Tuesday, 27 November 2007

Sajak Untuk Pram....


Sajak Untuk Pram...

Sejarah hidup ini adalah sejarah perampasan...

Kata orang tua itu sembari matanya menatap langit
Dan empat belas tahun dia menerima luka
Pahit dan diganyang masa lalu....

Sejarah hidup ini adalah sejarah perampasan....

Pahit luka tak bisa ditebus
Dan matahari tidak pernah meredup
Maka malam yang berusaha disingkirkan
Akan menjadi benalu di alam pikiran

Sejarah hidup ini adalah sejarah perampasan....

Dengan pahit kau rasakan
Duapuluh juta hinaan
Dari mereka yang mempertanyakan untuk apa memperjuangkan keadilan
Sembari tangannya berlumur darah

Sejarah hidup ini adalah sejarah perampasan....

Kita bangun masa lalu
Dan kita indahkan bingkainya
Lalu dengan manis kita lupakan
Bahwa senja sudah turun di batas waktu

Sejarah hidup ini adalah sejarah perampasan........

(Puisi untuk Pram..)

Pasar Saham Sosial


Pasar Saham Sosial

Oleh : Anton

Ada ide yang menarik digagas oleh M. Yunus – ekonom peraih nobel dari Bangladesh – tentang kemungkinan diadakannya Pasar Saham Sosial dalam wawancaranya dengan KOMPAS pada minggu (2/8/07). Menurutnya ada peluang untuk membuat Pasar Saham Sosial di Internet dengan perusahaan-perusahaan sosial yang dari berbagai negara. Bila ini berhasil dilakukan maka M. Yunus telah menyempurnakan kerja besarnya menjadi Revolusi Sosial yang mengglobal, pertama karena ia membuka kemungkinan akses kaum miskin untuk mendapatkan kredit tanpa halangan birokrasi, kecurigaan kelas dan ketertutupan budaya. Kedua, ia menciptakan Pasar dengan regulasi Internasional dimana akumulasi kapitalnya secara agregat bukan dikuasai oleh kelompok tertentu – seperti yang terjadi dalam alam kapitalisme busuk saat ini – tetapi dinikmati oleh seluruh umat manusia tanpa melihat kelas, status dan kekayaan. Semoga Open Listing Pasar Saham Sosial ini segera terbentuk.

M. Yunus telah melakukan apa yang disebut Karl Marx sebagai ‘Intelektual Organik’ yaitu : Intelektual yang aktif mengaplikasikan pemikiran-pemikirannya dengan kata lain ‘tidak berjarak dari massa’. Terlepas dari perdebatan apa yang dilakukan M.Yunus sebagai ‘Pengenalan alam kapitalis pada akar rumput masyarakat- namun yang dilakukan M. Yunus justru pokok dari ajaran Marxisme, yaitu menjebol mistifikasi kelas-kelas di dalam masyarakat, menghancurkan mistifikasi distribusi kekayaan dan membongkar sistem-sistem kekuasaan yang berbasis pada korupsi. Penjebolan M. Yunus pada mistifikasi pelapisan kelas adalah sebuah langkah revolusioner, dimana merupakan tujuan banyak kaum pejuang kemerdekaan Nasionalis di abad 20 memikirkannya. Adalah Hatta orang Indonesia yang pertama kali menyadari bahwa ‘kemerdekaan ekonomi’ adalah landasan berdirinya sebuah negara-bangsa dan ekonomi yang diingini oleh Hatta perekonomian berbasis koperasi dengan semangat kewirausahaan yang kolektif. Namun gagasan Hatta hancur total dalam eksperimen Orde Baru, dimana tidak ada tempat untuk ekonomi rakyat dan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai ‘langkah membebaskan usaha-usaha besar dan raksasa dengan pinjaman luar negeri yang raksasa pula’ disinilah mulai berselingkuh antara kekuasaan dan kaum usahawan yang hasilnya kita lihat sekarang. Utang besar dan rakyat yang tidak tahu apa-apa disuruh membayar lewat pajak. Dalam ekonomi Orde Baru, akses modal dibatasi pada ‘kelompok-kelompok’ tertentu yang dekat dengan kekuasaan dan menopang kekuasaan. Kelompok-kelompok ini kemudian membentuk kelas-kelas di dalam masyarakat dan bahkan saat ini mereka adalah ‘ruling class’ dari hasil reformasi gadungan. Seringkali banyak pertanyaan mengapa pengemplang-pengemplang kelas kakap itu dibebaskan utangnya, sementara rakyat kecil semakin dibatasi aksesnya, termasuk akses paling dasar, seperti : Rumah Tinggal dan Ruang Hidup. Ketidakadilan ini disebabkan, kaum pengemplang itu adalah pilar-pilar ekonomi Indonesia saat ini, merekalah pondasi paling kuat terhadap sistem kekuasaan di Indonesia, terlepas sistem yang dipakai itu demokrasi atau otoriter. Kenapa maling sendal bolong atau maling lada hitam beberapa kilogram dihukum jauh lebih berat daripada koruptor ratusan milyar rupiah? Karena hukum terjebak pada mistifikasi kelas, kelas-kelas penguasa bahkan yang pernah dipenjara sekalipun menjadi jantan tanpa malu dihadapan publik tak ada cemoohan sosial atau hukuman masyarakat, sementara kelas yang terpinggirkan oleh sistem menjadi pariah, kalaupun mereka pernah dipenjara, maka hukum sosialnyapun jauh lebih berat dari hukuman Tuhan. Itulah salah satu sebab kenapa pada masyarakat-masyarakat dunia ketiga mobilitas sosial selalu diartikan sebagai pencarian kekayaan yang kemudian berubah menjadi status sosial, karena ‘Miskin itu dosa’. Dan mistifikasi status itu menjadi barang suci dalam masyarakat dunia ketiga.

Kedua, apa yang dilakukan M. Yunus adalah menghancurkan mistifikasi distribusi kekayaan. Apa yang kita rasakan terhadap anehnya distribusi kekayaan di Indonesia adalah nyata dan memalukan sebagai negara-bangsa yang berkomitmen pada ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Bank-Bank di Indonesia bukan saja enggan berurusan dengan kredit mikro bahkan mereka sebagai agen-agen mediasi antara kelompok surplus dengan defisit menciptakan mitos sendiri, mereka membangun ketakutan-ketakutan pada kelompok miskin, mencap kelompok miskin sebagai bukan bagian dari sistem ekonomi dan merekayasa regulasi yang semakin mempersempit akses ‘kaum tanpa identitas’ menjadi sama sekali tidak bisa mendapat pinjaman untuk melakukan wirausaha. M.Yunus dengan dua orang pembantunya, puluhan tahun lampau malah mendatangi kaum miskin tanpa identitas, dan menanyakan serta memberi apa kebutuhan mereka sembari meningkatkan semangat kewirausahaan. Menurut M. Yunus sistem keuangan dibangun dengan berdasarkan kecurigaan, bukan kepercayaan. Ekonomi berbasis curiga, maka menciptakan sistem yang mengancam dititik inilah konflik sosial kerap terjadi. Di Indonesia hancurnya Bank-Bank kita di era 1997-2000 dan direbutnya bank-bank lokal jatuh ke tangan asing, adalah gambaran betapa ekonomi kita di tangan Orde Baru bukan saja dijalankan diskriminasi kelas tapi juga alat menopang kekuasaan, ketika kekuasaan itu runtuh maka borok menjadi jelas di depan mata kita, namun borok itu diobati dengan penuh kasih sayang atas nama penyelamatan ekonomi nasional. Baru-baru ini Menteri Keuangan pusing dengan membludaknya dana di BI, namun menkeu atau siapapun pejabat publik di negeri ini tidak kedengaran suaranya tentang bagaimana memanfaatkan sekian persen saja idle cash dana negara untuk kewirausahaan sosial. Tidak ada kreatifitas membangun sistem keuangan yang radikal, selain hanya tambal sulam terhadap warisan sistem keuangan masa lampau. IHSG, Nilai Rupiah, dan tetek bengek instrumen makro menjadi sama sekali tidak berbunyi di sektor riil, karena tidak ada keberanian mengambil resiko bagi pemerintah untuk masuk pada ekonomi rakyat yang sesungguhnya. M. Yunus mengajarkan pada kita, bahwa distribusi ekonomi tidak harus dibangun dasar curiga, tapi kepercayaan. Dan ekonomi rakyat memiliki kadar kepercayaan yang tinggi ketimbang konglomerasi-konglomerasi bentukan Orde Baru. Nilai-nilai Agama tentang tanggung jawab sangat besar pengaruhnya terhadap kultur rakyat kecil, Islam sendiri selalu mengajarkan bagaimana perdagangan diletakkan terutama sekali pada nilai tanggung jawab, kepercayaan dan saling pengertian seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad dalam melakukan perdagangan di Damaskus.

Walaupun M. Yunus gagal untuk masuk ke dalam sistem politik Bangladesh yang tipikal dunia ketiga macam Indonesia, yaitu : Korup. Namun sistem keuangan ‘Grameen Bank’ bisa menghancurkan sendi-sendi paling dasar korupsi itu sendiri, korupsi yang terjadi di Indonesia adalah ‘Penyakit Jiwa’ atau ‘Mental Yang Rusak’ bukan kebutuhan untuk hidup. Sakit jiwa ini dilahirkan oleh sistem yang sakit dan sistem sakit disebabkan pada tujuan-tujuan dasar bangsa yang salah kaprah. Mayoritas pegawai negeri dan calon pegawai negeri di Indonesia bukanlah pengabdi rakyat tapi pada pencari ladang status sosial, dan status sosial harus ditopang pada kekayaan, komoditifikasi kekayaan bagi kaum birokrat adalah jabatan dan komoditi jabatan membentuk nilai fantastiknya lalu dibeli oleh cukong-cukong dari sinilah Korupsi bermula dan beranak pinak membentuk derivatifnya. Kenapa status sosial begitu penting? Kenapa mobilitas sosial terpusat pada simbol-simbol pendidikan, status dan kekayaan?. Ini karena gagalnya mentalitas wirausaha di kalangan mayoritas bangsa Indonesia. Ratusan ribu orang antre untuk jabatan pegawai negeri untuk ratusan lowongan, aksi tutup mulut IPDN terhadap kebrutalan institusinya untuk mempertahankan keselamatan menjadi pegawai negeri, Kebanggaan profesional-profesional muda terampil bekerja pada perusahaan asing dan jutaan kaum terpelajar menganggur adalah indikasi bahwa ada yang sakit pada bangsa Indonesia, yaitu : ‘Gagalnya mental wirausaha di Indonesia untuk tumbuh’. Lucunya jika di Amerika Serikat kaum usahawan merupakan orang-orang pilihan, di Indonesia usahawan adalah orang-orang yang kepepet jadi pengangguran, bukan kesadaran memilih untuk menempa menjadi usahawan. Kesalahan ini bukanlah didasarkan pada mentalitas orang Indonesia saja yang membenci menjadi usahawan, tetapi juga sistem keuangan yang diskriminatif. Pemuda-pemuda tangguh Indonesia yang berani bertarung untuk menjadi usahawan sering terganjal pada sistem keuangan yang penuh curiga, akses modal terbatas, tertutupnya jaringan pasar produk dan regulasi pemerintah yang tidak berpihak pada usahawan kecil. Bila M. Yunus memburu kredit untuk pengemis-pengemis di jalanan Bangladesh maka menurut Jusuf Kalla, di Indonesia kemiskinan tidak separah Bangladesh. Pendapat itu seratus persen benar, karena secara nominal kita lebih kaya, tapi secara riil tidak ada yang lebih mengharukan melihat seorang pemuda di jalanan Jakarta, dengan menggunakan hem putih dan celana hitam di pinggiran jalan Jakarta menggantungkan karton besar dengan tulisan besar ‘Saya Butuh Pekerjaan’.

Kita sudah putus asa dengan pemerintahan yang autis seperti saat ini dan jangan berharap dari pemerintah mulailah dari diri kita sendiri, apa yang dilakukan M.Yunus adalah pemberdayaan kecil dengan akibat besar, andai saja kaum kaya Indonesia yang jumlahnya puluhan juta mengalami kesadaran sosial untuk memahami skema pinjaman gaya M.Yunus dengan memberi kredit pada orang-orang yang dikenalnya bukan dengan sistem yang Dzalim maka kita sudah memberi apa yang disebut ajaran Islam sebagai sedekah. Disinilah tangan Tuhan mulai bekerja. Dengan dimulai dari diri kita sendiri. AMIEN


ANTON

Pendidikan Yang Terkapitalisasi

Pendidikan Yang Terkapitalisasi
(Sebuah Jawaban Untuk Bung Kadarma)

Oleh : Anton

Pertanyaan Bung Kadarma

Untuk mas ANTON (anton_djakarta) , bisa tolong jabarkan maksud anda menyebut struktur program doktor di Indonesia sebagai Kapitalisasi Pendidikan?


Jawaban saya ini bukan merupakan pembelaan terhadap sikap anti institusional pendidikan. Tetapi merupakan sebuah teropong mikroskopis sosial terhadap gejala yang terjadi di masyarakat dan sumber sebab kegagapan masyarakat kita memaknai intelektualitas. Tapi sebelumnya saya menganjurkan untuk tetap mengejar pendidikan, mengejar kecerdasan yang bermakna, dengan atau tanpa gelar.

Mengapa pendidikan di Indonesia bisa terkapital?

Salah satu misi penting proyek pembentukan Indonesia adalah ‘Mencerdaskan bangsa’ karena dalam pencerdasan bangsa merupakan bagian pokok untuk menciptakan manusia yang merdeka, manusia yang tidak terasing oleh dirinya, lingkungan dan hasil produksinya juga manusia yang memiliki kesadaran penuh untuk mengembangkan kepribadian dengan mencerahkan nalar. Itu misi ideal dari pendidikan di Indonesia, tapi kenapa kemudian mesin pendidikan kita seakan menjadi tidak bermakna ‘pencerdasan’ tapi ‘pengkapitalan’?

Kesadaran manusia ditentukan oleh masyarakat. Masyarakatlah yang menciptakan kesadaran-kesadaran individu, lalu bagaimana masyarakat Indonesia memaknai pendidikan yang institusional?. Dalam masyarakat kita kecerdasan otodidak sedikit mendapat tempat dalam struktur masyarakat mereka lebih menghargai gelar walaupun tidak memiliki makna kesejatian intelektual, institusional yang kemudian memproduksi gelar adalah alat untuk mencapai mobilitas sosial dalam masyarakat kita. Dengan kata lain gelar dalam dunia pendidikan adalah bentuk titel identifikasi individu yang menjadi bagian dari kelasnya di masyarakat. Titel identifikasi inilah yang kemudian menjadi surplus dalam relasi-relasi sosial masyarakat lalu dimanfaatkan dengan baik oleh para agen-agen kapital.

