Tuesday 20 November 2007

Hernando De Soto dan Ruang Sejarah Ekonomi Indonesia

Hernando De Soto dan Ekonomi Kita
(Membedah Konflik-Konflik Kapital di Indonesia)

Oleh : ANTON

Tema besar yang diusung Hernando De Soto –seorang pemikir ekonomi rakyat dari Peru- dalam pemikiran ekonomi-nya adalah “pemberdayaan ekonomi berbasis usaha kecil (kaki lima) dan deregulasi peminjaman kredit yang berpihak pada pengusaha kecil” dengan mempermudah akses modal kerja lewat legalisasi sertifikat dari asset informal. Menurut Hernando De Soto dengan lebih menekankan pada usaha kecil maka perekonomian negara akan tertolong. Terlepas dari arus besar pemikiran ekonom-ekonom latin yang memang di era 70-80-an keranjingan untuk melawan aliran Friedman yang telah mengenalkan konsep ekonomi berbasis kompetitif, konglomerasi serta berpihak pada rezim moneter yang liberal, stabilitas ekonomi berkaitan dengan stabilitas politik yang kemudian menumbuhkan rezim diktatorial Jenderal Pinochet, pemikiran Hernando De Soto cukup cemerlang dan memang ada keterkaitan dengan Indonesia dalam kasus Chile namun ada beberapa catatan disini. Catatan pertama, kasus kekuasaan di Chile sama dengan kasus di Indonesia, bahkan operasi penumbangan Allende di Chile untuk menaikkan Pinochet merupakan operasi Intelijen jiplakan CIA dalam menumbangkan Sukarno di tahun 1965-1967 guna mengangkat Suharto, operasi itu diberi sandi ‘Operation Jakarta’. Dan setelah mapannya kekuasaan Pinochet maka perekonomian dengan basis konglomerasi dan penutupan rapat-rapat kelas-kelas dalam ekonomi terjadi sehingga mengakibatkan ketimpangan yang luar biasa dalam kehidupan sosial dan menggiring bangsa ke dalam ‘ekonomi ketergantungan’ atau ‘ekonomi depensia’ . Catatan kedua, adalah ciri khas dari pemikiran-pemikiran ekonomi alternatif yang selalu gagal melepaskan bayang-bayang utopis, dan ini terjadi juga pada Hernando De Soto dalam mencetuskan teorinya dengan menihilkan ruang keterlibatan sejarah, sosial dan kondisi politik suatu negara.

Untuk memahami ekonomi Indonesia dan pemikiran De Soto ada baiknya pertama kali membahas ekonomi dengan mengikutsertakan sejarah sebagai variabel eksogen dalam ruang pembahasan lalu membuka pemikiran ekonomi dengan landasan idiil dan tidak melupakan konspirasi Internasional yang terjadi.

Pertama-tama saya akan membuka bahasan ini dengan mencoba mengupas ekonomi Indonesia dalam sejarah, bukan berarti saya mengajak anda berpikir dengan cara Hegelian yaitu, melakukan proses tesis, antitesis lalu sintesis atau membawa anda dalam gaya Marx dengan mengupas sejarah untuk menjelaskan perekonomian, namun sudah selayaknya dan menjadi kewajiban dimanapun bagi para mahasiswa dan peminat ekonomi untuk memahami sejarah sebelum dia masuk ke dalam ruang pemikiran ekonomi.

Menurut saya ada kesalahan yang kerap dilakukan oleh pemikir-pemikir ekonomi Indonesia atau negara berkembang dalam memahami perkembangan ekonomi di negaranya. Yaitu kerap menyamakan evolusi yang terjadi di dunia barat yang maju dengan keharusan evolusi yang harus ada dalam perekonomian negara berkembang. Ini sama artinya dengan kesalahan yang kerap di ulang oleh kaum komunis (disiplin Leninis) yaitu dengan memyeragamkan bahkan mempercepat proses evolusi itu sendiri, bedanya pemikiran kaum liberal dari komunis adalah kaum liberal memikirkan evolusi lewat alat komparasi (atau katakanlah benchmark) dengan alam realita dunia maju (negara-negara barat) sebagi ukurannya, sementara kaum komunis membuat benchmark-nya dengan alam khayalnya. Padahal setiap negara, setiap komunitas sosial suatu negara memiliki keunikannya sendiri dan memiliki evolusi yang berbeda antara komunitas ekonomi yang satu dengan komunitas ekonomi yang lainnya.

Perkembangan ekonomi Indonesia pada hakikatnya sama dengan perkembangan ekonomi dunia (baik Eropa, Kekhalifahan Turki, anak benua India dan Cina) kemudian mendadak berhenti sampai pada titik kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram yang berkuasa pada mula abad 15. Kenapa saya katakan ekonomi kita berhenti maju secara paralel pada kekuasaan Sultan Agung? Karena pada saat itu ada tema besar yang diusung oleh Sultan Agung kemudian diperkuat oleh Amangkurat I untuk membawa kekuasaan dan kekayaan hanya terpusat pada negara, di era inilah kemunduran perekonomian yang dimiliki saudagar-saudagar pesisir habis lalu kemudian diperparah dengan insiden pemberontakan Trunojoyo yang prosesnya terakumulir sampai pada perjanjian Giyanti 1755. Dan setelah itu perekonomian pribumi Indonesia mati suri.

