Wednesday, 21 November 2007

Siapakah Pahlawan?

Siapakah Pahlawan?

Oleh Anton

Dimanakan Pahlawan Indonesia, apa ada pada sorot mata DN Aidit atau senyum manis Suharto? Apa berada pada getar kelembutan RA Kartini atau ketegaran Sudjinah tokoh Gerwani? Dimanakah Pahlawan, apa berada di taman makam Pahlawan? Seperti kuburan Haji Taher yang terima komisi milyaran dollar dari hasil tender Pertamina atau di penolakan dikuburkannya Jenderal Dharsono di taman Makam Pahlawan? Dimanakah kau Pahlawan? Apa ada pada darah anak muda yang mati pada pertempuran yang tidak dimengerti seperti cerita Nugroho Notosusanto pada novel ‘Hujan Kepagian’ atau pada darah segar anak-anak Pemuda Rakyat yang tak tahu kenapa ia harus mati digebuki?

Siapakah Pahlawan? Sultan Begagar Syah Alam atau Imam Bonjol? Diponegoro atau Danurejo? Kepahlawanan adalah tindakan dan tindakan adalah sejarah. Masalahnya sejarah adalah persoalan menang atau kalah.

Di satu siang yang panas beberapa pemuda di penghujung tahun 1945. Sebuah insiden menewaskan Mallaby. Apakah ini mainan Nefis –intelijen NICA Belanda- atau tangan pemuda pejuang Indonesia yang gatal tangannya menembak mati Jenderal Inggris yang sedang berusaha mendekati hati rakyat, pelaku penembakan sampai saat ini sangat gelap, segelap siapa yang mengerek bendera merah putih di Hotel Yamato, Surabaya. Yang jelas Inggris pemenang Perang Dunia Kedua yang mengalahkan puluhan jenderal NAZI di lebih dari lima front teater perang Eropa sebelah Barat terhina dengan sekumpulan pemuda kampung yang lagak lagunya seperti fasis Jepang yang ketinggalan jaman dimana pemimpinnya merupakan sekumpulan anak muda nekat yang dinilainya tak tahu apa-apa tentang dunia. Tapi jaman telah bergerak dan Nasionalisme sedang menjadi bintang sejarah. Bahkan bintang yang paling terang. Beberapa serdadu Gurkha menaruh senjata mereka tidak mau bertempur dengan saudara-saudaranya yang masih percaya pada cerita Ramayana dan Mahabharata. Bahkan semangat marah anak-anak Surabaya mengingatkannya pada perang bangsa India melawan Inggris di abad 19. Kemarahan pemuda Surabaya yang memang dikenal berdarah panas tidak bisa dibendung lagi setelah beberapa pasukan Inggris menembak mati pejuang di beberapa sudut kota karena tidak pemuda tersebut tidak menuruti jam malam. Bung Karno bahkan diminta oleh petinggi militer Inggris untuk meredam kemarahan arek-arek Surabaya. Bung Karno berpidato di Lapangan Tambaksari menyuruh agar pemuda menahan diri. Namun setelah pidatonya selesai Bung Karno membisiki Bung Tomo jago orator Surabaya untuk terus berjuang “Jangan mundur” kata Bung Karno pelan. Setelah itu Bung Karno pulang ke istananya di Yogyakarta dan pertempuran besar meletus. Sekitar 4.000 pemuda mati serta Inggris mundur tidak mau terlibat pada pertempuran yang tidak memiliki arti penting bagi negerinya. Inggris tidak mau dilibatkan dalam proyek terselubung NICA yang dikreasikan oleh Van Mook dan berkali-kali Kolonel Van Der Post (Perwira Intelijen Inggris yang berasal dari Afrika Selatan) mengirim catatan-catatan rahasia kepada Lord Louis Mountbatten untuk tidak ikut campur pada perang di Indonesia. Dan sejarah membuktikan Inggris tidak meneruskan pertempurannya sementara beberapa perwira NICA kecewa Inggris menarik pasukannya karena pertempuran Surabaya bisa jadi merupakan perang pemanasan sebelum perang sesungguhnya. Militer Kerajaan Belanda sedang merekrut ratusan ribu pemuda warga negara Belanda menjadi serdadu militer untuk bertempur di Hindia Belanda, bertempur melawan anak turun jongos dan bedinde kakek nenek mereka. Namun apa dinyana anak Jongos sudah berubah mentalnya menjadi pemenang. Bukan si pengidap Minderwaardiheids complex lagi, anak turun jongos sudah menjadi tuan di negerinya. Lalu Bung Tomo berteriak “Allahu Akbar...Allahu Akbar” dengan payung warna belang di belakangnya dan tangan mengepal itulah sejarah 10 November yang kemudian kita kenal sebagai sebuah cerita masa lampau tentang pertempuran brutal di Surabaya tahun 1945. Dan kita menamakannya Hari Pahlawan.

Pahlawan bagi orang Indonesia mungkin hanya mempunyai satu dimensi arti yaitu : “orang yang menang perang” bisakah eks pemuda-pemuda PRRI yang mendukung kesepakatan Sungai Dareh disebut Pahlawan? Atau sekelompok serdadu nekat dibawah pimpinan Raymond ‘De Turk’ Westerling disebut Pahlawan? Kenekatan yang kalah adalah sebuah pengkhianatan. Inilah yang dialami Brigjen Supardjo, Letkol Untung, Mayor (Udara) Sujono atau Sersan Bungkus.

Tapi toh kita tidak akan terus menerus hidup di masa lalu. Karena tempat Indonesia adalah di masa depan. Indonesia adalah ‘pembaratan paling massal di Asia Tenggara’ yang ternyata juga merupakan ‘cerita paling brutal tentang usaha pembaratan ratusan kerajaan di Nusantara’ dimana rangkaian ceritanya kita dapati jutaan orang yang mati akibat konflik kekuasaan.

Dan konflik kekuasaan akan selalu melahirkan cerita akhir dimana pemenang selalu berkisah seperti kalimat terkenal Gepeng pada panggung Srimulat di samping gedung DPR Senayan. Kata-kata yang dituturkan pada penulis-penulis biografi bayaran, yang mungkin menjadi akhir dari cerita kepada anak cucu menjelang tidur : Untung Ada Saya........

Yah, kepahlawanan bukanlah masalah tindakan semata tapi masalah kehadiran dalam ruang kemenangan pada ujung cerita.

ANTON

No comments: