirkan pada pergolakan 1997-1998. Penghilangan makna otonom intelektualitas digantikan oleh nafsu narsisme terhadap gelar-gelar pendidikan. Ketidakpuasan intelektual digantikan oleh kepuasan-kepuasan subjektif dalam bentuk simbol-simbol yang diterima kehadirannya oleh masyarakat.

NKK/BKK 1978 adalah tonggak penting bagaimana pendidikan bukan lagi menjadi wilayah otonom tapi menjadi tangan kekuasaan. Tapi kekalahan institusi pendidikan bukanlah satu-satunya kekalahan, karena Kapitalisme juga merampok habis-habisan otonomi pendidikan dengan jalan memanfaatkan mitos gelar pendidikan di masyarakat dan kebutuhan gelar pendidikan bagi kekuasaan.

Orde Baru yang mengadopsi total sistem Beambtestaat (Negara-Pegawai) kolonial Hindia Belanda menjadikan Universitas-Universitas sebagai mesin penyaring loyalitas tingkat pertama pegawai negeri. Periode 1970-1990 menjadi pegawai negeri adalah prestasi tertinggi individu di dalam masyarakat dan merupakan idaman para calon mertua. Dan untuk menjadi pegawai negeri yang memiliki masa depan sebagai pegawai tinggi negara memerlukan gelar pendidikan untuk membedakan pegawai negeri kelas teri. Disinilah kemudian orang yang tidak memiliki gelar pendidikan berada di luar sistem. Gelar pendidikan bertransformasi sebagai kunci untuk masuk ke dalam sistem negara Orde Baru. (-uniknya Soeharto biangnya Orde Baru bukan seorang sarjana, inilah ironi salah satu Orde Baru diantara jutaan ironi lainnya-). Gelar pendidikan juga merupakan status simbolik yang membedakan pemegang gelar dengan rakyat. Yang membedakan pemegang gelar dengan alam profan masyarakat. Karena terpisah dari rakyat, maka pemegang gelar pendidikan menjadi terasing dengan masyarakat dan merasa lebih memiliki pengetahuan yang lebih luas ketimbang rakyat kebanyakan lalu menciptakan kelas yang terpisah dengan masyarakat. Tidak ada yang lebih baik untuk menjelaskan ini dari sebuah cerita berikut :

“Seorang Insinyur pertanian dari Jepang akan meninjau sistem persawahan di Indonesia, ketika waktu yang ditentukan untuk melihat sawah di Indonesia ia terkesiap melihat counterpart-nya Insinyur pertanian dari Indonesia yang memakai safari lengkap yang disetrika rapi, bersepatu kulit dengan semir hitam licin juga dengan jam tangan yang mewah. Sementara Insinyur Jepang itu mengenakan pakaian kerja berikut sepatu boot yang biasa ia kenakan bila meninjau persawahan. Ketika bersalaman ia semakin kaget karena telapak tangan Insinyur pertanian itu begitu halus, ini beda dengan telapak-telapak tangan Insinyur pertanian Jepang yang ia kenal karena telapaknya kasar sebab sering macul atau memegang alat-alat pertanian. Barulah kemudian Insinyur Jepang itu tahu bahwa Insinyur pertanian di Indonesia memang bermental priyayi dan tidak mau turun ke sawah langsung”

Cerita ini menunjukkan bagaimana sarjana-sarjana Indonesia terasing bukan saja dari masyarakatnya tapi juga dari intelektualnya. Mereka lebih memperhatikan bagaimana memasuki kelas masyarakat ketimbang memilih ‘jalan keras’ Intelektual.

Mitos gelar pendidikan sebagai alat kendaraan untuk mobilitas sosial dan kepentingan-kepentingan kekuasaan menjadi bagian penting dari proses kapitalisasi di bidang pendidikan. Terkapitalisasinya pendidikan juga merupakan penyusunan tembok kelas di masyarakat. Sehingga rasanya mustahil bagi anak seorang tukang becak menjadi seorang dokter dari Universitas ternama karena tiadanya biaya pendidikan, disinilah kemudian gelar menjadi anjing penjaga kelas-kelas di dalam masyarakat. Di samping itu gelar pendidikan kemudian menjadi alat politik dengan kata lain senjata untuk mendapatkan kekuasaan. Kasus Sys NS (Sys NS tidak memiliki gelar sarjana) yang gagal menjadi kandidat dalam Partai Demokrat menunjukkan bagaimana gelar pendidikan bertransformasi menjadi senjata politik bagi kelompok tertentu. Kasus Sys NS bukan karena dia bodoh sehingga tidak layak menjadi ketua partai. Sys NS tentunya memiliki pemahaman sosial-kemasyarakatan lebih baik ketimbang ketua umum Partai Demokrat sekarang, setidak-tidaknya Sys NS memiliki track record jelas dalam peranannya di masyarakat terutama kalangan muda (di tahun 80-an Sys NS merupakan ikon kaum muda Indonesia yang mampu berorganisasi) ketimbang Ketua Umum Partai Demokrat sekarang yang lebih memiliki makna reputasi karena hubungan kekerabatannya dengan Presiden SBY ketimbang perannya di masyarakat. Tapi penggagalan Sys NS dalam bursa kandidat Partai Demokrat dengan senjata gelar. Ini artinya gelar bukan lagi diartikan sebagai ‘kamu mampu karena itu kamu bergelar’ tapi lebih hanya alat politik untuk menjatuhkan lawan politik, hal yang kemudian dicoba lagi oleh kelompok tertentu dengan mensyaratkan Strata-1 bagi Presiden RI untuk menjatuhkan Megawati namun usul ini menjadi bahan tertawaan lapisan intelektual masyarakat.