Sebelum era Sultan Agung perekonomian Indonesia (lebih tepatnya Nusantara) sungguh marak. Pusat-pusat ekonomi berada di bandar-bandar besar di pesisir begitu terkenal, bahkan Banten kerap muncul dalam berita-berita dagang di Cina dan India. Namun setelah kebijakan ‘Mundur ke Pedalaman’ dari Mataram dan pemberian wilayah Semarang sebagai konsekuensi dari penjanjian ‘Menumpas Trunojoyo’ maka ekonomi pribumi Jawa sedemikian terpuruk dan kemudian digantikan perekonomian Konglomerasi VOC lalu bertransformasi menjadi perekonomian dengan kapital raksasa yang menguasai pabrik, perkebunan dan jalan tol. Lalu kekuasaan Jawa diisolir hanya menjadi secuil tanah bernama ‘Voorstenlanden’ dan sisanya milik Hindia Belanda.

Di titik inilah kemudian berkembang ekonomi kita menjadi segregasi, pertama : ekonomi negara (yang dimiliki pemerintahan Hindia Belanda sebagai pengganti VOC yang bangkrut di tahun 1799), ekonomi swasta bermodal raksasa (sebelum era Tjong A Fie, Awab Soengkar, Aloermei Concern dan Oey Tiong Ham hanya dapat dimiliki oleh pengusaha Jerman, Inggris, Perancis dan beberapa pengusaha Eropa kroni dari Gubernemen), ekonomi kecil Vreemde Oosterlingen yang dimiliki keturunan Arab dan Tionghoa yang memegang ekonomi yang bersentuhan dengan rakyat pribumi dan ekonomi Birokrat (disini para regent atau bupati memungut pajak Hindia Belanda, memakan uang sogokan dan melakukan manipulasi regulasi-regulasi negara). Keempat pilar perekonomian inilah yang musti dipahami untuk mengerti bagaimana perekonomian negara Hindia Belanda dibangun.

Nah keempat pilar itu kemudian mencapai puncak kemapanan sampai pada tahun 1930-an sebelum diserang jaman Meleset akibat kejatuhan saham-saham Wall Street di tahun 1929. Setelah kejatuhan saham-saham Wall Street dan ambruknya pasar gula Internasional maka ‘Jawa tak lagi mengapung di atas perahu gula’ lalu mulai muncullah perekonomian pribumi yang pada hakikatnya kapitalisasi dan jumlah orangnya tak seberapa. Yang perlu dicatat pada saat itu adalah pengusaha rokok Nitisemito yang memiliki kapasitas produksi paling tinggi dibandingkan raja-raja kretek dari Kudus lainnya.

Sesungguhnya perekonomian Indonesia mengalami pencerahan setelah munculnya masyarakat pinggiran yang tidak dilibatkan dalam gengsi Priyayi, dan kemudian di picu oleh semangat usaha para pendatang dari Cina dan Arab yang ledakannya terjadi tahun 1870. Setelah kegagalan lanjutan usaha tanam paksa akibat protes dari kaum liberal dan sosialis di Parlemen Belanda, perlahan perekonomian rakyat diluar lingkup negara dan keempat pilar pelaku ekonomi bangkit. Di Kotagede, Yogyakarta pada awal tahun 1900-an muncul konglomerat-konglomerat baru di bidang transportasi, jasa keuangan (rumah gadai) dan kerajinan perak yang nilai usahanya mencapai jutaan gulden, mereka berpusat dari ‘orang-orang Kalang’ yang konon merupakan keturunan dari budak-budak bawaan Sultan Agung dari pulau Bali. Di Jawa Barat muncullah pusat-pusat tekstil bahkan saking besarnya pusat-pusat tekstil di Cilimus dan Majalaya orang banyak menyamakan dengan pusat tekstil di Twente, Belanda. Di Jakarta muncul pabrik-pabrik besar investasi Amerika dan Eropa seperti Goodyear, dan Bata di Kalibata. Lalu di Surabaya menjadi pabrik-pabrik besar, manufaktur-manufaktur raksasa bermunculan dan mengubah wajah Surabaya menjadi pelabuhan teramai di Asia.

Namun terlepas dari ramainya perekonomian Indonesia, perlu diperhatikan kecuali pengusaha kretek Nitisemito, saudagar-saudagar batik Laweyan dan beberapa pengusaha dari Sumatera. Hampir seluruh kegiatan perekonomian di kuasai oleh pendatang dari negeri Cina dan Arab. Jadi kebangkitan ekonomi lokal sebenarnya berkaitan erat dengan kelompok marginal imigran yang pesat pertumbuhannya pada tahun 1870 dan bukan oleh revolusi perdagangan di Indonesia yang melibatkan penduduk lokal.

Setelah masuknya Jepang di tahun 1942, Indonesia mengalami masa krisis yang tidak selesai sampai detik ini. Namun pilar-pilar pelaku ekonomi yang dibangun sejak jaman kolonial belum hancur dan membesar pada variabel Vreemde Oosterlingen itu, bahkan menjadi lebih buruk kalau dilihat saling keterkaitan diantara empat pilar perekonomian yang salah satu akibatnya menutup ruang mobilitas kelas dari rakyat jelata.

Ada sebab kenapa orang lokal tidak bisa maju dalam dunia perdagangan, beberapa faktornya adalah :
1. Mentalitas priyayi yang buruk, dimana mereka membenci pedagang dan perdagangan, kaum priyayi menganggap pedagang itu adalah ‘berhati setan’ seburuk-buruknya manusia Jawa adalah manusia Jawa sing ber-‘ati saudagar’ (memiliki jiwa dagang) mentalitas itu begitu kuat tertanam pada alam pikir manusia Jawa (kemudian menular ke suku-suku lain di Indonesia), karena dalam pandangan Jawa, jiwa dagang yang ambisius dan agresif akan merusak harmoni.

2. Adanya sifat statis orang Indonesia dalam memahami pertumbuhan modal, ini juga karena pengaruh alam priyayi dan tuan tanah, yang hanya menerima pendapatan pada ‘bunga rente’ dari penyewaan tanah, gedung dan modal tetap (fasilitas) lainnya ketimbang melakukan tindakan investasi, ‘hasil yang pasti’ memiliki tempat tertinggi dalam prioritas tindakan ekonomi orang Indonesia ketimbang tindakan spekulatif dari investasi penanaman modal.

3. Ketidakberanian orang Indonesia berhubungan dengan Bank yang dianggap sebagai ‘alat setan’ bahkan sampai saat ini ada pandangan bahwa Bank merupakan ‘alat yahudi’ untuk menghancurkan dunia, jadi watak perekonomian asli orang Indonesia kebanyakan mengharamkan laju pertumbuhan dan memihak pada laju harmoni yang berhubungan dengan utilitas budaya. Cobalah anda lihat tukang-tukang soto terkenal di Surabaya, Malang, atau Tukang Dawet di Madiun, pengusaha batik di Pekalongan dan Solo, Saudagar-saudagar perak di Kotagede atau pengusaha tahu di Bandung. Walaupun usaha mereka terkenal sudah puluhan tahun dan dinikmati jutaan pelanggan namun skala ekonominya tidak membesar ini karena prinsip hidup mereka yang berpandangan ‘Ojo Ngoyo’ dan konsep multiplier dalam skala usaha sama sekali tidak cocok dalam pandangan hidup orang Indonesia termasuk Mbah Surip, pedagang singkong ‘Blanggreng’ di retjo pentung, Solo yang sudah berjualan selama 60 tahun! Di kaki lima perlimaan Banjarsari Solo.

4. Kegagalan budaya orang Indonesia dalam memahami bagaimana ekonomi modern Indonesia bekerja terjadi sampai saat ini, maka di Indonesia jarang kita dengar pengusaha muda Indonesia di bawah usia 30 tahun berhasil meraup milyaran rupiah (dengan syarat bukan anak konglomerat atau pejabat korup).

5. Bilapun ada pengusaha Indonesia yang berhasil maka pengelolaan usaha berdasarkan kaidah-kaidah ekonomi keluarga yang biasanya mengundang intrik sehingga pada generasi ketiga dipastikan hancur.

Nah setelah memahami faktor-faktor sejarah perekonomian yang berkembang sejak jaman kolonial maka marilah kita memperhatikan sejarah perekonomian Indonesia pada masa revolusi yang nanti akan menentukan perkembangan perekonomian nasional di masa-masa selanjutnya.

Perang Modal Di Masa Revolusi Kemerdekaan

Ada bagian sejarah yang dilupakan dalam proses kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya merupakan titik penting dalam lahirnya negara ini. Yaitu : perang modal antara Cina dan Wuren (pribumi).

Menurut saya peletak dasar ekonomi Indonesia modern adalah Mayor Jenderal Nishimura (ketua Soomubu atau Departemen Urusan Umum Pemerintahan Pendudukan Nippon) dalam rapat-rapat Panitia Kemerdekaan ada protes dari kubu borjuis Pribumi yang tidak menyukai bahwa perkebunan-perkebunan sitaan dari jaman Hindia Belanda diserahkan pada pengusaha-pengusaha Cina dalam keputusan ‘Panitia Kebun’ hal ini kemudian melebar menjadi persaingan sengit antara pengusaha Cina dengan pengusaha Pribumi yang kemudian mendapatkan dukungan dari Hatta. Ketika konflik itu memanas Mayor Jenderal Nishimura menghentikannya dan menyatakan dalam pidatonya yang intinya “Jika ingin mendirikan negara yang utuh dan kuat konflik rasial harus dihilangkan ...Demi mewujudkan bangsa Indonesia yang lebih kuat..dan menciptakan harmoni ekonomi...”

Pada tahun-tahun terakhir menjelang kemerdekaan, etnis Cina di Indonesia mengalami krisis kewarganegaraan (mungkin dialami sampai detik ini) tidak sama halnya dengan India dan keturunan Arab, dimana pemerintah India tidak menganggap warga negara India bila mereka sudah melepaskannya dan tinggal di negara asing, atau orang Arab yang banyak mendapat keuntungan beradaptasi dengan Indonesia karena persamaan agama yang dianutnya dengan kelompok pribumi, kelompok etnis Cina terutama para pengusahanya mengalami keraguan untuk segera bergabung dengan Indonesia karena, pertama adanya perasaan nasionalisme Cina yang berkobar kuat dan adanya pandangan hidup tentang budaya yang sangat menghormati negeri leluhur, kedua, dan ini yang terpenting para pengusaha Cina agak takut dengan watak pemerintahan baru Indonesia yang berbau sosialisme.

