Laskar Pelangi
Oleh Anton
Beberapa tahun yang lalu saat saya membaca buku kisah DN Aidit yang dituturkan oleh Sobron Aidit saya masih belum paham benar tentang kisah DN Aidit yang melihat ketimpangan antara buruh Timah dengan staff Tambang Timah. Dalam bukunya itu Sobron hanya menuturkan tentang rangsangan berpikir Aidit tentang susunan masyarakat yang tidak adil akibat sistem kolonial, dan Aidit mencari jawabannya dengan bergaul akrab pada buruh tambang timah serta membantunya dalam kegiatan sehari-hari seperti menanam pisang. Sejarah kelak tahu bahwa Aidit adalah pemimpin besar PKI juga nama yang menjadi tragedi paling besar dalam perjalanan bangsa ini. Dan inspirasi Aidit di dapatnya dari tambang Timah yang kapitalnya dikuasai asing.
Ada satu hal yang menarik dalam kisah sejarah yaitu mencari tahu akar sejarah psikologis darimana orang besar melakukan tindakan besar. Dan kebanyakan tindakan besar berasal dari pengalaman di masa kecil untuk soal-soal kecil yang lahir dari sebuah sistem masyarakat. Seperti misalnya Sukarno yang mati-matian membenci sistem kolonialisme asing dengan mengusir Belanda dari negeri ini mungkin karena dulu ia pernah diludahi orang tua pacarnya yang Belanda, atau dikeroyok sinyo-sinyo Belanda karena dia tidak boleh main bola di lapangan khusus kulit putih atau Suharto yang takut anak-anaknya menjadi miskin dan rakus mengeruk harta negara mungkin karena pengalaman pribadinya yang dijadikan gedibal di sebuah keluarga priyayi kecil dan pengalaman masa mudanya dalam kemiskinan harta seperti kain batiknya yang tersangkut pedal sepeda dan sobek sewaktu dia menjadi pegawai rendahan sebuah Bank Rakyat. Aidit mungkin melihat apa yang dilihat oleh Andrea Hirata dalam masa yang lain namun tetap semangat jaman yang tidak berubah tentang sebuah tempat bernama Bilitong.
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Inilah buku terbaik yang dihasilkan oleh sastrawan yang besar di jaman Orde Baru. Mutu sastrawan muda yang banyak muncul setelah kekuasaan Orde Baru berakhir rata-rata menyedihkan apakah ini akibat dari sikap anti intelektual Orde Baru dan pemujaan hedonisme yang luar biasa sehingga anak muda diasingkan oleh realitas kehidupan?. Hirata membawa kembali roh realisme sastra menjadi puncak karya yang mengagumkan. Di luar begitu banyak istilah latin yang agak kurang asyik dipandang mata (setidak-tidaknya bagi saya) semua isi buku ini bermutu dari segala dimensinya. Inilah karangan yang menjelaskan bagaimana Orde Baru bekerja tanpa harus menceritakan sejarah dan teori politik, inilah tulisan yang lahir dari benang sejarah realisme Pram dan lebih dari segalanya inilah buku yang mencerahkan bahwa memang ada yang tidak benar dalam sistem yang sudah kita jalani selama 32 tahun dimana secara tidak langsung buku ini mengolok-olok penyimpangan sejarah yang awal mulanya dikonspirasi oleh Junta Militer dengan taktik licik dan melahirkan sistem sosial yang habis-habisan menjuali harta negara dan memiskinkan rakyat yang seharusnya dimakmurkan dalam alam kemerdekaan. Olok-olok ini tidak dengan menceritakan bagaimana sejarah Indonesia bekerja tapi bertutur bagaimana susunan masyarakat bekerja. Lewat sebuah cerita persahabatan buku ini telah memulai gebrakan sebuah genre sastra baru yang akan menghidupkan cerita-cerita rakyat yang hidup di alam yang jauh dari sumber kapital, rakyat yang paling banyak ada di Indonesia dan tidak mendapat rejeki kemerdekaan. Bukan sastra-sastra yang berbau mall, sepatu mewah, atau problem cengeng anak kaya yang tumbuh dengan harta lalu mereka mencoba masuk dengan susunan kata-kata, mengindustrialisasi susunan kata-kata itu dan dijual dipasaran atas nama selebritas novel-novel begituan berhasil dijual dipasar namun tidak ada artinya apa-apa bagi perkembangan mutu sastra Indonesia.