Sejarah pendidikan kita adalah juga sejarah pencangkokan kapitalisme di Indonesia. Setelah usainya masa Culturstelsel (1830-1870) dimana kebijakan Van Den Bosch ini membawa pagebluk bagi orang-orang pribumi dan mengantarkan kemakmuran negeri Belanda menjadi bangsa utama di Eropa Barat maka mulailah masa kesadaran hati nurani bangsa Belanda dimana kemudian tumbuh kelompok liberal yang dimotori kaum borjuis berpandangan maju ke depan dan tahu perkembangan-perkembangan kapital tahap lanjut. Kaum Liberal ini juga yang kemudian menghancurkan sendi-sendi dasar imperialisme feodal dimana mereka menuntut tidak adanya campur tangan pemerintah dalam kegiatan perekonomian di Hindia Belanda ini juga merupakan lonceng kematian bagi politik Merkantilisme dan Proteksionisme. Tahun 1848 Revolusi buruh membakar Eropa dan membuka kesadaran lebih baru lagi tentang peradaban manusia. Revolusi itu juga merupakan bibit bagi perkembangan Sosialisme yang terpengaruh pikiran Marxisme. Bangkitnya politisi-politisi Sosialisme di parlemen Belanda menimbulkan arus kuat politik baru yang menghendaki lebih dihargainya kaum pribumi sebagai manusia. Bahkan lebih jauh lagi kaum Sosialis Belanda mengobarkan jargon ‘Hindia Belanda untuk orang Pribumi’. Tekanan kuat kaum Sosialis inilah yang kemudian memunculkan ketokohan C.Th. Van Deventer yang sering menuliskan artikel-artikelnya di majalah Socialistische Gids dan De Nieuwe Tijd. Dalam tulisan-tulisan ini kemudian mempengaruhi kebijakan pemerintahan Hindia Belanda untuk melakukan politik balas budi atau Ethis kepada kaum pribumi, dan salah satunya adalah ‘mencerdaskan’ kaum pribumi.

Setelah disetujuinya program-program politik ethis kemudian berdirilah sekolah-sekolah Belanda yang mengajarkan peradaban barat termasuk keunggulan ilmu pengetahuan dan cara berpikir orang barat kepada kaum pribumi. Pendidikan inilah yang kemudian menjadi benih unggul tumbuhnya generasi baru yang memiliki kesadaran kemerdekaan politik. Namun disamping akibat positifnya program-program pendidikan barat ini juga memunculkan masalah serius di dalam masyarakat. Program pendidikan di Hindia Belanda menghasilkan pribumi-pribumi pintar tapi susunan masyarakat kolonialis belum siap menerima kelas baru itu. Kaum terdidik pribumi yang tidak berminat menjadi ‘Freeman’ dan menjalankan aktivitas politik liar memiliki satu cita-cita yaitu menjadi pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini bisa terjadi karena kolonialisme Hindia Belanda merupakan Beambtestaat (negara pegawai-kelak sistem ini diadopsi Orde Baru) disinilah kepintaran kaum terdidik menjadi mentah di dalam tata masyarakat kolonialisme karena terbentur masalah rasial, dimana orang Belanda totok yang bodoh bisa menjadi atasan bagi kaum pribumi yang pintar. Hal ini yang kemudian menimbulkan rasa frustrasi kaum pribumi terdidik dan malah menjadi dinamit bagi sistem kolonial.

Belanda juga mensyaratkan jenjang pendidikan institusional yang ketat sebagai alat untuk menyaring pegawai-pegawai kelas atas, syarat mendapat gelar dari institusional pendidikan ini kemudian pelan-pelan menggeser kekuasaan kelompok-kelompok bangsawan tradisional. Kaum terdidik yang juga sebagian besar merupakan kelompok bangsawan rendahan menjadi terangkat kelasnya untuk bersaing dengan kelas bangsawan tinggi dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda dan senjata persaingan itu adalah gelar-gelar pendidikan. Lambat laun masyarakat feodal runtuh digantikan masyarakat kapitalis namun gema gelar pendidikan sebagai bagian dari identitas kelas malah semakin kuat dan menggantikan gelar kebangsawanan. Di titik inilah kemudian ‘pendidikan tidak diperlakukan sebagai pendidikan’ tetapi sebagai bagian diluar makna pendidikan dimana gelar pendidikan menjadi sangat penting bahkan jauh lebih penting dari proses pendidikan itu sendiri.

Dalam masyarakat yang berkarakter feodal seperti Indonesia, gelar-gelar keturunan tidak lagi berbunyi apalagi setelah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 dimana salah satu gerakan penting revolusi itu menghantam feodalisme dengan keras (Revolusi sosial di Sumatera Timur dan Anti Swapraja di Solo) sehingga menjungkir balikkan nilai-nilai dalam masyarakat, gelar tradisional mengalami eliminasi makna namun karakter feodal masyarakat tidak berubah maka dicari gelar baru bernuansa feodal yang bisa memenuhi kepuasan masyarakat akan karakter feodal ini maka lahirlah dua kelompok baru yang mengidentifikasikan sebagai kelas terhormat, kelompok militer dan kelompok terdidik. Kelompok yang paling diuntungkan dalam penjungkirbalikkan kelas adalah kelompok elite militer baru (bentukan Jepang) dan kelompok terdidik bergelar pendidikan. Dari dua kelompok inilah menjadi mesin pemerintahan terpenting dalam menjalankan rezim Orde Baru yang tumbuh setelah menghancurkan sel-sel gerakan rakyat kelas bawah yang diwakili oleh PKI dan Kekuatan Nasionalis Pro Sukarno. Bangunan masyarakat Orde Baru digiring menjadi bangunan yang mendukung kuat kelas elite.

Orde Baru adalah rezim dengan dua wajah yang saling bertolak belakang, wajah anti intelektual yang menafikan rasional dan menghidupkan mitos-mitos kekuasaan dan wajah yang mendewakan pendidikan sebagai sarana untuk menyaring manusia-manusia loyal terhadap kekuasaan.

Institusi pendidikan dibawah Orde Baru bukan lagi sesuatu yang otonom tapi merupakan bagian dari wilayah yang takluk pada kekuasaan. Dibawah Orde Baru kekuasaan tidak berhenti di depan pintu kampus, tapi malah masuk dan merasuk ke dalam kampus menjadi nyawa kampus itu sendiri dan menghembuskan kematian keberanian intelektual dan kemampuan berorganisasi para mahasiswa. Salah satu petunjuknya gagapnya generasi muda dalam melakukan keberanian berorganisasi adalah gagalnya mereka mengambil peran sejarahnya yang sesungguhnya sudah ditakdirkan pada pergolakan 1997-1998. Penghilangan makna otonom intelektualitas digantikan oleh nafsu narsisme terhadap gelar-gelar pendidikan. Ketidakpuasan intelektual digantikan oleh kepuasan-kepuasan subjektif dalam bentuk simbol-simbol yang diterima kehadirannya oleh masyarakat.

NKK/BKK 1978 adalah tonggak penting bagaimana pendidikan bukan lagi menjadi wilayah otonom tapi menjadi tangan kekuasaan. Tapi kekalahan institusi pendidikan bukanlah satu-satunya kekalahan, karena Kapitalisme juga merampok habis-habisan otonomi pendidikan dengan jalan memanfaatkan mitos gelar pendidikan di masyarakat dan kebutuhan gelar pendidikan bagi kekuasaan.

Orde Baru yang mengadopsi total sistem Beambtestaat (Negara-Pegawai) kolonial Hindia Belanda menjadikan Universitas-Universitas sebagai mesin penyaring loyalitas tingkat pertama pegawai negeri. Periode 1970-1990 menjadi pegawai negeri adalah prestasi tertinggi individu di dalam masyarakat dan merupakan idaman para calon mertua. Dan untuk menjadi pegawai negeri yang memiliki masa depan sebagai pegawai tinggi negara memerlukan gelar pendidikan untuk membedakan pegawai negeri kelas teri. Disinilah kemudian orang yang tidak memiliki gelar pendidikan berada di luar sistem. Gelar pendidikan bertransformasi sebagai kunci untuk masuk ke dalam sistem negara Orde Baru. (-uniknya Soeharto biangnya Orde Baru bukan seorang sarjana, inilah ironi salah satu Orde Baru diantara jutaan ironi lainnya-). Gelar pendidikan juga merupakan status simbolik yang membedakan pemegang gelar dengan rakyat. Yang membedakan pemegang gelar dengan alam profan masyarakat. Karena terpisah dari rakyat, maka pemegang gelar pendidikan menjadi terasing dengan masyarakat dan merasa lebih memiliki pengetahuan yang lebih luas ketimbang rakyat kebanyakan lalu menciptakan kelas yang terpisah dengan masyarakat. Tidak ada yang lebih baik untuk menjelaskan ini dari sebuah cerita berikut :

“Seorang Insinyur pertanian dari Jepang akan meninjau sistem persawahan di Indonesia, ketika waktu yang ditentukan untuk melihat sawah di Indonesia ia terkesiap melihat counterpart-nya Insinyur pertanian dari Indonesia yang memakai safari lengkap yang disetrika rapi, bersepatu kulit dengan semir hitam licin juga dengan jam tangan yang mewah. Sementara Insinyur Jepang itu mengenakan pakaian kerja berikut sepatu boot yang biasa ia kenakan bila meninjau persawahan. Ketika bersalaman ia semakin kaget karena telapak tangan Insinyur pertanian itu begitu halus, ini beda dengan telapak-telapak tangan Insinyur pertanian Jepang yang ia kenal karena telapaknya kasar sebab sering macul atau memegang alat-alat pertanian. Barulah kemudian Insinyur Jepang itu tahu bahwa Insinyur pertanian di Indonesia memang bermental priyayi dan tidak mau turun ke sawah langsung”

Cerita ini menunjukkan bagaimana sarjana-sarjana Indonesia terasing bukan saja dari masyarakatnya tapi juga dari intelektualnya. Mereka lebih memperhatikan bagaimana memasuki kelas masyarakat ketimbang memilih ‘jalan keras’ Intelektual.

Mitos gelar pendidikan sebagai alat kendaraan untuk mobilitas sosial dan kepentingan-kepentingan kekuasaan menjadi bagian penting dari proses kapitalisasi di bidang pendidikan. Terkapitalisasinya pendidikan juga merupakan penyusunan tembok kelas di masyarakat. Sehingga rasanya mustahil bagi anak seorang tukang becak menjadi seorang dokter dari Universitas ternama karena tiadanya biaya pendidikan, disinilah kemudian gelar menjadi anjing penjaga kelas-kelas di dalam masyarakat. Di samping itu gelar pendidikan kemudian menjadi alat politik dengan kata lain senjata untuk mendapatkan kekuasaan. Kasus Sys NS (Sys NS tidak memiliki gelar sarjana) yang gagal menjadi kandidat dalam Partai Demokrat menunjukkan bagaimana gelar pendidikan bertransformasi menjadi senjata politik bagi kelompok tertentu. Kasus Sys NS bukan karena dia bodoh sehingga tidak layak menjadi ketua partai. Sys NS tentunya memiliki pemahaman sosial-kemasyarakatan lebih baik ketimbang ketua umum Partai Demokrat sekarang, setidak-tidaknya Sys NS memiliki track record jelas dalam peranannya di masyarakat terutama kalangan muda (di tahun 80-an Sys NS merupakan ikon kaum muda Indonesia yang mampu berorganisasi) ketimbang Ketua Umum Partai Demokrat sekarang yang lebih memiliki makna reputasi karena hubungan kekerabatannya dengan Presiden SBY ketimbang perannya di masyarakat. Tapi penggagalan Sys NS dalam bursa kandidat Partai Demokrat dengan senjata gelar. Ini artinya gelar bukan lagi diartikan sebagai ‘kamu mampu karena itu kamu bergelar’ tapi lebih hanya alat politik untuk menjatuhkan lawan politik, hal yang kemudian dicoba lagi oleh kelompok tertentu dengan mensyaratkan Strata-1 bagi Presiden RI untuk menjatuhkan Megawati namun usul ini menjadi bahan tertawaan lapisan intelektual masyarakat.

Kebutuhan masyarakat terhadap gelar-gelar inilah yang kemudian memancing tumbuhnya kapitalisme pendidikan yang bukan hanya membangun sekolah-sekolah sebagai produsen gelar tapi juga semata-mata hanya jualan gelar bukan mementingkan proses penumbuhan intelektual. Adagium ‘segala yang populer akan mendegradasikan kualitas’ mendapatkan momentumnya pada proses industrialisasi massal gelar. Tak terkecuali pendidikan tingkat doktoral.

Untuk mendapatkan gelar Doktor di Indonesia (-harus diakui di Universitas-Universitas unggulan mencapai gelar Doktor memiliki kualifikasinya sendiri-) asal masuk kelas saja bisa dapat gelar. Bahkan ada yang menjual gelar doktoralnya tanpa melalui proses pendidikan jadi asal beri saja kalau ada uang dan langsung wisuda di Hotel-Hotel mewah, hal memalukan ini pernah menimpa Rhoma Irama dan Anwar Fuadi yang secara tidak sadar dimanfaatkan sekelompok kapitalis memberikan gelar Doktoral kepada orang-orang dengan menjual nama orang-orang terkenal. Di Amerika Serikat dan negara-negara maju, doktoral adalah gelar yang diberikan kepada orang yang memang mendedikasikan dirinya untuk pendidikan akademis dan menghasilkan produk-produk ilmiah lewat riset yang panjang. Jarang sekali orang-orang yang hidup dalam lapangan praktis mencapai pendidikan sampai tingkat doktoral. Ini disebabkan dalam struktur masyarakat negara maju, terdapat pemisahan yang jelas antara praktisi dan akademisi. Kehormatan dan penghargaan masyarakat didapatkan oleh mereka berdasarkan prestasinya. Namun di Indonesia belum lengkap rasanya seorang praktisi yang katakanlah sukses bila tidak mencantumkan gelar doktoral walaupun proses pendidikannya dibilang singkat dan meragukan yang penting adalah dengan menjadi doktoral mereka merasa menjadi bagian dari orang-orang pintar. Di negara-negara maju yang memahami karakter masyarakat kita juga menangkap kelemahan mental psikologis orang Indonesia terhadap gelar, lalu mereka juga membangun kampus-kampus ‘pinggir jalan’ yang gunanya bukan sebagai alat pencerdasan tapi alat produksi gelar. Gelar pendidikan dari luar negeri dianggap lebih bergengsi daripada produk gelar dalam negeri.

Permasalahan terjadi ketika dunia semakin rasional, Orde Baru yang hancur karena kontradiksi-kontradiksi internalnya sendiri layu pada sistem kapitalis yang diciptakannya. Kapitalisme menghendaki profesionalitas dan kemampuan individu yang tinggi mereka masa bodoh dengan gelar yang berjibun. Bagi kaum kapitalis kemampuan nomor satu bukan gelar tapi ketrampilan yang menguntungkan pihak kapital. Di sinilah kemudian terjadi ledakan pengangguran kaum bergelar pendidikan. Banyaknya sarjana nganggur salah satunya adalah motivasi pendidikan itu dianggap selesai tatkala gelar ditangan, bukan pembentukan kualitas pribadi yang siap dengan tantangan kehidupan. Institusi pendidikan Indonesia kebanyakan masih bermental ‘produksilah gelar sebanyak mungkin’ bukan ‘cetaklah manusia intelektual sebanyak mungkin’. Ketika dihadapkan pada realitas kapital tahap lanjut kaum bergelar yang masih bernuansa feodal tergagap-gagap. Namun mentalitas pemujaan gelar masih berlebihan bagi mereka yang memang sudah memiliki kapital. Gelar digunakan untuk tujuan lain. SBY sendiri memanfaatkan keuntungan politik bagi dirinya lewat rasa kagum masyarakat dengan gelar pendidikan saat dia secara komikal memamerkan bahwa ia menggondol gelar Doktoral yang temponya pas saat dia terpilih menjadi kandidat Presiden RI. Dengan ini SBY berpesan ‘saya bergelar doktoral maka saya lebih baik dari Megawati yang bukan sarjana itu’ dan karakter masyarakat yang patriakhal melihat pemimpinnya begitu tingkat bawah juga begitu, para calon Bupati, Walikota, Gubernur belum afdol rasanya bila menderetkan gelar-gelar pendidikan tanpa masyarakat tahu apa mereka telah melakukan riset apa belum. Apa mereka telah buat buku apa belum, dan tidak tahu keahlian mereka apa. Disinilah kemudian para kapital yang main di industri pendidikan merekayasa penipuan-penipuan kapitalnya dengan memanfaatkan celah bisnis yang ada.

