Tuesday 20 November 2007

Oke Rosgana dan Yoyo

Oke Rosgana dan Permainan Kreatif

Oleh Anton

Kompas hari senin (22/10/07) menurunkan rubrik yang menarik tentang Yoyo Rosgana. Terus terang nama orang ini baru saya dengar, tapi dilihat dari prestasinya lewat permainan dan kemampuan mendisain yoyo, membuat saya bangga dengan Oke sebagai anak bangsa Indonesia yang telah memberi hiburan di negeri orang lain. Bahkan di Sudan dengan penuh keharuan berbondong-bondong orang menonton aksi Oke yang beberapa kali mengadakan pertunjukan dan diwawancarai TV setempat. Oke pulang dalam gegap gempita melepas kepulangannya karena ia berhasil menghibur warga Sudan.

Sudah saatnya kita lebih intens memperhatikan bentuk-bentuk permainan kreatif yang dapat melatih otak. Anak-anak dibawah sepuluh tahun harus dikenalkan pada permainan yang mampu merangsang otak seperti : yoyo, gasing, gundu, lego dan banyak permainan yang dulu ketika jaman permainan elektronik belum mewabah seperti sekarang. Saya ingat teman kecil saya yang pada umur 10 tahun sudah mampu buat kapal uap sederhana yang bahan bakarnya dari minyak tanah. Sekarang saya perhatikan anak-anak lebih senang main games. Saya sendiri tidak tahu dengan dampak permainan games pada anak-anak tapi yang saya perhatikan adalah mereka cenderung menjadi lebih asosial ketimbang anak-anak jaman dulu yang bermain selain kreatif juga melatih hubungan sosial seperti main gundu atau layangan.

Oke Rosgana termasuk beruntung karena proses kreatifnya diperhatikan bahkan SMAN 1 Subang memberikan kesempatan untuk Oke mengajar permainan yoyo. Saya sangat membenarkan pendapat Oke yang mengatakan bahwa permainan yoyo dapat melatih secara optimal kerja otak kiri dan kanan pemainnya. Jika para psikolog pendidikan membenarkan hal ini sudah saatnya kurikulum pendidikan kita menekankan pada aspek kreatif bukan aspek teoritis-hapalan yang membebankan murid dengan buku-buku wajib dan bikin kaya penerbit-penerbit buku pelajaran lewat kongkalingkong antara pihak sekolah dan penerbit yang menekan keuangan orang tua murid. Penekanan aspek kreatif ini dapat merangsang para siswa melatih pikirannya dengan tidak membeo. Karena saya perhatikan siswa yang dimenangkan dalam kurikulum gaya Indonesia adalah siswa yang mampu menghapal bukan siswa yang berpikir kreatif. Hal ini kerap menimbulkan tumbukan psikologis bagi sang anak yang merasa dirinya tersingkirkan dalam sistem besar kekuasaan pendidikan. Padahal kecerdasan itu bukan dilihat dari aspek menghapal saja, tapi juga memiliki banyak dimensi-nya, termasuk berpikir kreatif. Orang yang berhasil dalam kehidupan biasanya adalah orang yang mengetahui bakatnya dan ketertarikannya pada satu bidang, walaupun bidang itu berlawanan dalam arus kekuasaan sistem pendidikan namun dia berani melawan. Ahmad Dani pentolan Band Dewa adalah salah satu contoh orang yang berhasil mengasah bakatnya dan melawan sistem pendidikan yang dirasa mengekang dirinya. Prestasi Ahmad Dani jelas lebih tinggi nilainya dari orang-orang yang sebenarnya tidak berbakat tapi memaksakan diri untuk ikut ke dalam arus besar kekuasaan pendidikan, maka timbullah gelar-gelar pendidikan tak berbunyi.

Dulu RCTI juga dengan rutin menayangkan acara dari Jepang yang banyak diikuti anak-anak dalam mengolah imajinasinya dengan kerja-kerja kreatif. Saya heran acara ini tidak ditiru oleh televisi-televisi lokal kita yang punya kebiasaan sering meniru itu. Yang populer justru acara melatih anak-anak berdakwah agama. Saya sangsi apa mereka mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, karena saya sering perhatikan apa yang mereka bicarakan dalam dakwah merupakan persoalan orang dewasa. Apa disini lantas anak-anak dilatih untuk membeo? Atau memang disinilah letak kesalahan kita dari awal. Lebih melatih anak untuk bicara daripada berpikir kreatif?........

ANTON

1 comment:

rosgana said...

salam Kenal

terima kasih untuk mengomentari artikel saya di Kompas tahun 2007 :)

boleh saya copas artikel ini untuk saya posting fi blog saya?
www.rosyo.blogspot.com

terima kasih