Dan memang Hatta sebagai panglima para saudagar-saudagar pribumi dalam melakukan negosiasi terhadap pengusaha-pengusaha Cina menyiratkan pesan tentang pandangan rasialisnya yang agak menakutkan dan penuh curiga kata-kata yang begitu menggetarkan kelompok pengusaha Cina adalah ‘Etnis Cina akan terus diatas, di jaman kolonial Hindia Belanda mereka diatas, dijaman Jepang mereka diatas, Nah...bila Jepang menang pemerintahan Nanking akan melindungi mereka, dan bila sekutu menang pemerintahan Chungking akan melindungi mereka” Hatta juga menekankan bahwa jika pemerintahan Indonesia terbentuk maka segala modal asing (dalam hal ini warga Indonesia keturunan Cina masih dianggap asing) akan diambil dan dikoordinasikan oleh negara. Sebenarnya watak sosialis ekonomi Hatta ini masih ambigu sifatnya karena terdapat pesan persaingan dari kelompok borjuis pribumi yang memang dimana Hatta berasal (ayah tiri Hatta, Haji Ning pengusaha besar Indonesia, Ayub Rais paman Hatta pemilik jaringan perusahaan di Asia bahkan sampai ke Amerika Serikat dan dua saudara jauhnya Johan dan Johor adalah pengusaha besar).

Walaupun Tan Tek Peng (salah seorang profesional dari Oey Tiong Ham Concern) yang juga terlibat dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menjelaskan bahwa ada kesiapan mereka untuk menerima pemerintahan baru asal tidak memusuhi kapitalisme namun ketakutan terhadap munculnya pemerintahan sosialis yang akan mengambil alih modal mereka tetap menjadi hantu sehingga Oey Tiong Hauw salah seorang pengusaha besar keturunan Cina memutuskan untuk tidak menjadi warga negara walaupun tetap berkomitmen membantu negara Indonesia yang baru.

Gelombang Hatta untuk menyapu pengusaha-pengusaha Cina kemudian agak surut setelah munculnya Sjahrir yang lebih berpandangan moderat, Sjahrir dalam selebaran politiknya ‘Perdjoangan Kita’ mengatakan bahwa Indonesia tidak memerlukan perbedaan antara modal asing dan modal pribumi tapi harus memprioritaskan kemajuan bangsa secara menyeluruh dan kerja sama dengan kapitalisme tidak dapat dihindarkan, dan sejak pandangan Sjahrir ini gerakan Hatta yang agak keras mulai surut namun keuangan negara tetap dipegang Hatta dan pengikutnya termasuk Sjafruddin Prawiranegara yang walaupun berpandangan sosialis-relijius tapi tindakan politiknya lebih mendekat pada kapitalis. Setelah era Hatta yang juga ditandai dengan Manifesto 1945 lalu penolakannya untuk berkompromi pada pengusaha-pengusaha Cina yang datang ke Yogyakarta 17 dan 19 September 1946 dalam sebuah konferensi Masyarakat Cina, disini Hatta sudah agak menganggap sepi modal Cina karena sesuai dengan Perjanjian Linggarjati yang mengisyaratkan adanya modal Belanda dalam membentuk perekonomian Indonesia.

Kemudian setelah peran Hatta surut dalam pemerintahan Indonesia yang complex itu, muncullah dokter Adnan Kapau Gani, atau dr. AK Gani yang menjadi menteri kemakmuran Indonesia di bawah Sutan Sjahrir. Dr. AK Gani banyak berhubungan dengan para pengusaha Cina dan menganggap etnis Cina merupakan bagian dari Indonesia dan bukannya modal asing. AK Gani juga banyak melakukan penyelundupan-penyelundupan untuk menembus blokade Belanda di tahun-tahun 1947. Disinilah mulai muncul pandangan bahwa modal Cina bukanlah bagian dari modal asing.

Sukarno Ke Suharto

Tahun 1950-an dalam sejarah perekonomian Indonesia merupakan kelanjutan apa yang terjadi di tahun-tahun 1945-1949 dimana pengusaha-pengusaha keturunan Cina terus menerus bertengkar dengan pengusaha-pengusaha pribumi yang sempat memunculkan sulap sim salabim dalam regulasi Indonesia bernama ‘Ali Baba’. Perekonomian Indonesia bahkan menjadi semakin menjadi monopoli negara setelah Sukarno mengumumkan ‘Demokrasi Terpimpin’ dan membreidel dua partai penting yang dianggap penyokong gagasan-gagasan ekonomi berbasis kapitalis, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Konsep ekonomi dalam alam pikiran Sukarno harus sepenuhnya dibaktikan pada negara dan ini akan mengingatkan kita pada konsep etatisme dalam perekonomian dan tak aneh bila penasihat ekonomi favorit Sukarno adalah Hjalmar Schacht seorang mantan Menteri keuangan di Jaman Hitler yang mampu membalikkan inflasi raksasa buatan Republik Weimar dengan mengedepankan peran industrialis berskala raksasa dalam mengembangkan perekonomian Jerman yang hancur lebur akibat perjanjian Versailles.

Di jaman Sukarno proyek-proyek raksasa dibangun, bahkan ada yang lucu tentang cerita anggaran rencana pembangunan Indonesia semesta yang disusun dengan bentuk simbolik sesuai dengan tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan Indonesia, maklumlah penyusun Rencana Pembangunan Indonesia itu bukanlah ekonom macam Soemitro Djojohadikoesoemo yang sudah buron ke luar negeri, tapi ‘tukang tambo’ Moh. Yamin. Di jaman Sukarno pengembangan perekonomian diarahkan pada gengsi nasional, sehingga semangat wirausahawan pribumi lumpuh, mereka lebih senang berpolitik ketimbang bergiat dalam investasi dan permodalan.