PN Timah adalah nama yang menjadi olok-olok tentang tragedi bagaimana anak jenius seperti Lintang harus menjadi sopir truk. PN Timah dan Lintang adalah dua nama yang lahir dari sistem Orde Baru yang buas. Sistem yang mengedepankan Kapital untuk diserahkan pada asing, membangun benteng sistem kekuasaan yang dalam Laskar Pelangi digambarkan dalam bentuk ‘Gedong’ dimana kata-kata sakralnya adalah ‘Dilarang Masuk Bagi Yang Tidak Memiliki Hak’. Mungkin orang yang dibesarkan di Jakarta seperti saya melihat PN Timah tidak lebih dari gedung buruk rupa yang ada di bilangan Kuningan atau kenangan terhadap film Benyamin S yang mencari S.Bagyo sahabatnya di Jakarta di sebuah depan sebuah gedung dan S.Bagyo mengucapkan lawakannya yang terkenal “Di Jakarta Biar Miskin Asal Sombong” nah Gedung yang di dalamnya ada Hamid Arif lagi mimpin rapat dengan segerombolan orang Spanyol adalah gedung PN Timah. Tanpa sengaja film Benyamin S itu juga menggambarkan bagaimana kaum marginal tidak bisa masuk ke dalam sistem kekuasaan kapital.
Buku ini dibuka dengan adegan penerimaan siswa sekolah di sekolah miskin yang menjadi bagian dari ‘Gerakan Muhammadiyah’. Anak-anak kampung yang ingin mengubah nasib keluarga dalam lingkaran sistem kemiskinan dimana tiket satu-satunya keluar dari kemiskinan adalah kapital simbolik berupa ijasah menjadi resah bukan main karena sekolah itu mendapat ancaman dari Departemen Pendidikan untuk menutup sekolahnya dengan ultimatum bahwa sekolah itu harus memiliki sepuluh murid. Dalam ruangan itu sudah ada : Ikal (yang merupakan penulis novel ini sendiri), Kucai, Lintang, Syahdan, Trapani, Mahar, A kiong, Sahara, Borek (yang kemudian hari disebut sebagai Samson). Tinggal satu siswa lagi. Kepala sekolah mondar-mandir gelisah karena adanya ancaman penutupan itu sementara guru Bu Mus menunggu dengan gemetar. Dan kegemetaran terjawab dengan ruang lega karena munculnya anak keterbelakangan mental berumur 15 tahun yang bernama Harun dimana ia diputuskan oleh orang tuanya untuk disekolahkan ke SD Muhammadiyah karena selain SLB letaknya jauh dari tempat ia tinggal, setiap pagi Harun hanya mengejar-ngejar ayam yang bikin bosan orang tuanya melihat kelakuan anak ini. Dan sebuah sistem pendidikan yang tak tahu malu mengancam sekolah miskin justru dihancurkan oleh sebuah mahluk di luar sistem. Sekolah itu selamat dari ancaman penutupan karena datangnya Harun dan berkesempatan melahirkan intelektual dalam arti sesungguhnya. Intelektual yang mengejar ilmu karena haus bukan rakus pada nilai-nilai rapor.