Dalam masyarakat kapital tahap akut, pendangkalan makna menjadi ciri utama. Semua hal harus merupakan bagian dari tampilan-tampilan yang membentuk imaji tanpa harus memiliki kedalaman makna, karena waktu yang cepat untuk berlomba secara efisien memproduksi sesuatu maka manusia-manusia yang hidup di alam kapital ini tidak punya waktu berpikir dalam-dalam. Dan gelar pendidikan adalah bagian dari ‘budaya tontonan’ atau budaya tampilan. Ingin menjadi pintar pakailah gelar. Dan gelar dimanfaatkan oleh kapitalis untuk menangguk untung.

Perkakas bermanfaat bagi kerja manusia sejauh ia menjadi perkakas, pendidikan bermanfaat secara intelektual sejauh ia bertindak sebagai pendidikan bukan hal lain diluar itu.

ANTON

Sukarno Menurut Ignas Kleden


Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks

Oleh Ignas Kleden

Istilah "sejarah teks" adalah terjemahan bebas oleh penulis untuk konsep hermeneutik yang lebih dikenal dalam versi bahasa Jerman sebagai Redaktionsgeschichte atau sejarah redaksi. Konsep ini menegaskan bahwa setiap teks yang diproduksi dalam kebudayaan selalu mempunyai semacam riwayat hidup berupa sejarah penyusunan, kodifikasi, perubahan, atau revisi redaksi dan mungkin juga otorisasi teks yang terjadi dari waktu ke waktu.Mengetahui sejarah redaksi ini merupakan sebuah prasyarat penting untuk menyimak makna teks itu dalam hubungan dengan konteks penciptaan atau penyusunannya karena sering terjadi pergantian atau pertukaran semantik, penambahan anotasi, penyisipan bagian-bagian baru dalam editing, perbaikan sintaksis atau modulasi stilistik, yang mengakibatkan pergeseran makna atau perubahan tekanan pada berbagai bagian teks itu.Sudah jelas Pancasila adalah sebuah teks utama untuk Indonesia. Dalam sejarah redaksinya, tanggal 1 Juni 1945 menjadi sebuah momen yang amat penting karena pada hari itu Pancasila dikemukakan kepada suatu publik politik untuk dipertimbangkan, diuraikan masing-masing silanya secara rinci, dan didemonstrasikan keseluruhannya sebagai suatu konfigurasi pemikiran yang utuh. Soekarno sebagai penggagas dan juru bicaranya pada waktu itu dengan tegas memberikan dua kualifikasi utama kepada Pancasila, yaitu kedudukannya sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) dan fungsinya sebagai suatu pandangan (tentang) dunia (Weltanschauung).Soekarno dalam pidato yang bersejarah itu menyamakan begitu saja dasar filsafat negara dan suatu pandangan dunia. Patut dicatat bahwa pandangan dunia, yaitu world view atau Weltanschauung diperlakukan dalam ilmu-ilmu sosial sebagai pokok kajian dan penelitian ilmu-ilmu budaya.

Clifford Geertz, misalnya, melihat world view sebagai gagasan orang-orang dalam suatu kelompok budaya tentang dunia yang mereka hadapi dan hayati, berupa ikhtisar kompleksitas dunia itu dalam beberapa gambaran yang disederhanakan: apakah dunia itu pada dasarnya baik atau jahat, real atau maya, abadi atau sementara, merupakan tempat persinggahan sejenak atau tempat orang mengolah nasib dan membangun masa depannya. Sosiolog Jerman-Inggris, Karl Mannheim, berbicara tentang Weltanschauung eines Zeitalters atau pandangan dunia dalam suatu kurun waktu sejarah, jadi mirip dengan suatu semangat zaman atau Zeitgeist. Sementara itu, filosof Jerman, Karl Jaspers, berpendapat bahwa Weltanschauung tak lain dari suatu jenis filsafat (karena sifatnya yang menyeluruh dan tidak sektoral), tetapi tidak sekadar suatu filsafat yang spekulatif, tetapi filsafat yang efektif, suatu wirkende Philosophie, yang sanggup memberi harapan, kepercayaan, dan membangun komitmen.Apa pun soalnya, cukup jelas bahwa Soekarno, selama dua dasawarsa (sejak 1926 hingga 1945), berpikir keras tentang apa yang dapat mempersatukan berbagai kelompok suku di Indonesia menjadi suatu bangsa yang dapat menentukan nasibnya sendiri melalui sebuah negara merdeka. Apakah mungkin tercapai sebuah dasar tempat semua orang dapat berdiri bersama secara politik di atas suatu platform nasional?Sebagai aktivis politik yang berpengalaman, Soekarno memiliki perhatian yang tertuju pertama-tama pada suatu integrasi politik yang dapat mempertemukan dan mempersatukan berbagai kelompok politik pada watu itu. Dia tidak banyak berpikir tentang integrasi sosial atau integrasi budaya, yang kemudian menjadi pokok pemikiran tokoh-tokoh, seperti Ki Hadjar Dewantara atau Sutan Takdir Alisjahbana.Apa yang dicari oleh Soekarno adalah suatu tema yang cukup luas, tetapi cukup terpadu, tempat semua kelompok politik terpenting pada masa itu merasa terwakili asasnya, identitasnya, dan kepentingannya. Dalam istilah ilmu politik sekarang, Soekarno secara meyakinkan melakukan suatu agregasi kepentingan politik dan mengartikulasikannya dengan berhasil.Jelas sekali Soekarno harus memperhitungkan kelompok-kelompok agama, khususnya Islam, sebagai kelompok agama terbesar yang terwakili dalam NU dan Masjumi. Tanpa mencantumkan sila ke-Tuhan-an kelompok-kelompok agama sangat mungkin tidak tertarik mendukung negara yang akan didirikan. Atas cara yang sama tanpa mencantumkan sila kebangsaan golongan nasionalis yang mendapat kristalisasi politiknya dalam PNI barangkali akan tinggal apatis.Demokrasi dan kedaulatan rakyat jelas akan menarik perhatian kelompok politik yang menekankan kepentingan rakyat seperti MURBA dan para pejuang demokrasi, seperti Hatta dan para muridnya dalam PNI Baru. Demikian pula tanpa mengikutsertakan sila keadilan sosial, partai-partai politik berhaluan kiri tidak akan merasa terpanggil.Tak perlu diuraikan panjang lebar bahwa penghormatan kepada martabat manusia tidak bisa diabaikan karena hal tersebut merupakan isu yang dianggap menjadi tanda-kenal kaum inteligensia baru, khususnya kelompok politik yang mencita-citakan modernisme sebagaimana dapat diamati dalam subkultur PSI dan Masjumi misalnya.Jadi, berbeda dari Karl Mannheim, Soekarno tidak berbicara tentang pandangan dunia dari suatu kurun waktu, tetapi dari suatu tempat tertentu yang bernama Indonesia. Juga, berbeda dari Karl Jaspers, Soekarno tidak berbicara tentang filsafat tentang dunia (Weltanschauung), tetapi filsafat tentang kehidupan bersama dalam suatu negara. Dalam arti itu, Pancasila diusulkan sebagai pandangan hidup (Lebensanschauung) secara politik Apakah prinsip-prinsip Pancasila dipetik dari nilai-nilai dalam peradaban dunia atau digali dari kebudayaan-kebudayaan Nusantara adalah isu yang dimainkan dengan piawai oleh Soekarno sebagai teknik promosi dan persuasi terhadap pendengarnya, melalui retorika yang amat terpelajar dengan pengucapan yang gilang-gemilang.Dasar paling bawah (bottom line) pemikiran Soekarno adalah suatu gagasan yang dapat merepresentasikan identitas dan asas sebanyak mungkin kelompok politik, dan sekaligus dengan itu mengagregasikan kepentingan politik dalam spektrum seluas mungkin. Singkat kata, dari segi genealoginya, Pancasila terlahir sebagai suatu historico-political gentleman agreement, yaitu kesepakatan dari orang-orang dan kelompok-kelompok yang saling menghormati, meskipun mereka sadar ada banyak perkara di antara mereka yang tetap sulit dipertemukan. Kesepakatan itu harus dibuat agar dapat tercipta suatu landasan bagi konsensus nasional mengenai negara yang akan terbentuk.

Kita bersyukur bahwa RI sudah terbentuk di atas landasan tersebut. Fondasi politik ini sampai kini masih membuat Indonesia sebuah rumah bagi semua orang yang turut membangunnya, dan ingin hidup tenteram di dalamnya. Semoga rumah ini tidak berubah menjadi transit house, sekadar tempat bermalam dan menaruh koper bagi orang-orang yang hendak bepergian entah ke mana.

Ignas Kleden, Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Tentang Gelar Sarjana

Sarjana

Suatu saat pada sebuah acara televisi antara Menkominfo Sofyan Djalil dan Wimar Witoelar saling setengah pamer masalah pendidikan “Saya S1-nya di hukum dan S2-nya mendalami Pasar Modal” ujar Sofyan.”Wah kalau saya malah tidak pernah belajar komunikasi, saya S1-nya di elektro dan saat ini kerjaan saya konsultan keuangan...apa saja yang bisa dikerjain ya dikerjain..hehehe” begitu sekelumit catatan yang saya ingat tentang setengah pamer status pendidikan masing-masing. Beberapa hari kemudian opini tentang sarjana berkembang di ranah publik tentang status pendidikan. Kubu SBY rupanya ingin membidik Gus Dur dan Megawati sebagai pesaing potensial di Pemilu 2009 menembak kelemahan Gus Dur dan Mega yang ndak selesai sekolah. Gus Dur terlalu kepinteran, sementara Mega keburu kawin sehingga mereka berdua gagal menyelesaikan studi kesarjanaannya. Sementara SBY yang salah satu jualan politiknya pamer bahwa dia bisa menyelesaikan S3-nya di IPB tepat waktu dengan proses Pemilu 2004, ditangan tim kampanye SBY status S3 SBY sontak menjadi komoditas yang layak jual, SBY mencitrakan dirinya sebagai doktor ilmu ekonomi dari Institut Pertanian Bogor yang kesohor dengan ilmu Matematika Ekonomi, Statistika dan Pertaniannya itu, walaupun setelah menjabat Presiden harga gabah meroket, Indonesia tak kunjung berswasembada beras dan kelaparan masih jadi berita. Dibanding Suharto yang lulusan MULO Schakel ( SMP Swasta) Muhammadiyah, gelar doktoral SBY tak ada apa-apanya dibanding ketajaman otak Suharto jika berbicara masalah pertanian dan ekonomi makro. Suharto yang mengaku berpendidikan terbatas itu terbukti membawa Indonesia menjadi negara swasembada beras dan memodernisir Indonesia sementara SBY yang mengaku dan diakui doktor Ilmu Ekonomi jebolan Sekolah Pertanian ternama membuat blue print pertanian Indonesia-pun tidak mampu....

Hal yang paling saya ingat saat saya kuliah adalah cita-cita saya dan banyak kawan saya menjadi ‘Sarjana Ekonomi’...awalnya cita-cita yang abstrak itu membuat saya merasa bangga dengan status sarjana yang akan saya dapat itu, apalagi saya bercita-cita akan meneruskan sekolah keluar negeri sembari terus datang ke pameran-pameran pendidikan luar negeri dan mengumpulkan prospectus serta brosur-brosur kampus-kampus luar negeri yang mentereng. Di satu pagi tahun 1996 saya hendak ke dokter gigi berangkat pagi hari dan membekali dengan bacaan catatan pinggir Goenawan Mohammad (GM) yang akan saya baca di tengah perjalanan. Ada satu essay yang menarik saya berjudul ‘Pak Susman’ (terbit pada edisi Tempo 19 Agustus 1978) begini tulisannya :


Pak Susman mengajar geometri untuk SMP negeri yang dipimpinnya, ia seorang guru yang dikenang muridnya seumur hidup. Sebab pada satu hari ia tiba-tiba bertanya “ Untuk apa kamu belajar imu ukur?” Adapun yang ditanyainya adalah murid-murid kelas satu yang kedinginan oleh angin.

Waktu itu hari mendung. Dan setiap hari mendung, kelas di gedung bekas kamar bola Belanda di kota P itu gelap. Dan Pak Susman dengan mata yang mulai tua tapi berwibawa, tampak kian angker dengan pertanyaan yang mustahil dijawab.

Untuk apa belajar ilmu ukur?
Tapi Pak Kepala Sekolah itu rupanya tahu, bahwa anak-anak akan diam.Maka suaranyapun seperti bergumam, ketika menyelesaikan sendiri tanda-tanya yang ia lontarkan tadi : “Kamu belajar Ilmu Ukur bukan untuk jadi Insinyur, tapi supaya terlatih berfikir logis, yaitu teratur”

Lalu dengan antusiasme mengajar yang khas padanya, ia pun menjelaskan. Satu soal misalnya menyebutkan hal-hal yang sudah diketahui dari sebuah bangunan geometri. Ada rumus-rumus yang menyimpulkan berbagai hubungan dalam bangunan seperti itu. Nah jika anak-anak diminta membuktikan suatu hal dari dalam soal itu, mereka harus berfikir secara teratur : dari hal-hal yang sudah diketahui, sampai kesimpulan yang bisa ditarik.

Yang menakjubkan bukan saja ia dapat menjelaskan proses berfikir logis itu dengan gamblang dihadapan sejumlah bocah kedinginan yang berumur 13 tahun.Yang juga mengagumkan ialah bahwa ia, seorang kepala sekolah tak dikenal, di sebuah SMP bergedung buruk, dalam sebuah kota yang tak penting,ternyata bisa menanamkan sesuatu yang sangat dalam, yakni : apa sebenarnya tujuan pendidikan sekolah.

Pak Susman meninggal kira-kira 20 tahun yang lalu. Seandainya ia masih hidup, dan bertemu dengan seorang bekas muridnya yang lintang pukang menyiapkan diri untuk ujian SKALU -(sekarang UMPTN-anton). Barangkali ia juga akan bertanya : untuk apa semua itu?”

Ya, untuk apa?
Ada sebuah sandiwara keagamaan di TVRI beberapa waktu yang lalu. Seorang ayah menanyai ketiga anaknya, dengan pertanyaan yang mirip “apa cita-citamu? Apa tujuanmu sekolah?”

Yang pertama menjawab “saya akan jadi pemilik pabrik paku” Yang kedua menyahud, “saya akan jadi rohaniawan.” Yang ketiga berkata, “Saya akan jadi Sarjana.” Jawaban yang pertama adalah spesifik, jelas, terperinci. Jawaban yang kedua juga tak memerlukan tanda tanya baru. Tapi jawaban menjadi “saya akan jadi sarjana” terasa belum selesai. Diucapkan dalam bahasa Indonesia masa kini, kata “sarjana” adalah sebuah pengertian yang melayang-layang. Kita tak bisa menyama-artikan dengan kata ‘Scholar’ Atau ‘Scientist’. Arti “sarjana” yang lazim kini tak lain adalah dan tak bukan hanyalah “lulusan perguruan tinggi.”

Maka jika anda masuk sebuah perguruan tinggi karena bercita-cita menjadi “sarjana” itulah sama kira-kira dengan jika anda melangkah karena ingin berjalan. Sudah semestinya.

Kekaburan itu terjadi agaknya bukan cuma karena kacaunya pengertian “sarjana” Tapi juga karena sejumlah ilusi. Ilusi yang terpokok ialah ilusi tentang pendidikan sekolah serta tujuannya. Sudah tentu salah bahwa tujuan bersekolah di Universitas adalah untuk mendapatkan gelar. Tapi tak kurang salahnya untuk mengira bahwa di Universitas orang akan menemukan pusat ilmu, ataupun puncak pendidikan ketrampilan.

SEBAB bak kata Rasul Tuhan, orang harus mencari ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Dewasa ini pemikir pendidikan juga berbicara tentang “pendidikan seumur hidup” Dan dalam proses itu, Universitas hanyalah sepotong kecil. Seorang doktorandus, seorang Ph.D., barulah mengambil bekal untuk perjalanan panjang yang sebenarnya. Mereka belum selesai – juga belum selesai bodohnya.

Karena itu seandainya Pak Susman masih hidup, ia pasti akan bilang “kamu masuk universitas, itu supaya bisa terlatih berpikir ilmiah” Itu saja, kalau dapat.

(GM, 19 Agustus 1978)


Membaca tulisan GM itu kontan saya kaget dengan ketololan saya untuk mengejar jadi sarjana tanpa tahu apa esensi mencari ilmu pengetahuan dan latihan berfikir sesungguhnya. Dan kini saya melihat kelucuan lagi tentang wacana seorang Presiden harus Strata-1. Maka rontoklah orang-orang seperti Agus Salim, Sjahrir, Tan Malaka, DN Aidit, Hamka, Suharto, Adam Malik dan jutaan orang pintar di Indonesia yang tidak memilih jalur akademis formal untuk menajamkan intelektualitasnya.


ANTON

Memaknai SBY Memaknai Sukarno

Memaknai Sukarno, Memaknai SBY

Oleh : Anton

Dalam sebuah tulisan di milis FPK salah seorang anggota mengenang bahwa di jaman Bung Karno jauh lebih buruk dari jaman saat ini, bahkan secara tersirat menggambarkan bahwa kepemimpinan SBY-JK jauh lebih baik daripada kepemimpinan Sukarno. Tentu saja ini hak orang itu tapi saya mencoba melemparkan paham sejarah saya tentang Bung Karno yang bagi saya kepemimpinannya begitu fenomenal ketimbang SBY-JK yang tak lebih buruk dari demagog-demagog yang memanfaatkan momentum reformasi yang sudah dipertaruhkan oleh kawan-kawan mahasiswa di masa-masa pergolakan politik 1997-1998.

Tentu saya tak seberuntung orang itu yang pernah merasakan hidup di Jaman Bung Karno dan saksi dari pidato-pidatonya namun tidak tergerak mengenangnya dengan manis karena tidak adanya kenyamanan-kenyamanan hidup di jaman Bung Karno. Kenangan subjektif yang tidak bisa kita bantah tentunya tapi saya ingin menyodorkan fakta sejarah dan bahkan lebih jauh lagi makna sejarah.

Saya mengenal Bung Karno dari cerita kakek saya yang begitu mencintai Bung Karno, setiap ngomong sejarah selalu membanggakan Bung Karno sampai meniru-niru intonasi suaranya. Itulah awal keingintahuan saya dengan Bung Karno sehingga saya sejak kelas tiga SD sampai saat ini saya terus memburu tulisan-tulisan tentang Bung Karno dari yang memujanya bagai dewa sampai memakinya seperti bandit- , ketertarikan kedua, adalah setiap saya mengunjungi ke rumah-rumah orang lain baik tetangga maupun kerabat jauh selalu ada gambar Bung Karno, padahal itu masih sekitar tahun akhir 70-an atau awal 80-an dimana Orde Baru sedang kuat-kuatnya. Ada seorang betawi dekat rumah saya yang pernah dikasih sarung oleh Bung Karno namanya Pak Haji Iskak, ceritanya dia sering jalan di depan Istana Negara kalo selesai berjualan untuk naik trem. Bung Karno lagi duduk-duduk di beranda Istana, sore hari makan pisang goreng, Nah Haji Iskak ini abis jualan buah pisang di daerah Harmoni (kejadiannya sekitar tahun 50-an abis Bung Karno naik haji ke Mekkah), dia lihat Bung Karno sedang duduk dan dia nyelonong ke beranda Istana tapi sempat ditahan DKP (Detasemen Kawal Presiden) –Haji Iskak sendiri yang bilang istilah pasukan pengawal DeKaPe pada saya- anggota DKP itu akhirnya membolehkan Pak Iskak ketemu Bung Karno. Kata Haji Iskak “kepala Bung Karno botak, makan pisang goreng same lagi ngupi, di mejenye banyak buku-buku gede, die bilang ke saya dengan suaranye nyang terkenal ‘ntu..ada apa?” Pak Iskak langsung nyamber “ Minte oleh-oleh dari Haji Beh...”

“Oh..bisa-bisa...” Bung Karno manggil seorang pengawalnya dan nyuruh ngambil sarung sama baju gamis dan peci haji putih. Terus Bung Karno minta Haji Iskak photo bareng sama dia yang photo juru potret Istana, saya pernah lihat photo tua itu. Bung Karno pake kemeja putih tanpa peci sambil ketawa lebar, sementara Haji Iskak dan pengawal DKP berdua duduk di samping Bung Karno. Kata Pak Haji Iskak photo itu kemudian diambil setelah jadi saat dia lewat di depan Istana. Sampai umur 70 tahunan (kira-kira tahun 84) Pak Haji Iskak selalu mengenakan peci putih hadiah dari Bung Karno, saya selalu terharu bila ngenang photo itu betapa tulus senyum Bung Karno, betapa puitisnya seorang rakyat seperti Haji Iskak mencintai Bung Karno. Romantika sejarah memang tapi memaknai Bung Karno tidak cukup dari romantika bukan? Harus dari fakta sejarah yang dingin.

Memaknai Bung Karno harus menyeluruh bukan hanya dari one spot di satu jaman saja, tapi kita harus mengerti rangkaiannya apa dan bagaimana manusia Sukarno membentuk Indonesia dan bagaimana Indonesia yang diperjuangkannya kemudian hancur tidak seperti mimpinya dengan taruhan nyawa ia memperjuangkan kemerdekaan.

Sukarno menandai pemikiran politiknya dengan Nasionalisme-Agama-Marxisme, ini kenapa? Karena ini fakta sejarah ketiga ideologi itu yang hidup dengan subur di Indonesia. Ia memahami itu di tahun 1927 menulisnya di ‘Soeloeh Indonesia’ dan mati mempertahankan ide tersebut di tahun 1970. Mana ada pemimpin politik yang begitu konsisten dalam memperjuangkan idenya. Suharto saja separuh tidak bertanggung jawab terhadap ide-ide pembangunannya dan berpura-pura sakit tidak jantan menghadapi tanggung jawab perbuatannya. Sukarno berani dia pidato di Nawaksara, dia minta keadilan jelas dia tidak mau main petak umpet seperti tikus yang mencicit-cicit dan memang sepanjang sejarahnya dia tidak mau main seperti tikus, dia tegakkan kepala untuk memberi kehormatan bagi bangsa yang sudah sekian ratus tahun ditindas. Dalam metodologi Carlyle sejarah dibentuk oleh tokoh, walaupun itu dibantah Karl Marx dalam mematerialkan sejarah semata-mata dalam sisi pergulatan ekonomi, namun dari kasus Sukarno dan Indonesia teori Carlyle banyak benarnya..Sukarno adalah alasan utama dimana Indonesia lahir.

Bung Karno-lah yang memerdekakan Indonesia, suara Bung Karno yang dipercaya sebagai pergerakan rakyat yang mencari tempat. Lain tokoh tidak didengar itu fakta sejarah. Kelompok Sjahrir yang paling awal tahu Jepang sudah kalah dan memiliki kesimpulan bahwa Jepang memang akan hancur di Indonesia telah mengirim dokter Sudarsono ke Cirebon untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia tanggal 16 Agustus 1945. Tapi jelas kharisma Sutan Sjahrir tidak didengar, suara Sukarno yang didengar. Bung Karno memang agak telat dibandingkan Sjahrir memerdekakan Indonesia karena dia ingin mencek apa benar Jepang sudah kalah, lalu terjadilah peristiwa culik Sukarno-Hatta yang kesohor itu.

Salah satu syarat terbentuknya negara adalah : ada wilayah, ada rakyat yang bersatu mengakui wilayah tersebut dan ada kepemimpinan itulah syarat-syarat internal yang harus dimiliki negara dan Bung Karno yang merangkai itu. Tidak mudah... kawan, ditengah kejar tenggat dengan pendaratan sekutu Inggris, kemungkinan Nica mau ndompleng, kisruh para politisi dan persoalan-persoalan revolusi lainnya, Sukarno-lah yang menyelesaikannya. Memang Hatta dan Sjahrir yang menyelesaikan perjuangan diplomasi di luar negeri, tapi Bung Karno yang bersimbah keringat berpidato di lapangan-lapangan luas, ditonton ribuan orang, bahkan bila hujan deras tidak setapakpun rakyat cari tempat berteduh (coba ada ndak saksi hidup pidato Bung Karno di Yogyakarta untuk membebaskan Irian Barat dimana ditengah hujan deras rakyat tidak setapak pun beringsut). Jadi dimata Rakyat pertaruhan politik kemerdekaan Indonesia ada ditangan Bung Karno bukan yang lainnya. Bila Budiarto Shambazy meremehkan Flag Nationalism dalam emosi rakyat, dia lupa flag nationalism adalah faktor penting menciptakan imaji kebersamaan dan imaji tentang kemerdekaan Indonesia adalah : Bung Karno dan Merah Putih.

Kenapa jaman Bung Karno kehidupan rakyat menderita?

Inilah yang selalu dikenang oleh kaum sejarawan bentukan Orde Baru bila melabur sehitam-hitamnya terhadap kenangan Bung Karno sebagai pencipta kesengsaraan rakyat. Orde Baru lupa bahwa mereka yang bunuhi 2-3 juta rakyat Indonesia untuk memuluskan Suharto merampas kekuasaan Sukarno, Orde Baru lupa puluhan tahun berkuasa tidak ada satupun pembebasan kemiskinan secara total rakyat Indonesia tapi melahirkan negara yang dikuasai segelintir orang. Satu hal yang pasti Bung Karno tidak mau melacurkan dirinya pada Kapitalisme, dia tidak mau menjual negara Indonesia dalam bentuk apapun. Ada istilah Bung Karno yang terkenal ketika menolak investasi asing di Indonesia. “Sadhumuk Sanyari Bhumi tidak akan diberikan pada negara asing” tidak sejengkal pun tanah air Indonesia dilego pada asing. “Indonesia untuk orang Indonesia, Indonesia untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, kalau hari ini kau makan batu...kalau hari ini keringatmu menetes di ladang-ladang kehidupan, maka jangan kau sesali sejarah..karena dalam pergulatan revolusi Indonesia keringatmu untuk anak cucumu, keringatmu untuk Indonesia..sekali lagi untuk Indonesia!” Dengan gagah Bung Karno mengusir orang-orang dari Freeport untuk nggarap Irian Barat, menolak todongan Stanvac untuk mengerjai Indonesia, berhari-hari Bung Karno nggak mau ngomong sama Ibu Wardoyo kakaknya karena Bung Karno tahu Ibu Wardoyo pernah dibisiki pengusaha-pengusaha asing gede yang minta konsesi, inilah sikap Bung Karno, ia tidak mau keluarganya memperkaya diri sendiri. Ada omongan yang bilang Dewi Sukarno melakukan korup, tapi kenyataan yang ada Dewi Sukarno justru melicinkan dana pampasan perang Jepang untuk Indonesia. Memang di jaman Bung Karno banyak terjadi korupsi, (Suharto saja terlibat korupsi dan nyelundupin barang sampai ditempeleng Ahmad Yani dan dipindahkan AH Nasution ke Bandung, bahkan karirnya nyaris habis kalau tidak ditolong Jenderal Gatot Subroto). Tapi korupsi di jaman Bung Karno bukan korupsi gila-gilaan seperti sekarang ini. Korupsi Sukarno cuman Kinderkheit dari para pejabat birokrasi, cuman penyakit kekanak-kanakan dan hukumannya jelas. AH Nasution sendiri ditugasi Bung Karno melakukan operasi Budhi untuk memberantas korupsi. Seluruh rakyat Indonesia memang tidak berkelebihan materi, karena suasana batin dan tujuan bangsa Indonesia bukan materi, tapi karakter bangsa...bukan simbol-simbol kapitalis yang mengasingkan rakyat dari kehidupannya, tapi menghidupkan budaya dalam realitas Indonesia. Di jaman Bung Karno rakyat berjejer cuci pakaian di depan air mancur Hotel Indonesia dan di kali-kali sepanjang Jakarta..tanpa musti ditendangi aparat pamong praja. Rakyat tahu jati dirinya, mereka masih berproses menjadi Indonesia dan begitu mencintai Bung Karno. Maka ketika Bung Karno wafat ditengah pengelabuan politik terhadap karakter Bung Karno, bahkan mahasiswa-mahasiswa Indonesia masih rajin menjelek-jelekkan Bung Karno, termasuk Aldy Anwar jurnalis harian ‘Mahasiswa Indonesia’ yang kerjaannya memburuk-burukkan Bung Karno. Bung Karno ditangisi rakyat, jutaan rakyat berjejer di jalan-jalan Jakarta dan Jawa Timur, berteriak menangis dan memanggil nama Bung Karno. Hampir setiap orang Indonesia mengalami kekosongan batin saat Bung Karno meninggal 21 Juni 1970.

Setelah kematian Bung Karno, Suharto baru berani mengadakan Pemilu. Dan pasca Malari 1974. Suharto habis-habisan jualin Indonesia dengan harga yang sungguh-sungguh murah. Keajaiban ekonomi yang dipromosikan oleh negara-negara kapitalis penipu ternyata menyisakan hutang dan moralitas bernegara yang bobrok, itulah warisan Suharto bagi Indonesia. Perkara dia bertanggung jawab itu urusan moral dia, dan kita jangan sampai terjebak pada urusan-urusan jangka pendek sebatas perut kenyang dan hidup nyaman tapi puluhan juta bangsa kita terampas hak hidupnya, kita harus bisa meneruskan untuk menyusun kembali kepingan-kepingan agar menjadi Manusia Indonesia yang berkarakter, berbudaya, pekerja keras dan memiliki etika.

Satu cita-cita penting Bung Karno adalah memerdekakan bukan saja Negara Indonesia, tapi rakyat Indonesia yang tidak ada eksploitasi manusia atas manusia lainnya itu prinsip Bung Karno. Dan Bung Karno paham benar tentang inti Kapitalisme, yaitu menggerakkan akumulasi kapital tanpa mempertimbangkan kemanusiaan. Kapitalisme adalah keserakahan yang diciptakan sekelompok orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan, informasi dan modal untuk memperbudak sekelompok besar manusia lainnya yang tidak memiliki akses tersebut (puluhan tahun kemudian analisa Bung Karno diperkuat Stiglitz) untuk itulah Bung Karno menolak habis Kapitalisme! Dia menciptakan Sosialisme ala Indonesia, yang kemudian diejek oleh para pelacur intelektual di jaman Orde Baru sebagai utopisme ala Sukarno. Pemikiran Neo Kolonialisme dan Imperialisme dihina sebagai ‘virtual enemy’ Bung Karno untuk menakut-nakuti rakyat dan mitos yang diciptakan Bung Karno sebagai senjata psikologis macam Nyai Ratu Kidul bagi Sultan-Sultan di Jawa.

Tapi apa yang dicaci maki dari pemikiran Bung Karno oleh para pelacur intelektual Orde Baru terbukti sekarang kebenarannya. Kolonialisme menjadi bentuk baru dia berubah wujud dalam aliran Kapital yang bergerak dan tidak mengakui batas-batas negara, inilah yang disebut Kapitalisme tahap lanjut. Bung Karno mengungkapkan itu pada tahun 1960, kemudian hampir lima puluh tahun kemudian Hugo Chavez dan Evo Morales menyentak kesadaran dunia, apa yang dilakukan mereka adalah mengekor teori Sukarno melakukan nasionalisasi terhadap apapun yang berbau asing dengan negosiasi tanpa tekanan. Eksploitasi asing adalah penjajahan bentuk baru dari negara kuat terhadap negara lemah yang tidak menghendaki penduduk negara tersebut sejahtera. Caranya? Ya dengan menyusup ke pemerintahan suatu negara dan membangun imej sebagai penolong bisa lewat IMF bisa dengan USAid atau Perusahaan Listrik dan energi dalam bentuk pinjaman, menciptakan intrik dan melakukan tindakan untuk mewujudkan dependensia ekonomi. Sukarno tidak bisa diperlakukan itu, maka keputusan orang-orang dari Langley, Virginia markas CIA sana. Bung Karno harus mati.

Ketika Bung Karno bilang “Kita harus lihat RRC sebagai alternatif kekuatan dunia” orang-orang pencibir Bung Karno malah teriak “Lihat Bung Karno sudah jadi Komunis” sekarang terbukti RRC menjadi kekuatan besar ekonomi dunia bahkan beberapa tahun ke dapan akan jadi nomor satu di dunia memang RRC menerapkan mixed system dengan mengadopsi kapitalisme dalam ekonominya tapi itu sejalan dengan teori Marx ‘matangkan dulu kapitalisme lalu tunggu kontradiksi-kontradiksi internalnya’ dan gabungan antara kedisiplinan komunis dengan kecepatan gaya kapitalis yang dikendalikan negara justru menjadi kekuatan raksasa. Vietnam akan menjadi negara paling kuat di Asia Tenggara begitu juga India dengan andalannya intelektual industri. Kuncinya apa RRC, India dan Vietnam jadi kuat, kuncinya adalah negara mereka tidak dijual pada kapitalis Amerika dan Inggris. Mao, Nehru dan Paman Ho berhasil menendang pantat Amerika dan Inggris. Suharto malah nunduk-nunduk di depan Johnson dan berakhir di bawah tatapan meremehkan dari Camdessus.

Bung Karno musti melewati pergulatan politik yang panjang untuk membentuk bangsanya. Shape and re-shape Indonesia, ia tahu bahwa hidup tidak sekedar makan, sandang, pangan hidup adalah perjuangan yang jauh lebih tinggi dari itu bagaimana menciptakan manusia yang bebas, berbudaya dan berkarakter juga manusia produktif, bersatu sebagai bangsa dan memiliki semangat ausdaer (daya tahan) dalam memperjuangkan cita-citanya. Bung Karno menjalankan itu semua coba bandingkan ini dengan politik utama Suharto yang terkenal politik logistik dengan asumsi keblingernya : Rakyat Kenyang, Beres kehidupan. Degradasi sekali kemanusiaan dalam tataran Orde Baru... bahkan prinsip politik logistik ini seolah-olah dapat pembenaran dari jargon revolusi komunis di Cina : Perut tidak bisa menunggu, Stomach can not wait! Apa yang dilakukan Orde Baru adalah menurunkan martabat kemanusiaan dengan mengutamakan stabilitas dan keamanan semu dengan dibayar politik logistik yang murah, Fundingnya ternyata dari hutang-hutang yang menggunung. Maka hasilnya, kita dihina dengan gegap gempita oleh Malaysia, Singapura dan Australia. Kalau dulu Bung Karno datang ke Amerika Serikat rakyat Amerika melambaikan tangan berkumpul ingin lihat orang yang bikin heboh dunia, di Uni Soviet dan Cina setiap kunjungan Sukarno selalu ramai, dimana-mana Bung Karno mendapatkan tempat terhormat –bukan setor muka gaya Kalla di Agustusannya Malaysia – Bahkan Bung Karno adalah sedikit Presiden di dunia yang berpidato di depan kongres AS. Di podium PBB Bung Karno menjelaskan secara gamblang apa itu Pancasila, dan ketika pidatonya berakhir standing ovation lama sekali menyambut kecemerlangan berpikir manusia ini. Tapi Sutiyoso datang ke Australia pun ia ditangkap seperti penjahat kelas teri, apa itu bukan penghinaan luar biasa, apapun alasannya Sutiyoso adalah pejabat Indonesia.

Bung Karno dan SBY

Adalah sebuah tragedi sejarah (atau pembutaan sejarah) membandingkan Bung Karno dan SBY lalu lebih mengunggulkan SBY dibandingkan Bung Karno. Entahlah apa motif mengunggulkan SBY ada motivasi kepentingan pribadi atau eforia terhadap gesture SBY yang senang tebar pesona bangkitin keharuan masyarakat buat kepentingan dirinya –itulah gaya akting SBY- . Seluruh daya persuasi SBY diarahkan pada jualan sikap cengeng. Nangis-nangis di depan lumpur Lapindo tapi tidak ada penyelesaian yang berarti itulah gaya kepemimpinan SBY, bahkan mecat Menterinya yang dianggap bertanggung jawab dari Lapindo-pun tidak. Dia senang sekali memainkan Public Relation yang sifatnya artifisial, kecerdasannya pun dipamerkan secara kosmetikal. Ingat tidak momen kelulusan Doktoralnya di IPB dimanfaatkan untuk tebar pesona saat dia mencalonkan diri jadi Presiden. Tapi semua orang pun tahu, Gus Dur –yang nggak peduli dengan gelar-gelar pendidikan- jauh lebih cerdas pemahaman ekonominya ketimbang Doktor SBY. Coba periksa track record tulisan-tulisan Gus Dur tentang ekonomi rakyat sejak tahun 80-an, Gus Dur ngerti pendidikan bukan hanya masalah artifisial gelar-gelar Universitas yang hanya memperbodoh masyarakat, karena kita gemar sekali bermain pada politik gelar tapi tanpa bunyi.

Ingat tidak peristiwa Proklamasi 1945? Bung Karno pada awalnya ragu apa ia didukung rakyat bila memproklamirkan kemerdekaan, karena sebagai politisi ia harus paham kekuatan riil sebelum melawan musuh. Ia melihat fakta bahwa disekitarnya hanya ada segelintir pemuda, tokoh-tokoh politisi yang pernah bekerjasama dengan Jepang (macam Achmad Subardjo) dan secuil pasukan PETA yang kalaupun nekat dua jam pasti habis diberondong Jepang, Bung Karno juga berhitung orang-orang Sjahrir dan kaum kledenstin lainnya pasti nolak proklamasi karena bagaimanapun Bung Karno dinilai kolaborator Jepang. Ini artinya bila ia ikut kemauan Wikana cs ia akan bertaruh dan taruhannya adalah mempermalukan dirinya sendiri, tapi ia juga harus menguji reputasinya di depan rakyat juga sadar bahwa ini merupakan golden time bagi Indonesia. Akhirnya Bung Karno dengan berani memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan fakta yang terlihat bahwa ia hanya didukung sedikit orang namun Bung Karno berani menciptakan sejarah, mengakhiri dari sebuah awal, Kemerdekaan Indonesia....

Tapi SBY lihat modal politiknya, ia didukung nyaris 70% dari pemilih yang ikut pemilu 2004, diyakini Pemilu ini tanpa rekayasa macam Pemilu gaya Harmoko. Namun SBY nggak berani melakukan terobosan politik, menciptakan perubahan ekonomi yang fundamental dan menyusun landasan dasar masyarakat baru. SBY hanya sekelas manajer yang handal bukan pemimpin inspiratif. Alasan paling utama yang sering diucapkan jubir Presiden yaitu : “banyaknya partai politik yang melingkari SBY” hal ini lebih menunjukkan kemalasan bekerja keras dari tim SBY untuk bersikap cerdik melawan arus politik partai besar, apalagi ada barisan kelompok yang tiba-tiba menjadi penguasa setelah SBY naik padahal mereka bukan pendukung SBY sedari awal. (kemudian hari terbukti parpol-parpol sebenarnya mandul, kasus keroyokan Fauzi Bowo yang menang tipis di Jakarta menunjukkan betapa mandulnya akses parpol terhadap rakyat).

Jangankan mengharapkan gagasan jenial dengan perubahan yang fundamental seperti harapan banyak orang di tahun 2004. Buat keputusan dipecat tidaknya Ical Bakrie saja takut, berlarut-larutnya kasus Lapindo bahkan untuk ngurusin sekolah macam IPDN saja kelamaan saking lamanya, timbul korban akibat kekerasan IPDN warga Sumedang. Yang diurus penculikan anak, sebuah problem tingkat kapolsek tapi urusan yang seharusnya dia pegang seperti Lapindo, penculikan politik 1997, kasus Munir sama sekali tidak berani disentuh. Rakyatnya yang menjerit dihina di Malaysia hanya disuruh bersabar.

Dulu waktu naik dia seakan-akan jadi korban ulahnya Taufik Kiemas, kini ia mencari ‘taufik-taufik kiemas baru’ maka dijadikanlah Zainal Ma’arif sebagai pelampiasan ‘air mata SBY’ namun gagal, dicoba kasus Raisa tapi malah dicibiri...Presiden kok cuman ngandelin momentum melas...momentum dikasihani. Lha yang model beginian kok dibandingin Bung Karno.

Bila Bung Karno berkata “Berikan aku sepuluh pemuda progresif revolusioner maka aku akan memindahkan gunung batu raksasa!” maka SBY bisa bilang “Berikan aku sepuluh saudagar kaya raya untuk kumasukkan ke dalam kabinet, maka aku akan manut mereka”

Orang yang bilang SBY jauh lebih bermutu dibanding Bung Karno ibarat menunjuk mana yang lebih ganteng Ari Wibowo atau Tukul, lalu orang itu menunjuk Tukul...(mungkin orang itu masih iparnya Susiana isterinya Tukul)...atau dia lagi becanda sambil ketawa ngakak....



ANTON

Harus diakui ada ‘something wrongs in SBY Leadership!’

Asosiasi Guru Sejarah

Asosiasi Guru Sejarah Dan Kepentingan Sejarah

Oleh : Anton

Sebagai penggemar sejarah saya senang sekali dengan berita Kompas (1/09/07) tentang rencana dibentuknya Asosiasi Guru Sejarah yang akan mewadahi dan melindungi guru sejarah. Dulu waktu sekolah saya selalu ingat guru-guru sejarah saya dari mulai SMP kelas satu sampai SMA kelas tiga adalah orang-orang yang menarik pikirannya, beruntung mayoritas guru sejarah saya bukan orang-orang yang kaku (kecuali guru sejarah kelas dua SMP, yang lebih konsentrasi pada sok galaknya ketimbang diskusi yang terbuka), diluar itu semua guru-guru sejarah saya orang yang terbuka dan membuka diri terhadap setiap informasi sejarah, saya selalu berdiskusi dengan mereka tentang informasi sejarah yang saya dapatkan dari kakek saya. Alhamdullilah saya selalu mendapat nilai sepuluh dari mata pelajaran ini dan nilai-nilai sejarah ini bisa digunakan sebagai pengimbang dari ketidakmampuan saya di bidang Matematika yang selalu dapat nilai di bawah 5.

Dulu pelajaran sejarah Indonesia pada periode 1945-1949 diletakkan pada nilai-nilai yang agak cenderung militeristis sehingga kurang dijelaskan makna sesungguhnya dari Revolusi Kemerdekaan yang merupakan perlawanan ‘rakyat bersenjata’ bukan ‘militer bersenjata’- . Pengetahuan sejarah formal dibatasi pada buku-buku hapalan yang terus terang saja tidak hidup. Jaman Orde Baru tidak terbuka menerangkan bagaimana proses identitas keIndonesiaan terbentuk, fokus sejarah di luar buku formal untuk anak-anak yang banyak dijual di toko buku diarahkan pada perjuangan bersenjata pra Budi Utomo. Rangkaian perlawanan dari Sultan Ageng Tirtayasa, Raden Purbaya, Pangeran Antasari, Imam Bonjol, Diponegoro sampai Tjoet Nyak Dien disampaikan seolah-olah mereka memperjuangkan Ke Indonesiaan, bukan memperjuangkan kepentingan politik tertentu yang sifatnya lebih lokalistik –seperti pertanyaan apakah Diponegoro angkat senjata untuk merebut posisi Sultan atau memang murni mengusir Belanda dari tanah Yogyakarta?-. Peran VOC yang jahat seakan-akan menghilangkan fungsi penting VOC untuk menyatukan wilayah Nusantara. Yang jadi pertanyaan lebih berjasa mana Van Heutz atau Diponegoro dalam menyatukan Indonesia? Atau Daendels yang begitu revolusioner dalam menciptakan jalan raya yang meliputi seluruh Pesisir utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan yang bukan saja mendorong proses modernisasi, kapitalisasi bahkan memancing pembangunan infrastruktur-infrastrukyur raksasa, seperti : jalan kereta api, jalan-jalan kota dan lain-lain. Apakah peran Daendels yang jahat dalam kenangan sejarah justru menjadi pemicu proses bersatunya para elite Jawa kemudian menjadi elite Indonesia yang melting potnya berlangsung di Batavia, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya bisa dihargai peranannya seperti yang terpampang dalam prasasti nol Kilometer di Kota Bandung.

Banyak yang kontradiktif dalam sejarah kita. Apalagi setelah era Kemerdekaan dan ini yang menjadi catatan saya sehingga perlu adanya riset menyeluruh tentang sejarah Indonesia yang objektif tidak memihak dan adanya komitmen masyarakat untuk melindungi guru sejarah. Sejarawan adalah profesi yang rumit, dia harus membongkar masa lalu tanpa memihak namun kadang-kadang pengalaman hidupnya dimasa lalu, sentimen-sentimen masa lalu pribadi dan kepentingan-kepentingan terselubung selalu mewarnai intelektualitas dalam dirinya untuk melahirkan pemahaman sejarah. Seperti apakah benar Aceh, Lombok dan beberapa kerajaan kecil di Bali masih merdeka menurut Han Resink? Tapi kalau dalam dimensi hukum kekuasaan laut jelas bila lautan Nusantara dikuasai maka kemerdekaan sudah terampas jadi artinya bukan hanya 1910 saat Van Heutz menyempurnakan Hindia Belanda tapi sejak seluruh pelabuhan di pesisir Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan Ambon dan Kepala Burung Papua dikuasai maka seluruh Nusantara takluk.