Kebutuhan masyarakat terhadap gelar-gelar inilah yang kemudian memancing tumbuhnya kapitalisme pendidikan yang bukan hanya membangun sekolah-sekolah sebagai produsen gelar tapi juga semata-mata hanya jualan gelar bukan mementingkan proses penumbuhan intelektual. Adagium ‘segala yang populer akan mendegradasikan kualitas’ mendapatkan momentumnya pada proses industrialisasi massal gelar. Tak terkecuali pendidikan tingkat doktoral.

Untuk mendapatkan gelar Doktor di Indonesia (-harus diakui di Universitas-Universitas unggulan mencapai gelar Doktor memiliki kualifikasinya sendiri-) asal masuk kelas saja bisa dapat gelar. Bahkan ada yang menjual gelar doktoralnya tanpa melalui proses pendidikan jadi asal beri saja kalau ada uang dan langsung wisuda di Hotel-Hotel mewah, hal memalukan ini pernah menimpa Rhoma Irama dan Anwar Fuadi yang secara tidak sadar dimanfaatkan sekelompok kapitalis memberikan gelar Doktoral kepada orang-orang dengan menjual nama orang-orang terkenal. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju, doktoral adalah gelar yang diberikan kepada orang yang memang mendedikasikan dirinya untuk pendidikan akademis dan menghasilkan produk-produk ilmiah lewat riset yang panjang. Jarang sekali orang-orang yang hidup dalam lapangan praktis mencapai pendidikan sampai tingkat doktoral. Ini disebabkan dalam struktur masyarakat negara maju, terdapat pemisahan yang jelas antara praktisi dan akademisi. Kehormatan dan penghargaan masyarakat didapatkan oleh mereka berdasarkan prestasinya. Namun di Indonesia belum lengkap rasanya seorang praktisi yang katakanlah sukses bila tidak mencantumkan gelar doktoral walaupun proses pendidikannya dibilang singkat dan meragukan yang penting adalah dengan menjadi doktoral mereka merasa menjadi bagian dari orang-orang pintar. Di negara-negara maju yang memahami karakter masyarakat kita juga menangkap kelemahan mental psikologis orang Indonesia terhadap gelar, lalu mereka juga membangun kampus-kampus ‘pinggir jalan’ yang gunanya bukan sebagai alat pencerdasan tapi alat produksi gelar. Gelar pendidikan dari luar negeri dianggap lebih bergengsi daripada produk gelar dalam negeri.

Permasalahan terjadi ketika dunia semakin rasional, Orde Baru yang hancur karena kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri layu pada sistem kapitalis yang diciptakannya. Kapitalisme menghendaki profesionalitas dan kemampuan individu yang tinggi mereka masa bodoh dengan gelar yang berjibun. Bagi kaum kapitalis kemampuan nomor satu bukan gelar tapi ketrampilan yang menguntungkan pihak kapital. Di sinilah kemudian terjadi ledakan pengangguran kaum bergelar pendidikan. Banyaknya sarjana nganggur salah satunya adalah motivasi pendidikan itu dianggap selesai tatkala gelar ditangan, bukan pembentukan kualitas pribadi yang siap dengan tantangan kehidupan. Institusi pendidikan Indonesia kebanyakan masih bermental ‘produksilah gelar sebanyak mungkin’ bukan ‘cetaklah manusia intelektual sebanyak mungkin’. Ketika dihadapkan pada realitas kapital tahap lanjut kaum bergelar yang masih bernuansa feodal tergagap-gagap. Namun mentalitas pemujaan gelar masih berlebihan bagi mereka yang memang sudah memiliki kapital. Gelar digunakan untuk tujuan lain. SBY sendiri memanfaatkan keuntungan politik bagi dirinya lewat rasa kagum masyarakat dengan gelar pendidikan saat dia secara komikal memamerkan bahwa ia menggondol gelar Doktoral yang temponya pas saat dia terpilih menjadi kandidat Presiden RI. Dengan ini SBY berpesan ‘saya bergelar doktoral maka saya lebih baik dari Megawati yang bukan sarjana itu’ dan karakter masyarakat yang patriakhal melihat pemimpinnya begitu tingkat bawah juga begitu, para calon Bupati, Walikota, Gubernur belum afdol rasanya bila menderetkan gelar-gelar pendidikan tanpa masyarakat tahu apa mereka telah melakukan riset apa belum. Apa mereka telah buat buku apa belum, dan tidak tahu keahlian mereka apa. Disinilah kemudian para kapital yang main di industri pendidikan merekayasa penipuan-penipuan kapitalnya dengan memanfaatkan celah bisnis yang ada.

Dalam masyarakat kapital tahap akut, pendangkalan makna menjadi ciri utama. Semua hal harus merupakan bagian dari tampilan-tampilan yang membentuk imaji tanpa harus memiliki kedalaman makna, karena waktu yang cepat untuk berlomba secara efisien memproduksi sesuatu maka manusia-manusia yang hidup di alam kapital ini tidak punya waktu berpikir dalam-dalam. Dan gelar pendidikan adalah bagian dari ‘budaya tontonan’ atau budaya tampilan. Ingin menjadi pintar pakailah gelar. Dan gelar dimanfaatkan oleh kapitalis untuk menangguk untung.

Perkakas bermanfaat bagi kerja manusia sejauh ia menjadi perkakas, pendidikan bermanfaat secara intelektual sejauh ia bertindak sebagai pendidikan bukan hal lain diluar itu.

ANTON

1 comment:

Unknown said...

Bang anton,tulisannya mantap benerrrrr..... bagus buat referensi memperbaiki arti hidupku di dunia kampuss!!ma kasih bang....