Sebuah ruangan yang hanya layak disebut gudang Kopra dan berbau serta hanya ada tambalan poster untuk dinding papan yang berlubang. Poster itu bergambar manusia paling kontroversial dalam sejarah musik Indonesia, yang paling dibenci namun juga paling dicintai : Rhoma Irama. Itulah deskripsi ingatan Hirata atas ruangan kelasnya. Sekaligus menempatkan kelas itu sebagai wilayah yang menumbuhkan persahabatan sekaligus kesadaran kelas atas dirinya dalam susunan masyarakat. Ada semangat yang menggetarkan dari ucapan Bu Mus untuk membangkitkan bahwa ruang kelas bukan syarat penting untuk mengejar ilmu pengetahuan. Yang terpenting adalah semangat untuk mendapatkan pencerahan intelektualitas. Lalu Bu Mus mengangkat sebuah foto dari buku tua berbahasa Belanda. Gambar yang muram tentang sel penjara kokoh untuk membungkam keberanian adalah sel untuk Bung Karno, itulah gambar yang ditunjukkan oleh Bu Mus. “Inilah sebuah sel Pak Karno di sebuah penjara di Bandung. Disini beliau menjalani hukuman dan setiap hari belajar, setiap waktu membaca buku. Beliau adalah salah satu orang tercerdas yang pernah dimiliki bangsa ini”. Guru itu berhenti bercerita tentang Sukarno. Tentu menceritakan Sukarno adalah hal tabu di jaman Orde Baru yang saat itu kekuasaannya masih ranum-ranumnya. Padahal di sel penjara itu banyak bercerita tentang sejarah negeri ini, Sukarno dengan kaleng yang digunakan untuk buang air membalikkannya dan dijadikan alas untuk menulis sebuah gugatan yang akan abadi sepanjang sejarah negeri ini. “Indonesia Menggugat” dan Orde Baru mengingkarinya dengan menjuali Indonesia habis-habisan ke tangan asing.
Salah satu keunggulan karangan ini adalah tuturannya yang sangat filmis. Gambaran yang paling menarik adalah ketika Hirata menceritakan tentang mayoret cantik dari sekolah PN (maksudnya sekolah yang dikelola PN Timah) yang mewah itu sebagai anak kandung dari sistem masyarakat yang timpang. Cerita tentang Lintang adalah cerita paling tragis dalam buku ini. Seorang anak jenius yang dikorbankan oleh sistem kapitalis. Seorang anak negeri sendiri yang harus mati identitas intelektualnya hanya karena problem paling klasik dari kisah anak miskin Indonesia. Gagal bayar uang iuran atau desakan ekonomi keluarga.
Selain cerita tentang Lintang dan kejeniusan otak kanan Mahar. Buku ini juga merupakan kisah cinta paling indah yang diproduksi sastrawan di jaman reformasi ini. Cintanya dengan seorang gadis keturunan Cina, yang digambarkan secara filmis sangat menggetarkan. Gerak hidup dalam kisah itu menjadi rangkaian yang ditentukan oleh cinta si Ikal dan kuku-kuku cantik Miang Sui. Puisi-puisi sederhananya begitu menonjok perhatian bahwa cinta bisa merubah dunia walau hanya persepsi yang sifatnya sementara. Cinta adalah keindahan yang datang tiba-tiba. Begitulah Hirata membawa pesan dalam karangan semi biografis ini.
Membaca buku ini harapan saya yang dulu redup akan sastra yang dihasilkan generasi muda Indonesia yang seakan tidak peduli dengan realitas yang hidup di masyarakat dan asik dengan dunianya sendiri, dunia yang asing karena sekat-sekat kelas dan benteng materi menjadi terbakar lagi. Kaum sastrawan muda Indonesia sudah saatnya memperhatikan dan mendalami problem-problem masyarakat sehingga bisa membuka apa yang sebenarnya terjadi. Jargon-jargon sastra yang tidak peduli dengan mutu dan mendewakan pasar harus dilawan dengan semangat baru menampilkan gelaran cerita yang bisa membuka alam kesadaran generasi muda Indonesia sastra bukanlah ruang kosong yang asing dalam dimensi problem masyarakat. Sastra yang baik adalah sastra yang menjadi suara jaman bukan suara kaum yang cari duit. Dan Hirata telah membuka pintu kesadaran itu.
Membaca buku ini seakan-akan membuat novel lain dari pengarang yang mau jadi selebritis atau selebritis yang katanya mau jadi pengarang itu semakin menjadi sastra comberan yang tidak layak muncul di ruang-ruang penyadaran.
Saya sangat merekomendasikan Buku Laskar Pelangi!!!!!
Jadi bacalah sebelum ada sutradara film yang merusak imajinasi kita atas buku ini......
ANTON
`
No comments:
Post a Comment