Jadi perekonomian rakyat tidak berkembang dan keempat pilar yang dibangun oleh Hindia Belanda tetap eksis dengan memasukkan kelas baru : Militer. Para perwira-perwira TNI terutama yang memiliki tanggung jawab teritorial dihadapkan pada tantangan baru yaitu : keterbatasan dana operasional dan kesejahteraan prajurit. Hal inilah yang kemudian memunculkan ‘warlord’ di daerah-daerah yang jauh dari Jakarta untuk melindungi bahkan aktif dalam kegiatan ekonomi illegal seperti penyelundupan yang salah satu tujuannya untuk membiayai kegiatan operasional mereka. Masuknya militer dalam struktur perekonomian nasional sesungguhnya sudah terjadi sejak mulai diadakannya kampanye ‘Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda’ akibat penolakan Belanda untuk memenuhi kontrak perjanjian Meja Bundar untuk melepaskan Irian Barat. Para kolonel banyak masuk ke dalam perusahaan-perusahaan yang ditinggalkan Belanda salah satunya adalah : Ibnu Soetowo dan Mayor Geudong yang memimpin Permina dan Permigan cikal bakal dari Pertamina di tahun 1950-an. Keterlibatan para perwira tinggi terutama dari Angkatan Darat dalam bisnis Illegal lama kelamaan membuat gerah banyak pihak. Awalnya tudingan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mencap bahwa perwira TNI/AD yang berbisnis tak lebih dari agen-agen Borjuis dan melebarkan pengaruh kapitalisme di Indonesia. Kemudian muncul juga kegerahan dari perwira-perwira tinggi di Jakarta antara lain : AH Nasution dan Ahmad Yani yang melihat para perwira yang di daerah terlibat bisnis Illegal. Di bidang sipil AH Nasution bekerja sama dengan Subandrio untuk menertibkan koruptor lewat ‘operasi Budhi’, sementara di lapangan militer Ahmad Yani membereskan kasus korupsi bersama staff-nya (semua staff Yani ini seluruhnya kelak terbantai bersama A Yani pada peristiwa Gerakan Untung 30 September 1965) mereka menyeret para perwira tinggi daerah yang terlibat kegiatan bisnis Illegal, dan salah satunya adalah kasus Kol. Soeharto Panglima Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Beberapa tahun sebelumnya Soeharto juga pernah terlibat dalam kegiatan penyelundupan mobil seusai tugas tempur di Sulawesi namun ketahuan Kol. Kawilarang dan sempat ditempeleng oleh Kol. Kawilarang. Dalam kasus ‘Penyelundupan Semarang’ Soeharto dituduh oleh AH Nasution dan Yani telah melakukan penyelundupan beras dan gula. Kasus ini kemudian diselesaikan dengan campur tangannya Jenderal Gatot Subroto yang melindungi Soeharto dan mengusulkan pada Sukarno agar Soeharto di sekolahkan saja ke Seskoad di Cimahi, Bandung. Dan pengganti Soeharto yang kemudian membersihkan Diponegoro dalam kegitan Illegal adalah Kol. Pranoto Reksosamoedro (yang kelak berseteru dengan Soeharto dalam perebutan Jabatan Menpangad setelah gagalnya Gerakan Untung 1965).

Kenapa saya agak mendetil menceritakan ini, karena kasus ‘Penyelundupan Semarang’ karena hal ini memberikan gambaran yang lebih utuh tentang perekonomian Indonesia ke depan dimana unsur keterlibatan militer akan sangat dominan. Soeharto kelak menjadi pemeran sejarah terbesar di negeri ini selama 32 tahun dimana kegiatan perekonomian memasukkan unsur Militer sebagai kekuatan pemaksa untuk mengkontribusi laba demi langgengnya kekuasaan. Dan jalan menuju langkah itu dibuka pada peristiwa Gerakan Separuh konyol dari bekas anak buah kesayangan Soeharto Letnan Kol. Untung Bin Sjamsoeri.

Gerakan Untung 1965 merupakan peristiwa paling gelap dalam sejarah Indonesia dan sampai saat ini belum jelas terungkap ‘siapa memainkan siapa’ namun dari semua yang paling jelas di akhir babak gelap Indonesia itu adalah : munculnya Soeharto sebagai Presiden RI dan tumbangnya Sukarno. Dan selain itu kemenangan modal asing terhadap halangan nasionalisme (yang kemudian terwujud pasca peristiwa Malari 1974)

Setelah disumpah menjadi Presiden RI Soeharto melakukan kunjungan luar negerinya yang pertama ke Tokyo, Jepang untuk memohon utang 100 juta dollar guna memulihkan perekonomian Indonesia, tapi Jepang tidak bersedia memenuhi permintaan Soeharto hal ini jelas membuat kecewa Soeharto, karena satu-satunya cara menjual kepercayaannya di mata masyarakat adalah membangun perekonomian Indonesia yang lebih baik daripada di jaman Sukarno. Namun kekecewaan Soeharto agak terobati setelah Soemitro Djohadikoesomo pulang setelah sekian tahun menjadi buronan politik ke luar negeri akibat terlibat pemberontakan PRRI/Permesta. Soemitro dengan latar belakang sebagai dekan fak. Ekonomi UI yang memiliki barisan akademisi cetakan Amerika Serikat segera bertindak untuk menolong rezim militer Soeharto. Disinilah bermula asal usul dari kata ‘teknokrasi’. Langkah Soemitro yang pertama bersama Widjojo Nitisastro adalah menggiring Indonesia ke dalam pasar bebas Internasional. Pemerintah Indonesia diperkenalkan dengan mekanisme pasar dunia blok barat yang mengedepankan prinsip pasar bebas dan kompetitif, ini artinya pola-pola ekonomi berdasarkan kolektivisme segera harus ditinggalkan. Kemudian Widjojo juga mengajari Soeharto tentang konsep pertumbuhan, stabilitas politik dan pemerataan (distribusi) kepada Soeharto lalu Soeharto merumuskan konsep itu ke dalam kebijakan politiknya. Selain menoleh pada kelompok AS atau ‘Mafia Berkeley’ Soeharto juga memegang kelompok yang berpegang pada gagasan ‘pengembangan ekonomi nasional yang dipimpin oleh Birokrasi/Negara’ gaya ekonomi adalah meniru Jepang pada restorasi Meiji juga pembangunan ekonomi Singapura. Kelompok ini berpusar pada Ali Murtopo dan Sudjono Humardhani yang memiliki banyak akses ke Jepang. Kekecewaan Soeharto terhadap Jepang pelan-pelan terobati dengan kunjungan Robert Mc Namara di tahun 1968 yang menjanjikan bantuan AS terhadap Indonesia sebagai imbalan telah menghajar komunisme.

Selintas konsep dan kebijakan Soeharto merupakan track yang benar dalam membangun ekonomi Indonesia modern. Namun Soeharto menerapkan gagasan Widjojo sebagai kamuflase perekonomian Indonesia, ada arus bawah, arus Illegal (yang memang sejak mula digemari Soeharto) yaitu tumbuhnya perekonomian yang tidak mengidahkan prinsip-prinsip persaingan yang fair, perekonomian yang didasari untuk membiayai kekuasaan walaupun lewat cara korup dan perekonomian yang memunculkan kelas ekslusif untuk memegang kekuasaan di Indonesia. Dan hal itu dapat dilihat pada kasus Pertamina. Jenderal Ibnu Soetowo yang pada saat demonstrasi mahasiswa 1966 diolok-olok sebagai salah satu biang korup tetap dipercaya Soeharto untuk mengelola perusahaan minyak negara yang namanya berubah dari ‘Permina’ menjadi ‘Pertamina’. Di tangan Ibnu Pertamina yang awalnya merupakan barang rongsokan di ubah menjadi perusahaan raksasa, dan Pertamina adalah contoh perusahaan konglomerasi Indonesia modern yang pertama. Bisnisnya merambah ke berbagai macam bidang dari perhotelan, asuransi, jasa keuangan, Rumah Sakit, sampai dengan penyewaan kapal tanker. Gurita Pertamina semakin meraksasa dan menjadikan Ibnu Soetowo sebagai penyumbang terbesar dana untuk mesin kekuasaan Soeharto.

Soehatorian sebagai model ekonomi Indonesia

Selain empat pilar yang telah tumbuh di era kolonial. Ada sebuah aturan main yang menghubungkan keempat pilar itu di era negara Orde Baru sehingga menjadi mesin ekonomi yang kukuh. Korelasi empat pilar itu bisa kita sebut : Soehartorian model. Ekonomi model Soeharto adalah model ekonomi yang berbasis pada kerancuan. Tidak memiliki kejelasan dalam menjalankan kaidah-kaidah ekonomi dan semuanya bertumpu pada kekuasaan dengan menihilkan peran rakyat.

Untuk memahami cara main ekonomi model Soeharto maka kita mau tidak mau melihat pandangan Soeharto sendiri tentang bagaimana ekonomi bekerja, hal ini sebenarnya juga sama saja bila kita ingin menelaah bagaimana pandangan Adam Smith, Bastiat, Veblen, atau Marx dalam melihat ekonomi semuanya harus ditelaah dari latar belakang pencetusnya.

Dalam alam pikiran Soeharto yang banyak dipengaruhi oleh filsafat dunia Jawa yang sinkretis, melihat bahwa semua gerak kehidupan harus dilihat menuju pada keseimbangan dan penggerak keseimbangan itu adalah kekuasaan dari seorang Raja yang bijak. Di titik inilah Soeharto memperkuat gagasan negara yang dibangun dengan dasar-dasar kekuasaan Jawa-Mataram sehingga mau tidak mau ekonomi dilibatkan dalam pengertian itu. Dan ekonomi dalam model Soehartorian adalah model ekonomi yang tidak mengenal batas kepemilikan antara negara dan pengelola negara, antara kepentingan publik dan kepentingan pejabat. Rakyat dipandang sebagai objek seperti kisah-kisah wayang yang tidak mengenal konflik rakyat tapi hanya terbatas pada konflik istana. Jadi ketika gelombang panas mahasiswa yang menuntut dibukanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan orang dekat Soeharto sampai pada puncaknya konflik tentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah gagasan Bu Tien maka Soeharto bertindak dengan memberangus gerakan anti korupsi tapi dengan caranya, pertama kali ia membentuk komisi empat yang dipimpin mantan Perdana Menteri era Demokrasi Liberal, Wilopo dan Hatta dilibatkan sebagai salah satu anggotanya. Lalu Soeharto berkenan menerima para mahasiswa dalam dialog mingguan, tokoh-tokoh mahasiswa seperti Arief Budiman dan Marsillam Simanjuntak berkali-kali menghadiri pertemuan dengan Soeharto. Setelah Soeharto tahu seberapa jauh kekuatan mahasiswa dan ia mampu mengukurnya agar ketika menghajar mereka roda kekuasaan Orde Baru tidak runtuh maka Soeharto langsung menggebuk para mahasiswa yang dijebak dalam permainan adu domba antara Jenderal Sumitro dengan Mayor Jenderal Ali Moertopo beberapa tahun kemudian pada peristiwa Malari 1974.

