Pendakwah dan Pembentukan Harga Pasar
Oleh : ANTON
Saat ini profesi Dakwah menjadi salah satu pilihan menarik untuk digeluti sebagian orang. Dunia dakwah agama khususnya Islam tidak lagi menjadi bagian pinggiran dalam khasanah kehidupan modern dan urban seperti beberapa dekade lalu dimana kaum pendakwah banyak di cap sebagai produk budaya pinggiran, kini profesi dakwah agama telah menemukan tempatnya yang sama tinggi dengan profesi-profesi lainnya bahkan memiliki akumulasi pendapatan bagi pelakunya yang jauh lebih cepat dibandingkan pelaku-pelaku profesi di bidang lain.
Profesi dakwah agama Islam saat ini menurut saya sayangnya banyak menyimpang dari etika dalam beragama (yaitu adanya kepentingan-kepentingan jauh dari nilai ikhlas). Ada dua arah penyimpangan dalam dunia dakwah yang saat ini maju pesat yaitu penyimpangan yang mengarah pada industrialisasi dunia dakwah dengan basis komoditi penjualan ayat-ayat agama dan yang kedua, mengarah pada penyimpangan dunia dakwah ditempatkan sebagai bagian dari arena pergerakan rakyat yang seakan-akan mempertaruhkan agama Islam berhadap-hadapan dengan peradaban dunia di luar Islam. Saya akan menyoroti faktor pertama dalam tulisan ini.
Industrialisasi dan komoditifikasi agama yang digunakan secara sengaja atau tak sengaja sebagai sarana penumbuhan kapital tak lebih sebagai ekses dari begitu kuatnya daya hidup kapitalis yang telah menjadi logika berpikir dan bertindak individu dalam menanggapi objektivitas di luar dirinya. Ukuran-ukuran produktivitas individu dinilai berdasarkan ukuran-ukuran baku yang bentuknya berupa uang. Sementara distribusi sumber daya dalam hal ini uang dalam logika kapitalis tidaklah memiliki saluran-saluran yang merata. Aliran distribusi hanya mengalir deras menuju kepada pemilik kapital. Nah pemilik kapital dalam kerja-kerja dakwah adalah pendakwah. Dan cara kerja dakwah saat ini mengikuti hukum-hukum marketing kapitalis. Dalam marketing kapitalis ada empat unsur yang berpengaruh : Product, Price, Place, Packaging ditambah satu unsur penting yaitu : Entertainment.
Produk dakwah adalah ayat-ayat suci dan hadist Nabi, bisa juga cerita-cerita lucu dan kemampuan berargumentasi, menggiring alam pikiran pendengar menuju alam pikir sang pendakwah lalu menciptakan ruang-ruang kebenarannya tentunya yang sesuai dengan logika kebenaran pendakwah. Pendakwah yang mahir dengan menyitir satu ayat dari kitab suci ia bisa menguraikan tema yang panjang lebar dan menarik bagi pendengarnya dan ini berarti produknya memiliki durasi yang panjang dan pada akhirnya membentuk harga.
Hukum marketing yang kedua adalah Price atau harga, saat ini harus diakui secara jujur. Para pelaku dakwah telah memiliki bandrol harga tersendiri untuk melakukan kegiatan-kegiatan dakwahnya. Ilmu agama ditransformasikan ke dalam instrumen dagangan dan memiliki ukuran berupa harga yang terbentuk sesuai dengan permintaan pasar. Mekanisme pasar bekerja juga dalam membentuk harga sang pendakwah. Pendakwah yang kerap muncul di televisi-televisi, bekas artis atau pelawak, pendakwah yang memiliki kemampuan khusus seperti menciptakan efek haru sehingga pendengarnya dapat menangis tersedu-sedu tentunya memiliki harga lebih tinggi daripada pendakwah yang masuk kampung keluar kampung dan memiliki wawasan terbatas dan kemampuan orasinya pas-pasan. Jangan salah harga dakwah per pentas bisa mencapai jutaan untuk pendakwah kelas wahid. Dan dalam sehari mereka bisa dua atau tiga kali mentas, diundang pejabat-pejabat baik departemen atau pejabat pemerintahan daerah. Bahkan jadwal antrian pentas mereka sangat padat rentang waktunya bisa satu atau dua bulan baru pesanan pentas bisa dipenuhi, bahkan ada pendakwah yang telah punya jadwal satu tahun penuh tanpa jeda.
Coba asumsikan satu kali pentas dua juta rupiah dikali tiga dalam sehari.
Sehari mereka mendapatkan 6 juta dan coba dikalikan dengan jadwal mentas mereka dalam satu tahun terutama pada bulan-bulan ramai seperti Ramadhan. Price, bagi pendakwah juga mengenal pola siklis seperti produk-produk lainnya. Biasanya bulan ramadhan mereka membandrol harga yang jauh lebih tinggi ketimbang harga di bulan-bulan biasa. Ledakan harga bagi produk dakwah mengalami booming pada saat setelah krisis moneter di Indonesia berangsur-angsur pulih, tekanan hidup bagi rakyat yang sedemikian keras telah mendorong banyak kalangan menengok agama dan mencari pegangan hidup pada nilai-nilai agamanya. Dan ini ditangkap oleh pelaku-pelaku dakwah profesional dan kemudian mengemas nilai-nilai agama dalam permainan kata yang menarik, enak didengar, sedap dipandang dan jenaka pula.
Faktor ketiga, adalah Place atau tempat. Kalau dulu sarana dakwah yang memiliki jaringan pendengar luas adalah radio-radio swasta. Kini sarana paling populer bagi pendakwah untuk membangun karirnya adalah televisi-televisi swasta. Stasiun televisi swasta saat ini seakan-akan menjadi fakultas jurusan tabligh yang tangguh untuk menguji pendakwah-pendakwah agama yang dapat menentukan populer atau tidaknya seseorang pendakwah di mata masyarakat. Bahkan kini dunia dakwah semakin terlibat dalam arus besar trend pertelevisian. Ketika ramai-ramainya acara kontes nyanyi bagi para amatir, televisi swasta menyediakan ruang kontes bagi pendakwah, para kontestan berlomba-lomba untuk menjadi terkenal dan tanpa malu-malu meminta dirinya dipilih sebagai pendakwah paling disenangi. Di titik inilah dunia dakwah bertemu dengan selera pasar, perkara memenuhi etika atau tidak itu bisa diperdebatkan.
Faktor yang keempat adalah packaging atau kemasan. Dunia dakwah yang sudah ditransformasi ke dalam dunia industri tentunya memerlukan kemasan yang berbeda, unik dan branded antara pendakwah yang satu dengan pendakwah yang lainnya. Ada pendakwah yang bertipe gemar mengalunkan suara merdunya dalam melafazkan ayat-ayat suci, ada pendakwah bekas preman atau orang yang terjerumus narkoba dan kemudian menjual pengalamannya sebagai bagian dari i’tibar kehidupan manusia, ada pendakwah yang memiliki kesan humble atau rendah hati dan suaranya mampu menyentuh perasaan pendengarnya dan ada juga pendakwah yang intonasinya menggelegar penuh dengan daya retorika tinggi sekelas Bung Karno atau pendakwah yang mampu menggetarkan pendengarnya sampai menangis lewat metode dzikir. Dan ingat semua kemasan itu memiliki harganya.
Keempat faktor marketing tadi bergumul menjadi satu dan terciptalah apa yang disebut entertainment dakwah. Entertainment yang pada awalnya adalah sisi artistik yang harus dimiliki pekerja seni panggung, film dan penyanyi. Kini merambah ke dalam dunia dakwah. Pendakwah yang laris secara komersial diwajibkan memiliki wawasan entertainment yang tinggi dan kepekaan popularitas. Mereka mampu melihat sinyal-sinyal kemana trend selera masyarakat bergerak dan mereka juga harus dapat cepat menangkap peluang popularitas. Dakwah komersial adalah bagian yang tak terpisahkan dalam dunia besar hiburan bernama Entertainment.
Dan entertainment adalah anak kandung dari kapitalis, pada entertainmen akumulasi modal-lah yang menjadi pusat perhatian, bukan amal shalih, keilkhlasan dan istiqamah sang pendakwah yang menambah poin derajat ketenarannya...sekali pendakwah merosot ratingnya maka ia akan tersingkir dari pusaran bisnis ini.
Dulu ada seorang pemimpin Muhammadiyah wajahnya mirip Pak Sudomo mantan Pangkopkamtib Orde Baru itu, gemuk dan lucu. Namanya Pak AR Fakhrudin, sapaan akrabnya Pak AR..nah Pak AR ini biarpun telah mempimpin Muhammadiyah sebuah Ormas Islam terbesar di Indonesia selain NU, tetaplah berkepribadian sederhana, menjalankan kehidupan dengan rendah hati, tidak mementingkan harta. Dan apa bisnis Pak AR di Yogyakarta, Pak AR ngeteng (berjualan kecil-kecilan) bensin botolan!!.....untuk menunjang hidupnya yang sederhana. Pak AR walaupun betapa tingginya kedudukan beliau di mata masyarakat, dia tetaplah seorang yang tidak senang bermewah-mewah, ia sadar konsekuensi hidupnya adalah menjalankan amal Islam dan mencontoh kehidupan Nabi Muhammad SAW yang menolak ketika ditawarkan untuk menjadi kaisar atau raja, menolak untuk bermewah-mewah. Setelah kemenangan Islam di Mekkah Nabi tetap memerah susu kambing dengan tangannya sendiri, menjahit pakaiannya sendiri yang robek, membetulkan sendalnya yang rusak dan hanya makan kurma seperlunya.
Padahal betapa besar dan agung kedudukan beliau. Beliau tetaplah orang yang sederhana, karena kecintaannya bukan pada harta, bukan pada ketenaran tapi pada Allah SWT dan pekerjaannya adalah pembebasan manusia terhadap kebodohan spiritual.
Apakah Ustadz yang kaya raya, memiliki rumah mewah dan bermobil Alphard beramplop puluhan juta bisa menjalankan dan mencontoh kesederhanaan Nabi....ataukah lebih cinta pada rating televisi? Hanya Tuhan Yang Tahu
1 comment:
saudaraku ANTON yg baik,
sebuah kritik atas realita yg ada... semoga bisa didengar oleh para da'i...
namun demikian, menurut saya, bgmn kalau kita introspeksi diri masing2... janganlah kita saling menyalahkan... mari kita saling mengisi & menguatkan...
saudaraku,
sebagai renungan, saya membuat tulisan tentang "Benarkah Kita Hamba Allah?"
silakan berkunjung ke:
http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/09/benarkah-kita-hamba-allah-1-of-2.html
(link di atas adalah tulisan ke-1 dr 2 buah link benarkah kita hamba Allah?)
Apakah Allah juga mengakui bahwa kita adalah hamba-Nya?
semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin...
salam,
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com/
Post a Comment