Inilah catatan saya terhadap sejarah Indonesia yang masih membuat saya bertanya-tanya:

A. Pemberontakan PKI di Silungkang, Batavia, Banten dan Sukabumi 1926/1927

Pada pemberontakan aneh ini saya melihat sikap terburu-buru dari Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memutuskan melakukan pemberontakan karena dipastikan gagal. Andai saja PKI berhasil menggebuk Belanda sudah dipastikan armada Inggris akan turun ke Indonesia. Dan sudah pasti kekuatan Stalin dengan Komintern-nya sangat jauh untuk turun ke Indonesia, perhitungan ini juga pasti sudah dihitung-hitung oleh intel Belanda. Ada nggak kemungkinan pemberontakan ini merupakan rekayasa provokasi dari intel-intel Belanda yang masuk ke dalam tubuh PKI?. Karena bentuk balasan Belanda bukan saja penghancuran gerakan PKI thok, tapi juga penghancuran gerakan politik nasional secara besar-besaran.

Pemberontakan ini memang peristiwa kecil untuk ukuran perlawanan bersenjata yang pernah ada di Indonesia melawan Belanda, namun memiliki implikasi yang sangat jauh ke depan bagi Indonesia baik sosial, budaya dan politik. Terutama sekali adalah penghancuran intelektualitas di Indonesia yang mulai tumbuh karena ditangkapinya seluruh pemimpin politik dalam berbagai aliran, asal radikal ciduk –Bung Karno, Hatta, Sjahrir, dan banyak pemimpin besar pergerakan di penjara atau dibuang ke tempat terpencil. Kematian perdata pemimpin-pemimpin pergerakan ini jelas mematikan rambatan intelektual-politik di Indonesia yang justru kemudian diisi oleh segerombolan politisi jebolan tangsi Jepang alias PETA. Jadi adakah unsur provokasi dalam pemberontakan ini?, atau memang sudah ada grand design negara kolonial (Indonesia tanpa komunis-sosialisme sebagai tanggapan naiknya politik Fasisme Nazi di Jerman) setelah naik De Jonge menjadi Gubernur Jenderal?

B. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia

Makna bunyi teks sila terakhir Pancasila ini apakah Marxisme-Sosialisme atau slogan kosong yang tak berarti? Kalau ini merupakan makna dari penerapan gagasan Sosialisme kenapa yang berlaku adalah hukum kapitalisme dan sama sekali tidak ada bau-baunya sosialisme? Apa ada penjelasan historis bagi Sila kelima Pancasila ini, bagaimana guru sejarah menerangkan?.

B. Kontradiksi penghapusan peran kaum Marxist sebagai pendorong kemerdekaan Indonesia.

Seluruh elemen yang terlibat langsung adalah orang-orang yang berpihak pada Marxisme dengan berbagai spektrumnya. Dari Sukarno - Hatta sampai orang-orangnya AK Gani dan Amir Sjarifudin adalah penganut paham Marxist, sulit mencari pejuang Indonesia yang tidak mendasarkan Marxisme sebagai alat serang bagi Kolonialisme. Setidak-tidaknya Marxisme dalam pengertian ‘penelanjangan mistifikasi-mistifikasi Kapitalisme’ namun kenapa kemudian justru yang menonjol sisi militeristis dalam kelanjutan peran perjuangan kemerdekaan Indonesia? Bukan perang rakyat?

D. Apa yang dilakukan Sjahrir pada November 1945, merupakan kudeta sunyi ‘silent coup’ atau memang taktik militer Sukarno?

E. Ada penjelasan tentang teori Red Drive Proposal 1948 di Sarangan, Jawa Timur tentang politik subsidi Amerika guna menghancurkan komunis dalam proyek Truman yang berlanjut pada kesepakatan KMB Den Haag 1949?

D. Masa demokrasi liberal ala Parlemen Belanda
Kita diajari pada masa Orde Baru bahwa masa demokrasi liberal (1950-1959) merupakan masa ‘kekacauan politik’, bukan masa ‘pendewasaan politik’ perlu dilakukan penelitian dan uji coba asumsi andai masa ini dilanjutkan dan tidak ada ‘kudeta Sukarno’. Juga bagaimana situasi sesungguhnya, karena banyak kabar bahwa pada masa ini politisi-politisi kita bersikap dewasa sekali. Seperti contoh ketika DN Aidit mati-matian mempertahankan pendapatnya berhadapan dengan Natsir, Prawito Mangkusasmito, Osman Raliby, KH Abdul Kahar Muzzakir dari Masyumi, mereka berdebat keras sekali (ada nggak dokumennya?, apa sudah dibakar pemerintahan anti intelektual Orde Baru?) setelah itu mereka duduk bersama makan soto dan tertawa-tawa saat makan siang di ruang makan gedung konstituante, tidak ada pembunuhan karakter disini yang ada perdebatan logika berdasarkan kemampuan intelektual. Ini beda dengan ulah politisi jaman sekarang yang tidak dewasa malah cenderung kampungan. Bagaimana menjelaskan masa dengan menggunakan analisa sejarah objektif?

E. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Ini adalah masa pemerintahan absolut yang berpusat pada satu orang, Sukarno. Di luar nalar politik barat Sukarno membentuk kekuasaan politiknya. Tapi jujur saja dalam kenangan sejarah kolektif justru masa-masa ini dikenang sebagai masa puncak kejayaan Indonesia bagaimana menjelaskan kontradiksi ini dalam analisa sejarah?

F. Masa Gerakan Tiga Puluh September 1965 dan 1 Oktober 1965
Ada satu hari yang sangat berpengaruh dalam dunia politik Indonesia, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 yang dimulai pada jam 00.00 WIB sampai jam 20.00 WIB yang secara marathon kekuasaan berpindah terus menerus mulai dari Sukarno-Gerakan Untung-kembali Ke Sukarno- lalu berakhir ke Suharto sampai pada Mei 1998.

Dalam detik demi detik ada missing link selama hari itu
Prolog dari Gerakan Untung, siapa pemicunya?
Siapakah Sjam Kamaruzaman, kenapa dia memerintahkan pembunuhan terhadap korban penculikan?
Apa hubungan sebenarnya antara Sjam-Aidit-Untung cs?
Yang terbesar dari semuanya ada apa dengan pertemuan dua kali Latief-Suharto pada saat sebelum terjadinya Gerakan?
Apa Sukarno tahu mengetahui Gerakan ini?
Kenapa AH Nasution tidak terbunuh padahal dia sasaran utama?
Dimana Suharto antara sesudah pertemuan dengan Kol. Latief sampai jam enam pagi, saat Mashuri mengabari ada keanehan yang dirasakan?
Kenapa Suharto tidak dijadikan sasaran penculik, dan tidak dijadikan target kendali padahal tentaranya siap siaga di pusat kekuasaan?
Kenapa Sukarno tidak bertindak tegas saat Suharto menolak permintaan panggilan Jenderal Pranoto?
Pertanyaan terbesar apakah G 30 S disebut sebagai pemberontakan PKI atau tidak?

G. Penjelasan Sejarah setelah G 30 S
Selama ini konsentrasi sejarah selalu didramatisir pada pembunuhan enam Jenderal di Jakarta tapi bukan peristiwa setelah itu. Padahal peristiwa yang menyusul adalah peristiwa paling gelap dalam sejarah Indonesia. Inilah sebuah peristiwa yang ingin dibuang dalam kenangan sejarah bangsa Indonesia, karena peristiwa ini merupakan gambaran bagaimana sikap bangsa Indonesia bila sedang kalut. Adalah Soe Hok Gie yang berani menjelaskan kebenaran fakta terhadap pembantaian di Bali dengan artikel ‘ disekitar pembunuhan besar-besaran di Pulau Bali’ dengan nama samaran ‘Dewa’. Pembunuhan besar-besaran 1965-1966 merupakan episode terbesar dari ‘penghancuran keluarga-keluarga di Indonesia’ dan mulai babak dari mental pengecut bangsa Indonesia akibat mitos cap Komunis. Guru-guru sejarah dan Asosiasinya harus berani menerangkan peristiwa ini karena dari sinilah kesadaran sejarah bisa dieksplorasi dan kita tidak terjebak stigma kiri-kanan tapi harus menyadari bahwa kita adalah bangsa yang satu. Dimana tidak boleh ada lagi diskriminasi dalam bentuk apapun atas nama kepentingan apapun.

H. Penjelasan Identitas Negara Orde Baru
Kaum sejarawan ditantang untuk menjelaskan bagaimana posisi sejarah Orde Baru dalam kronik sejarah kita? Apakah merupakan sebuah bentuk berkabut seperti apa yang dilakukan Orde Baru terhadap sejarah di era Sukarno, atau menempatkan secara objektif termasuk penghancuran-penghancuran yang brutal dibalik menterengnya modernisasi yang dilakukan Orde Baru. Guru-guru sejarah juga harus membangkitkan kesadaran tentang gerakan Malari 1974 sebagai awal dari proses perlawanan terhadap bentuk modal asing.

I. Reformasi
Apakah sejarah reformasi itu merupakan jembatan menuju Indonesia yang lebih sempurna atau malah tempat kita duduk sembari menunggu lontaran politik ke Jaman Orde Baru, mengingat Reformasi sekarang ini masih dikuasai oleh birokrat bentukan Orde Baru.

Guru-guru sejarah yang harus bisa menjelaskan, kecerdasan sejarah anak-anak bangsa ditangan para guru yang berjasa itu, bukan ditangan Kejaksaan Agung yang senang bredel macam-macam. Untuk itulah kebebasan kreasi guru-guru sejarah dalam mencari sumber sejarah lalu menerapkannya dalam proses kreatif pengajaran perlu dilindungi. Karena melalui merekalah konstruksi ke-Indonesiaan terus menerus dibangun.

Selamat Bekerja Asosiasi Guru Sejarah dan terima Kasih para Guru sejarah!

ANTON

Skema Sponzi

Skema Sponzi Dalam Sistem Keuangan

Oleh Anton

Rakus itu Baik...
(John Gekko, dalam Film Wall Street 1988)

Ada satu kelemahan watak orang Indonesia dalam memahami pertumbuhan nilai uang yaitu : Rakus. Kerakusan ini lebih disebabkan bukan karena mereka tahu bagaimana mendeteksi booming sebuah investasi, tapi lebih karena ketidaktahuan mereka terhadap makna investasi. Kasus Wahana Globalindo yang merupakan komprador dari Dressel sebuah Reksadana terbitan Swiss atau kasus Alam Raya menunjukkan betapa irrasionalnya orang Indonesia menanggapi sebuah kasus Investasi.

Watak orang Indonesia lebih sering memfokuskan pada hasil, bukan proses. Setiap sesuatu atau tindakan pasti punya asal muasalnya, dengan kata lain setiap sesuatu punya silsilahnya, punya historisnya dan setiap sesuatu berkembang dengan hukum rata-rata/hukum normal. Kalaupun ada penyimpangan maka waktu yang akan menarik kembali penyimpangan itu ke dalam rata-rata dan baik pertumbuhan maupun penyusutan juga selalu bergerak dalam situasi rata-rata kita mengenalnya sebagai : Trend.

Dan rata-rata normal pertumbuhan bisnis dalam setahun adalah 20-30% atau memiliki spread antara 10%-15% dari tingkat risk free interest seperti : Suku Bunga Bank yang dijaminkan atau Obligasi Pemerintah yang nyaris tidak ada resiko default. Keadaan bisa berubah bila memang ditemukan sebuah bisnis yang booming dan memiliki pertumbuhan cepat bisa diatas 100% dalam durasi dibawah satu tahun, tapi pertumbuhan yang cepat dan dashyat akan mengalami penyusutan pertumbuhan juga dalam tempo singkat. Bisnis-bisnis dengan kategori pertumbuhan cepat saat ini seperti : Internet (penemuan-penemuan baru dalam jaringan internet), Pertambangan dan Energi serta Komunikasi diluar industri itu semua pertumbuhan mengalami situasi stagnan atau bertumbuh dalam situasi rata-rata.

Tapi kalau misalnya bisnis cabe seperti yang digembar-gemborkan Alam Raya pada waktu itu mengalami peningkatan diatas 30% dalam durasi tiga bulan dan itu berlangsung terus menerus jelas sebuah kebohongan, karena bagaimanapun bisnis cabe merupakan bisnis konvensional, ledakan harga cabe hanya berlangsung sesaat dan merupakan ledakan Sistemik Pasar, sebuah ledakan yang tidak bisa dikendalikan oleh pelaku pasar namun akan segera menemukan titik keseimbangan baru lewat rasionalisasi pasar. Dan titik keseimbangan inilah yang merupakan tangan kuat untuk menarik harga cabe ke dalam hukum normal. Ketika harga cabe masuk ke dalam hukum normal, Pak Haji yang punya alam raya jadi bingung bagaimana menaruh dana masuk, sementara ia sendiri sudah meletakkan landasan yang paradoks antara sistem kredit dengan sistem investasi : Di brosurnya ia mengatakan dana nasabah yang masuk adalah investasi tapi ia juga menjamin tingkat pengembalian sebesar kontrak yang sudah disepakati (Investasi dimanapun mengharamkan tingkat pengembalian pasti, bila tingkat dijamin pasti oleh pihak defisit maka itu masuk ke dalam wilayah kredit). Ia menganggap harga cabe terus menerus tumbuh sesuai dengan ekspektasi-nya dimana ia mendasarkan perkiraan ROI (Return of Investments) berdasarkan gerak booming bukan gerak normal, maka yang didapat adalah hancurnya siklus uang yang dikelola.

Begitu juga dengan Wahana Globalindo sebagai agen dari Dressel. Berulang kali saya ditawarkan oleh banyak teman untuk masuk ke dalam Reksadana Dressel ini dengan mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan diatas 100% bahkan salah satu teman mengiming-imingi “ pengembaliannya ajeg diangka 300%, terus-terusan selama dana kita ditaruh, Ton” saya tanya “apa dana yang masuk kemudian digunakan dalam bisnis judi seperti di Makau atau Las Vegas?” teman saya diam sebentar dan berkata “No...no this is pure mutual fund, dana yang masuk di investasi ke dalam saham perusahaan-perusahaan legal” Lalu saya berpikir hebat benar Manajer Investasi Dressel bisa tumbuh diatas 300%, petaruh investasi macam Soros saja harus menemukan momentum yang tepat untuk mendapatkan keuntungan diatas 300% dan itu hanya satu saat saja, bukan terus menerus.

Hanya momentum yang bisa menghentikan laju gerak rata-rata. Ini sesuai dengan hukum Universal Newton tentang Gerak terus menerus dan harus dihentikan dengan sesuatu, dan sesuatu itu adalah momentum dan momentum dalam terminologi investasi tidak bisa didapat terus menerus. Kerja momentum hanya didapat melalui situasi pasar yang sudah tidak normal dan mulai mengindikasikan adanya ketidak seimbangan baru. Disinilah momentum mulai membentuk trend baru sebelum akhirnya menjadi normal kembali.



Jadi ketika saya ditawarkan Reksadana dengan pertumbuhan diatas 300% maka saya berpikir dengan akal sehat sama seperti ketika Alam Raya dipromosikan teman saya dengan puja-puji berlebihan pada Pak Haji, pada saat saya ditawarkan dengan skema keuntungan yang berlipat-lipat maka pertanyaan saya :
1. Kenapa institusi Bank atau lembaga pembiayaan lain tidak masuk, bagaimanapun mereka sangat rasional menempatkan dananya.

2. Bisnis apa saja yang ada dalam portofolio mereka

3. Cek dulu berapa rata-rata tingkat pengembalian bisnis ini dalam 2-5 tahun ke belakang, baik pola pertumbuhan atau penyusutan pertumbuhan.

4. Tetap melihat pada intinya..sekali lagi intinya, misalnya kalau kita ke Alam Raya pada waktu itu, ada pengajian dan ceramah-ceramah agama atau gambar-gambar tokoh-tokoh masyarakat sedang berkunjung itu merupakan titik plesetan perspektif yang mengalihkan perhatian dari inti kenapa kita menanamkan modal kita? Yang dijadikan pegangan ketika kita mengeluarkan uang adalah kita tahu benar uang itu untuk apa, bagaimana pola geraknya dan bagaimana ekspektasi pengembaliannya dilihat dari sisi historisnya.

5. Ketahuilah display investasi atau kemana dana kita dimasukkan dan untuk apa. Bila suatu saat ada orang mengajak kita berinvestasi lihat dulu industrinya. Dan pelajari lalu ambil kesimpulan kenapa kita berani masuk ke dalam industri ini. Bila hasilnya tidak sesuai dengan prediksi setidak-tidaknya kita sudah bersikap rasional di awal mula. Sehingga tidak memunculkan kejutan-kejutan yang bisa merusak urat syaraf kita atau malah mengakibatkan kematian karena stress. Tingkat stress dalam memahami investasi kebanyakan disebabkan kita tidak mampu meraba-raba hukum normal, yang ada hanyalah optimistik dan ekspektasi berlebihan.


Lalu kenapa pihak kolektor dana masyarakat itu bisa mengembalikan bunga pada tahun-tahun awal. Disinilah skema sponzi bekerja. Polanya ada di Arus Kas, selama masih ada uang masuk maka bunga bisa terus dibayarkan dan selama jumlahnya yang masuk minimal tiga kali lipat dari jumlah bunga yang harus dikembalikan kepada pemodal maka selama itu bisnis model sponzi berlangsung aman.

Jadi kalau memang mau rakus sekalian, kita bisa masuk pada awal sekali (dan kita harus yakin dana yang kita masukkan adalah untuk sponzi game) idealnya masuk pada tahun pertama dan maksimal bulan ketiga lalu keluar pada bulan kesembilan tapi itu juga harus dilihat skala penipuannya. Masalahnya mau anda juga terlibat sebagai bagian dari penipuan?


ANTON

Sebuah Prosa

Prosa Matahari atau Prosa Tanpa Bumi

Oleh ANTON

Pada tubuh yang bertumbuh, kami sebarkan benih-benih hingga rambatannya menjadi lingkar mata cinta dan kau bubuhi nama walau gelap sunyi senyap tiada beda
Pada cinta berpembuluh kusetubuhi mata bulan dan kugenapi giringan malam rindu senda gurau dan mata tajimu menjadi waktu yang tak tentu. Kuingin bersamamu pada bujur-bujur jalan sepi dan kerlip matahari tapi gemeretak kasihmu malah menggenapkan lukaku dan malah bermain pada satu-satunya kemarau.

Segitiga mimpi kumaknai beda, tentang malam atau air mata atau cinta bersungut-sungut. Kalaulah bulan terbit mengorbit di dermaga Kan’kurangkai bunga-bunga melantun sunyi Pada awan hutan. Pada serigala gang-gang tanah kota. Pada mukiman hunian tentara atau rumah-rumah perompak bajak. Kusuguhi dengan air rindu pencoleng atau mainan pemeras sehingga mata mu akan melalap-lalap pondasi yang kususun tanpa bopeng hingga kau menjadi budak cintaku dan menaruh dupa lalu kau tiupkan buhul-buhul cintamu pada mantra-mantra hitam bermakna senja.

Tup Gorap Garip Bekutup Makatrib Makalub Dikobit-kobit. Kacau sudah tubrukan mimpi. Kacau sudah makna sunyi. Karena dirimu tak lagi menjadi pecinta tanpa karib, tanpa sobat. Tubuhmu hanya budakku dan aku tak lagi jadi Manusia yang suarnya menyala di antara karang di antara gelombang. Hingga sepi menjadi padam, dan padam menjadi mimpi. Maka bola-bola utara yang kau buang di sampan tadi malam. Bunyi kincup-kincup sampai daratan bok bok bok bok makobok makolang makoleng mudengkor palup palup palep palep hup hup.

Haaaa...tujuh purnama rindu kusebut pada buhul-buhul bermata gelap. Kenapa kau lumat tanpa kedap dan lidahmu senjap-senjap menyalang menyatu maka kau lawan kodrat. TUHAN.....TUHAN.....Mari melawak bersamaku hop hop hop hop maka Gigi Tuhan tertawa putih bentuknya menyerupai batu pualam tanah georgia atau lumbung-lumbung petani di utara serbia. Kurindu dan kutinggalkan sambil bermain dadu. Lagi-lagi TUHAN tertawa Bang...Bang ...Bang dan TUHAN tak berpangkal karena sudah menjadi pelawak HAHAHAHA kata TUHAN aku menjadi lawan tak seimbang kumimpi menjadi Ullyses tapi aku hanyalah Don Kisot. TUHAN pergi tertawa HAHAHAHAHA......pergilah kau ke Pasar kata Tuhan maka kau akan jumpai bayanganku.....

Maka kupergi ke Pasar-Pasar berjumpa Nietzsche sang pecinta yang gagah sentosa “Tuhan Sudah Mati...Tuhan Sudah Mati...” teriak manusia berkumis dahan dan bertubuh kerontang dibalut TBC dia bukanlah perwira Friedrich tapi hanyalah petani Bavaria yang tatapannya hanya tatapan budak dan memegang injil sunyi. Tuhan sudah mati...Tuhan Sudah Mati....kata manusia itu sambil tertawa di pasar-pasar. Hup kutangkup mulut Nietsczhe sampai dia mati. Delapan orang mengiringi Matahari Eropa dan menurunkan jasad sang pongkol sejarah Diam-Diam aku yang sudah menjadi pelawak TUHAN menuliskan di guratan Nisan Nietszche “Nietszche Sudah Mati.......” Tertanda TUHAN aku tertawa HAP HAP HAP BOLANG BALENG...aku lantas berkincup menjadi kupu-kupu dan kuwarnai matahari yang seindah permen Cina berformalin dan merancap-rancap pada sabtu suci semua orang memujaku menjadi teman Pelawak TUHAN....tapi bolahop makoneng makoneng hup hap hup makodap makodap. TUHAN Menjadi si Pencemburu bukan TUHAN pelawak lagi.

BUZZ aku tiba-tiba di pojokan Tiffany lalu kerlip itu datang lagi Mokadap! Aku ada di suar-suar Wall Street. Keloneng-keloneng begitulah bel berbunyi aku menjadi mulut-mulut spesialis nama menyebut Wal Mart berulang kali atau Yahoo! dan Google sambil mulutku berbusa-busa. Tiba-tiba aku menjadi segaris beta yang digambarkan para analis saham berambut pirang dan menyebut siklus menjadi mata hati serta capital gain adalah Zeus tanpa mati. Bongkahan-bongkahan nilai bukuku menjadi sarat dengan harga berkarat aku mengendap diantara tumpukan-tumpukan kertas pesanan di pasar yang bullish ternyata terjebak di Rasio Lancar. Dan mataku menjadi sasaran panah para pialang ganas Italia yang menyebutku “Numero-Numero Uno. PRONTO?” dikiranya aku adalah tukang sampah anak mafia little Italy yang besar di Jersey dan terjebak pada pulau liberty lalu mengangkangi sungai Hudson dan menaklukkan tiang kapitalis di gereja Trinity Church Seeeeettt...TUHANku temanku itu datang lagi dengan berpakaian seperti mahluk suci dia bilang pergilah ke hutan-hutan Bolivia Bantulah Alan Woods!

Bukan-aku ada di Amazon...tapi aku malah nyasar ke otak serdadu Gurkha di pinggiran kota Surabaya, yang sedang makan soto ayam lalu pergi ke Tunjungan dan mundur teratur di tangan-tangan pelacur murahan dekat pangkalan kapal. Ada seribu granat tiba-tiba meluncur “gogon-gogon!” begitu teriaknya dan aku menyerap lukaku dengan mulut separuh Shiwa dan tangan-tangan dewi durga menyelamatkan aku tidak seperti Sadewa yang diikat pada pohon Gandewa. Buaaaaaaahhhhh aku ingin melepaskan dari hentakan sejarah agar karma ini berhenti. Tiba-tiba kulihat sang Biksu Buddha di Klenteng Dewangga kuikuti jalannya pelan-pelan kok malah aku ada Tibet?

Diam-diam aku naiki tangga di Istana Potala pada puncak taman Dewangga. Di sebuah ruangan tanpa hina aku temui siapa? Marx! Ya...Karl Marx sedang bicara dengan Dalai Lhama. “Mari kita bebaskan dunia..” ucap sang Maha Riponche sambil dengan tatapan mata dalam. Karl Marx diam tanpa bahasa lalu berdiri gagah, telunjuknya menuding-nuding batu besar bernama Eropa. “Aku bagian membebaskan ini” teriaknya dia tuding London dan Paris. Dalai Lhama tersenyum bijak. “Aku ini” Katanya sambil menunjuk hati. Di dalam diri ada Dalai Lhama di luar ada Marx tapi ditengah-tengah ada siapa? Marx dan Dalai Lhama berpelukan lalu mereka berujar bersama “Mari kita bebaskan dunia” Tunggu-Tunggu kataku “Aku ikut...” tapi Doar-Doar peluru perunggu mematikan langkahku.

Lho kok aku ada di Pulau Buru? Kuikuti kaki sampai tengah Wai Babi lalu kurenungkan bukankah ini Widoro Kandang tempat Prabu Anom Kongso? Aku yang tadi sempat hanyut di Selat Sape dan berteriak-teriak “Aku bukan Baso!...Aku bukan Baso! Aku bukan Barisan Sukarno...tapi aku tukang Bakso!” tidak kamu ikut kekuatan jahat di malam buta ayo ikut kata tentara bermata seroja berkumis Gatot Kaca. “Ikut Aku!” maka aku menjadi saksi. Para satria Pendawa di buang ke tengah hutan oleh Kaurawa gara-gara sang Yudhistira bermain dadu di malam September Tiga Puluh. Sementara Sukarno sudah hanya jadi Destarata dan Sang Jenderal Kemusu menjadi Dewa berwajah Arjuna separuh Dasamuka. Ha...sang pendawa sudah ada di hutan dan dikurung 13 tahun lamanya. Arjuna berubah menjadi Janaka dan menari-nari banci, sementara si perut babi Jagal Abilawa berteriak garang. Akan aku hancurkan wajah Duryudana. Tak tahu dia rupanya Duryudana sedang menandatangani kontrak-kontrak Pertamina. Blongkah Blongkeh aku ada di laut lepas bersama mata Pram yang senja serta mesin ketik yang dibilang dari Sartre tapi bututnya bukan kepalang. Pram pelan-pelan menulis di sini dan aku menjadi kertas kosong. “Nyanyi Sunyi seorang Bisu” Soliluquy katanya pelan. Lalu dengan jidatnya yang selebar Kemayoran dia pergi keluar dan menumpuk batu bata. Sorenya dia datang lagi ke Barak dan menulis “Indonesia benar-benar kucinta padamu” ...”Bung Pram!” teriak sipir. “Dicari Jenderal Mitro”...”Mitro siapa?” ...”ah tak maulah aku bertemu dengan antek Orde Baru” cobalah atau aku jedoti kau di tiang-tiang batu bata yang kau susun tadi pagi” kata sipir dengan wajah mirip Hitler. “Pak Pram” sapa Mitro gendut dengan tenang tongkat komandonya bergemeretak dan giginya nyalang. “Ya”... kata Pram, lalu Jenderal Mitro mendekat dan berkata: “Man Kann Alles verlieren nur die hoffnung nicht. Hoffnung das schonste des lebens. “Orang bisa kehilangan segala-galanya kecuali harapan...karena harapan itu yang terindah dalam hidup manusia. “ Ya Harapan...harapan maka kujadikan Bumi Manusia menjadi bukan Rumah Kaca juga Bukan Pasar Malam tapi Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Karena dengan itu diam-diam harapan menjadi seindah pelangi di sore waktu bersama teh hangat dan sepiring pisang goreng.

Tiba-tiba tubuhku diseret Mitro Gendut. “Ikut aku!... ngapain kamu disini!!!”. Pantatku ditendang jauh-jauh dan aku berada di tenggara Yogyakarta. Sulahap Lahop aku menjadi Ki Juru Mertani, dan disampingku Raden Ronggo buah persenggamaan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Sutowijoyo. “Mari Raden aku ambilkan batu” aku yang bertubuh Ki Juru Mertani mengambil batu sebesar kepala. ‘Jangan Raden kau menantang Bapakmu Panembahan Lor Ing Pasar” ...”ah peduli setan, aku anak dewa dari alam metafisika berani aku dengan Bapakku yang akan mewariskan cara hidup Tiran dari rahim perut Ratna Dumilah...” Aku menasihati lagi...”jangan-jangan Raden” tapi raden Ronggo itu beranjak pergi dengan tombak Ki Awut-awut ia lemparkan bagaikan lembing anak-anak kota Marathon, Duaarrr langit jingga berwarna merah darah dan samar-samar kulihat macan hitam melintas ringin kurung kembar, raden Ronggo melompat dan kakinya menerjang udap-udap batu karang. Tapi Sang Panembahan tak kalah sigap dengan kolaborasi Siluman Merapi ia kutuk sang anak petaka menjadi kura-kura emas. Dalam hati “Gagal aku mendidik sang Pangeran Pembebas” ah hanya tinggal Ki Ageng Mangir Wonoboyo, tapi buang sudah harapan karena Ki Ageng cuma takluk pada gempal payudara Pembayun...Lap Lap Lap Lap aku melompat jauh ke depan. Tiba-Tiba aku ada di pengadilan tak bernama.

“Siapa nama kamu?”
Orang itu diam dan menunduk dalam-dalam dia bilang “Lihat Bumi Ini masih berputar” Ah kuasa gelap bisa saja berubah bentuk demi kepentingan senyap, seperti mereka yang masih berpaham Ptolemeus dan menolak Copernicus. Ya...ya dunia terus berputar dan aku tiba-tiba menjadi Kardinal berwajah sentosa lalu duduk diam di panggung sejarah. “Awalnya Gerak dan tidak berhenti sebelum ada yang menghentikan” ahhhhhh...’Itu hukum pertama” ya...itu hukum revolusi bumi bulat bukan bumi datar seperti kata Friedman yang mencoba menjadi penjahat di muka bumi. Aku berlari kencang menembus kabut, aku tidak mau menjadi Friedman atau orang pintar yang jadi nafsu militer dan katanya berotak seperti jam Swiss. Detak rajin tanpa bunyi yang hasilnya adalah kelaparan disudut-sudut jalan kota, dan kelaparan anak bangsanya jadi cendera mata. Aku hanya ingin jadi Columbus. Syahdan aku diadili di ruang tua Ratu Issabella dari Aragon. “Ah...semua orang bisa” kata pesinis sambil mengernyitkan bibirnya seperti Gareng ayan. “Semua Nakhoda akan sampai pada Amerika kalau dia terus saja” Colombus maju ke depan, dan bertanya pada dewan “sekarang siapa yang bisa mendirikan telur ini?” tidak ada yang bisa satupun termasuk si pesinis. “Aku bisa kata Columbus” lalu ia meretakkan sedikit ujung telur dan menaruh telur itu. “Ah kalau itu aku bisa” kata pesinis. “Lha, kalau kamu bisa, kenapa tidak kamu lakukan tadi?”

Tiba-tiba aku menjadi tiang tinggi menara kota London dan menyaksikan senyum Monalisa di tangan Garibaldi. “Kembali Ke Laptop!!” tiba-tiba sang penggede sejarah menunjuk padaku, ia bukan pelawak lagi.Dan aku berhenti. Tiba-tiba aku disini hanya menumpang sepi. Tak ada lagi kerinduan dan air mata yang ada hanyalah sebungkus kacang bulat seharga seribu.

Maka prosa ini kuakhiri
Dengan sedikit Gurindam Raja Ali Haji
Atau renungan Lorca di benteng-benteng Mallorca
Dan mengerti Ibarruri yang berteriak “No Pasaran”
Lalu Brigade Lincoln tertembak selangkangannya di parit-parit Madrid
Dan Malraux menembakkan pelurunya berlagak menjadi Ace
Maka aku berhenti
Aku hanyalah penyair yang coba-coba
Untuk menjadi penyair
Tapi malah kudapati aku tak lebih dari Sengkon dan Karta
Manusia yang menempuh jalan mati dengan segudang berita tudingan
Maka kuteriakkan dari mulut kering tukang becak
Yang suka makan blanggreng di sudut Tugu Takluk Laskar Jipang
Maka telah kutabur biji-biji
Dan teriak : LAWAN
Malah aku yang tersungkur
Dengan segelas cendol
Selamat Malam
Selamat Datang
Selamat Siang
Selamat Tidur
Dan mari kita terus bermimpi
Sambil perbanyak punda pundi
Aku diam
Dan duduk membisu
Karena ingin lagi kulihat Tukul
Tapi yang kudapat : Coblos kumisnya
Sudahlah, Toh aku bukan penyair

Marx dan Penipuan Borjuasi

Marx, Penipuan Borjuasi dan Keterasingan Manusia

Oleh : ANTON

Beberapa waktu yang lalu Presiden SBY mengatakan bahwa Indonesia hanya menganut paham sistem Ekonomi Pancasila dan bukan komunisme, kapitalisme atau neo liberalisme. Ini memang pernyataan yang lucu, karena semua orang tahu di Indonesia hanya berkembang logika Kapitalisme dalam menjalankan sistem ekonominya, dari tukang mie ayam sampai konglomerasi kelas kakap menggunakan instrumen kapitalis untuk menjalankan tujuan-tujuan usaha. Kemudian apa ada ekonomi Pancasila itu? Dengan mendasarkan pada sejarah pemikiran apa ekonomi Pancasila itu? Apa ekonomi Pancasila merupakan sebuah paham utopis yang sejauh ini – dan sepengetahuan saya hanya dibidani oleh Mubyarto – dan kita tak pernah merasakan langsung tentang bagaimana ekonomi Pancasila bekerja. Jadi hematnya pernyataan SBY tempo hari adalah sebuah pernyataan yang kacau dan mungkin saja untuk menyenangkan rasa ketidaktahuan masyarakat akibat pembodohan Orde Baru tentang ideologi-ideologi yang berkembang dalam sejarah dunia.

Saat ini hanya satu atau dua negara yang mungkin tidak terjamah sistem kapitalis dan menjalankan sistem Komunisme orthodox bergaya Marxisme-Leninis. Kuba dan Korea Utara. Lainnya menggunakan dasar-dasar kapitalisme untuk melakukan rasionalisasi sistem ekonomi mereka termasuk dua negara komunis paling militan Vietnam dan RRC. Lantas apakah kemudian teori Marx sudah terbantahkan dengan kapitalisme? Justru disaat kapitalisme menunjukkan kematangannya teori Marx bekerja dengan efektif dan akurat.

Selama ini kita terdidik untuk salah paham tentang Marx sebagai teori dan Marx sebagai ideologi. Bahkan salah paham ini menimbulkan kerancuan yang fatal bila dilihat dari landasan bernegara kita. Pancasila. Adalah lucu sebuah TAP MPRS yang dirilis tahun 1967 tentang larangan ajaran Marxisme. Tapi dalam sila ke lima Pancasila di inspirasikan oleh Marxisme, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia – berarti logikanya Keadilan Sosial bagi Rakyat Indonesia adalah barang haram - . Ini sama saja dengan mengingkari adanya pengaruh paham tauhid Islam dalam Ketuhanan Yang Maha Esa atau Konsepsi NKRI tanpa Jawa yang dikorelasikan pada Persatuan Indonesia. Ketika Bung Karno berpidato untuk menempatkan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai penyempurna dasar struktur Pancasila semua orang yang duduk pada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tahu benar bahwa sila itu adalah pengaruh Marxisme.

Bukan Bung Karno saja yang terilhami oleh Marxisme dalam menggerakkan sejarah dan melahirkan konsep Indonesia. Semua tokoh penting yang kemudian memainkan peran dalam revolusi bersenjata 1945-1949 adalah Marxist-Marxist tulen mulai dari Hatta, Sjahrir, Amir sampai Tan Malaka. Mereka tahu dan mempelajari Paris Manuscript 1844, German Ideology, The Poverty of Philosophy, Manifesto Communist sampai karya raksasa Karl Marx, Das Kapital. Anak-anak muda jaman pergerakan 1920-an mendasari pada teori Marx untuk memahami sejarah masyarakat.

Marx sebagai teori tentunya masih terus relevan untuk dikaji dan dipelajari bahkan tidak kehilangan aktualitasnya untuk menguji kritik Marx atas kapitalisme terutama kapitalisme saat ini yang sudah berubah wajah dari kapitalime khas abad 19 dan permulaan abad 20, kapitalisme saat ini adalah Kapitalisme Global. Yang meminggirkan negara-negara tidak mampu dan lemah sumber daya manusianya, Penipuan negara maju dengan jeratan utang yang tidak akan mampu dibayar (baca Economics Hit Man, John Perkins), Penyerangan Amerika Serikat tanpa alasan seperti kasus Irak dan Afghanistan, Penempatan konflik Israel atas negara Palestina untuk mengalihkan kongkalingkong minyak di Arab Saudi dan pergerakan rakyat Arab, Bullying terhadap Iran, Penyerangan Panama, usaha diam-diam memusuhi Islam yang dianggap sebagai ancaman dunia modern dan konspirasi-konspirasi internasional yang bertujuan untuk mengambil untung baik dari minyak maupun konsesi-konsesi lainnya.

George Bush, Sr berkata di Rio de Janeiro tahun 1992 “Gaya hidup kami tidak bisa di negosiasikan” ketika dia menolak ketentuan efek rumah kaca. Pernyataan Bush ini bukan saja Amerika Serikat menolak untuk ikut dalam bagian mengurangi pemanasan global, tapi juga sikap arogansi Amerika Serikat yang tak mau tahu terhadap kondisi dunia. Alias Egois. Disinilah sistem borjuasi mendapatkan kebingungannya sendiri ketika alam sudah mengamuk dan iklim menjadi tak tentu, kita dihadapkan pada masalah lingkungan yang serius gara-gara kebutaan borjuasi untuk memahami problema dunia.

Marxisme sendiri sering dinisbahkan pada sistem komunisme garis keras yang banyak muncul di permulaan abad 20 dan layu pada akhir abad itu juga. Padahal Marx sebagai teori berkembang kemana-mana. Semua teori ekonomi dan sosiologi sejak Marx menelurkan filsafatnya berubah drastis. Semua teori ekonomi dan sosiologi mendasari pada Marxisme baik sebagai alat kritik, alat teori maupun alat perbandingan terhadap sistem Kapitalisme. Marxisme sebagai varian bercabang kebanyak pemikir-pemikir dunia mulai dari Karl Kautsky, Eduard Bernstein, Antonio Gramsci, Tan Malaka sampai Adorno dan Horkheimer - yang semakin bergairah setelah diterbitkannya History and Class Consciousness, karya Georg Lukacs setelah dilarang terbit selama 60 tahun oleh rezim Uni Soviet dan melahirkan gerakan kiri baru yang ditandai pemberontakan mahasiswa Perancis tahun 1968 -. Panjang jika kita disini berbincang tentang teori Marxisme karena kita juga harus membuka filsafat GWF Hegel yang rumit sebagai dasar untuk mengetahui filsafat Marx.

Sejarah menerangkan pada kita tentang bagaimana peran Marxisme mengubah pandangan hidup manusia. Sejak Lenin menggerakkan Bolsyevik tahun 1917 sampai perang Vietnam yang usai tahun 1975 semua mengesankan pada bahwa Teori Marxisme mengandung kekerasan dan mengekang kebebasan. Pendapat itu sepenuhnya benar. Karena penafisran Marxisme yang dikembangkan Lenin kemudian diikuti sistemnya oleh negara-negara di hampir sepertiga dunia dengan menggunakan kekerasan merupakan pragmatisme Lenin dalam memahami Marx yang ujung-ujungnya pencaplokan negara atas masyarakat. Lenin yang berusaha mendahului sejarah dan mengabaikan tahapan-tahapan dalam Teori Marx terjebak dalam sistem Komunisme yang kasar dan tidak menghargai kemanusiaan. Manusia dalam pandangan Lenin –kemudian terjebak dalam Stalinis - tidak lebih sebagai objek dari perkembangan sejarah yang bisa dikendalikan semau-maunya. Rosa Luxemburg tokoh Marxisme dari Jerman yang menjadi tokoh Partai Sosialis Demokrat Jerman mengecam cara-cara Lenin yang membubarkan konstituante, pembentukan sistem Soviet, penindasan kelas Borjuasi, kekurangan kebebasan dan pemakaian teror. Rosa Luxemburg mengkritik Lenin bahwa kebebasan hanya bagi penganut pemerintah, hanya bagi anggota sebuah partai bukanlah kebebasan. Kebebasan selalu hanya kebebasan orang yang berpikir berlainan. Dan Rosa Luxemburg dengan basis teori Marx juga mengatakan sistem komunisme yang tidak menghargai kebebasan dan kemanusiaan akan hancur dengan sendirinya karena keterasingan, baik itu keterasingan pihak buruh dari dirinya maupun keterasingan antara teori dan praxis Marx. Lenin mewarisi pada gerakan komunisme terhadap sikap dogmatis terhadap teori Marx yang melahirkan kekejaman-kekejaman bahkan menimbulkan kesan bahwa Marxisme adalah sebuah teori setan yang melahirkan bajingan. Padahal Marx adalah teori yang sangat baik untuk membuka teka-teki sejarah, kritik terhadap kapitalisme dan mampu mendalami secara totalitas tentang pemahaman bagaimana sesungguhnya makna komoditi itu. Melalui hal-hal itulah kita bisa mengerti bagaimana sistem kapitalisme itu menjadikan dapat menciptakan sekelompok manusia nyaman dan sekelompok masyarakat lainnya hidup dibawah garis kemiskinan.

Dan kita tanpa sadar terjebak dalam penipuan borjuasi. Coba perhatikan gaya hidup kita, periksa tujuan-tujuan hidup kita, apa yang mendesak kita untuk berlari mengejar waktu?, apa yang memaksa kita membeli barang-barang yang seharusnya tidak kita butuhkan?, apa yang membuat kita membeli barang sepuluh atau dua puluh kali lebih mahal dari yang seharusnya kita bayar?, apa yang membuat kita berutang dengan bunga tinggi tanpa sadar kita berutang? apa yang membuat kita tidak menghargai hubungan-hubungan bermasyarakat, harmoni sosial, cita-cita bersama, dan tidak lagi menoleh pada kemanusiaan kita?. Gaji kita dihabiskan untuk mengejar hal-hal yang sesungguhnya tidak kita mengerti, sistem keuangan yang kita pahami adalah bagaimana cara mengutang bukan bagaimana mengembangkan keadilan distribusi kekayaan, utang-utang diplesetkan oleh sistem kapitalisme sebagai pencapaian-pencapaian standar hidup, para wanita distandarisasikan kecantikannya lewat gaya hidup yang kapitalistik mereka yang menolak sesuai dengan standar kecantikan kapitalistik dipaksa mundur, mereka yang tidak memenuhi standar kecantikan kapitalistik tapi memaksa maju cukup senang menjadi bahan tertawaan publik. Tontonan-tontonan kita adalah bagaimana caranya menghabiskan uang, bukan membangun masyarakat produksi, anak-anak kita diajari menghapal merk-merk mobil dan tidak tahu lagi tentang alam lingkungan, mall-mall yang mewah banyak dibangun sementara pasar dan lapangan dimana interaksi antar manusia dulu terjadi kini dihilangkan, tanpa sadar kita diasingkan dari hal-hal alamiah. Keterasingan manusia ini adalah penipuan borjuasi yang cemerlang. Dan akumulasi modal lah menjadi alasan utama pengasingan manusia pada dirinya sendiri.

Saat ini jangan kaget kalau kita mendengar cita-cita orang untuk membobol bank milyaran bahkan trilyunan secara terang-terangan, atau saat membaca berita tentang penipuan milyaran kita bilang ‘hebat’. Menjadi pembobol bank atau Anggaran Negara saat ini adalah pahlawan yang dipuji banyak orang. Pemuda-Pemuda kita berebutan menjadi pegawai negeri dengan menyogok untuk mendapat kursi yang basah. Dalam sistem penipuan borjuasi stadium paling parah adalah ketika uang dijadikan satu-satunya ukuran kehormatan manusia. Semua hal dinegosiasikan, dan semua hal menjadi komoditi dagangan, dari jabatan sampai agama semua diukur dari nominal uang. Menjadi koruptor lebih terhormat daripada menjadi sopir taxi yang bekerja dengan keringatnya sendiri, anak-anak koruptor lebih dihargai dan punya gengsi ketimbang menantu tukang sol sepatu. Kita dipaksa membeli barang yang sesungguhnya kita tidak mampu kemudian ketidakmampuan itu diterjemahkan sebagai utang. Dan utang melalui rekayasa iklan yang mengimajinasikan keindahan hidup menjadi sebuah paksaan psikologis, tanpa berhutang kita berdosa menjadi bagian dari masyarakat, tanpa korupsi kita diasingkan oleh sistem masyarakat. Keterasingan manusia pada dirinya sendiri adalah anak kandung dari kapitalisme. Dan itu diramalkan oleh Marx.

Baik sistem Stalinis maupun Kapitalisme Global adalah pengasingan manusia terhadap dirinya sendiri. Ketidakbebasan manusia terhadap kehendaknya. Pengaburan manusia terhadap tujuan-tujuan hidupnya. Jika Stalinis membuat ketidakbebasan itu dari luar diri manusia berupa paksaan dari penguasa pada pihak yang dikuasai, maka kapitalisme global saat ini adalah pemaksaan halus manusia dari dalam dirinya kemudian menjebak pada ketidakbebasan demi keuntungan pemilik modal.

Mari kembalikan Marx sebagai teori, alat kritik kapitalisme dan filsafat sosial-ekonomi, bukan dogma yang melahirkan kekerasan, dan ada baiknya membaca filsafat Hegel sebelum membaca filsafat Marx.

ANTON