Komisi empat dibubarkan setelah melaporkan bahwa beberapa keluarga Soeharto terlibat dalam kejahatan ekonomi, Hatta yang kemudian frustrasi sempat bergabung dalam lingkaran mistis yang aneh dibawah Sawito. Lalu para mahasiswa ditangkapi karena terlibat dalam kekacauan negara yang terjadi akibat bakar-bakaran proyek Senen menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang di tahun 1974.

Setelah habisnya tokoh-tokoh yang dianggap berpotensi menggeser Soeharto seperti : Jenderal Soemitro dengan lingkarannya seperti Jenderal Sutopo Juwono, intelektual-intelektual ex-PSI dan tokoh-tokoh penting dalam jajaran ex-Masyumi dan HMI. Maka kekuasaan Soeharto bulat ditangannya sekaligus model ekonomi Soehartorian bisa dijalankan nyaris tanpa halangan.

Setelah tahun 1974 ekonomi rancu gaya Soehartorian dikendalikan dengan bebasnya. Di permukaan Soeharto membawa Indonesia ke dalam alam ekonomi modern (dan kita mau tak mau harus berterima kasih dalam hal ini), Pasar Modal diperkenalkan kembali pada tahun 1977, yang sempat vakum setelah di tutup tahun 1950-an, Perbankan di modernisir dengan mulai melibatkan dana masyarakat dalam jumlah besar rakyat diperkenalkan dengan ‘gerakan menabung’ seperti : ‘Tabanas’, dan perumahan rakyat dibangun besar-besaran dengan melibat dana perbankan seperti proyek : Perumnas. Soeharto mampu secara massal membangun Indonesia dengan adagium pokoknya : Stabilitas politik yang menjaga pertumbuhan ekonomi.

Di permukaan Indonesia digiring oleh Soeharto untuk bercampur dalam peradaban barat yang maju secara ekonomi, namun dalam arus bawah Soeharto tetap menjaga perekonomian dengan pola-pola primitif, kasar dan tidak bertanggung jawab. Setelah kekalahan Jenderal Soemitro maka ekonom-ekonom yang memiliki pandangan pasar bebas yang radikal tersingkir, yang bertahan adalah para ekonom yang mampu mengadaptasi alam pikiran Soeharto yang kemudian dikawinkan dengan kondisi perkembangan ekonomi dunia tokohnya disini adalah : Radius Prawiro dan Ali wardhana. Ketersingkiran kelompok berorientasi AS yang menghendaki tumbuhnya perekonomian dari jiwa enterpreneurship yang kemudian digantikan dengan ekonomi dengan pertumbuhan yang diciptakan pemerintah dengan patronnya Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardhani maka lahirlah konglomerasi-konglomerasi besar yang berselingkuh dengan kekuasaan dengan mengambil apapun dengan cara legal atau illegal dan sekian hasilnya disetor untuk kekuasaan.

Ekonomi dengan pengawasan dan koordinasi negara yang ketat dengan meniadakan usahawan-usahawan yang berpotensi secara politik sehingga mematikan ruang kebebasan menjadikan usahawan-usahawan Indonesia gagal menjadi industrialis yang merintis usaha dengan fundamental yang kuat. Para usahawan-usahawan Indonesia hanya dapat bertindak sebagai pedagang yang menyalurkan produk-produk impor buatan Jepang, Amerika Serikat, Eropa dan negara-negara lainnya. Maka ekonomi kolonial yang menerapkan Indonesia hanya sebagai pasar terakhir dari produk-produk kapitalis terbentuk sempurna pada jaman Soeharto ini.

Pilihan Soeharto untuk lebih mengembangkan perekonomian dengan tulang punggung swasta berbasis konglomerasi seperti di Korea Selatan dan Jepang ketimbang ekonomi berbasis rakyat seperti Taiwan memiliki alasan :

1. Soeharto menerapkan sistem ekonomi Hindia Belanda yang mendasarkan perekonomian dalam sektor swasta diterapkan berdasarkan segregasi ras, ini artinya kelompok yang dilindungi adalah kelompok yang secara politis tidak berbahaya, memiliki tingkat opportunis pada kekuasaan tinggi, dan dikenal baik oleh Soeharto ataupun pernah berhubungan dengan pihak Angkatan Darat di tahun-tahun sebelumnya dengan kebijakan ini maka muncullah pengusaha-pengusaha keturunan Cina yang apatis terhadap politik dan memiliki patron militer seperti ; Liem Sioe Liong, Bob Hasan (anak angkat Jend. Gatot Soebroto), Yap Swie Kie, Nyoo Han Siang, Tjia Kian Long (William Soerjadjaja) dan banyak lagi.

2. Model Soehartorian menghendaki tumbuhnya perusahaan-perusahaan negara yang dapat membiayai kekuasaan. Setelah Pertamina tumbuh besar lalu sempat terancam bangkrut setelah ekspansi ngawur Ibnu Soetowo yang meminjam pinjaman jangka pendek dalam jumlah besar kepada lembaga-lembaga keuangan internasional dan perusahaan-perusahaan multinasional untuk membiayai program-program bisnis jangka panjang, tapi dibalik kegagalan Pertamina Soeharto melihat peluang keberhasilan Pertamina untuk mendorong sektor lain seperti telekomunikasi, perbankan, keuangan dan industri-industri berat. BUMN-BUMN di era Soeharto harus diakui memiliki kapital raksasa ini karena berkat pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 1970-1980 yang memihak pada usaha-usaha berskala raksasa selain kemujuran Soeharto mendapat guyuran minyak akibat aksi ngambek OPEC di tahun 1973. Telkom, Indosat, Krakatau Steel, BNI, BDN, Semen Gresik, dll menjadi bintang dalam usaha-usaha dibawah negara yang bahkan sampai detik ini memiliki landasan kapital yang sungguh kuat.

3. Perekonomian rakyat di jaman Soeharto jelas mengalami jalan di tempat. Setelah kekalahan kelompok muslim pribumi (kelompok yang paling berpotensi menjadi pesaing pedagang-pedagang Cina) pada aksi Malari 1974, kemudian muncul kecurigaan bahwa kekuatan ekonomi yang dimotori kelompok muslim akan memperkeras persaingan usaha peliharaan Orde Baru juga mengganggu stabilitas kekuasaan maka usaha-usaha rakyat kecil dikebiri sedemikian rupa dengan cara mempersulit akses modal, menutup jaringan, dan memperkecil peluang tumbuhnya kelas menengah Indonesia berbasis perdagangan yang independen, pada jaman Orde Baru sudah menjadi cerita umum bahwa peminjaman dana di Bank secara informal juga mempertimbangkan ras dan agama. Kelas menengah yang diterima pada model Soehartorian adalah kelas menengah profesional yang bermental pegawai sehingga kadar kritisnya dengan cepat bisa diisolir.

4. Yang tak kalah penting dari tiga hal diatas pada model ekonomi Soehartorian adalah kapitalisasi dari birokrat. Soeharto membangun jaringan kekuasaannya dengan melakukan tindakan untuk ramai-ramai melakukan korupsi. Jadi semua aparat birokrasi dipancing untuk berbuat korup sehingga dengan mudah akan dijinakkan. Mentalitas maling berusaha ditumbuhkan pada aparat negara sehingga pengabdian mereka diarahkan pada kekuasaan bukan lagi kepentingan negara, jaring-jaring kekuasaan di jaman Orde Baru tentulah berpusat pada Soeharto.


Inilah model ekonomi kita sekarang. Setelah kejatuhan Soeharto di tahun 1998 akibat modernisasi yang diciptakannya sendiri. Tapi kejatuhan Soeharto dan kegagalannya dalam melakukan penjinakkan nilai mata uang bukan merupakan kegagalan signifikan dibandingkan keberhasilannya dalam membentuk ekonomi model Soeharto. Kecuali bisnis Militer yang sudah dihancurkan oleh kelompok Jenderal-Jenderal reformis pimpinan SBY. Benih-benih usahawan model Soehartorian semakin kuat. Tak satupun perusahaan anak kandung Soeharto bangkrut, seluruh BUMN-BUMN yang didirikan semasa Soeharto kini semakin menjadi perusahaan dengan landasan keuangan yang kokoh, bisnis kroni-kroni Soeharto seperti Liem sampai Eka Tjipta Widjaja masih menjadi bisnis dalam jajaran perusahaan raksasa dunia, dan Golkar sebagai partai politik paling murni bentukan Soeharto bukan saja melahirkan politisi-politisi paling kuat di era Reformasi tapi juga menjadi patron dari bisnis-bisnis kelompok pribumi baru yang kini mencengkeram Indonesia seperti ; Grup Kalla dan Bakrie.

Kesimpulan :

Jadi untuk memahami pemikiran Hernando De Soto dalam kasus Indonesia harus juga melibatkan ruang sejarah, ruang psikologis politis dan ruang pemahaman terhadap kelas-kelas yang ada di Indonesia. Orang-orang seperti Moh. Yunus yang berhasil mengembangkan model penyaluran kredit kecil tidak akan berkembang, karena di Indonesia jauh lebih dulu mempraktekkan gagasan kredit kecil ketimbang M.Yunus dengan Bank Grameen-nya. Di Indonesia kita mengenal KUK, Kredit Usaha Menengah, Kredit usaha kecil dan berbagai macam model kredit tapi tetap saja tidak berkembang karena memang ada kepentingan politik yang berkelindan dengan membekukan peran perekonomian rakyat kecil.

Satu-satunya jalan bila kita ingin menerapkan gagasan pengembangan perekonomian rakyat kecil adalah melakukan ‘revolusi perdagangan’ dengan membongkar seluruh jaringan yang mencengkeram Indonesia, jaringan itu adalah : tangan negara yang digunakan untuk berzinah dengan kapitalis asing, jaringan ekonomi dengan dasar segregasi ras, Usaha pengkebirian ekonomi rakyat kecil dengan menutup regulasi yang mengekang kebebasan rakyat kecil melakukan tindakan ekonomi dan penghancuran jaring-jaring birokrat yang memakan uang milik negara juga yang melakukan pengerukan dengan memanfaatkan celah regulasi yang ada.

Namun lebih dari semuanya, segeralah berpihak pada Sosialisme dan Lawan Kapitalisme Global.

ANTON

No comments: